Cinta Tiga Hati
part 12
Mili dan Vanesa, dua bersaudara yang terpaut usia hampir tiga tahun.
Mili sang kakak, terlahir dengan kondisi lemah dan sering jatuh sakit, kata dokter dia mengidap penyakit bawaan lemah jantung.
Berbanding terbalik dengan Vanesa yang tumbuh sehat, tomboy dan aktif meski sifatnya terkenal judes.
Vanesa sering diminta oleh orang tuanya untuk melindungi Mili.
Jangan sampai membiarkannya diganggu oleh teman-teman sebaya mereka yang usil.
Sering kali, demi membela sang kakak, Vanesa bertengkar dengan orang lain.
Bahkan pernah suatu hari, saat usinya menginjak delapan tahun, dia pulang dalam keadaan terluka, giginya tanggal satu.
Saat ditanya oleh mamanya apa yang terjadi?
Dia mengatakan dengan berang, seorang anak laki-laki mengganggu Mili hingga menangis ketakutan dan Vanesa nekad menghajarnya.
Meski pada akhirnya dia yang lebih banyak terluka.
“Kamu hebat, Sayang,” ucap sang papa dengan bangga.
“Kamu menjaga Kakakmu dengan sangat baik.”
Sementara di sampingnya Mili tampak pucat.
Malam harinya bukan dia yang terkena demam tapi Mili.
Saat usia remaja, kecantikan Vanesa banyak membuat para laki-laki seusianya naksir.
Mereka berlomba untuk merebut perhatian Vanesa.
Sayangnya, Vanesa hanya memikirkan belajar dan bagaimana menjaga kakaknya.
Mereka masuk di SMA yang sama, Vanesa kelas satu dan Mili kelas tiga.
Terjadi sesuatu yang membuat keduanya bertengkar hebat untuk pertama kalinya.
Seorang ketua OSIS bernama Reza, mendekati Mili dan membuatnya jatuh cinta.
Sayangnya, secara bersamaan Reza juga merayu Vanesa.
Saat Mili mengetahui hal itu, dia mengomeli adiknya.
“Kamu harusnya tahu dia menyukaiku, Vanes.
Bagaimana mungkin kamu merebutnya dariku?”
Mili berkata dengan tangan bersendekap di pintu kamar adiknya.
Kemarahan terpeta jelas di wajahnya
“Vanes nggak merebut, Kak.
Aku cuma mau ngasih lihat Kakak kalau dia bukan cowok yang baik.
Banyak pacarnya di luaran,” sanggah Vanesa.
“Halah, omong kosong, bilang saja kamu iri!” Mili mengentakkan kaki ke tanah dan memandang Vanesa dengan sengit.
Akhirnya mereka tidak berbicara satu sama lain selama seminggu, hingga suatu malam papanya masuk ke dalam kamar dan mengatakan sesuatu yang masih dia ingat sampai sekarang.
“Kakakmu itu penyakitan, Vanes. Jika kita salah sedikit saja dalam merawatnya maka nyawa dia akan melayang.
Papa mohon kamu untuk lebih banyak mengalah.
Kamu cantik, sehat dan kuat.
Bisa mendapatkan siapa pun yang kamu mau tapi dia tidak.”
Setelahnya, Vanesa menutup diri dari pergaulan yang melibatkan kakaknya.
Dia menjauhi Reza atau siapa pun cowok yang mendekatinya.
Dia dan Mili kembali akur tapi Vanesa diam-diam merasa lelah karena selalu mengalah demi Mili.
Dia pun merasa jika ke dua orang tuanya tidak pernah berlaku adil padanya.
Memasuki jenjang perguruan tinggi, Vanesa memilih untuk kuliah di luar kota.
Demi dirinya sendiri. Seluruh keluarganya menentang tapi dia bertekad kuat untuk menjauh dari bayang-bayang Mili.
Siapa sangka, takdir cinta mereka justru tertuju pada laki-laki yang sama.
Ronald yang tampan, tinggi dan baik hati.
Saat melihat Ronald pertama kali datang mengantarkan Mili ke rumah, Vanesa tahu jika pupus sudah harapannya untuk memiliki orang yang dia cintai.
Ketakutannya menjadi kenyataan saat suatu hari Mili mendatanginya dengan wajah memelas tapi terlihat bahagia.
“Aku hamil, Vanes. Bisa kamu bayangkan betapa bahagianya aku?”
“Tapi kalian belum menikah?” sanggah Vanes tidak percaya.
“Itu tidak penting, dengan ini Ronald akan menjadi milikku,” ucap Mili dengan wajah berseri-seri sambil mengelus perutnya yang rata.
“Aku hamil, Vanes.”
****
Vanesa terbangun tiba-tiba dari tidurnya.
Cahaya matahari masuk perlahan melalu gorden jendela yang sedikit terbuka.
Dia mengerjabkan mata mencoba mengusir rasa kantuk yang masih melekat di sana.
Tadi malam, mimpinya penuh dengan Mili dan kenangan mereka.
Mungkin penyebabnya adalah pembicaraan tentang Mili yang dia lakukan kemarin dengan Ronald.
Percakapan yang membangkitkan kenangan pahit dalam dirinya.
Perasaan mual mendadak menyergap dirinya.
Dengan buru-buru dia bangun dan meraih teko air di samping tempat tidur.
Minum segelas air putih membuat perutnya sedikit membaik.
Samar-samar dia mendengar celoteh bayi dari luar kamarnya.
Vanesa mendengarkan dengan seksama hanya untuk memastikan dia tidak salah dengar.
Ternyata memang dia tidak salah, itu suara Sean.
Setelah merapikan tempat tidur, berganti baju dan membersihkan dirinya di kamar mandi, dia melangkah menuju ruang depan.
Matanya terpaku pada pemandangan di depannya. Ronald memangku Sean dan tampak sabar menyuapi anaknya dengan bubur.
Sean sendiri terlihat makan dengan tenang meski kadang-kadang memberontak dan membuat mulutnya belepotan bubur.
Hati Vanesa menghangat, bukankah terlihat mengagumkan bagaiamana laki-laki bersifat keras seperti Ronald mampu menjaga seorang bayi dengan baik.
“Hai, Mama sudah bangun,” sapa Ronald ramah saat melihat Vanesa termangu di pintu dapur dengan Sean tertawa di pangkuannya.
Tidak kuasa menahan diri, Vanesa menghampiri mereka dan mengambil alih Sean ke dalam gendongannya.
“Anak Mama sudah pulang rupanya. Aduuh, imut-imut ihh.”
Sean terkikik dalam gendongannya Vanesa. Ronald tersenyum dan bangkit dari kursi.
Mencuci peralatan makan anak laki-lakinya.
Dia tidak pernah malu melakukan pekerjaan rumah tangga kecil-kecil.
Seingat Ronald mereka jarang mengobrol di minggu pagi yang damai seperti ini.
“Mau ngopi atau sarapan yang lain?” tanyanya pada Vanesa yang masih sibuk menggelitik Sean.
“Kopi aja, pingin yang pakai susu.”
Kopi susu panas mengepul dalam mug putih disodorkan Ronald ke hadapannya.
Vanesa bisa mencium aroma kopi bercampur susu yang wangi.
“Sarapan apa?”
Vanesa menggeleng. Dia sudah terbiasa saat pagi hanya diisi kopi.
Di atas meja dia lihat ada setangkup roti panggang.
Mungkin nanti dia akan memakan beberapa untuk mengganjal perut.
Vanesa meletakkan Sean ke dalam baby walker dan membiarkanya bebas kesana-sini, berkeliling dapur dan berceloteh.
“Mama menanyakan kabarmu saat semalam kami menginap di rumah tanpa kamu. Bertanya apakah kita bertengkar atau semacamnya.”
Ronald membuka percakapan.
Duduk di seberang Vanesa dan memandang istrinya yang terlihat cantik dengan gaun rumah warna kuning gading.
Dari dulu Vanesa memang selalu terlihat keren dengan apapun yang dia pakai.
“Trus, kamu jawab apa, Kak?” Vanesa bertanya sambil meneguk kopi dari mug-nya.
“Kubilang kamu lagi nggak enak badan dan takut Sean tertular.”
Vanesa mengangguk. “Makasih, nanti aku telepon Mama.”
Hening, tidak ada percakapan.
Keduanya sama-sama terdiam sambil sesekali saling melirik.
Vanesa menghela napas dan diam-diam memperhatikan pria yang kini sudah menjadi suaminya. Pria yang dulu pernah dia cintai tapi nasib berkata lain.
Celoteh Sean terdengar nyaring di dalam rumah yang sunyi.
Terkadang terdengar suara kendaraan yang melewati jalanan selain itu tidak ada bebunyian lain.
Mendadak Vanesa teringat sesuatu. “Kak, aku sudah tidak bekerja lagi.”
Ronald memandangnya lurus. “Aku sudah tahu.”
Jawaban Ronald membuat Vanesa terperangah.
“Bagaimana kamu tahu?
Aku nggak pernah cerita.”
Ronald menggendikkan bahu dan dengan dagu dia menunjuk ke arah rak gantung di dapur.
“Di dalam rak penuh dengan bungkusan, plastik mika dan segala macam cetakan kue.
Lalu aku mengamati tingkah lakumu dan juga jam kerja yang mulai tidak biasa.
Terakhir aku sempat melihat seorang ibu-ibu datang mengambil kue dalam kotak besar.
Jadi aku menyimpulkan sendiri.
Sengaja tidak bertanya karena aku ingin kamu mengatakannya sendiri.”
Vanesa tersenyum kecut, selama ini dia salah telah meragukan kemampuan Ronald dalam menganalisa keadaan.
Jika tidak hebat daya pikir dan kejeliaannya dalam mengamati tentu dia tidak akan menjadi direktur.
“Aku tidak ngomong karena nggak mau kamu bilang, Sean adalah beban untukku.” Vanesa menatap Sean yang sekarang memainkan alat musik di baby walkernya. Terlihat lucu dan menggemaskan.
“Aku mencintai Sean dan buatku dia lebih penting dari apa pun.”
Ronald mengangguk. “Paham, jika memang itu mau kamu, aku mendukung segala yang kamu lakukan.”
“Lagi pula, Vanes. Kamu tahu kan jika aku mentransfer uang gajiku tiap bulan ke rekeningmu?
Itu bisa kamu gunakan untuk apa pun yang kamu mau, hak-mu sepenuhmu.”
Vanesa mengangguk. “Terima kasih, aku tahu, Kak.”
“Kalau memang kamu berminat, bisa kamu gunakan untuk membuka toko kue dan memperkejakan ibu-ibu rumah tangga dari keluarga kurang mampu untuk mendapatkan tambahan penghasilan.”
“Iyaa, nanti aku pikirkan.”
Vanesa meneguk kopi di mug secara perlahan dan Ronald sibuk dengan roti panggang. Mengolesi roti dengan mentega dan memotongnya menjadi kotak-kotak kecil lalu menyorongkannya ke arah Vanesa.
“Perihal percakapan kemarin, aku tidak memaksa kamu mempercayaiku sepenuhnya tapi bisakah kamu membantuku untuk mencari kebenaran agar tidak ada salah paham di antara kita lagi?” ucap Ronald pelan sambil mengunyah roti bagiannya.
Vanesa mengangguk.
“Aku akan bertanya pada Papaku tapi nanti.
Saat ini kondisi tubuhnya sedang tidak stabil.
Setelah kematian Mili, dia sering sakit-sakitan.”
Ronald mengangguk paham lalu bangkit dari kursi dan berjalan menuju kamarnya.
Kembali lagi dengan dua buah tiket di tangannya.
“Seorang teman lama mengundang kita ke acara ulang tahun anaknya di mall.
Apa kamu bisa? Pergi bersamaku dan Sean nanti sore?”
Vanesa meraih tiket dari tangan Ronald dan membacanya.
Sudah lama dia tidak bersenang-senang saat hari minggu.
Selama ini hari libur dia sibukkan dengan menulis laporan.
Apa salahnya sedikit mencari hiburan sekaligus menyenangkan anaknya?
“Baiklah, kita pergi, Kak.”
Senyum merekah di wajah Ronald.
Perasaan bahagia membuncah di dadanya.
Dia senang hari ini percakapan dengan istrinya berjalan lancar tanpa saling menghindar atau berdebat.
Meski masih kaku setidaknya dia menyimpan harapan jika suatu saat istrinya akan membuka hati untuknya. Rasanya sudah lama sekali dia tidak pernah berbincang lama dengan Vanesa. Lama setelah kehadiran Mili di antara mereka.
****
Pesta yang mereka datangi tidak seperti dugaan Vanesa.
Dalam pikirannya adalah pesta privat yang hanya dihadiri keluarga mengingat yang berulang tahu baru berumur tiga tahun.
Tamu yang datang ke acara ulang tahun sangat banyak.
Vanesa berdecak kagum bagaimana mereka menyewa satu restoran jepang untuk tempat mengadakan pesta.
Sepasang suami istri berwajah rupawan menyambut mereka.
Sang suami bernama Devian Hanggoro adalah direktur dari sebuah perusahaan textile dan istrinya Clarissa, seorang dokter anak.
Bisa Vanesa rasakan mereka adalah orang yang ramah dan tidak sombong.
“Bro, apa kabar?
Sudah lama sekali tidak berjumpa.
Terima kasih sudah mau datang ke acara anakku.”
Devian menyapa Ronald dengan suara baritonnya dan keduanya saling berpelukan.
Jika diperhatikan tinggi mereka nyaris sama.
Pun dengan bentuk tubuh. Yang membedakan Devian berpotongan rambut yang rapi sedangkan Ronald tampak santai dengan rambut panjangnya yang dikuncir.
“Pak Direktur, sudah hampir dua tahun tidak bertemu.” Ronald menepuk-nepuk pundak Devian.
“Terakhir bertemu saat Nicholas baru lahir dan kamu ke RS untuk menjenguk.”
“Sudah lama ternyata,” jawab Ronald.
“Sekarang Nicholas sudah berulang tahun ke tiga?”
Devian tertawa, menampakan kerutan di ujung matanya yang entah bagaimana terlihat makin menambah ketampanannya.
“Kenalkan ini istriku, Clarissa,” ucap Devian ramah ke arah Vanesa yang menggendong Sean.
“Jika tidak salah kamu adalah Vanesa?”
Vanesa mengangguk. Istri Devian, Clarissa adalah seorang ibu yang terlihat masih sangat muda.
Rambutnya yang lurus tergerai indah, Vanesa menyukai wajahnya yang imut meski sudah bersuami dan punya momongan.
Clarissa menghampiri dan mencium pipinya setelah itu mengangkat tangan untuk menggendong Sean.
“Hai, senang berkenalan denganmu Vanes.
Mari kita duduk di dalam dan biarkan suami-suami kita mengobrolkan masa lalu.”
Clarissa menggandeng tangan Vanesa dan membawanya masuk ke dalam restoran yang sudah penuh dengan anak-anak beserta para orang tua mereka.
Dia diajak berkeliling untuk diperkenalkan pada keluarga Clarissa.
Ada papa dan mama Clarissa, kakek Devian yang terlihat sehat meski sudah tua dan satu yang menarik minat Vanesa adalah kakak Clarissa yang terlihat luar biasa cantik bernama Clara yang bersuamikan bule. Mereka semua sangat ramah padanya.
Acara berlangsung sampai malam.
Sepanjang acara berlangsung Ronald selalu berada di sisi Vanesa.
Memeluk punggungnya, menggenggam tangan dan sering kali mengelus rambut Vanesa.
Sama sekali tidak malu untuk memperlihatkan kemesraan.
Vanesa yang semula merasa enggan akhirnya terbiasa.
Dan membiarkan Ronald menyayanginya.
Meski dalam hati dia sering kali bertanya, apakah yang dilakukan Ronald benar berasal dari lubuk hati terdalam ataukah sekedar sandiwara karena mereka berada di tengah orang banyak.
Devian dan Clarissa adalah pasangan harmonis.
Terlihat dari cara keduanya berpandangan ada cinta yang selalu berpendar di sana. Terkadang cara mereka saling menyapa membuat Vanesa iri.
Seandainya saja dia bisa seperti mereka.
“Apakah kamu capek?” tanya Ronald saat mereka di dalam mobil menuju rumah.
Sean yang kelelahn tertidur di kursinya di jok tengah.
Sementara Vanesa menyandarkan kepalanya pada kursi.
“Uhm, lumayan tapi aku senang bertemu Devian dan Clarissa.
Mereka pasangan yang canggih.”
Ronald tertawa. Kata canggih sungguh aneh didengar tapi dia mengerti maksud istrinya.
“Mereka menikah juga karena salah paham dan perjodohan.
Awalnya Devian justru dijodohkan dengan Clara, malah sekarang menjadi suami Clarissa.”
“Benarkah?” tanya Vanesa tertarik.
“Iya, Clarissa yang anak SMA waktu itu membohongi dan memikat Devian habis-habisnya.
Membuat lelaki tua itu tak berkutik,” ucap Ronald dengan mulut tersenyum geli.
“Jodoh memang aneh,” gumam Vanesa sambil memandang jalanan melalu kaca mobil di samping tempat duduknya.
“Iya, memang aneh.”
"Di mana kamu mengenal mereka?" tanya Vanesa tertarik.
"Sebenarnya aku kenal Devian lebih dulu di sebuah seminar untuk para pengusaha muda. Baru kemudian mengenal istri dan keluarganya yang lain."
Keduanya kembali terdiam. Vanesa tanpa sadar mendesah dan mengakui jika Tuhan menjodohkan manusia memang dengan cara tak terduga.
Tidak peduli berapa kuat kita mengejar jika bukan jodoh tetap saja akan terpisah. Ronald dan Mili adalah buktinya.
Lalu bagaimana dengan dia?
Apakah benar jodohnya Ronald atau orang lain, Vico misalnya?
Itu rahasia Tuhan yang tidak dapat dia tebak.
Satu yang pasti, Vanesa bertekad untuk menjauh dari Vico, bukan demi Ronald tapi demi dirinya sendiri.
“Kita sudah sampai.”
Vanesa tersadar dari lamunannya.
Dia melepas sabuk pengaman dan membuka pintu.
Menghampiri Sean yang berada di kursi tengah.
Dengan perlahan menggendongnya.
Dia membiarkan Ronald yang membuka pintu dan menyalakan lampu.
Hati-hati Vanesa meletakkan Sean di atas tempat tidur.
Nanti malam pasti dia bangun dan Vanesa akan mengganti baju dan popoknya juga mengelap badannya. Nanti saja, sekarang kasihan jika dibangunkan.
Siapa sangka Ronald menunggunya di depan pintu kamar Sean dan meraih tangannya saat dia hendak keluar.
“Kak, ada apa?” tanya Vanesa bingung.
Ronald tidak menjawab, hanya berdiri sambil memandang istrinya.
Secara perlahan tangannya terangkat ke arah rambut Vanesa dan mulai merapikan anak rambutnya yang berantakan.
“Terima kasih, Vanes. Untuk hari ini, sudah bersedia menjadi istri dan Mama Sean.”
“Kak, jangan berterima kasih. Sudah seharusnya.”
Tidak kuasa menahan perasaan, Ronald memeluk Vanesa erat.
Mengelus punggung istrinya dengan pelan.
Vanesa yang semula terdiam karena kaget, perlahan mengangkat tangan dan memberi punggung Ronald dengan sentuhan ringan.
Rasanya sudah lama sekali dia tidak memeluk punggung kokoh yang dulu adalah tempat bersandarnya.
Bahkan sampai sekarang dia tidak bisa melupakan aroma parfum Ronald yang bercampur rokok.
Sexy dan menggoda.
Mungkin karena ingatan masa lalu, bisa jadi karena perasaan yang tertahan setelah sekian lama.
Sentuhan ringan sang istri di punggungnya membangkitkan sesuatu dalam diri Ronald.
Dengan perlahan dia melepaskan pelukan pada tubuh Vanesa. Menimbang sejenak dan meraih dagu wanita di hadapannya.
Ragu-ragu dia menyentuh bibir Vanesa dengan bibirnya.
Sebuah sentuhan yang ringan.
Vanesa terkesiap sejenak dan pandangan mereka saling mengunci.
Entah siapa yang memulai lebih dulu mereka saling melumat dengan mesra.
Bersambung
No comments:
Post a Comment