Cinta Tiga Hati
Part 13
Senandung lagu cinta samar-samar keluar dari mulut Vanesa.
Dengan tangan memakai sarung tangan plastik bening dan mata fokus menghias cup-cake yang terhampar di atas meja dalam berbagai warna dan rasa.
Ada dua orang wanita bersamanya, satu orang sedang menangani panggangan dan satu orang lagi sedang sibuk membungkus.
Aroma mentega, gula dan krim menyerbu penciuman dan membuat air liur menetes. Sementara si bayi sibuk mondar-mandir dengan baby walkernya.
Saat mendongak dari pekerjaannya, mata Vanesa tertuju pada TV menyala yang tergantung di dinding.
Sang pembawa berita sedang menayangkan acara yang menarik perhatiannya.
Dia melepas sarung tangan plastik yang selalu dipakai saat bekerja dan bergerak cepat memutari meja untuk mengambil remote dari atas kulkas dan mengeraskan suara TV.
Seketika, suara si pembawa berita terdengar nyaring di dapur mereka.
“Hari ini, pimpinan Tirta Group memperkenalkan secara resmi anak laki-laki satu-satunya dari Pak Agung Tirta yang bernama Vico Arthur Tirta.
Kelak, semua perusahaan yang tergabung dalam Tirta Group akan berada di bawah kendalinya.”
Layar TV menampilkan Vico yang tersenyum di samping sang papa.
Ada puluhan wartawan yang mengerumuni mereka dan melemparkan banyak pertanyaan untuk dijawab.
Vanesa menatap tajam pada Vico yang terlihat tampan dalam setelan hitam.
Bukankah dia terlihat berbeda?
Lebih dewasa sepertinya.
Tanpa sadar Vanesa tersenyum, setidaknya hatinya bisa merasa lega.
Dengan dia tidak lagi ada di sisi Vico maka mantan kekasihnya itu bisa maju.
Menjadi seseorang yang memang sudah nasibnya, jutawan.
“Mbak, ini kuenya mau aku taruh kardus.
Kita perlu pisah berdasarkan warna atau rasa?”
Pertanyaan dari wanita yang sedang membungkus kue membuat Vanesa tersadar dari lamunannya.
“Pisah berdasarkan rasa,” jawab Vanesa.
Remote sudah dia kembalikan di atas meja dan TV dimatikan.
Dia harus fokus pada kuenya.
Sebentar lagi si pemesan-ibu dari blok sebelah di kompleknya-akan datang mengambil kue.
Ronald mendukung sepenuhnya apa yang dia lakukan sekarang.
Memberi kebebasan seutuhnya pada Vanesa untuk menggunakan rumah mereka menjadi tempat kerja.
Semenjak peristiwa ciuman malam itu hubungan mereka lambat laun membaik.
Meski tidak sepenuhnya dibilang mesra tapi percakapan di meja makan tidak lagi kaku.
Bahkan tanpa segan, Vanesa sering meminta bantuan Ronald untuk membelikannya bahan-bahan kue di supermarket jika dia terlalu sibuk untuk keluar.
Membuat kue dan mendapatkan uang sekaligus mengasuh Sean di rumah bukan aktivitas yang buruk untuknya malah cenderung menyenangkan.
Sean menjerit saat bel pintu terdengar.
Vanesa melepaskan sarung tangan dan menghampiri anaknya.
“Napa menjerit jagoan Mama?
Kaget ya?”
Dengan sayang dia mengambil Sean dari dalam Baby walker dan menaruhnya di pinggang.
Melangkah menuju ruang tamu untuk melihat siapa yang datang.
Sungguh tak terduga, jika Vanesa berpikir sebelumnya si tamu adalah si ibu pemesan kue yang datang lebih cepat ternyata bukan.
Wanita di depannya terlihat menawan dalam balutan tunik hijau.
Riasan tipis yang dipoleskan dengan sempurna membuat wajahnya makin bersinar. Saat Vanesa berdiri kaget, si tamu tersenyum ramah.
“Apa kabar, Vanesa?” sapa Natali dengan mata mengawasi Sean yang berada dalam gendongan Vanesa.
“Ada apa Kak Natali?
Mendadak datang ke rumah?” tanya Vanesa setelah pulih dari rasa kaget.
“Boleh aku masuk?”
“Tapi Kak Ronald nggak ada.”
“Aku ingin bicara padamu, Vanesa. Bukan dengan Ronald.”
Vanesa menyingkir dan memberi jalan pada Natali untuk masuk ke dalam ruang tamu.
Pikirannya masih bertanya-tanya tentang maksud kedatangan Natali yang di luar kebiasaan.
Ingatan tentang terakhir kali mereka bertemu dan berujung pada adu debat menyerbu pikiran Vanesa.
“Silahkan duduk, mau minum apa, Kak?”
Natali menatap pemandangan di dinding yang menurutnya berubah dari pertama kali dia datang.
Ada foto lain yang terpajang di sana, Vanesa yang sedang tertawa dengan Sean di pangkuannya. Lalu dia menoleh pada Vanesa.
“Tidak usah, aku tidak lama.”
Vanesa mengangguk.
Dia duduk di sofa bulat masih dengan Sean di gendongan yang sekarang terlihat meronta-ronta.
Vanesa meraih biskuit di atas meja dan memberikannya pada Sean.
Tidak menyadari mata Natali yang mengawasi tindakannya.
“Sean menggemaskan, ya?” Natali duduk di samping Vanesa.
Tangannya yang putih dengan kuku dicat warna pink metalik terulur untuk membelai rambut Sean.
“Ada apa, Kak. Tentu Kak Natali tidak datang jauh-jauh hanya untuk menengok Sean.”
Natali tertawa, menyilangkan sebelah kakinya di atas dengkul dan memperlihatan kaki jenjang dengan sepatu hak tinggi.
“Baiklah, aku akan bicara terus terang.
Bukankah kamu sedang tidak bekerja lagi?
Di rumah sekarang bukan?”
“Iya,” jawab Vanesa pelan. Masih tidak mengerti dengan pertanyaan Natali.
“Apa kamu sedang membuat kue? Wanginya menguar kemana-mana.”
Vanesa mengangguk. “Ada pesanan dari orang.”
“Apakah itu cukup untukmu?
Berada di rumah untuk membuat kue pesanan?”
“Maksudnya?”
Natali menghela napas, tidak bisa menahan keinginan untuk menyentuh Sean yang memakan biskuit dengan tenang.
Meski mulutnya belepotan remah-remah tetap saja menggemaskan.
Sementara matanya menilai penampilan Vanesa yang terlihat santai dengan terusan selutut berwarna hitam.
Ada noda terigu di lengan dan wajahnya.
“Aku menawarimu pekerjaan jika kau berminat, Vanesa.
Sayang jika dengan bakat dan talentamu hanya dihabiskan di rumah mengasuh anak dan membuat kue.”
Kata-kata Natali sungguh di luar dugaannya.
Dia datang untuk menawarinya pekerjaan?
Apa Natali kesurupan sesuatu?
“Aku tidak ada bakat dalam bidang konsultan, Kak.
Baik manajemen mau pun keuangan.
Jadi terima kasih atas tawarannya,” jawab Vanesa pelan.
Meraih tisu di atas meja dan mengelap mulut anaknya.
“Oh, kamu bisa memulai belajar dari awal.
Tentu saja bukan langsung menduduki jabatan tinggi.
Kalau kamu berminat, bisa dimulai dengan menjadi sekretarisku atau Anisa,
Bagaimana?” tanya Natali dengan senyum manis tersungging dari mulutnya.
Seketika, ribuan bayangan buruk dan mengerikan hadir dalam benak Vanesa.
Menjadi sekretaris Natali dan Anisa bukanlah suatu pekerjaan yang menyenangkan.
Bisa dia bayangkan apa yang terjadi dan itu membuatnya bergidik.
Lebih baik aku menjadi tukang kue dari pada menjadi sekretaris mereka, ugh.
Batin Vanesa.
“Tidak berminat, Kak. Terima kasih tawarannya.
“Oh ya, bisakah kau tidak menjawabnya sekarang?
Aku memberikanmu waktu untuk berpikir.”
Vanesa menggeleng kuat. “Tidak, terima kasih sebelumnya tapi keputusanku sudah bulat.”
Natali mengubah posisi duduknya dan sekarang menyerong menghadap Vanesa.
“Aku akan memberikanmu gaji yang besar.
Jika memang kamu tidak mau jadi sekretarisku, bisa memilih jabatan apa pun yang kamu suka. HRD, keuangan atau staf saja.
Yang penting kamu bekerja untukku.”
Desakan dari Natali membuat Vanesa heran. Ada apa ini?
Kenapa wanita di sampingnya terlihat begitu ingin merekrutnya.
Natali dan Anisa tahu dia tidak menguasai bidang pekerjaan mereka.
Harusnya kantor mereka mencari tenaga professional bukan orang baru seperti dirinya. Didorong rasa penasaran dan keanehan yang dia rasakan,
Vanesa bertanya tegas.
“Ada apa, Kak. Apa yang terjadi?
Kenapa kalian mendadak ingin merekrutku?
Apakah suamiku meminta tolong pada kalian?”
Natali tertawa lirih.
“Ronald? Tidaak, justru aku tahu dari dia jika kamu di rumah dan tidak bekerja.
Dia bahkan bilang pada kami akan mendukung apa pun keputusanmu.”
“Kalau gitu, ada hal lain pastinya,” desak Vanesa.
“Tidak ada, Vanes. Ini murni dari niat baikku dan Anisa.”
Vanesa bangkit dari duduknya.
Dengan Sean dalam gendongan dia memandang Natali tajam.
Makin manis kata-kata Natali makin membuatnya tidak percaya karena dia tahu persis jika kakak iparnya tidak menyukainya jadi tidak mungkin begitu saja menawarkan pekerjaan.
Ada sesuatu yang lain pasti.
“Kita sama-sama dewasa, lebih baik berterung terang, Kak.
Aku tahu jika kamu dan Kak Anisa tidak menyukaiku.
Sekarang kalian menawarkan pekerjaan dan cenderung mendesak, pasti ada sesuatu yang lain.
Bicara saja terus terang tidak usah ditutupi.”
Natali ikutan bangkit dari duduknya.
Bergerak ke arah lemari kaca dan mengamati barang-barang yang ada di dalamnya. Ada beberapa medali dan piagam penghargaan milik Ronald sepertinya.
Juara dari berbagai kejuaraan dari mulai catur sampai basket.
Juga foto-foto Sean dalam bingkai kecil.
Sama sekali tidak ada foto Vanesa kecuali yang dipasang di dinding.
Dia berbalik dan menghadap Vanesa yang sekarang sedang mengayun Sean.
“Baiklah, aku bicara terus terang karena ternyata kamu susah diyakinkan.
Semua yang yang aku lakukan ini demi kemajuan perusahaanku.”
Vanesa tidak menjawab, menunggu Natali bicara.
Dia masih tidak mengerti jujur saja.
“Kamu tahu kan, perusahaan yang aku dirikan bersama Anisa adalah perusahaan baru,
Tentu saja kami sudah ada klien sebelumnya.
Hanya saja kurang besar, perusahaan tidak akan berkembang jika masih begitu. Alangkah senangnya kami saat Tirta Group menyatakan ketertarikan untuk
menggunakan jasa kami, sayangnya dengan satu syarat.”
Natali terlihat murung, wajahnya mendadak keruh.
Seperti ada yang menganggu pikirannya.
“Vico Tirta, menyatakan dengan tegas akan menggunakan jasa kami jika kamu bekerja di perusahaan konsultan kami.
Sepertinya dia juga tahu kalau kamu tidak lagi bekerja.”
Ah, jadi semua ulah Vico? Pikir Vanesa muram.
Harusnya dia bisa menduga dari awal.
Tidak mungkin Natali dan Anisa yang jelas-jelas memusuhinya mendadak bersikap baik jika tidak ada sesuatu yang tersembunyi.
“Kami sudah berusaha mengajukan opsi lain tapi beliau menolak.
Tanpa Vanesa tidak akan ada kerja sama.
Itu membuatku bertanya-tanya sebenarnya, ada hubungan apa antara kamu dan Vico,
Vanesa?
Apakah Ronald tahu masalah kalian?”
Vanesa mengabaikan pertanyaan dari Natali.
Dia lihat Sean tertidur di gendongannya.
“Aku masuk sebentar, menidurkan anakku.”
Dia melangkah menuju kamar Sean dan meninggalkan Natali sendiri di ruang tamu.
Pikiran Vanesa penuh dengan pertanyaan tentang Vico dan permintaannya yang aneh.
Pelan-pelan dia letakkan Sean dalam ranjangnya.
Menyalakan AC kamar dan menyetel suhu.
Sedikit berjingkat dia keluar, mengganjal pintu agar sedikit terbuka.
Dengan begitu dia bisa mendengar saat Sean menangis.
Natali sedang asyik menatap foto Ronald yang memangku Sean saat Vanesa kembali ke ruang tamu.
Sesaat mereka tidak bicara sampai Natali sadar dia sudah kembali.
Aroma kue yang menyengat, menyergap hidung Vanesa.
Sepertinya ada yang gosong.
“Vanesa, kamu sekarang sudah tahu niatku.
Bisakah aku meminta tolong padamu untuk perusahaan kami?”
Vanesa mengerutkan dahi, baginya terasa asing sekali mendengar permintaan Natali. Itu perusahaan mereka, kenapa harus melibatkannya.
“Tidak, Kak. Terima kasih tapi aku tetap tidak bisa bekerja untuk kalian.
Bagiku Sean lebih penting.”
“Oh, jangan kuatir soal itu.
Kamu bebas membawa Sean bekerja, jika perlu akan aku gaji seorang perawat untuknya.”
Natali menghampiri Vanesa dan memegang tangannya.
“Apa pun hubunganmu dengan Vico, aku akan merahasiakannya.
Bahkan Ronald tidak akan tahu.”
Vanesa mengibaskan tangan Natali dan tertawa lirih.
“Kata-katamu sungguh menghinaku, Kak.
Hubunganku dan Vico tidak lebih dari teman lama dan Ronald pun tahu tapi kalian bersikap seakan aku berselingkuh.”
“Ohh, tidak. Bukan begitu Vanesa,” sanggah Natali gugup.
“Aku hanya menawarkan diri menjadi temanmu.”
Vanesa meringis.
“Temanku?
Dengan syarat tertentu.
Tidak, terima kasih! Jawabanku sudah tidak bisa diubah.
Silahkan pergi, Kak.”
Vanesa memandang Natali yang sekarang menatapnya garang dengan berkacak-pinggang.
Tidak ada lagi keramahan pura-pura yang tertinggal di wajahnya.
Vanesa mendesah geli.
Pasti rasanya menyakitkan bagi Natali untuk bersikap ramah padanya.
“Pantas saja, Anisa tidak menyukaimu.
Kamu memang wanita sombong.
Kami memberimu kesempatan bagus tapi dengan seenak jidat kamu sia-siakan.
Apa kamu pikir dengan jadi tukang kue bisa menutupi keperluan keluargamu?”
Vanesa tidak mau kalah.
Ini rumahnya dan dia tidak akan membiarkan dirinya diintimidasi tamu di rumahnya sendiri.
“Itu dia poinnya, kalian tidak menyukaiku.
Bagaimana mungkin kita saling kerja sama?”
Natali terkesiap, wajahnya memucat.
Sadar jika sebelumnya salah bicara.
Vanesa tidak memberinya kesempatan bicara.
Dengan sigap dia membuka pintu lebar-lebar.
“Silahkan keluar dari rumahku, Kak. Maaf masih banyak kue yang harus dihias.”
“Jika bukan demi perusahaan aku tidak akan menyembah padamu,” desis Natali.
“Usaha yang bagus,” jawab Vanesa enteng.
“Aku tidak tahu apa yang dilihat Ronald dan Vico darimu, wanita sombong.”
Vanesa meraih lengan Natali dan menyeretnya ke depan pintu.
Tindakannya membuat Natali menjerit karena kaget.
“Kalian pikir kalian hebat bisa menghinaku?
Ini rumahku!” tuding Vanesa pada Natali.
“Kalau belum pergi, jangan salahkan aku jika menyirammu pakai air.”
“Apaaa!”
Mengabaikan teriakan Natali, Vanesa membanting pintu tepat di depan muka Natali.
Kemarahan seperti menggelegak dalam dirinya.
Sungguh dia merasa terhina dan dipermalukan.
Memang mereka pikir siapa mereka?
Demi perusahaan memohon padanya?
Menganggap dia menjalin hubungan dengan Vico?
Vanesa melangkah cepat menuju dapur.
Meraih handphone yang dia letakkan di atas meja.
Sementara dua orang wanita yang membantunya kini sibuk membungkus dan menghias cup-cake.
Sudah selesai memanggang sepertinya.
Vanesa mengirim pesan dan mendapatkan balasan tidak lama berselang.
Dia menoleh pada dua wanita di sampingnya.
“Selesai semua tolong bersihkan dapur, ya.
Aku ada urusan harus keluar jadi tidak bisa membantu kalian.”
“Iya, Mbak,” jawab salah seorang di antara mereka.
Vanesa meninggalkan dapur dan menuju kamarnya.
Bersiap-siap untuk mandi dan ganti baju.
Untunglah saat dia meminta bantuan Santi, tanpa banyak bicara sahabatnya bersedia datang membantu.
Kasihan jika dia membawa Sean saat sedang tertidur.
Dia memilih pakaian santai untuk dikenakan. Atasan blus putih dan celana hitam.
Tidak perlu riasan berlebihan karena memang bukan acara formal.
Selesai menyisir rambut dia dengar bel pintu berbunyi, itu pasti Santi.
Setelah memberi sedikit arahan dan meninggalkan beberapa omongan pada Santi terutama mengenai Sean dan kue pesanan, Vanesa meninggalkan rumah dengan terburu-buru.
Menggunakan taxi dia menuju tempat yang akan dia datangi.
Siang hari lalu lintas tidak terlalu padat.
Beruntung dia mendapatkan sopir yang mengusai teknik menyopir dengan lihai.
Tidak sampai satu jam dia sudah sampai di kafe yang menjadi tujuannya.
Lantai satu lumayan penuh pengunjung yang sepertinya sedang makan siang.
Vanesa lupa jika sekarang jam istirahat.
Awalnya dia berniat datang siang hari karena tidak ingin pergi ke kafe yang ramai.
Sudah terlanjur di sini, dia melangkah cepat menaiki tangga menuju lantai dua.
Dia mengenal betul kafe ini karena dulu sering datang.
Pandangannya tertuju pada sosok laki-laki yang duduk santai di meja yang berada dekat dengan tanaman palem di pojok ruangan.
Ada segelas kopi di atas meja.
Pandangan laki-laki itu tertuju pada handphone di tangannya.
Menarik napas panjang untuk menguatkan diri, Vanesa menghampiri laki-laki yang menunduk serius. “Vico, apa kabar?”
Sapaannya membuat Vico mendongak, senyum mengembang di wajah Vico yang bersih dan tampan tak tercela.
“Hai, Sayang. Aku senang kamu memintaku untuk bertemu.”
Vico berdiri dari kursinya dan mengulurkan tangan untuk memeluk Vanesa.
Seketika Vanesa mundur dua langkah.
“Banyak orang Vico, jaga sikap,” tegur Vanesa pelan.
“Persetan dengan mereka!” ucap Vico ketus tapi dia menurut.
Duduk kembali di kursinya setelah menarik kursi yang lain di sampingnya untuk tempat duduk Vanesa.
Tidak lama setelah Vanesa duduk di kursi, seorang pelayan datang dengan nampan di tangan.
Menghidangkan kopi dingin untuknya.
“Aku selalu mengingat minuman kesukaanmu, apa mau nambah kue?” tanya Vico padanya.
“Tidak, terima kasih.”
Pelayan undur diri dan mereka berdua berdiam saling pandang.
Suara musik terdengar sayup-sayup.
Lantai dua kafe ini memiliki pemandangan yang menghadap langsung ke jalan raya.
Dinding kafe terbuat seluruhnya dari kaca.
Ada pintu kaca yang bisa digeser untuk memisahkan bagian dalam kafe dengan teras. Saat malam, banyak pengunjung membuka pintu untuk menikmati angin dari teras.
“Setelah sekian lama, aku senang sekali kamu menghubungiku, Vanesa.” Vico membuka percakapan.
Matanya memandang Vanesa dengan tersenyum dan rasa bahagia yang tidak dia tutupi.
“Aku minta maaf jika tindakanku di pesta membuatmu berada dalam kesulitan,” lanjut Vico saat tidak ada tanggapan dari Vanesa.
“Tapi hari ini kamu benar-benar terlihat cantik dan aku tidak bisa menahan diri.”
“Vico, aku ke sini untuk karena sesuatu yang lebih penting.”
Vico menaikkan sebelah alisnya.
“Sesuatu yang penting?”
Vanesa tanpa sadar mendesah, mengalihkan pandangannya dari Vico ke arah kopi dingin di atas meja.
Demi biar ada kesibukan dia mengaduk kopi tanpa benar-benar ingin meminumnya.
“Vanes?” tegur Vico tak sabar.
Vanesa mendongak. “Vico, bisakah kuminta untuk tidak melibatkan aku dalam urusan kalian?”
“Maksudnya apa?”
“Kantor konsultan Natali dan Anisa, bisa-bisanya kamu bilang ke mereka untuk menjadikanku karyawan?
Untuk apa, Vico?”
Vico tertawa kecil.
Mengambil kopi dan meneguknya sedikit.
“Hanya itu, Sayang?
Kupikir masalah lain yang lebih besar.
Asal tahu saja aku sengaja melakukan itu untuk memberi mereka pelajaran.
Tidak mudah bekerja sama dengan Tirta Group.”
“Lalu kenapa melibatkan aku?
Kamu bisa memberi syarat yang lain?” sanggah Vanesa dengan nada tinggi.
“Sengaja!” tukas Vico tak mau kalah.
“Kamu pikir aku tidak tahu jika Anisa itu Kakak Ronald?
Aku ingin melihat seberapa besar perhatiannya padamu, apakah dia memilihmu atau perusahaannya.
Jika tidak salah menilai, dia memilih perusahaannya bukan?
Kasihan kamu, Vanesa.”
Ejekan Vico menohok hati Vanesa.
Memang benar semua yang dikatakan Vico jika kakak iparnya lebih memilih kemajuan perusahaan dari pada dia tapi harusnya Vico tahu jika dia bukan wanita yang mudah dimanfaatkan.
“Seharusnya kamu sudah tahu jawabnku, kenapa masih meminta syarat itu?”
Vico mengetuk meja dan memandang Vanesa.
“Kamu cantik, Vanes.
Dari dulu aku selalu mengagumi kecantikanmu.
Terlebih lagi prinsipmu yang kuat. Itu yang membuatku kecewa sewaktu kamu memutuskan menikah dengan Ronald.
Laki-laki yang pernah menghianatimu.”
Vanesa melengos ke samping.
Menghindari pandangan Vico.
Keadaan mereka tidak lagi sama seperti dulu. Vico bukan lagi orang biasa dan mereka bukan lagi sepasang kekasih.
Jika terlalu dekat akan sangat menyulitkan jika ada yang memergoki.
“Itu urusanku, Vico. Bukankah sudah kubilang untuk melupakanku.
Mencari sesorang yang lebih baik dan sederajat.”
Vico bangkit dari kursinya dengan gerakan kasar dan tertawa.
Membuat beberapa pengunjung memandangnya heran.
Vanesa makin menundukkan pandangan.
Sungguh sikap Vico yang seperti ini akan mengundang perhatian.
“Aku bisa mendapatkan wanita mana pun dengan mudah, apalagi jika membawa status dalam diriku.
Seratus wanita akan siap menyerahkan dirinya tapi sayangnya, bukan demi diriku. Uang dan kekayaan yang menjadi prioritas mereka.
Bersamamu aku berbeda, bisa menjadi diriku sendiri.
Kamu tidak pernah masalah meski kita hanya makan di warung pinggir jalan atau sesekali kamu yang mentraktirk.
Karena begitulah sebuah hubungan antar kekasih seharusnya dijalin.”
“Vico, please. Jangan lagi mengingat masa lalu.”
“Tidaaak!” sanggah Vico dengan tangan menekan meja.
“Aku akan terus-menerus mengingat tentang kita saat bersamamu agar kamu tahu, aku tidak rela melepasmu.”
Vanesa mengamati Vico yang berdiri pongah.
“Aku bukan barang yang harus dimiliki setiap orang.
Kamu pikir kamu hebat begitu, Vico?
Menggunakan kekayaanmu untuk menekan orang lain?”
Vico terlihat kaget mendengar perkataan Vanesa.
Dia kembali duduk di kursinya, tangannya terulur meraih tangan Vanesa tapi ditepiskan.
“Silahkan bermain-main dengan siapa pun yang kamu mau, mereka yang menghamba padamu tapi jangan melibatkan aku.
Terlepas dari kebencian Anisa dan Natali padaku, tidak seharusnya kamu menggunakanku sebagai umpan.”
Vico tersenyum sinis.
“Sebenarnya kamu bukan hanya umpan, Sayang tapi syarat utama dan tidak bisa ditawar.
Banyak kantor konsultan yang lebih bagus dari mereka dan aku bisa memilih mana pun yang aku suka tapi sayangnya kantor lain tidak punya kamu, Vanesa.”
Vico memandang lurus dan lembut pada Vanesa yang sekarang kembali menunduk.
“Seharusnya kamu terima tawaran mereka.
Satu, untuk membuatmu punya kuasa mengatur-atur mereka dan dua, bukannya kamu sudah tidak bekerja?
Tentu Natali akan memberimu gaji tinggi.
Mengingat mereka akan mendapatkan pemasukan besar jika bekerja sama dengan Tirta Group.”
“Kamu pikir, aku tipe wanita yang akan menggadaikan harga diri demi uang, Vico?”
Seketika Vanesa bangkit dari duduknya.
Tindakannya membuat Vico kelabakan.
“Aku tidak ada maksud begitu, Vanesa.”
Vanesa menghela napas dan mengibaskan rambutnya ke belakang.
Memandang laki-laki yang dulu pernah ada di hatinya.
Merasakan kesedihan karena melihat Vico bukan lagi Vico yang dulu.
“Kamu sudah berubah, Vico. Aku tidak peduli asal jangan melibatkanku.
Sayang sekali Vico yang dulu sangat baik hati berubah menjadi laki-laki yang aku tidak kenali.”
Vanesa melangkah pergi, meninggalkan meja.
“Vanesa, Tunggu! Jadi kamu mengabaikan pertolonganku?” tanya Vico dengan sedikit berteriak.
Vanesa menoleh dan tersenyum. “Jika kamu benar-benar mengenalku maka tidak akan ada penawaran itu.
Selamat tinggal, Vico. Semoga ini menjadi pertemuan terakhir kita. Berbahagialah.”
Vanesa berbalik dan berjalan tergesa menuruni tangga tapi masih dia dengar teriakan Vico di belakangnya.
“Ini bukan pertemuan terakhir, Vanesa! Aku akan berusaha mendapatkanmu.”
Tanpa mereka berdua sadari, segala perbuatan dan tingkah laku mereka di dalam kafe direkam oleh beberapa orang menggunakan handphone.
Bisik-bisik menyeruak saat pengunjung lain mengenali siapa laki-laki tampan yang terlibat perselisihan dengan wanita cantik di dalam kafe.
Mengabaikan tatapan tajam dan menyelidik yang tertuju ke arahnya. Vico terduduk di kursi dan meneguk habis kopinya.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment