CINTA TIGA HATI
Part 11
Adakah yang lebih sendu dari cinta yang melahap hatimu?
Kenangan cinta dengan rasa duka yang bercampur air mata dan mengoyak jiwa.
Adakah yang lebih pilu dari rasa mengalah yang membunuh kalbu?
Merelakan orang yang kau cintai agar bersanding dengan kakakmu sendiri.
Vanesa memantut diri di depan cermin.
Dia meraba dadanya yang sesak, mengerjap dan mencoba mengusir bulir-bulir air mata yang meluncur turun tak tertahankan.
Dia memandang bayangannya yang terlihat samar.
Seorang diri mematung di depan cermin. Kebaya biru yang dipakai membalut tubuh moleknya dengan dengan pas, sayang wajahnya pucat dengan mata merah.
Vanesa tidak menyadari dirinya diperhatikan dari pintu kamarnya yang terbuka.
“Vanes?”
Suara teguran membuatnya tersentak. Dia menoleh dan melihat Ronald berdiri memandangnya tak bergeming.
Terlihat tampan tapi berwajah muram dalam balutan baju pengantin warna putih.
“Mau apa kamu, Kak.
Untuk apa kemari? Sebentar lagi akad nikahmu dimulai.”
Ronald melangkah maju. Terdiam dalam jarak lima langkah di belakang Vanesa.
Tangannya terulur seperti hendak meraih pundak gadis di depannya.
“Pergilah, Kak!”
“Vanes, masih ada waktu?”
“Tidaaak … nggak akan ada yang berubah.
Please, pergi dari sini. Menjauhlah dari kamarku.”
Vanesa tidak dapat menahan isak tangisnya.
Sementara di belakangnya, Ronald memejamkan mata.
Mencoba menahan perasaan sakit yang diam-diam menggerogoti hatinya.
Melihat Vanesa menangis seperti ada pisau tajam yang ditusukkan ke jantung hatinya.
Niat dalam hatinya adalah merengkuh Vanesa dan membawanya lari dari sini.
Lari dari kenyataan yang menghimpit mereka.
Suara wanita terdengar memanggil nama Ronald.
Mereka menoleh dan melihat mama Ronald memandang mereka heran.
“Sedang apa kalian di sini?” tanya sang mama dengan heran.
Melihat Vanesa yang berlinang air mata dan anak laki-lakinya yang tampak seperti kesakitan.
“Nggak ada apa-apa, Ma. Yuuk, kita keluar.” Ronald berbalik dan merangkul mamanya. Untuk sejenak Bu Gayatri seperti menaruh kecurigaan pada sikap mereka.
“Vanesa, kamu baik-baik saja, Nak?” tanya Bu Gayatri dengan kuatir.
Vanesa mengangguk, mengusap air mata dengan ujung jarinya..
“Iya, Ma. Saya baik-baik saja. Mungkin karena terharu.”
“Ayo, Ma. Kita keluar,” ajak Ronald sekali lagi.
Mengalihkan perhatian mamanya dari Vanesa.
Vanesa memandang Ronald yang menggandeng tangan mamanya.
Menghapus air mata di pipi dan kembali memoles wajahnya dengan bedak.
Dia harus kuat menghadapi hari ini. Demi kakaknya, demi keluarganya.
Sejam kemudian saat kakaknya resmi menjadi istri Ronald.
Jiwa Vanesa bagai direnggut lepas dari raga.
Sakit.
Hancur berkeping-keping.
Dengan hati berdarah, Vanesa melihat senyum bahagia Mili bersama kekasihnya, Ronald
Vanesa memincingkan mata dan bersandar pada pintu kamar dengan lelah.
Ingatan tentang hari pernikahan Mili dan Ronald bagai memori segar yang baru kemarin terjadi.
Bukankah seharusnya dia bisa melupakan hari itu?
Bukankah sekarang Ronald menjadi suaminya?
Entah kenapa rasa sakit masih terbayang saat dia teringat hari di mana dia merasa sangat patah hati dan tak berguna.
“Vanes, keluar!” Ronald mengetuk-ngetuk pintu dengan tidak sabar.
Vanesa mendiamkannya.
“Vanesa, buka pintu.
Kalau kamu nggak buka, aku dobrak pintunya!” ancam Ronald dengan suara yang terdengar geram.
Vanesa membuka mata dan membalikkan tubuhnya.
“Pergilah, Kak!
Aku ingin sendiri!”
Ketukan makin nyaring, Ronald bahkan nyaris menggedor.
Vanesa menutup telinga dan menggeleng cepat.
“Buka, Vanesa! Banyak hal yang ingin aku jelaskan.
Kita bicara baik-baik. Jika kamu nggak mau buka, aku akan dobrak pintunya!”
Vanesa bergeming di tempatnya dengan tangan masih menutup ke dua telinga.
Dia merasa bingung dan gamang.
Tadi Vico dan kekesalannya lalu Ronald dengan kemarahannya.
Semua yang terjadi di sekelilingnya membuatnya muak.
Orang-orang dengan seenaknya menumpahkan rasa marah mereka padanya.
Apakah mereka tidak melihat jika dia juga korban keadaan yang tidak bisa diajak kompromi.
“Kuhitung sampai tiga.
Vanes. Mundur kamu dari pintu!” Suara Ronald terdengar lebih mengancam.
“Satu, dua ….”
Belum sampai kata tiga terucap, Vanesa menyentakkan pintu terbuka.
Memandang dengan pandangan membara ke arah Ronald yang sedang mengangkat kursi di atas kepalanya.
“Apa kamu mau mendobrak pintu?
Dengan itu?” tunjuknya pada kursi yang terlihat mengancam di tangan Ronald.
“Iya, jika terpaksa. Kalau kamu masih terus mengacuhkanku.” Ronald menjawab pelan.
Menurunkan kursi dan meletakkan kembali di sudut ruangan.
Vanesa berjalan lurus ke arah dapur dan mengabaikan suaminya.
Mengambil botol berisi air dingin dari dalam kulkas dan meneguk langsung dari botol.
Ronald mengernyitkan dahi melihat Vanesa minum seperti orang yang sangat kehausan.
Setelah meneguk hampir setengah botol lalu membanting di atas meja dan memandang Ronald dengan galak.
“Apa maumu, Kak?
Kamu marah karena Vico?
Jangan bilang kalau kamu cemburu.”
“Aku memang cemburu!” teriak Ronald.
Tangannya mengetuk meja makan dengan keras.
“Dia tahu kamu istriku tapi sengaja di depan orang banyak menyentuhmu.
Apa maksudnya sih?
Apa dia begitu mencintaimu hingga bersikap tolol!”
Vanesa mendengkus lalu tertawa mengejek.
“Kamu nggak usah mengkritik aku, Kak.
Bagaimana dengan Natali. Aku lihat kamu juga senang saat dia bersandar di bahumu.”
“Natali hanya teman, bukan apa-apaku,” sanggah Ronald.
Dia memutari meja berusaha meraih Vanesa tapi sayangnya, istrinya bergerak menjauh ke arah jendela.
“Teman terlalu istimewa hingga saat pesta pun kalian sempat berbagi perasaan?”
Ronald mengatupkan mulutnya.
Memandang Vanesa yang berdiri di dekat jendela.
Tanpa sadar membatin jika istrinya terlihat anggun, dingin dan tak terjangkau.
Dia memijat pelipisnya sebelum berkata dengan pelan.
“Vanesa, aku hanya menganggapnya teman biasa. Tidak lebih!”
“Dia tidak begitu, Kak. Dan dirimu tahu persis itu,” sela Vanes tanpa mengalihkan pandangannya.
“Baiklah, mulai sekarang aku akan menjauhi Natali tapi bisa nggak kamu juga menjauhi Vico?
Demi rumah tangga kita?”
Vanesa melirik sekilas pada Ronald.
Mengelus alis dan pandangannya beralih pada baju pesta yang masih dia pakai. Dengan kehebohan yang terjadi sekarang, dia lupa mengganti baju.
“Kita tidak benar-benar berumah tangga, Kak,” jawabnya pelan.
“Tidak, aku menganggap kita beneran satu keluarga.
Persetan dengan perjanjian dua tahu yang dulu kamu buat.”
Vanesa melirik Ronald. “Sadarkah apa yang kamu katakan terdengar sangat egois?”
“Vanes.”
“Kamu menikahi Mili lalu sekarang aku.
Terus kamu mengharap kita beneran berumah tangga?
Enaaaak sekali jadi laki-laki, ya?”
Vanesa tertawa histeris. “Sekali tepuk dapat dua lalat, begitu, Kak?”
Ronald mendesah, menarik kursi dan duduk dengan memijat pelipisnya.
Mendadak kepalanya terasa sangat sakit.
Pertengkaran dengan istrinya, kemarahan yang meluap-lupa bagaikan membakar hati.
Dia tidak pernah ingin membentak apalagi marah dengan Vanesa tapi rasa cemburu mengalahkan akal sehat.
“Aku akui aku salah soal Vico tapi Mili.
Kamu juga yang mendorongku untuk menikahinya.
Kamu yang menolakku, ingat itu Vanesa?”
“Itu karena ….” Suara Vanesa menghilang di tenggorokannya.
“Karena apa? Ayo, katakan!
Dari dulu aku selalu penasaran sama alasan kamu menyuruhku menikahi Mili.
Asal tahu saja, aku menolak Mili di hari aku tahu dia adalah Kakakmu!”
Vanesa menoleh cepat. “Apa? Kamu menolaknya?”
“Iyaa, dia pulang dengan wajah penuh air mata.
Kukatan terusa terang padanya jika aku mencintai wanita lain dan tak lama kemudian dia masuk rumah sakit, kan?”
Vanesa memejam mata, mencoba menggali ingatannya tentang hari itu.
Saat dia baru pulang bekerja dan mendapati Mili terbaring lemah di atas ranjang.
Tidak mau makan dan enggan keluar kamar.
Hingga akhirnya kondisinya melemah dan keluarganya membawanya ke RS.
Seminggu setelah Mili ke luar dari RS, rencana pertunangannya dengan Ronald digelar. Mengabaikan Vanesa yang patah hati, Mili mengatakan sesuatu yang membuatnya yakin untuk mengakhir hubungannya dengan Ronald.
“Tetap saja, kamu menikahinya, Kak.”
“Itu karena desakan dari berbagai pihak dan terutama kamu!
Kalian mendikte perasaanku, membuatku harus menikahi wanita yang tidak kucinta.”
“Kalian? Siapa kalian, Kak?” tanya Vanesa heran.
Ronald menggertakan gigi.
Menghela napas kasar dan membuangnya. Ingin memukul meja untuk melepaskan kekesalannya.
“Kamu dan Papamu,” jawabnya lemah.
“Apa?
Papaku?”
Ronald mengangguk dan duduk terdiam di kursinya.
Vanesa bergerak dan menekan meja di seberang Ronald.
Matanya menatap Ronald dengan berapi-api.
Dia merasakan hatinya panas. Bisa-bisanya Ronald menjelek-jelekan kakak dan papanya?
“Jangan menyalahkan Papaku, Kak.
Kalau kamu tidak menghamili Kak Mili nggak akan mungkin dia memintamu menikahi Kakakku!”
“Apa?
Apa yang kamu katakan Vanesa?” Ronald bertanya bingung.
Vanesa mendadak tersadar dia suka kelepasan omong.
Dia menutup mulut dengan tangan. Wajahnya memucat.
“Itu-ituuu ….”
“Dari mana kamu dapat pemikiran sepertri itu, ayo. Katakan!”
Tanpa disadari oleh Vanesa, Ronald sudah berada di depannya dengan wajah merah padam.
“Memang begitu kenyataannya, kan?
Suatu hari Mili datang ke kamarku.
Mengatakan dengan wajah bahagia jika dia telah hamil. Anakmu.”
Ronald mundur dua langkah, menatap Vanesa .
Apa yang baru saja dikatakan Vanesa benar-benar melukai hatinya. Dia?
Menghamili Mili?
“Dan kamu percaya begitu saja yang dia katakan?” tanya Ronald lemah.
Masih terlalu kaget untuk bicara.
“Iya, aku percaya karena dia---.”
“---Kakakmu!
Kamu lebih mempercayainya dari pada aku, begitu kan?
Jadi kamu enggan mencari tahu lebih dalam dan menimpakan semua kesalahan padaku.
Dengan gagah berani datang ke rumahku dan mengatakan dengan lantang ;
Kamu harus menikahi, Mili!”
Ronald terdiam. Menyandarkan kepalanya pada tembok di samping Vanesa.
Vanesa menjawab gugup karena kemarahan Ronald mengusiknya.
“Bukankah itu yang seharusnya dilakukan?
Menikahi Mili karena dia ….”
“Aku tidak pernah menyentuhnya!” teriak Ronald dengan berapi-api.
“Demi Allah aku tidak pernah menidurinya.
Kita pernah pacaran dua tahun, apa kamu pikir aku jenis lelaki seperti itu?
Memacari dan meniduri gadis-gadis?”
Teriakan Ronald membuat Vanesa kaget.
“Taaa-tapi, dia mengatakan hamil.”
“Vanesa, Mili bohong padamu.
Apa kau dengar?
Kamu tahu jika Papamu pernah mendatangiku di kantor?
Untuk apa? Agar aku menikahi Mili!”
Ronald mundur dua langkah, mengambil rokok di atas meja dan menyalakannya lalu menghisap kuat-kuat.
Karena ketergesaan, dia terbatuk dengan hebat.
Asap putih berputar-putar di wajahnya yang sekarang tampak pucat.
Vanesa mengamati Ronald yang terlihat kesakitan.
Melangkah menuju teko air dan menuangkan segelas air dan menyodorkannya pada Ronald yang masih terbatuk.
Ronald mengambil air dari tangan Vanesa dan meneguknya perlahan.
Lalu duduk dengan tangan masih memegang rokok.
“Aku ingat hari itu.
Suatu sore yang mendung. Seorang laki-laki tua mencariku di kantor.
Dengan wajah yang lelah dia mendatangiku.
Saat kutanya apa maksud kedatangannya, dia menangis dan meminta agar aku menyelamatkan anak perempuannya.
Mili sekarat dan akan terus memburuk jika aku terus menerus menolaknya.
Bisa kau bayangkan apa perasaanku waktu itu?” Ronald mendesah.
“Seorang Papa yang menitikkan air mata di depan laki-laki demi putrinya?
Jika kau tak percaya pada apa yang aku katakan, coba tanya Papamu.”
Curahan hati Ronald menggores Vanesa.
Dia sama sekali tidak tahu sebelumnya masalah papanya yang menemui Ronald.
“Tidak lama kemudian, ganti kamu yang memohon padaku.
Ingat hari itu, Vanes?
Bukan rasa marah yang kudapatkan darimu tapi permintaan dan pernyataan tegas jika aku harus menikahi, Mili?”
Vanesa terduduk di kursi, tepat di hadapan Ronald yang sekarang menunduk sambil menghisap rokoknya.
Mereka tidak bicara untuk beberapa saat.
“Jadi? Apakah Kakakku bohong?”
Ronald tidak menjawab.
Diam-diam melirik istrinya yang wajahnya memucat.
Sungguh kasihan melihatnya kaget karena menerima informasi sebanyak ini.
Dia pun tidak akan membuka rahasia papa mereka jika bukan karena tuduhan Vanesa.
“Kamu tahu kenapa setelah menikah hampir tiga tahun kami baru punya anak?
Karena selama itu aku tidak pernah menyentuhnya.
Menggunakan alasan tubuhnya yang sakit-sakitan, kami tidur di kamar terpisah.
Semua materi memang aku berikan tapi tidak itu.
Suatu malam, Mili datang ke kamarku dengan menangis.
Memohon agar aku mencintainya.
Memperlakukannya benar-benar sebagai istri.
Akhirnya, Sean pun lahir.”
“Tapi, dia pernah mengatakan padaku bahwa dia keguguran.”
Ronald menggeleng.
“Tidak pernah ada anak sebelum pernikahan.
Jika dia pernah sakit waktu itu karena dia kelelahan kerja terus menerus, itu saja. Bukan karena keguguran.”
Ronald menangkup tangan Vanesa di atas meja.
Mencoba menggenggam dan membelai bagian dalam tanganya.
Vanesa tidak menarik tangannya kali ini, membiarkan Ronald menggenggamnya.
“Jika kamu tak percaya, aku bisa membawamu ke dokter kandungan langganan kami. Dia akan membantumu menjelaskan apakah Mili mengandung untuk pertama kali atau tidak.”
Mereka bertatapan, Ronald memahami Vanesa yang kebingungan.
Dia yang selama ini selalu membela dan melindungi kakaknya justru adalah orang yang paling terluka karenanya.
“Aku selalu mencintaimu, Vanesa. Mili tahu itu.
Apakah menurutmu, Papamu akan membiarkanku hidup jika dia tahu aku menodai anak gadis kesayangannya?”
Vanesa tidak menjawab.
Membiarkan Ronald menggenggam tangannya.
Dia terlalu bingung, terlalu kaget untuk berkata-kata.
Kemana dia selama ini?
Kenapa dia baru tahu hal penting setelah kakaknya meninggal?
“Aku mengatakan ini tidak ada maksud untuk menjelek-jelekkan Mili.
Bagaimana pun dia istriku dan karena dia aku punya Sean.
Ini aku katakana hanya untuk membuka hatimu pada kebenaran, Vanes.”
Menjelang malam, Ronald berpamitan akan ke rumah orang tuanya dan menginap di sana untuk menemani Sean.
Vanesa tahu, jika Ronald sedang memberinya waktu untuk berpikir.
Rasanya bagaikan berdiri di atas pijakan yang retak.
Jika orang yang paling kau sayangi membohongimu.
Vanesa bahkan tidak tahu siapa yang harus dia percayai sekarang.
Papanya, almarhum Mili atau Ronald?
Tiga tahun lamanya dia terhempas dalam duka.
Meratapi diri dan tiba-tiba, Ronald membeberkan kenyataan yang menampar mukanya.
Sendiri, tergolek di ranjang dalam keadaan gelap.
Vanesa merenungi hidupnya.
Dulu Vico yang tidak jujur padanya, menyembunyikan identitasnya rapat-rapat lalu Mili. Vanesa menatap kegelapan dengan hati hampa.
Bersambung....
No comments:
Post a Comment