Cinta tiga hati
Part 10
Masih tajam dalam ingatan Vanesa saat pertama kali dia bertemu Vico.
Suatu sore berhujan di daerah Tebet.
Karena takut terjebak macet di jalanan Vanesa memutuskan untuk tetap tinggal di toko meski pekerjaannya telah selesai.
Meninjau dan mendengarkan masalah pemilik toko adalah salah satu tugasnya.
Apalagi toko cabang besar dengan banyak pelanggan adalah prioritas.
Toko di bilangan Tebet terhitung pemasok terbesar dari perusahaannya.
Dirinya yang sibuk memperhatikan roti di etalase dengan nampan di tangan, tidak sadar saat pintu toko terbuka.
Masuklah seorang laki-laki perlente yang membuat para pelayan wanita menahan napas. Vanesa sendiri tidak sadar sedang diperhatikan sampai terdengar suara laki-laki yang dalam menegurnya ramah.
“Maaf, Kak. Bisa bantu saya cari roti yang enak?”
Vanesa mendongak dan bertatapan mata dengan seorang laki-laki tampan.
Usia menjelang akhir dua puluhan.
Tinggi, putih dan terlihat sopan.
“Yah, Ada yang bisa dibantu, Kak?
Mau cari roti yang seperti apa?” jawab Vanesa buru-buru.
Setelah pulih dari keterkejutannya.
Di belakangnya datang dua orang cewek berseragam toko dengan senyum tersungging.
“Mari, saya bantu, Kak?” ucap salah seorang di antara mereka.
Ke duanya memandang Vico dengan penuh minat.
“Aah, boleh tidak saya dengan Kakak yang ini?” ucap Vico sambil menunjuk Vanesa.
“Ta-tapi, Kakak ini.”
“Sudah nggak apa-apa, aku yang akan melayani. Kalian bisa kembali ke tempat kalian,” ucap Vanesa menenangkan dua karyawan toko yang terlihat tidak enak hati.
Mereka tahu, Vanesa bukan pelayan toko.
Tidak seharusnya melayani pelanggan.
Keduanya mengangguk lalu meninggalkan Vanesa berdua laki-laki tampan di depannya.
Sore itu, sang lelaki membeli banyak roti.
Nyaris satu toko dia borong.
Setelah dibayar dia melakukan sesuatu yang mengejutkan bagi Vanesa.
Membagi roti kepada seluruh tukang parkir sampai satpam yang ada di komplek pertokoan.
Tidak lupa juga memberikan pada pelayan toko dan satu kantong dia sisakan untuk Vanesa.
“Jangan menolak, ijinkan aku berbagi. Hari ini ulang tahunku, “ ucapnya memelas saat Vanesa menolak pemberiannya.
Wajahnya yang tampan menggemaskan, sikap yang sopan, meluluhkan hati Vanesa.
Berawal meminta nomor handphone untuk bertukar informasi mengenai waralaba roti-Vico belakangan tahu dia adalah staf marketing-akhirnya mereka menjadi dekat satu sama lain.
Vanesa tidak begitu saja menerima cinta Vico.
Bahkan setelah pendekatan selama berbulan-bulan dilakukan Vico untuk menaklukkan hatinya.
Tidak peduli bagaimana pun caranya Vanesa menolak, Vico mengejarnya dengan sangat gencar.
Hampir setiap hari hadiah dari Vico datang untuknya.
Dari mulai bunga sampai coklat. Vanesa pernah mengatakan agar Vico menghentikan banjir hadiah untuknya tapi Vico hanya menjawab dengan tertawa.
“Jadilah kekasihku maka segala hal yang menganggumu termasuk hadiah-hadiahku akan berhenti.”
Vanesa tidak mengindahkan rayuan Vico.
Hatinya yang masih terluka karena Ronald belum siap menerima cinta yang lain.
Hingga suatu hari, Mili melahirkan anak laki-laki di suatu sore yang sejuk di bulan Ramadan.
Kondisi Mili yang sakit-sakitan tidak memungkinkannya untuk melahirkan dengan cara normal. Setelah menjalani operasi cesar akhirnya bayi laki-laki yang tampan, lahir ke dunia.
“Vanesa, aku bahagia.
Anakku dan Ronald lahir dengan selamat.
Bukankah ini membuktikan cinta kami?” ucapan Mili saat menimang bayi pertama kalinya, meluluhkan hati Vanesa.
Sementara Ronald hanya memandang dalam diam.
Sosoknya tampak tinggi menjulang berdiri di dekat meja.
Mengamati istrinya yang pucat dan Vanesa yang duduk di ranjang.
“Iya, Kak. Anakmu tampan sekali.” Vanesa mengelus rambut bayi di depannya dengan perasaan tersayat.
“Berikan dia nama, ayo, Vanes.”
Permintaan Mili membuatnya terkejut.
Dia mengalihkan pandangannya pada Ronald yang tidak mengatakan apa pun.
“Kenapa harus aku yang memberi nama? Dia anakmu, Kak. Itu ada Papanya,” tunjuk Vanesa pada Ronald.
“Tidaak, Kak Ronad juga sepakat jika kamu yang memberi nama.
Kami percaya dengan nama yang kamu pilihkan pasti bagus.
Ayo, namai bayi laki-laki yang tampan ini,” desak Mili dengan wajah bersimbah air mata.
Tak kuasa menolak keinginan kakaknya yang terlihat pucat dan lemah, Vanesa membelai rambut dan wajah bayi di pangkuan Mili.
Lalu terdiam sejenak untuk berpikir.
“Sean Ramadani yang artinya pemberian Tuhan di hari Ramadan,” ucap Vanesa pelan.
“Nama yang bagus, Sean. Anakku sayang.” Mili menangis lebih dasyat. Ronald buru-buru menghampiri dan menenangkan istrinya.
Sementara Vanesa diam-diam menyingkir.
Di balik pintu yang tertutup, bersandar pada tembok. Vanesa menahan perasaan sedihnya.
Dia tidak boleh menangis, ini adalah hari bahagia kakaknya.
Dia tidak memedulikan tatapan orang yang berlalu lalang di lorong rumah sakit.
Mereka pasti mengira, dia menangis karena sedih ada keluarga yang sakit.
Vanesa mengusap satu bulir air mata yang menetes di pipinya.
Menekan kuat-kuat perasaan iri, sedih, sakit hati dan marah yang datang bersamaan. Saat itulah handphone-nya berbunyi, ada nama Vico tertera di sana.
Ingin mengabaikan tapi dia tidak tega. Dengan gemetar Vanesa mengangkat telepon dari Vico.
“Hai, Nona cantik. Aku kangen padamu.” Suara Vico yang ceria bagaikan cambuk di hatinya.
Menarik napas panjang dan memejamkan mata, Vanesa berucap pelan.
“Vico, ayo! Kita menjalin hubungan. Aku bersedia jadi pacarmu.”
Suara sorakan dan teriakan “yes” terdengar dari Vico di seberang sana.
“I love you, Vanesa. Aku benar-benar mencintaimu!” teriak Vico histeris.
Setelah hari itu, Vico ada kapan pun dia butuh.
Berusaha sebaik mungkin untuk menjadi kekasihnya.
Padanya, Vanesa bercerita perihal Ronald dan masa lalu mereka karena berpikir suatu saat Vico pasti mengenal keluarganya dan dia tidak ingin Vico salah paham.
Meski begitu, dia tidak pernah bercerita pada siapun pun perihal Vico. Mili dan keluarga yang lain tahu dia sedang dekat dengan lelaki lain tapi tidak pernah mengenal sosoknya. Vanesa menunggu waktu yang tepat untuk mengenalkan Vico pada keluarganya.
Meski tidak sepenuhnya cinta tapi Vanesa menghargai hubungannya dengan Vico.
Dia menerima apa adanya laki-laki yang kini menjadi kekasihnya.
Vico mengaku hanya seorang pegawai pajak dengan jenjang karir yang lumayan. Vanesa mempercayainya.
Hingga suatu hari, sebuah telepon datang dan menghancurkan hubungannya dengan Vico.
Mengabarkan jika Vico bukanlah orang biasa, dia anak seorang jutawan pemilik banyak perusahaan besar di Indonesia.
Telepon dari orang yang perintahnya tidak ingin dia tentang.
Sekarang beginilah hubungan mereka. Dia menjadi istri Ronald dan Vico menjelma menjadi dirinya sendiri, putra dan pewaris seorang jutawan.
Sebuah kasta yang tidak mungkin dia sejajari.
Vanesa cukup tahu diri.
“Vanes, kamu nggak apa-apa?” suara teguran dari Ronald membuatnya terjaga dari lamunan.
“Iya, kita pulang sekarang jika kamu tidak keberatan.”
Ronald mengangkat sebelah alisnya.
“Kenapa? Apa karena kehadirannya?
Membuatmu tidak nyaman, Vanesa?”
Vanesa menghela napas panjang dan mengalihkan pandangannya ke wajah Ronald. Nada bicara Ronald yang seperti sedang cemburu membuat dirinya bingung.
Dia hanya tidak ingin terlibat masalah.
Entah bagaimana Vanesa yakin jika kehadiran Vico di sini akan menimbulkan masalah untuknya.
“Aku tidak ingin menimbulkan masalah, itu saja.”
Ronald makin mempererat pelukannya dan berbisik di atas kepala Vanesa.
“Tenang, kami akan bersikap baik di sini.
Tidak perlu melarikan diri, Sayang?”
Suara deheman membuat keduanya terlonjak.
Meski begitu, Ronald tidak melepaskan tangannya dari pundak Vanesa.
Vico bersama Natali dan Anisa berdiri di depan mereka dengan pandangan bertanya-tanya terutama Vico yang mengangkat sebelas alisnya. Wajah tampan Vico terlihat muram seperti menyimpan sesuatu.
“Pak Vico, kenalkan ini adik saya, Ronald dan istrinya, Vanesa.” Anisa mengenalkan mereka berdua dengan suara gembira yang ketara terlihat.
Vico maju mengulurkan tangan ke arah Ronald yang menjabatnya dengan sopan.
“Kita bertemu lagi, Pak Ronald,” sapa Vico yang dijawab dengan anggukan oleh Ronald.
“Apa kabar, Vanesa? Kamu terlihat cantik dengan gaun biru.”
Tidak hanya Vanesa yang terperangah mendengar pujian Vico yang terang-terangan melainkan semua yang ada di situ.
Anisa bahkan bertanya dengan keheranan yang tidak dapat disembunyikan.
“Pak Vico mengenal mereka?”
Vico mengangguk, tangannya terulur ke arah Vanesa.
Tidak terduga mencium punggung tangan Vanesa dengan sopan.
“Ronald dan Vanesa adalah teman lama.
Terutama Vanesa, aku mengenalnya jauh sebelum dia menikah dengan Ronald.”
Vanesa berdiri kaku dengan tangan masih dalam genggaman Vico.
Ingin dia menarik kembali tapi sedikit susah jika tanpa menarik perhatian dari yang lain. Ronald sepertinya mengingatkan dengan mengangguk sopan.
Akhirnya, Vico melepas tangan Vanesa walau terlihat enggan.
Anisa dan Natali seperti melihat sesuatu yang tidak biasa.
Mereka saling berpandangan.
“Ronald, Vanesa, kalian mungkin mengenal Pak Vico sebagai teman.
Sebenarnya beliau adalah calon klien kami.
Jika group Tirta melalui perwakilannya yaitu Pak Vico setuju menggunakan jasa kami sebagai konsultan keuangan maka kami resmi sebagai patner kerja.” Anisa menerangkan panjang lebar.
“Kami tidak menyangka, ternyata anak Pak Agung Tirta setampan model.” Kali ini Natali memuji dengan senyum tersungging di bibirnya.
Vanesa masih berdiri kaku dengan Ronald memeluk punggungnya.
Dia merasakan tusukan menyakitkan di ulu hati. Jika tidak teringat sedang berada di pesta, ingin rasanya dia kabur.
“Selamat datang di pesta kami, Vico.
Mudah-mudahan perusahaan Tirta Group bisa berjodoh dengan kantor konsultan kakak kami,” sapa Ronald ramah.
Vico tidak menjawab sapaan Ronald. Dia hanya tersenyum kecil dengan mata masih mengawasi Vanesa lekat-lekat.
“Mari, Pak. Saya kenalkan dengan tamu yang lain.
Tentu suatu kehormatan bagi mereka bisa mengenal Pak Vico,” ajak Natali sopan.
Dengan enggan Vico mengikuti Natali dan Anisa untuk menyapa tamu-tamu yang lain.
Meninggalkan Vanesa yang gemetar dengan Ronald yang berdiri posesif di sampingnya.
Vanesa memejamkan mata, berusaha menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Mencoba meyakinkan hatinya bahwa hari ini akan baik-baik saja.
Suara obrolan, denting peralatan makan dan musik yang mengalun pelan di dari penyanyi wanita di ujung ruangan seperti samar-samar memasuki pikirannya. Sean, mendadak dia merindukan Sean.
“Sayang, kamu pucat.
Mau aku ambilkan minum?” tanya Ronald kuatir sambil mengamati istrinya yang memejamkan mata.
Vanesa menggeleng. Dia akan kuat.
“Apa kamu mau pulang?
Kita bisa pamitan sekarang?”
Belum sempat Vanesa menanggapi, dari arah depan datang Jery sang asisten ke arah mereka dengan wajah gembira.
Vanesa mengingat Jery sebagai orang yang menyenangkan dan enak diajak bicara. Selain itu, Jery juga lucu dan bersahabat.
“Hai-hai, pasangan istimewa bak raja dan ratu.
Berdua-duaan aja. Kayak debu nempel di keset welcome,” ucap Jery ceria.
“Hai, Jery!” sapa Vanesa ramah.
“Hai, cantik. Jika tidak ingat kamu istri Ronald, ingin rasanya daku membawamu lari dari sini.”
Gombalan Jery membuat Ronald gemas.
Sementara Vanesa terkikik geli.
Penyanyi wanita di ujung ruangan berganti lagu menjadi lebih ceria tapi tetap manis.
“Bro, lo jangan nempel ama bini terus. Ayo, ke sana.
Ada Pak Rudy yang harus lo temuin,” kata Jery pada Ronald.
Tangannya menunjuk ke arah teras samping kantor yang ramai.
Ada seorang laki-laki setengah baya dengan rambut memutih sedang berbincang santai dengan beberapa orang.
“Pak Rudy ada di sini?”
Vanesa hanya kebingungan mendengar pembicaraan dua lelaki di depannya.
“Pak Rudy siapa?” tanya Vanesa ingin tahu.
“Seorang investor, dulu pernah menawarkan investasi ke pabrik kita,” jawab Ronald dengan mata memandang ke arah yang ditunjuk Jery.
“Ayo, kita ke sana. Sapa beliau sebentar,” ajak Jery.
“Tapi---.”
“Kelamaan lo! Vanesa nggak akan ke mana-mana, kita temui dulu Pak Rudy.”
Dengan sedikit memaksa, Jery menarik lengan Ronald.
“Maafin ya, Vanesa cantik. Aku culik dulu suamimu.”
Vanesa tertawa lirih melihat kelakuan Jery dengan tangannya menyeret Ronald. Sepeninggal mereka, Vanesa mengamati sekelilingnya yang ramai.
Musik masih mengalun, makanan sepertinya dihidangkan tiada habisnya.
Mengikuti dorongan hati, Vanesa menghampiri meja prasmanan dan mengambil jus jeruk.
Dengan jus di tangan Vanesa berjalan menuju pojok ruangan yang tidak terlalu ramai.
Dari tempatnya berdiri dia melihat Natali berbicara dengan seorang wanita berwajah oriental.
Memandang Anisa yang tertawa bersama sekelompok orang di depan pintu masuk. Mendengarkan suara sang biduanita yang sekarang sedang menyanyikan lagu balada. Vanesa berpikir, seandainya Sean dibawa ke pesta pasti menangis meraung-raung karena terlalu berisik.
Memikirkan Sean yang lucu membuat hati Vanesa tentram.
“Vanes,” sapaan dari belakang membuyarkan lamunannya.
Entah dari kapan, Vico muncul di sampingnya.
Mereka berdiri bersisihan dengan masing-masing tangan membawa minuman.
Terlihat, Vico memegang sesuatu yang berwarna ungu sepertinya jus anggur atau buah naga.
“Pak Vico, apa kabar?” sapa Vanesa pelan.
Terdengar tawa lirih dari mulut Vico. “Jadi sekarang kamu memanggilku, Pak?
Kenapa? Setelah tahu aku anak Pak Agung Tirta?”
Vanesa tidak menjawab, menyesap minuman dalam gelasnya.
“Mulai kapan kamu tahu soal statusku, Vanes?” tanya Vico.
“Apa itu penting?”
“Tentu saja, aku ingin tahu kenapa kekasihku mendadak menikahi mantan pacarnya. Apakah karena dia tahu statusku?” desak Vico penasaran.
Vanesa meliriknya sekilas.
Membuang pandangan ke arah jendela kaca yang terletak tak jauh darinya.
“Jangan terlalu GR, Pak.
Biar pun keluarga Anda kaya bukan berarti segala yang Anda lakukan berpengaruh bagi kami.”
“Vanesa, kenapa kamu jadi dingin begini?” sergah Vico tak sabaran.
“Vanesa yang aku kenal tidak begini.
Dia lembut tapi tegas. Dia baik hati dan penyayang.”
Vanesa meneguk jus-nya dalam satu tegukan besar.
“Pak Vico, ini adalah pesta.
Banyak mata memandang di sini.
Alangkah lebih baiknya jika Anda menjaga sikap,” tegur Vanesa padanya.
Vico menggertakkan gigi, meraih lengan Vanesa.
“Aku tidak peduli. Jika ada satu orang di sini yang menyakitimu karena aku maka akan aku hancurkan mereka.”
Vanesa terperangah dengan tindakan Vico yang di luar perkiraannya.
“Lepaskan aku, Vico!”
“Tidak, sebelum kamu mengatakan alasan sejujurnya kenapa meninggalkanku.
Apakah ada hubungannya dengan statusku?”
“Vico, jaga sikap. Ada banyak orang di sini!” bisik Vanesa memelas.
“Peduli setan sama mereka. Aku hanya ingin penjelasan, itu saja.”
Vanesa meronta, Vico makin mempererat pegangannya.
Terjadi sedikit tarik menarik di antara mereka.
Demi menghindari tatapan orang-orang yang usil, Vanesa tidak terlalu berani bertindak kasar. Dia menutupi apa yang terjadi antara dirinya dan Vico dengan terus tersenyum pada siapa pun yang memandang mereka dengan ingin tahu.
Dia Menyembunyikan tangannya yang di pegang Vico di belakang punggung agar tidak terlihat dari pandangan orang-orang.
“Lepaskan istriku, Vico.
Tentu kamu nggak mau kita baku hantam di sini, kan?” bisikan Ronald terdengar mengancam.
Dia melepas pegangan Vico di tangan Vanesa dengan paksa lalu berdiri di tengah mereka.
“Kamu tidak mungkin menantangku, Ronald,” balas Vico tak mau kalah.
“Yah, aku bisa! Demi membela istriku.”
Vanesa yang gerah dengan pertikaian mereka, meletakkan gelas ke meja samping dan melangkah cepat menuju pintu ke luar.
Dia sudah tidak tahan, rasanya seperti tercekik berada di dalam satu ruangan dengan orang-orang yang gemar mencari masalah.
Tidak lama terdengar langkah cepat menyusulnya dan sebelum dia sadar, tangannya digenggam oleh Ronald yang menuntunnya menuju mobil mereka.
Sepanjang jalan menuju rumah tidak ada percakapan di dalam mobil. Vanesa yang menahan sakit kepala duduk bersandar dan memejamkan mata.
Sementara suaminya menyetir dalam diam.
Saat memasuki komplek perumahan mereka, Vanesa mulai menyadari sesuatu.
“Kenapa kita nggak jemput, Sean?” tanyanya bingung.
Ronald tidak menjawab. D
ia memarkir mobil di depan pagar rumah. Mematikan mesin dan melepas jasnya.
Dia keluar dari mobil dan berjalan memutari mobil ke arah tempat duduk Vanesa dan meraih tangan istrinya yang terheran-heran.
“Ada apa, Kak? Kenapa buru-buru?”
Vanesa merasa bingung dengan sikap kaku Ronald.
Belum terjawab keheranannya, dia ditarik menuju rumah.
Saat pintu tertutup di belakangnya, serbuan ciuman yang bertubi-tubi menyergap mulutnya. Vanesa tergagap, mendorong tubuh Ronald tapi sia-sia.
Dia merasa sesak napas.
Dengan sekuat tenaga dia menyentakkan tubuh suaminya dan sebuah tinju dia layangkan ke perut Ronald.
Dia tahu itu tidak menyakitkan tapi membuat Ronald menghentikan perbuatannya.
Dengan wajah merah padam dia menuding Ronald. “Jangan sekali-kali menyentuhku seperti itu. Ingat perjanjian kita!”
Dengan langkah cepat Vanesa meninggalkan Ronald yang penampilannya seperti orang yang baru saja dihantam badai.
Rambut berantakan dan jas yang semula tersampir di lengannya kini jatuh ke lantai. Wajahnya pun merah padam. Vanesa masuk ke dalam kamar dan membanting pintu hingga tertutup.
“Vanesa, ke luar! Aku belum selesai bicara! Persetan dengan perjanjian itu!” Suara teriakan Ronald terdengar nyaring di rumah yang sepi.
Bersambung....
No comments:
Post a Comment