Cinta Tiga Hati
part 14
Gawat!
Itu kata yang terlintas pertama di benak Vanesa saat dia terjebak macet dalam perjalanan pulang setelah bertemu Vico.
Jika perjalanan berangkatnya memakan waktu tidak sampai satu jam maka pulangnya membuat dia tersiksa.
Ada kecelakaan yang melibatkan dua pengendara motor dan satu mobil yang terpaksa berhenti di tengah jalan. Tak ampun lagi kemacetan mengular hingga berkilo-kilo meter jauhnya dan membuat sakit kepala.
Dia sudah mengirim pesan pada Santi agar menyiapkan makan malam Sean.
Santi juga sudah memberitahu jika kue sudah diambil si pemesan.
Kesigapan sahabatnya dalam membantu saat dia butuhkan membuat Vanesa bersyukur.
Pikirannya melayang pada Vico yang baru saja dia tinggalkan.
Vico yang tampan makin terlihat tampan.
Dari dulu sebenarnya dia sudah merasa jika Vico bukanlah seorang pegawai biasa saat suatu hari Vico mengajaknya makan di restoran hotel bintang lima.
Vanesa yang keheranan menanyakan dari mana dia mendapat uang untuk mentraktirnya makan dengan enteng Vico berkata ; dapat voucher dari kantor.
Kini terbukti segala kecurigaannya.
Vanesa mendesah, handphone di tangannya habis daya dan kepalanya makin berdenyut menyakitkan.
Dia ingin mengirim pesan pada Ronald karena bisa jadi akan terlambat sampai rumah.
Mudah-mudahan saat aku sampai rumah, Ronald belum pulang.
Batin Vanesa suram dengan mata melihat kemacetan.
Dia tidak ingin suaminya bertanya macam-macam nanti.
Karena sudah pasti jawaban dia akan penuh kebohongan.
Kekuatirannya menjadi kenyataan saat dia sampai di rumah dan melihat mobil Ronald terparkir di depan pagar.
Dengan langkah tergesa dia membuka pintu, mengucapkan salam dan berjalan menuju dapur saat mendengar balasan salam dari arah sana.
“Hai, Mama! Baru pulang?
Sudah makan belum?” sapa Ronald dengan riang.
Sean berada dalam gendongannya dan mulutnya belepotan makanan.
Sepertinya Ronald sedang menyuapinya sesuatu.
“Wah-wah, sedang ada pesta rupanya. Pizza?” Vanesa berkata sambil tertawa.
Menuju wastafel untuk mencuci tangan dan menghampiri suaminya.
“Coba ini, enak. Rasa tuna,” ucap Ronald sambil menyodorkan sepotong pizza ke arah mulut Vanesa.
“Ayo, coba.”
Vanesa membuka mulut dan membiarkan Ronald menyuapinya.
Lalu duduk di sampingnya.
“Maaf telat, ya. Jadi nggak sempat masak untuk makan malam,” jawabnya dengan mulut penuh.
Ronald tersenyum.
Mengambil pizza dengan potongan keju tebal dan kembali menyuapkan ke mulut istrinya.
“Diih, aku bisa makan sendiri,” elak Vanesa.
“Sesekali, ini kejunya paling tebal.”
Terpaksa Vanesa membiarkan dirinya disuapi.
Tangannya terulur untuk memangku Sean.
Dengan anak berada dalam pangkuan dan Ronald menyuapinya makan.
Sesekali bahkan mengelap mulut dan pipinya dengan tisu.
Berlaku yang sama terhadap Sean juga.
“Dari mana kamu?” tanya Ronald setelah potongan pizza ke dua dihabiskan Vanesa.
Vanesa tersenyum sambil mengunyah.
“Urusan dengan teman lama.
Macet sekali dan bikin sakit kepala.”
“Masih sakitnya?” tanya Ronald.
Tangannya sibuk membersihkan sampah di atas meja dan memasukkannya ke dalam kantong kresek.
“Iyaa, masih. Habis ini mau minum obat.”
“Sini, Sean aku pegang. Kamu mandi dan minum obat lalu tidur cepat.”
“Tapi--,”
“Sudah sana!”
Vanesa merasa tidak enak hati dengan Ronald.
Dengan sedikit memaksa Ronald meraih Sean dan menggendongnya menuju kamar.
“Aku akan mengajaknya main,” ucapnya sebelum berlalu dengan bayi di pinggangnya.
Vanesa bangkit dari kursi.
Mencoba menghalau perasaan bersalah di hati karena sudah berbohong dengan Ronald.
Dia memandang sekeliling dapur dan meja makan yang bersih, mendesah dan akhirnya dia menyerah dan memutuskan untuk mandi sesuai omongan Ronald.
“Kak, apa Sean sudah tidur?” Selesai mandi Vanesa mengetuk pintu kamar Ronald.
“Beluum, masuk sini!”
Vanesa membuka pintu dan mendapati Ronald sedang berguling-guling di kasur dengan Sean yang meloncat-loncat gembira.
“Aduh, anak Mama. Senang amat?
Awas nanti muntah.” Vanesa meraih tubuh Sean dan mendudukan dirinya di ranjang.
“Udah minum obat?”
Vanesa mengagguk. “Bentar lagi juga sembuh.”
“Sini kupijit.” Tangan Ronald terulur ke arah kepalanya.
“Nggak aah, minum obat juga selesai.”
Mengabaikan penolakan istrinya, Ronald bergerak dan duduk tepat di belakang Vanesa.
Tangannya terulur untuk memijat pelipis Vanesa.
“Pejamin mata, nikmati,” ucapnya lembut dari belakang leher Vanesa yang seketika tegang karena sentuhan Ronald.
“Kak ….”
“Sttt … santai.”
Vanesa membiarkan dirinya dipijat sementara tangannya menepuk-nepuk Sean yang berbaring di sisinya sambil menyedot susu.
Dia merasakan secara perlahan ketegangan di area bahunya mengendur.
Tangan Ronald seperti menyebarkan kehangatan di lehernya yang terbuka karena dia mengikat rambut.
Vanesa merasa tekanan tangan suaminya mengendur.
Dia menoleh dan melihat Ronald sedang memandang anaknya yang berbaring miring dengan mata tertutup dan bibir menyedot susu.
Memanfaatkan kelengahan Vanesa, tangan Ronald terulur memeluk istrinya.
Meraih dagu dan tidak membiarkan sang istri menolak, memerangkapnya dengan sebuah kecupan ringan.
“Bagaimana? Sudah hilang sakit kepalanya?”
Bisikan Ronald membuat Vanesa tersadar.
Dengan cepat dia melepaskan diri dari pelukan Ronald dan berdiri sambil berkacang pinggang.
“Dasar! Tidurkan anakmu! Aku mau tidur sendiri!”
Ronald tertawa lirih memandang kepergian Vanesa dengan wajah memerah dan mulut bersungut-sungut.
Bukankah istrinya terlihat menggemaskan dengan bibir dan wajah memerah?
Dalam hati Ronald membatin akan sering-sering mencari kesempatan untuk menjebak istrinya.
Dengan mulut masih menyunggingkan senyum bahagia, Ronald memeluk anaknya dan berbisik.
“Bukankah membahagiakan bisa bersama orang yang kita cintai, jagoan?”
Vanesa sendiri tidak bisa memicingkan mata.
Pikirannya dipenuhi Ronald dan ciuman mereka, mengakui dalam hati jika suaminya memang jago berciuman.
Dasar playboy, batinnya kesal jika mengingat Ronald dan mantan-mantan kekasihnya. Butuh berjam-jam baginya untuk benar-benar lelap.
Tidur beberapa saat, Vanesa terbangun dengan badan segar.
Dia bergegas membersihkan diri dan membuka kamar untuk mencari Sean.
Mulutnya tersenyum saat melihat bayinya sudah sibuk berceloteh di kursi bayi di ruang makan.
Ada mangkuk bubur di depannya.
Sementara Ronald, masih memakai celana pendek sedengkul dan kaos oblong putih. Berdiri terpaku menatap layar TV.
“Anak Mama, lagi maem, ya?” Vanesa menghampiri Sean dan mengelus pipinya yang montok.
Meraih teko air dan mengisi gelas.
“Vanesa, kemarin kamu ke mana?” tanya Ronald tanpa mengalihkan matanya dari layar TV.
“Ketemu teman lama,” jawab Vanesa sambil meneguk air.
“Vico?”
“Apa?” tanya Vanesa heran karena Ronald berhasil menebak dengan benar.
Membuat wajahnya keheranan.
“Coba lihat dan dengar ini.” Ronald mengeraskan volume TV.
Mata Vanesa melebar saat melihat fotonya di TV bersama dengan Vico.
Dia dan Vico berada dalam kafe, ada banyak sekali fotonya diperlihatkan di TV membuat Vanesa memucat kaget.
“Pemirsa, ini adalah foto-foto yang berhasil diabadikan oleh seorang koresponden kami.
Memperlihatkan Vico Tirta dan kekasihnya sedang menikmati makan siang di sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan.
Koresponden kami juga berhasil mewancarai salah seorang pelayan kafe yang memberi kesaksian jika Vico dan kekasihnya memang sering datang ke kafe mereka.
Siapakah wanita cantik yang misterius dan berhasil memikat hati seorang bujangan yang paling diidamkan?”
Gelas di tangan Vanesa terlepas dan pecah berantakan saat bertemu lantai keramik. Ronald menatapnya terkejut tapi tetap mematung di tempatnya berdiri.
Dengan gugup Vanesa memunguti pecahan kaca hingga tak sengaja menggores tangannya.
“Vanesa, apa yang kamu lakukan?” tegur Ronald pelan.
Menggunakan Tisu, Vanesa meraup beling dan membuangnya ke tempat sampah. Tangannya yang berdarah berdenyut-denyut menyakitkan.
“Vanesa ….”
Dia berbalik dan menatap Ronald sambil menggelengkan kepala.
“Aku tidak melakukan apa-apa, Kak.
Kami hanya bertemu biasa, bicara biasa dan tidak melakukan yang aneh-aneh.”
Ronald mengerutkan keningnya.
“Kamu berbohong padaku, kenapa?” Suaranya terdengar terluka.
Vanesa menunduk. “Aku tidak ada maksud untuk membohongimu.
Aku hanya tidak ingin menimbulkan adanya masalah.”
Ronald berkata dengan keras.
“Sekarang sudah ada masalah besar, Vanes! Kamu lihat TV dan wajah kalian berdua, kamu dan Vico terpampang di mana-mana sebagai sepasang kekasih!”
“Tidak, kamu jangan salah paham, Kak.”
“Jangan salah paham bagaimana?
Apa kamu tidak pernah memikirkan perasaanku sebelum berniat untuk menemui mantan kekasihmu?”
Vanesa menutup wajahnya.
Kepalanya mendadak terasa nyeri sekali.
Tanpa menyadari jika tangannya yang terluka meneteskan darah dan mengotori baju. Membanyangkan apakah perasaan Ronald sama nyerinya dengan tangan yang tersayat?
“Vanesa.”
“Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya ingin bicara dengan Vico. Itu saja.”
Dia bicara masih dengan kepala menunduk menekuri lantai.
Sementara Sean tampak sibuk membuang-buang makanannnya dan mencipratkannya kemana-mana.
“Kangen dia?” tanya Ronald dengan nada dingin.
“Tidaaak!
Bagaimana mungkin kamu berkata begitu, Kak?” Vanesa berbalik menuju westafel. Menyalakan kran dan membiarkan air mengucur untuk membasuh tangannya yang terluka.
“Kalau begitu katakan ada apa?
Kenapa kamu menemuinya?
Jika masalah membesar begini apa kamu tidak memikirkan aku?
Istri Ronald ketahuan selingkuh dengan jutawan.”
Vanesa tidak menjawab.
Sekarang bukan hanya kepalanya yang berdenyut nyeri tapi juga jarinya.
Itu belum seberapa dibandingkan dengan sakitnya karena tuduhan-tuduhan Ronald.
Dia memang bersalah sudah menemui Vico diam-diam.
Dia merasa sangat bersalah sekarang karenanya nama keluarga mereka ikut tercoreng. Hati Vanesa pedih jika mengingat tentang malu yang dialami keluarganya dan keluarga Ronald jika mengetahui tentang berita ini.
“Sekarang bukan hanya TV yang menayangkan tentang kamu dan Vico tapi seluruh saluran berita online juga sama.
Kamu bisa membuka handphonemu untuk mengetahuinya.”
Pernyataan dari suaminya membuatnya tanpa sadar meneteskan air mata.
“Apa kamu masih tidak ingin berterus terang Vanesa?
Untuk apa kamu menemuinya?”
Vanesa tersentak saat merasakan sentuhan di punggungnya.
Entah kapan, Ronald sekarang berada di belakangnya.
“Tanganmu berdarah,” ucap Ronald pelan.
Membalikkan tubuh Vanesa dan meraih tisu untuk membalut jari Vanesa yang terluka.
Vanesa memandang suaminya diam-diam.
Menarik napas panjang sebelum bicara.
“Maafkan aku, Kak. Tidak menyangka jika akhirnya jadi seperti ini.
Semula aku hanya ingin mengatakan pada Vico untuk tidak lagi menghubungiku.”
“Apa dia mengganggumu?” tanya Ronald.
Vanesa menggeleng kuat-kuat.
Air mata mengalir deras tak tertahan. Membuat wajahnya memerah.
Ronald memandang istrinya yang menangis.
Seingatnya Vanesa jarang sekali menangis.
Dia tipe wanita kuat yang lebih suka bertengkar dari pada menangis tapi hari ini, dia menitikkan air mata. Untuk siapa? Vico-kah?
Dengan perasaan merana, Ronald menyodorkan tisu pada istrinya.
“Duduklah, aku ambilkan plaster untuk tangannmu.”
Vanesa mencengkeram lengan Ronald yang hendak meninggalkannya.
Berkata dengan suara parau.
“Jariku nggak apa-apa, Kak. Duduklah, biarkan aku jelaskan semua.”
Ronald mengurungkan langkah dan berdiri bersisihan dengan Vanesa.
“Kemarin Natali datang.”
Ronald menatap Vanesa dengan heran.
“Oh ya? Mau ngapain?”
Vanesa menarik napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.
“Dia datang mengatakan jika Tirta Group bersedia kerja sama dengan mereka tapi dengan satu catatan … aku bekerja di perusahaan Natali.”
“Maksudnya?” tanya Ronald heran.
“Maksudnya adalah, jika Natali bisa mengajakku bergabung dengannya.
Bekerja di kantornya menjadi staf apa pun itu maka Vico akan menandatangani kontrak kerja sama.
Tanpa aku di sana, tidak akan ada kerja sama.”
“Bajingan itu Vico,” maki Ronald dengan emosi.
Tangannya memegang bahu Vanesa dan mengguncangnya.
“Mau sampai kapan dia akan menyerah untuk mendapatkanmu?
Harusnya dia sadar kamu itu istriku?”
“Aku tahu, Kak.
Makanya aku menemuinya dengan maksud agar dia berhenti mengangguku.
Berhenti menjadikanku syarat untuk mempermainkan Natali.”
“Ah ya, Natali dan Anisa.
Mereka akan mendapatkan balasan karena bersikap bodoh denganmu,” desis Ronald berapi-api.
“Kak, itu nggak penting tapi yang sekarang aku pikirkan adalah perasaan orang tua kita.
Bagaimana prasangka Mamamu jika tahu aku dan Vico ….” Vanesa menundukkan kepala. Membiarkan air mata mengalir membasahi pipi.
Ronald melangkah mendekati meja. Meraih Sean yang meronta-ronta di kursi bayinya dan mendudukkannya di dalam baby walker.
Setelah itu meraih handphone dan membukanya.
“Benar dugaanku, berita soal kamu dan Vico tersebar kemana-mana.
Setiap portal berita membahas tentang Vico sang pewaris Tirta Group dan wanita misterus yang diduga adalah kekasihnya.
Dalam hitungan jam, maka wartawan akan mendapatkan identitasmu dan---,”
“--- ada kekacauan besar jika mereka menemukan rumah ini, Kak,” ucap Vanesa panik. “Bagaimana denganmu, bagaimana dengan Sean, bagaimana orang tua kita.
Ini semua salahku, salahku!”
“Stop, Vanes!” Ronald meraih pundak istrinya untuk menghentikan Vanesa mencercau. “Masalah sudah terlanjur besar.
Kita harus cari jalan keluar.”
“Semua akan menganggapku berselingkuh jika tahu aku sudah bersuami,” lirih Vanesa.
Ronald mendesah.
Memencet nomor dalam handphonenya dan berbicara cepat saat mendengar ucapan salam.
“Jery, gue hari ini nggak masuk kantor.
Lo standby di sana ya?”
Terdengar Jery mengatakan sesuatu.
“Tidak, gue nggak sakit. Hanya ada perlu di rumah, oke, bye!”
“Kamu tidak harus melakukan itu, Kak,” lirih Vanesa saat mendengar pembicaraan suaminya di telepon.
Ronald memandang Vanesa yang masih menunduk.
Entah bagaimana merasakan tusukan rasa kasihan di dadanya.
Bukankah seharusnya dia merasa marah karena Vanesa diam-diam menemui Vico? Tapi nyatanya, rasa sayang pada istrinya justru membuatnya melupakan rasa marah.
“Aku akan menemanimu.
Takut kalau ada wartawan datang dan melacak rumah kita.”
Vanesa mendongak.
Memandang Ronald yang murung.
Mengikuti dorongan hatinya dia menubruk Ronald dan memeluknya.
“Terima kasih sudah mempercayaiku, Kak.”
Ronald membelai rambut Vanesa dan mengecup puncak kepalanya.
“Tenang, semoga ini cepat berlalu.
Yang kita lakukan sekarang hanya menunggu.
Aku akan keluar sebentar lagi untuk berbicara dengan para security komplek agar tidak membiarkan orang asing tanpa tanda pengenal masuk ke daerah kita.
Juga berbelanja kebutuhan makan untuk beberapa hari, takutnya kita terjebak di dalam rumah.”
Vanesa memeluk suaminya erat. Merasa kagum dengan sikap tenang suaminya.
Tanpa Ronald, entah bagaimana dia akan menghadapi hari-harinya yang dipastikan akan penuh kekacauan.
Dugaannya benar, kekacauan mulai nampak berawal dari telepon ke dua orang tuanya yang menanyakan kebenaran berita yang mereka lihat di TV.
Papanya bahkan marah dan berkata dengan suara tinggi, mengatakan jika dia telah membuat malu.
Mungkin akan terus marah jika Ronald tidak menyambar handphone dan menenangkan mertuanya.
Untunglah, orang tua Ronald bisa bersikap lebih tenang.
Mereka percaya pada Ronald dan Vanesa. Jika ada kesalah pahaman.
Vanesa bahkan tidak berani membuka handphone karena mendadak banyak nomor tak dikenal meneleponnya.
Santi menghubunginya menggunakan handphone Ronald dan menyatakan dukungan serta harapan semoga masalah akan cepat berlalu.
Hari kedua segalanya mulai memburuk.
Berita bergerak bagai bola liar dan para wartawan bahkan berhasil menemukan profile lengkap dan statusnya yang sudah menikah.
Banyak hujatan diarahkan padanya karena dianggap tidak tahu malu.
Sudah bersuami tapi mendekati laki-laki lain.
Vanesa menatap tayangan berita pagi dan membaca berita online di handphone Ronald dengan napas tersengal karena menangis.
“Sudaah, berhenti menonton TV dan jangan menyalakan apa pun yang berhubungan dengan internet.” Ronald menyambar remote dan mematikan TV.
Setelah kemarin seharian dia tidak bekerja demi menemani Vanesa di rumah, hari ini dia terlihat rapi dengan kemeja biru.
“Aku harus ke kantor. Ada sedikit yang terjadi.”
“Ada apakah?” tanya Vanesa sambil mengusap air mata dan mengutuk diri sendiri karena terlalu egois hanya mementingkan dirinya tanpa peduli akan Ronald.
“Entah, sepertinya ada kendala dengan bahan baku.” Suara Ronald seperti menyimpan ketenangan yang dipaksakan.
Membuat Vanesa makin kuatir.
Ronald mengusap pipi Vanesa.
“Jangan menangis lagi, kamu di rumah jaga Sean, ya?
Aku sudah berpesan pada para security untuk tidak membiarka orang asing mendekati rumah kita.
Baik-baik di rumah, aku segera kembali.”
Vanesa mengangguk.
Menatap kepergian Ronald yang pergi dengan langkah terburu-buru.
Dalam hati Vanesa berdoa semoga tidak ada masalah besar di pabrik mereka.
Pintu depan menutup dan Vanesa mengawasi mobil suaminya yang menjauh dari balik gorden dengan hati pilu.
Merasa benar-benar sendiri sekarang.
Handphone dimatikan juga TV.
Vanesa tidak berani membuka saluran berita apa pun.
Dia menyibukkan pikirannya dengan bermain bersama Sean.
Pukul sebelas siang, saat Sean yang kelelahan tertidur.
Vanesa mengernyitkan kening karena mendengar bel pintu berbunyi.
Dengan langkah lebar dia menuju ruang tamu dan menyingkap gorden untuk mengintip siapa yang datang.
Seorang wanita cantik setengah baya yang tidak dia kenal berdiri anggun di depan pintu.
Sementara sebuah mobil putih mewah mengkilat terparkir di depan pagar halaman.
Dua orang laki-laki berseragam menunggu di dekat pintu mobil. Vanesa terlonjak saat bel kembali berdentang.
Siapakah dia? Pikir Vanesa sambil membuka pintu.
Suatu saat saya akan membukukan novel ini.
Tetap saya endingkan di sini hanya saja tidak menyertakan Epilog atau penutup cerita. Termasuk kehidupan mereka setelah konflik mereda.
Ada part Vico, Natali dan Anisa.
Apakah dengan begini Vanesa akan tetap menjadi istri Ronald? Belum tentu.
Bersambung
No comments:
Post a Comment