KE PART 15
“Bagaimana bisa begini?
Naraya Steel dan Kuda Baja tidak mengirim pasokan besi?” Ronald berkata keras, membanting setumpuk dokumen di atas meja.
Tangan melepas dasi dengan gemetar lalu menyugar rambut panjangnya.
“Iya, mereka sepakat untuk memutuskan kontrak,” jawab Jery lesu.
Matanya terpekur menatap lantai.
Mulutnya bergerak-gerak karena mengunyah sesuatu.
“Masalahnya di mana?
Sini sambungkan telepon biar gue yang bicara.”
Jery mengangkat tangan.
“Percuma, direkturnya bahkan berani membayar ganti dengan nilai tinggi karena pemutusan kontrak sepihak,” ucapnya lesu dengan wajah merah.
Tangan memijit kening, kaki mengetuk-ngetuk lantai.
“Sial!”
Ronald meraih rokok, melangkah ke arah jendela dan membuka kaca lebar-lebar.
Matanya mengawasi jalanan yang ramai dengan nanar.
Asap mengepul dan menutup wajah tampannya.
Terlihat dari tempatnya berdiri halaman parkir gedung yang semrawut.
Apa yang terlihat olehnya di bawah sana persis dengan gambaran pikirannya sekarang, rumit dan semrawut.
Dia tidak habis pikir tentang dua pabrik pemasok besi yang sudah dua puluh tahun ini menjadi mantra perusahaan lalu mendadak memutuskan kontrak.
Sedangkan tidak pernah ada perselisihan sebelumnya.
Pihak dia pun membayar tagihan dengan tepat waktu.
Produksi dan penjualan sedang dalam perkembangan yang bagus.
Ronald bahkan sudah membuka pabrik baru di Karawang yang rencananya akan mulai beroperasi dalam setahun ke depan.
Lalu sekarang?
Ada masalah besar yang menghadang.
“Coba tanya, Papa lo. Sebelum pakai dua pabrik ini, dulu Beliau bekerja sama dengan pabrik mana?”
Ronald menatap sahabatnya yang penampilannya terlihat sama kacau dengannya.
Dasi mengendur dan rambut Jery berantakan, seakan disisir nyaris setiap menit.
Mulut Jery tidak berhenti mengunyah permen karet yang menandakan dia gugup dan stres.
Mereka sudah bekerja sama di pabrik ini selama hampir lima tahun dan pertama kali masalah sebesar ini datang menimpa.
“Ntar gue tanya, Papa.
Sekarang yang perlu kita selamatkan adalah pesanan yang terlanjur menumpuk.
Lo telepon Pak Dadi dari Juragan Besi dan minta dia untuk menjual stok besinya ke kita.
Nggak apa-apa jika dia minta harga lebih mahal, asal masih masuk dalam anggaran.”
Jery mengangguk, meraih handphone dan mulai berbicara dengan pelan dan membujuk. Ronald mendengar tanpa benar-benar memperhatikan apa yang mereka bicarakan.
Otak dan hatinya terasa panas, belum selesai masalah Vanesa sekarang pabrik pun juga ada masalah.
Ada apa sebenarnya?
Apakah dia membuat satu kesalahan besar yang tak termaafkan?
Biasanya jika ada perselilihan baik soal harga maupun kualitas, kedua belah pihak akan merundingkan dengan kepala dingin.
Bukan dengan memutuskan hubungan kerja seperti ini.
“Ronald, selesai. Juragan Besi bersedia tapi harga agak mahal.
Dan sedikit nggak senang karena kita minta mereka hanya saat sedang butuh.”
Penjelasan dari asistennya membuat Ronald tenang.
“Setidaknya kita bisa mengisi slot produksi sampai beberapa hari ke depan sebelum mencapai kesepakatan lain.
Kita rundingkan lagi nanti kerja sama dengan Juragan Besi.
Siap-siap, kita kunjungi Naraya Steel.”
Jery beranjak dari duduknya, memandang Ronald yang masih menghisap rokok.
“Sekarang?” tanya Jery tak yakin.
“Iya, sekarang.
Lo sama gue aja. Bawa dokumen kerja sama kita dengan mereka.”
Jery mengangguk. Melangkah menuju pintu.
Belum lima langkah dia menoleh ke arah Ronald.
“Bagaimana istrimu?
Apa kalian baik-baik saja?” tanyanya pelan.
Ronald menoleh, melangkah ke arah asbak dan mematikan rokok.
“Kami baik tapi tidak baik, hubungan sih biasa.
Vanesa sudah menjelaskan apa yang terjadi dan tidak alasan untuk tidak percaya padanya tapi---,” Ronald mendesah.
“Tapi apa?
Berita tersebar ke mana-mana, tentang Vanesa.
Untung belum ada yang mengaitkan dengan namamu.
Kamu harus bertindak, Bro,” desak Jery.
Ronald mendesah.“Aku curiga apa yang terjadi dengan perusahaan ada hubungannya dengan masalah Vanesa.”
“Maksudnya, ini semua akibat campur tangan Tirta Group?” tegas Jery tak yakin.
“Entahlah, bisa jadi.”
“Kenapa lo bisa berpikir gitu?”
“Karena semua terjadi serba kebetulan dan yah, berdekatan waktunya.
Kita ke Naraya baru tahu kebenarannya.”
Jery mengangguk. Meneruskan kembali langkahnya ke pintu.
Dalam hatinya berkata sungguh malang punya istri yang diminati laki-laki lain.
Bukan hanya makan hati tapi juga makan harta.
Ronald duduk di kursi dan menutup mata, meraih gelas berisi air putih di atas meja dan minum dalam satu tegukan besar.
Terbayang dalam ingatannya Vanesa yang terus menerus menangis.
Dia mengerti kenapa, kekuatiran istrinya juga kekuatirannya.
Tadi pagi sebelum berangkat, dia melihat beberapa orang tak dikenal memfoto rumahnya.
Bisa dipastikan mereka adalah para pencari berita.
Dia harus pulang segera setelah urusannya selesai.
Ronald mengingat dulu pernikahannya dengan Mili berjalan tenang nyaris tanpa hambatan.
Mili sangat penurut, mengangguk setuju atas semua perkataannya hingga nyaris membuatnya bingung.
Bersama Vanesa lain, penuh gejolak tapi menyenangkan di saat bersamaan.
Kehadiran Vico membuat segalanya menjadi runyam.
“Bro, mobil siap. Kita jalan sekarang!” Jery muncul dari balik pintu yang terbuka dengan mengapit tas hitam besar.
Ronald mengangguk, tangannya meraih jas dan tas.
Untuk sementara masalah istrinya dia kesampingkan dulu.
Waktunya pergi negosiasi untuk menyelamatkan bisnis keluarga.
Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan apa yang menjadi miliknya. Bahkan jika harus menentang keluarga Tirta.
Vanesa membuka pintu.
Menatap bingung pada wanita di depannya.
Wanita ini berparas cantik, dia berdiri dan menatap Vanesa dengan keanggunan yang tidak biasa.
Seolah seluruh dunia berada di bawah kakinya.
“Vanesa, apa kabar?
Boleh aku masuk?” suaranya yang halus menyapa ramah.
Sejenak Vanesa tergagap lalu mengangguk dan mempersilahkan masuk tamunya. “Silahkan masuk, Bu.”
Benaknya berpikir cepat di mana dia pernah melihat wanita ini.
Sang tamu mengamati ruangan, berdiri dengan tangan menenteng tas kulit warna krem yang terlihat mahal.
Mengenakan tunik putih selutut dengan celana panjang senada, penampilannya sungguh terlihat memukau. Vanesa melirik dirinya yang terlihat kumal dengan pakaian tidur.
“Saya seperti pernah melihat ibu sebelumnya atau mendengar suara?” tanya Vanesa hati-hati.
Sang tamu tertawa lirih.
“Kita belum pernah bertemu tapi aku pernah meneleponmu, Aku Bu Anita, Mama Vico,” ucapnya ramah memperkenalkan diri.
Vanesa terperangah, tanpa sadar kakiknya mundur selangkah hingga menyentuh pintu yang terbuka.
Sama sekali tidak menyangka jika yang datang adalah mamanya Vico.
Seketika kekuatiran dan bayangan buruk menyelusup dalam hati dan benaknya.
“Boleh aku duduk?” tanya Bu Anita sopan.
Vanesa mengangguk, tersadar dari lamunannya.
“Silahkan, Bu. Mau minum apa?”
Bu Anita menggeleng.
Tangannya yang putih dengan kuku dicat pink pudar dan ada semacam pola bunga di tengah kuku, melambai pelan pada si pemilik rumah.
“Tidak usah takut, Vanes.
Ayo, duduk dan kita bicara sebagai sesama wanita,” ajaknya masih dengan suara yang sangat ramah.
Senyum tersungging di bibir yang dipoles pemerah dengan sempurna.
Ragu-ragu, Vanesa duduk di seberang wanita separuh baya yang sekarang meletakkan tasnya di atas meja.
Meski tidak pernah memiliki sebelumnya tapi Vanesa yakin, harga tas yang dibawa tamunya seharga satu buah mobil kelas menengah.
Vanesa meraba jantungnya berdetak tidak karuan.
Memandang Bu Anita yang rambutnya ditata rapi hingga angin pun tidak dapat menggerakannya.
Penampilan wanita ini sungguh membuat Vanesa tercekat.
“Langsung saja ya, Vanes.
Aku kemarin mengingatkan kamu kalau kamu sudah melewati batas.”
“Maaf, apa, Bu?”
Pertanyaan Vanesa dipotong oleh lambaian tangan Bu Anita.
“Aku bicara dulu baru kamu menjawab.
Ingat ya, posisi kamu sedang tidak bagus.
Bagaimana mungkin wanita yang sudah bersuami seperti kamu menemui laki-laki lain?”
Bu Anita berdiri dari kursi dan berjalan menuju lemari.
Tangannya meraih satu foto berpigura dan bicara tanpa memandang Vanesa “Anakmu ganteng, bukan salah.
Anak Kakakmu ganteng.
Suamimu juga nggak jelek jadi apa kurangnya mereka?”
Kembali wajahnya yang mulus tak tercela dengan mata bulat menatap Vanesa tajam.
“Mereka tidak ada yang kurang,” kata Vanesa pelan.
“apa maksud kedatangan Bu Anita sebenarnya.
Jika ingin bicara soal Vico, bisa saya pastikan jika kami tidak ada--,”
“—halah! Omong kosong.
Kamu mau bilang jika kamu tidak ada hubungan dengan anakku tapi diam-diam merayu dan menemuinya?” tuduh Bu Anita dengan suara lembut tapi tajam.
Benar dugaanku, pikir Vanesa suram.
Jika mama Vico datang hanya untuk menuduhnya yang bukan-bukan.
Dia memejamkan mata dan mencoba mengatur napas.
“Kalau saya bilang, itu adalah pertemuan pertama kami setelah saya menikah apa Ibu percaya?
Kami bahkan bertemu di tempat ramai, bagaimana mungkin Anda menuduh saya seperti itu?” tutur Vanesa sopan.
Bu Anita tersenyum simpul.
Menelengkan kepala sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan.
Memandang Vanesa seakan guru yang memergoki muridnya mencontek.
“Kamu masih ingat perkataanku tentang Vico beberapa bulan lalu?”
Vanesa mengangguk.
Bagaimana dia lupa jika suatu hari sepulang dari rumah Ronald di perjalanan ada orang yang meneleponnya.
Vanesa ingat malam itu dia sempat berdebat sedikit dengan mamanya karena mendesak agar dia menikahi Ronald.
Lalu saat di mobil, nomor tak dikenal meneleponnya.
Seorang wanita yang mengaku bernama Anita dan mama Vico, pacarnya.
Masih segar dalam ingatan Vanesa, suara Bu Anita yang pelan menuturkan secara jelas siapa Vico beserta asal usulnya.
Itu pertama kalinya dia tahu jika laki-laki yang setahun dekat dengannya adalah anak seorang jutawan.
Bu Anita pula yang memaksa agar Vanesa menjauhi anaknya karena secara terang-terangan mengatakan, tidak mungkin seorang anak pewaris tahta bersanding dengan tukang kue.
Awalnya dia tak percaya omongan Bu Anita tapi setelah wanita yang sekarang berdiri di deapnnya mengirim satu foto, semua menjadi jelas.
Vico bukan lelaki biasa dan Vanesa memutuskan untuk menjauhinya.
“Bukahkah kamu berjanji untuk menjauhi anakku, Vanesa?”
Vanesa membuka mata, menatap Bu Anita yang masih berdiri memandangnya.
“Saya sudah memutuskan hubungan dengannya.
Juga sudah menikah, jadi ibu salah alamat jika masih menganggap saya mengikat Vico. Itu sama sekali tidak benar.”
“Bisa kamu bilang begitu?
Bagaimana dengan berita yang dari kemarin terus menyebar dan mengganggu nama baik kami?” desis Bu Anita tidak sabar.
“Buat kamu mungkin popularitas gratis tapi buat kami, itu memalukan.”
Vanesa berdiri dari kursinya, menunjuk pada pintu yang terbuka.
“Dari tadi saya diam karena menghormati Bu Anita sebagai orang tua tapi saya tidak suka dipermalukan di rumah saya sendiri.
Silahkan keluar dan bisa dipastikan saya tidak akan mendekati Vico lagi.”
“Hah! Mana bisa omonganmu kupercaya.
Dulu kamu juga mengatakan hal yang sama tapi buktinya?”
Vanesa menghela napas.
Merasakan tusukan nyeri di jantungnya.
Wanita di hadapannya bukan wanita sembarangan.
Tidak akan mudah bicara dengannya.
“Waktu itu sengaja saya mengajaknya bertemu untuk memintanya agar berhenti menganggu saya.”
Bu Anita tertawa lirih mendengar perkataan Vanesa yang dia nilai sombong.
“Vico menganggumu?
Mana mungkin jika kamu tidak merayunya lebih dulu, ingat statusmu--,”
“---justru karena saya ingat status saya yang sudah menikah,” tukas Vanesa geram.
“Daripada Anda di sini marah-marah sama saya, kenapa tidak Anda nasihati Vico agar menjauh dari saya.”
“Sudah kulakukan dan dia menentangku. Terbukti kan, rayuanmu bagaikan racun,” sergah Bu Anita panas.
Belum sempat Vanesa menjawab Bu Anita melangkah cepat menuju pintu yang terbuka.
Mau nggak mau Vanesa minggir untuk memberinya jalan.
Dengan lambaian tangan dia memberi tanda pada dua pengawal di depan pagar.
Tidak lama mereka datang sambil menenteng sesuatu dan meletakkannya di atas meja tamu lalu kembali ke tempat mereka semula.
Bu Anita melangkah mendekati dua kotak beludru yang diletakkan di atas meja dan membukanya.
Mata Vanesa menatap pada kilauan perhiasan yang berasal dari dalam kotak yang terbuka.
Satu kotak lagi berisi surat, entah apa.
“Langsung saja Vanesa, aku menawarkan sesuatu yang pasti tidak bisa kau tolak. Jauhi Vico, putuskan dia dan semua ini akan menjadi milikmu,” ucap Bu Anita sambil menunjuk barang-barang di atas meja.
“Ah ya, pasti kamu tidak tahu ini apa. Yang ini adalah berlian asli yang dipesan khusus.” Dia mengambil sebuah kalung yang berkilau indah di tangannya.
“Baguskan? satu set beserta cincin dan gelang.
Ditaksir harganya berkisar antara 800 juta sampai satu milyar, aku juga sudah lupa karena asistenku yang membantuku memesan.”
Vanesa bergeming di tempatnya.
Melihat hal itu Bu Anita mengembalikan kalung dan mengambil surat dari dalam kotak yang lain.
“Tentu kamu berpikir aku akan memberimu sekoper uang untuk kompensasi? J
angan kuatir, itu hanya ada di sinetron dan aku tidak serendah itu.”
Dia mengacungkan surat ke depan Vanesa.
“Ini adalah sertifikat kondominium di pusat kota.
Akan berubah menjadi namamu dalam hitungan hari jika kamu menuruti permintaanku. Kalau kamu ingin tahu harga berapa?
Chek sendiri saja tapi yang pasti untuk punya kondominium itu, kamu dan suamimu harus bekerja keras selama dua puluh tahun untuk dapat memilikinya.
Dan sekarang, aku memberimu gratis!”
Pandangan Bu Anita yang memandangnya dengan aneh seperti merendahkan harga diri Vanesa.
Berlian, kondominium, semua akan diberikan hanya demi Vico.
Hening sesaat, Vanesa tidak bicara hanya memejamkan mata.
Mencoba untuk menenangkan perasaan kalutnya.
“Vanesa? Kamu terima?”
Vanesa membuka mata dan memandang lurus pada Bu Anita yang sekarang berdiri sangat dekat dengannya.
“Kalau sekarang saya tidak menjambak rambut Anda yang tertata rapi itu karena saya mengormati orang tua.”
“Apaaa?”
“Silahkan pergi dari rumah saya dan tanpa barang-barang yang ibu berikan, saya akan menjauhi Vico.”
“Benarkah?
Kamu tidak menginginkan semua ini?”
Bu Anita bertanya untuk meyakinkan.
Dia menyipit saat Vanesa menggeleng.
“Apa kamu mengingingkan uang?”
“Tidaak, saya tidak mau apa pun.
Tolong Ibu keluar dan bawa semua barang-barang Anda dan please, jangan ganggu saya lagi.”
Perkataan Vanesa tegas dengan sedikit histeris.
Mereka berpandangan sejenak. Vanesa melangkah menuju sisi pintu dan merentangkan tangannya.
“Silahkan keluar, sebentar lagi bayi saya pasti bangun.”
Bu Anita melangkah mendekati pintu dengan mata mengawasi Vanesa.
Saat berada dekat dengan Vanesa dia berkata lirih.
“Jangan sampai tingkah lakumu berakibat buruk pada usaha suamimu. Ingat itu, Vanesa.”
Meninggalkan wangi parfum yang lembut, Bu Anita melewati Vanesa dan melangkah cepat menuju mobilnya.
Sesaat, Vanesa merasa tenggorokannya tercekik.
Lalu terlihat olehnya kilau berlian di atas meja.
Dengan sigap dia menutup kotak dan setengah berlari menuju mobil.
Vanesa mengetuk pintu kaca mobil bagian belakang.
Tak lama kaca diturunkan dan tampak wajah Bu Anita dalam kacamata gelapnya.
“Ini Bu, ada yang ketinggalan.”
Dengan sedikit memaksa Vanesa menjejalkan kotak perhiasan ke atas pangkuan Bu Anita. “terima kasih atas perhatiannya.
Hanya satu yang ingin saya ucapakan, jika Anda berani menyentuh suami saya maka jangan salahkan saya tentang Vico.”
“Kamu mengancamku?” desis Bu Anita dari dalam mobil.
Vanesa berdiri tegak, tersenyum samar.
“Iya, saya mengancam ibu.
Dengan cinta dan kasih saya akan saya jerat Vico sampai dia tidak bisa terlepas jika Anda dan keluarga Anda berani menyentuh suami atau keluarga saya.
Ingat itu, selamat jalan.”
“Wanita jalang!” pekik Bu Anita pada Vanesa yang berbalik dan berlari menuju rumah.
Pintu menutup di belakang punggungnya dan seketika Vanesa ambruk di lantai.
Menangis tersedu-sedu.
Dia merasa hancur dan direndahkan.
Rasa kuatirnya tidak hanya tentang dirinya sendiri tapi juga keluarganya terutama Ronald.
Apa jadinya jika pabrik Ronald terganggu hanya karena dirinya?
Apa dia layak untuk diperjuangkan sampai seperti itu?
Vanesa tidak pernah menyalahkan Vico atas semua yang terjadi.
Dia tahu dalam hal ini dia yang bersalah.
Yang dia sesalkan adalah ketidakpedulian Vico padanya.
Jika dia peduli tentu tidak akan membiarkan berita menyebar ke mana-mana.
Bukankah Vico punya uang dan kuasa untuk menghentikan semua konflik, kenapa membiarkannya berlarut-larut?
Bukankah itu seperti sebuah kesengajaan untuk mempermalukannya?
Vanesa menghapus air mata, saatnya untuk melihat sang buah hati yang tertidur.
Dalam hati bertekad untuk menyembunyikan perihal kedatangan Bu Anita hari ini dari suaminya.
Biarlah hanya dia yang tahu karena menilai watak Ronald, bisa dipastikan suaminya akan mengamuk.
Sayangnya, malam itu Ronald tidak pulang.
Vanesa tidak berani membuka handphone untuk menanyakan kabar suaminya karena takut akan menerima telepon dari orang yang tak dikenal.
Selepas pukul sebelas malam rasa kuatir akhirnya mengalahkan rasa takut.
Sayangnya saat ditelepon nomor Ronald tidak aktif.
Hingga tengah malam Vanesa mencoba menghubungi tapi gagal.
Pesan terkirim tapi tidak dibaca.
Sampai pukul tiga pagi tidak ada tanda-tanda suaminya datang.
Sepanjang malam Vanesa terjaga hingga terang tanah dan matahari bersinar, menunggu suaminya yang tidak jua pulang.
Benaknya dipenuhi ancaman Bu Anita tentang suaminya.
Mungkinkah Ronald yang tidak pulang malam ini ada hubungannya dengan keluarga Tirta?
Bersambung...
No comments:
Post a Comment