Cinta tiga hati
Part 9
“Ini laporan penjualan kita bulan ini.” Jery memaparkan sejumlah catatan di meja Ronald. “Ada peningkatan untuk penjualan baut panjang Galvanis dan untuk pendeknya, tipe nanas.”
Tangannya menyusuri tulisan yang terketik rapi di atas kertas putih.
Ronald mengangguk. “Bagaimana dengan toko langganan yang tutup?” tanyanya setelah membaca beberapa catatan tambahan di akhir laporan.
Jery mengambil kursi dan duduk di depan Ronald.
Menunjuk beberapa kata.
“Ada beberapa toko langganan yang tutup tapi kita juga mendapatkan tiga tambahan baru.
Lagi pula, bagian pemasaran sudah merambah penjualan secara online dan hasilnya lumayan.”
“Bagus, kita bagi bonus akhir tahun jika kinerja pekerja tetap bagus seperti sekarang.”
Ucapan Ronald membuat Jery melonjak sambil mengepalkan dua tangannya.
Wajahnya berseri-seri. Ucapan tentang bonus membuat semangatnya naik.
“Yes, akhirnya aku bisa kawin tahun depan,” teriaknya tanpa sadar.
“Emang sudah ada calonnya?” tanya Ronald sambil lalu.
Matanya masih terpaku membaca laporan di atas mejanya.
“Belum sih, namanya juga rencana. Boleh aja, kan?”
Ronald tertawa lirih. “Cari pacar sana!”
“Ini udah usaha Bro, kencan buta gagal mlulu!” teriak Jery dengan frustasi.
Wajahnya yang semula cerah karena kata bonus kini jadi nelangsa.
Wajahnya masam saat mendengar suara tawa.
“Lo jangan ketawa, ye!” tunjuknya pada Ronald yang tertawa.
“Kalau tampang gue kayak, lo. Gue dah punya bini tiga.”
“Jones! Jomlo ngenes!” ucap Ronald usil.
Menyenangkan menggoda sahabatnya.
Pintu diketuk dari luar. Menghentikan percakapan keduanya.
Tidak lama sekretaris Ronald-seorang gadis awal dua puluhan dengan rambut pendek setengkuk-masuk dengan senyum terkembang.
Dia mengangguk hormat pada Ronald dan Jery.
“Eih, Sheri,” goda Jery padanya.
“Manggil saya?”
Sheri menggeleng sambil menahan senyum.
Jery mencebik dengan tampang sedih.
“Pak Ronald, ada tamu ingin bertemu. Bu Natali,” ucap Sheri sopan.
“Oh ya, suruh dia masuk.”
Sepeninggal Sheri, Jery merengsek maju ke depan Ronald dan bertanya serius.
“Ini Natali yang super duper cantik? Mantan lo?”
Ronald mengangguk. Jery menggeleng tak percaya.
Ronald sendiri merasa heran dengan kedatangan Natali yang tiba-tiba di kantornya. Bahkan tanpa pemberitahuan sama sekali.
“Koq, kalian bisa berhubungan lagi? Dia bukannya udah nikah? Tinggal di Singapura?” cecar Jery tidak percaya.
Ronald mengangkat bahunya.
“Baru pulang beberapa waktu lalu. Sama Anisa barengan.”
“Ooh ya, aku ingat waktu kamu bilang Kakakmu pulang tapi nggak tahu kalau Natali juga datang.
Ingat, ya! Jangan sampai tergoda.” Jery mengingatkan sambil mengacungkan jarinya.
Ronald tidak menjawab omongan Jery yang dia rasa konyol.
Matanya tertuju pada pintu yang terbuka.
Aroma parfum yang lembut mengiringi kedatangan Natali yang terlihat cantik dalam setelan hitam putihnya.
Terlihat klasik tapi berkelas. Tubuh semampai, rambut coklat membingkai matanya yang bulat indah.
“Ronald, Sayang. Terima kasih sudah bersedia aku ganggu,” ucap Natali sambil meraih tangan Ronald untuk menjabatnya.
Tanpa sungkan dia duduk di kursi yang semula di tempati Jery.
“Wah, suatu kehormatan kamu datang ke kantorku yang kecil ini.”
Ronald menyambut kedatangannya dengan ramah.
“Masih ingat, Jery? Sahabatku dulu di kampus.”
“Hai, apa kabar?”
Jery menyorongkan tangannya.
Natali menyambut dan tanpa diduga, sebuah kecupan di punggung tangan Natali membuatnya tertawa.
Ronald hanya tersenyum simpul.
Jery memang selalu bersikap berlebihan tiap kali berhadapan dengan wanita cantik.
“Wanita cantik, sungguh membuatku tersanjung,” puji Jery.
“Sudah, kalian jangan menggodaku. Aku ke sini mau mengantarkan undangan.”
Natali meletakkan undangan warna kuning mengkilat di atas meja Ronald. Jery yang penasaran mengambil dan membukannya.
“Wow, benarkah ini? Natali mau buka kantor di Jakarta?” ucap Jery takjub.
Natali tertawa, menyibaskan rambutnya ke belakang.
“Kantor kecil.”
“Tetap saja, wow!” puji Jery.
“Apakah ini kantor bersama dengan Anisa?”
Natali mengangguk.
“Impian kami dari dulu adalah mendirikan perusahaan yang sama.
Sebenarnya ada niat untuk menggaet Ronald agar mau bekerja dengan kami tapi dia,” ucap Natali sambil menunjuk Ronald, “lebih memilih untuk meneruskan perusahaan Papa.”
“Kapan pestanya?” tanya Ronald memotong ucapan Natali.
Dia merasa jika dibiarkan Natali akan bicara panjang lebar tentangnya.
“Sabtu ini, jam satu siang sampai selesai.
Pesta kecil hanya untuk sahabat dan keluarga.
Kalian berdua harus datang, bawa pasangan.” Natali berkata sambil berbisik dramatis.
“Naaah, ini yang susah. Pasanganku siapa, Brooo!”
Ronald dan Natali tertawa mendengar perkataan Jery.
Mereka akhirnya tertinggal berdua di dalam ruangan setelah Jery pamit keluar untuk menerima telepon.
Natali menatap Ronald yang duduk di depannya dengan pamdangan menilai.
Ronald yang sekarang terlihat gagah dan matang, sangat berbeda dengan Ronald delapan tahun lalu.
“Mau minum apa, kopi atau teh?” Ronald menawari sambil bangkit dari kursinya.
“Nggak usah, aku cuma sebentar.
Akan tetapi, aku nggak menolak kalau kamu mengajakku makan di luar.”
Ronald mengangkat sebelah alisnya.
“Sekarang?”
“Iya, sekarang. Waktu itu kamu bilang akan mengajakku makan tapi karena ada rapat mendadak dengan Jery kamu batalkan,” protes Natali dengan mulut mencebik marah.
“Hahaha … maaf.
Memang rapat mendadak. Aku ingin sekali makan denganmu tapi tidak bisa malam ini. Sudah janji dengan Vanesa akan makan di rumah.”
Natali bersendekap, wajahnya menyimpan ketidakpuasan.
Dia memandang Ronald yang sedang menyeduh teh.
Terdengar denting sendok beradu dengan cangkir dan aroma melati menguar di ruangan.
Teh yang panas dan kental sepertinya.
“Apakah setelah menikah kamu berubah jadi suami yang manis?
Istrimu nggak akan marah kalau kita makan malam.
Bagaimana pun kita teman lama.”
Ronald datang dengan dua buah cangkir berisi teh panas dan meletakkannya di atas meja.
“Jangan marah, Natali. Lain kali kita akan makan bersama tapi mungkin harus ada Anisa atau teman yang lain.”
Kembali ke tempat duduknya, Ronald mulai menyesap teh dari cangkirnya.
“Kenapa, Ronald?
Takut jika hanya berduaan denganku?
Takut istrimu cemburu?”
“Hei, santai,” ucap Ronald menenangkan Natali yang terlihat marah.
“Aku hanya ingin menghindari berbagai omongan miring tentang kita.
Memang kita bersahabat tapi kita terikat pernikahan Natali.”
“Aku mau cerai! Laki-laki itu egois, kamu sudah tahu apa masalah kami!” tukas Natali dengan suara tinggi.
Dia bangkit dari duduknya dan berjalan memutari meja menuju tempat Ronald.
“Aku menyesal meninggalkanmu dulu, jika saja kamu tahu penderitaanku.”
“Natali, sudahlan,” desah Ronald sambil meremas tangan Natali yang diletakkan di pundaknya.
“Kita tidak muda lagi, kamu punya prioritasmu dan aku dengan masa depanku sendiri. Mari kita tinggalkan masa lalu.”
Ronald melirik wanita cantik di sebelahnya yang sekarang berdiri sambil memejamkan mata.
Sepertinya menahan tangis.
Dia jadi nggak enak hati. Natali biasanya wanita kuat yang jarang menangis, apakah dia terlalu keras melukai perasaannya.
“Natali, jangan menangis. Ayolah!” pinta Ronald.
“Tidak, aku nggak akan menangis karena ini, Ronald.
Perjuanganku untuk mencapai sukses harus kubayar dengan pernikahan yang nyaris kandas.
Sekarang, aku ingin bahagia Ronald.”
“Iya, kamu layak mendapatkannya.”
Natali mendekat ke arah Ronald dan berbisik.
“Anisa memberitahuku jika kamu dan Vanes menikah karena dijodohkan.
Aku hanya ingin bilang satu kata, datanglah jika kamu butuh teman.”
Ronals terkesiap.
Natali mengabaikannya. Menyambar tas yang sedari datang dia letakkan di atas meja dan berjalan menuju pintu.
Meninggalkan Ronald yang terdiam dengan dua buah cangkir yang isinya masih mengepul.
Ronald mengusap wajah.
Kata-kata Natali seperti menusuk jantung.
Mereka memang pernah dekat dulu sekali, sebelum dia mengenal Vanesa dan Mili. Itu cinta pertama yang indah tapi perasaan itu sudah lama berlalu.
Apalagi semenjak dia mengenal Vanesa, hidup dan pikirannya hanya tertuju untuk wanita yang kini menjadi istrinya.
Pikiran tentang Vanesa membuat rindunya tiba-tiba meledak. Dengan tergesa-gesa dia mengemasi tas dan berniat pulang lebih cepat.
Suara musik anak-anak mengalun pelan dari televisi yang terpaku di dinding ruang makan. Seorang bayi kecil bertepuk tangan di kursi bayi dengan biskuit diletakkan di depannya.
Mata kecilnya melihat tayangan yang sedang menanmpilkan lagu-lagu anak dengan gembira.
Celoteh tak jelas keluar dari mulutnya.
Sementar di belakang si bayi, Vanesa sibuk mengaduk isi panci.
Malam ini dia membuat spageti kesukaan Ronald.
Dia sudah menyiapkan bumbu pasta dengan daging sapi cincang.
Menunggu suaminya datang untuk merebus spageti kering.
Untuk cemilan, hari ini dia membuat puff keju yang renyah. Cocok menemani minum kopi setelah makan malam.
“Ih, anak Mama. Duduk manis, ya? Apaa? Lagunya enak didengar?” Vanesa menggelitik leher Sean yang montok.
Membuat bayi di depannya tertawa lirih.
Dia meraih handphone dari atas meja. Membuka internet untuk melihat-lihat resep masakan.
Dia belum mengatakan pada Ronald jika sudah keluar dari pekerjaannya.
Terus terang dia tidak ingin suaminya merasa bersalah dan menganggap karena dia dan Sean maka Vanes kehilangan pekerjaan.
Lagi pula banyak cara mencari uang selain harus bekerja di luar rumah.
Belakangan ini, cara mendapatkan penghasilan tanpa ke luar rumah sudah dia pikirkan.
Dia memasang iklan di media sosial tentang jasa.
Menerima pesanan kue dan roti dalam skala berapa pun.
Dua hari lalu bahkan menawarkan secara pribadi pada ibu-ibu di posyandu yang kebetulan dia juga ada di sana untuk menimbang Sean.
Hasilnya lumayan, minggu ini dia mendapat pesanan kue basah untuk dua acara.
Sungguh cara mencari uang yang menyenangkan.
Vanesa bahkan berpikir untuk memperkejakan orang jika ternyata pesanan kue datang dalam jumlah besar.
Suara pintu dibuka dan ucapan salam membuyarkan lamunan Vanesa.
Dia menoleh dan memandang suaminya yang baru saja pulang.
“Hai, jagoan Papa. Apa kabar hari ini?
Tidak nakal, kan? Ikut Mama bekerja?”
Ronald mengangkat anaknya dan menimang dalam pelukan.
Mengawasi istrinya yang bergerak cekatan untuk mengambil tas dan jasnya lalu meletakkannya di kamar.
“Mau ganti baju dulu atau langsung makan?” tanya Vanesa dari balik punggungnya.
“Langsung makan saja, aku lapar. Kalau nggak salah cium, ini bau pasta spageti, kan?”
Vanesa mengangguk, tanpa kata menghampiri kompor untuk merebus air.
Selama dia memasak, tidak ada percakapan antara dia dan suaminya.
Ronald sedang asyik menggoda Sean.
“Sungguh spageti yang nikmat, kamu dari dulu jago memasak, Sayang,” ucap Ronald dengan mulut penuh.
“Hanya spageti biasa,” elak Vanesa.
“Tidaak, ini beneran enak.”
Dua piring spageti dengan bumbu pedas dilahap habis oleh Ronald.
Diam-diam Vanesa mengulum senyum melihat bagaimana suaminya makan dengan lahap seakan masakannya adalah masakan terenak di dunia.
Dari dulu, Ronald memang tahu bagaimana cara mengambil hatinya.
Dia yang selalu menghargai apa pun yang dilakukan Vanesa untuknya.
Bahkan satu hari pernah Mili memaksa agar Vanesa membuatkan bekal makan siang untuknya dan Ronald.
Bisa ditebak, saat pulang kantor Mili berkata dengan gembira bahwa Ronald menghabiskan makanan yang dibuat untuknya. Vanesa menahan desah sedih mengingat Mili yang polos.
“Vanes, sabtu ini ada pesta. Kamu tidak ada acara kan?”
Vanesa menggeleng, mengangkat piring kotor ke dalam wastafel.
“Letakkan saja piringnya, biar aku ntar yang cuci,” ucap Ronald dari balik punggungnya.
“Kamu sudah capai kerja, biar saja aku yang kerjakan.”
Tidak mengindahkan larangan suaminya, Vanesa mulai mencuci piring.
“Jadi, sabtu ada acara apa?”
“Pesta perayaan untuk pembukaan kantor konsultan Natali dan Anisa.
Hari ini dia datang mengantarkan undangan ke kantorku.”
“Natali?” tanya Vanesa.
“Iya, dia. Meminta agar kamu juga bisa datang.
Sean bisa kita titipkan sebentar sama Mama.”
“Baiklah,” jawab Vanesa pelan.
Tangannya sibuk meletakkan piring ke dalam mesin pengering.
Lalu beralih pada teko pembuat kopi di meja dan mulai menyeduh kopi dengan takaran yang dia sudah pelajari. Ronald tidak terlalu suka kopi yang kental.
“Vanesa,”
Panggilan dari Ronald membuatnya mendongak.
“Ada apa?”
Matanya bertatapan dengan Ronald yang memandangnya dengan tatapan aneh.
“Kamu cantik dan baik. Aku beruntung memilikimu.”
Tangan Ronald terentang, berusaha meraihnya tapi Vanesa mengelak dengan halus. Tidak, dia belum siap sekarang.
Dalam hati terdalam dia masih menganggap Ronald adalah suami Mili bukan suaminya. Dia ada di sini demi Sean, itu saja.
Mengabaikan Ronald yang terlihat mendamba, Vanesa meneruskan pekerjaannya membuat kopi.
Pikirannya melayang pada pesta yang akan diadakan Natali.
Mengira-ngira gaun mana yang akan dia pakai. Natali dan Anisa tentu tidak akan membiarkannya memakai gaun biasa saja.
“Apakah aku harus menata ulang rambutku?” desah Vanesa tanpa sadar.
****
Hari sabtu siang, Vanesa memutuskan untuk memakai gaun lamanya.
Rambutnya yang kepanjangan dia rapikan sedikit di salon Santi.
Dia menolak tawaran Santi untuk membantunya berdandan.
Dia tidak terlalu suka make-up yang tebal.
Gaun biru sutra panjang potongan asimentris dengan lengan mencapai siku terlihat pas di tubuhnya.
Dia sengaja menggerai rambut dan membawa tas perak kecil yang sewarna dengan sepatunya. Simpel dan manis adalah kata yang cocok untuk penampilannya.
Bentuk gaun yang asimentris di mana bagian belakang gaun memanjang hingga mata kaki dan bagian depan lebih pendek, hanya mencapai dengkul dan memperlihatkan kakinya yang jenjang.
Ronald sendiri memuji penampilan istrinya dan mengatakan jika Vanesa terlihat sexy dengan gaun biru.
Pujiannya membuat Vanesa tersipu-sipu.
Ronald pun tak kalah keren dengan jas putihnya.
Setelah menitipkan Sean pada mama Ronald, mereka menuju lokasi pesta yang terletak di pusat kota.
“Hai, kalian datang!” sapa Anisa dengan antusias saat melihat kedatangan mereka.
Dengan gembira dia memeluk Ronald dan Vanesa.
Hari ini Anisa mengenakan gaun pendek warna pink pudar yang menonjolkan kulitnya yang putih.
“Silahkan masuk, buat diri kalian nyaman. Natali ada di dalam,” ucap Anisa sambil tertawa lalu beralih pada tamu lain yang baru saja datang.
Menyambut mereka dengan antusias.
Ronald menggenggam tangan Vanesa.
Membawanya menyibak kerumunan dalam ruangan.
Pesta ternyata diadakan di gedung yang kelak akan menjadi kantor Natali dan Anisa. Para undangan memenui ruangan kantor yang terdiri atas dua lantai dan tangga melingkar dari besi yang berada di pinggir dekat tembok.
Vanesa memperhatikan jika undangan yang datang adalah kalangan orang berada. Sasaran klien potensial untuk kantor konsultan Natali.
“Ayo, kita cari Natali untuk mengucapkan selamat.”
Keduanya bergandengan menuju lantai atas.
Di balkon terlihat Natali sedang asyik berbicara dengan orang bule.
Jika dilihat dari postur tubuh, kulit dan rambutnya yang menandakan dia bukan orang Indonesia.
Matanya menatap kedatangan Ronald dan Vanesa, senyum merekah di mulutnya.
“Hai, senang lihat kalian datang,” sambutnya hangat.
Menjabat tangan Ronald dan mengecup pipi Vanesa.
“Kantor yang bagus. Aku suka ini.” Ronald memuji sambil mengacungkan dua jempolnya.
“Ah, biasa saja ini mah.”
Di luar dugaan Vanesa, ternyata banyak yang mengenal Ronald di pesta ini.
Selain teman lama juga para relasi Anisa yang mengenalnya sebagai keluarga.
Vanesa hanya memandang sambil mematung saat suaminya yang mengobrol dengan banyak orang sementara dia sendiri tidak ada yang mengenal mereka.
Untuk membunuh rasa bosan, Vanesa menghampiri meja prasmanan dan memperhatikan kue dan makanan yang tersaji di sana.
Di tangannya ada piring putih, dia mengisi dengan bermacam-macam kue dan buah.
Mengambil kopi di dalam cangkir dan membawanya ke teras belakang.
Ada kursi kosong di sana. Bagian belakang teras menyajikan pemandangan taman kecil yang lumayan tertata rapi.
Vanesa memejamkan mata sambil merasakan kue coklat yang seperti lumer di mulutnya. Hiruk-pikuk tawa dan obrolan di sekelilingnya makin membuatnya terasing.
Aneh bukan?
ni pesta dan dia merasa kesepian.
Denting gelas beradu, aroma masakan bercampur dengan parfum dan wangi bunga segar yang diletakkan di pojok ruangan membuat Vanesa tergugah.
Sesaat dia sadar jika Ronald sudah terlalu lama membiarkannya sendiri.
Jika memang tidak ada yang penting, dia berniat untuk pulang lebih dulu.
Vanesa meninggalkan makanannya di teras dan masuk untuk mencari suaminya.
Tidak menemukannya di lantai satu, dia naik tangga menuju lantai dua.
Agak lama baru dia menemukan sosok suaminya di sebuah ruangan yang tertutup vas bunga besar.
Dia tertegun, saat melihat suaminya berdiri dengan Natali bersandar dalam pelukannya. Ada apa ini?
Di tengah keramaian dan dua orang ini berani melakukan hal yang memalukan seperti ini?
Vanesa berjalan lebih mendekat untuk mendengar apa yang mereka ucapkan.
“Aku sungguh hancur, Ronald.”
“Jangan begitu, Natali. Ingat masa depanmu.”
“Tapi … apa artinya semua ini kalau aku sendirian?”
“Kamu nggak sendirian, ada Anisa dan teman yang lain.”
Terdengar isak tangis dari Natali.
Vanesa bersendekap dan berdehem.
Melihat dengan alis terangkat bagaimana dua orang di depannya terlonjak kaget.
“Apa aku menggangu sesuatu yang penting?” tanya Vanesa.
Ronald tersenyum dan Natali buru-buru mengangkat kepalanya dari pundak Ronald. Mengelap mata dengan tisu yang tergenggam di tangannya.
“Jangan salah paham,
Sayang. Natali hanya ingin cerita soal rumah tangganya.” Ronald menghampiri Vanesa dan mengelus pundaknya.
Vanesa tidak menjawab, masih memandang Natali yang terlihat sedih.
“Ronald, bisa tolong ambilkan kami minum?
Biar aku yang menjelaskan pada Vanesa,” pinta Natali.
“Tapi---,”
“---pergilah!” pinta Vanesa pada suaminya.
“Aku nanti menyusul ke bawah.”
Ronald terlihat enggan membiarkan istrinya hanya berdua dengan Natali tapi akhirnya dia pergi juga setelah sebelumnya memberikan kecupan kecil di bahu Vanesa.
Sepeninggal Ronald, Natali tersenyum dan berkata dengan suara riang.
“Jangan salah paham apa pun, Vanesa. Ronald memang dari dulu baik padaku.
Kami memang sedekat ini.”
“Begitukah?
Bahkan tidak peduli jika kalian sudah terikat pernikahan?” sanggah Vanesa.
Natali berputar di tempatnya berdiri dan berkata sambil merentangkan tangan.
“Pastinya kamu sudah tahu masa lalu kami.
Perasaan dekat itu masih susah dihilangkan, maaf jika itu mengganggumu.”
Vanesa menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. “Tadi kamu bilang, pernikahanmu bermasalah. Apakah kamu akan mengusik pernikahanku, Kak?”
“Oh tidak, jangan takut Vanesa.
Aku tidak sejahat itu. Yang tadi kamu lihat adalah Ronald yang baik hati tidak tega melihatku menangis sendiri. Itu saja.”
Vanesa mengangguk kecil mendengar penjelasan Natali.
“Kak, lain kali kalau mau akting menangis, tolong jangan pakai make-up waterproof.”
Senyum Natali terhenti, matanya menyipit memandang Vanesa yang berdiri tenang di depannya.
“Apa maksudmu, aku berakting?”
“Iya, terlihat jelas sih. Aku tahu maksudnya untuk menarik simpati dari suamiku tapi lain kali harusnya lebih pintar.
Kalau Kakak pakai make-up waterproof, air mata yang pura-pura Kakak keluarkan tidak akan kentara.
Lihat saja,” tunjuk Vanesa pada wajah Natali yang masih memakai riasan tak tercela. “eye shadow tetap bersinar, maskaranya juga, apalagi eyeliner.
Setahuku kalau dirimu pakai make-up biasa dan menangis, itu akan belepotan kemana-mana tapi ini, tak tergores sedikit pun. Make-up yang hebat atau aktingnya yang kurang mendalami.”
Natali menggertakkan gigi mendengar omongan Vanesa yang diucapkan dengan tenang.
Bagaimana mungkin ada wanita memergoki suaminya bersama wanita lain dan masih bersikap tenang?
Malah menganalisa soal tangisan dan make-up.
“Kamu mencurigaiku menipu Ronald?” desis Natali.
“Iya.” Vanesa menjawab dengan tegas.
“Menurutmu untuk apa aku menipunya? Dia temanku!”
“Mana aku tahu?
Itu pertanyaan yang harus Kakak jawab sendiri.
Kalau memang Kakak tidak ada niat menipunya, untuk apa terus menerus mendekati Ronald sedangkan Anda tahu, dia sudah beristri.”
“Istri dari perjodohan, kamu pikir aku tidak tahu sejarah kalian?”
Vanesa tertawa lirih.
“Hanya itu? Aku menikahi Ronald karena perjodohan?
Menggantikan Kakakku memang.”
“Nah! Itu kamu mengakui, istilah turun ranjang yang menurutku menjijikan.
Mengikat Ronald dalam dua bersaudara.”
Vanesa melangkah mendekati Natali yang wajahnya sekarang merah padam karena marah lalu berbisik pelan.
“Jika hanya itu yang kamu tahu tentang hubungan kami, sebaiknya kamu mundur untuk mendapatkan suamiku.
Karena aku akan melakukan apa pun untuknya.”
“Hahaha … kamu takut gadis kecil?” ucap Natali lantang.
Vanesa mengangkat bahu.
“Untuk apa?
Seorang wanita yang sedang kehilangan kepercayaan diri bukan lawan yang seimbang untukku.”
Mengabaikan wajah Natali yang memucat, Vanesa berbalik dan meninggalkannya sendiri.
Napasnya memburu, dia merasa sangat marah tapi dia tahan.
Ronald dan wanita-wanita yang mengelilinginya membuat muak.
Saat kakinya mencapai lantai dasar, kejutan menantinya di ujung pintu masuk.
Anisa tersenyum sambil menjabat tangan seorang laki-laki muda dan setelahnya mengumumkan pada seluruh tamu pesta dengan keceriaaan yang tidak ditutupi.
“Perhatian semua, hari ini kita mendapat kehormatan.
Atas kehadiran dari putra tunggal, Tirta Group. Saya persilahkan, Bapak Vico Tirta.”
Tepuk tangan menyambut kedatangan Vico yang terlihat tampan dalam balutan jas hitam. Vanesa terpaku di tempatnya.
Dia tersadar saat merasakan pundaknya dipeluk. Ronald mendekapnya dengan posesif.
Seperti tahu jika sedang diperhatikan, mata Vico menemukan Vanesa dan senyum tersungging di mulutnya.
Vanesa menahan keinginan untuk lari dari pesta.
Bersambung
No comments:
Post a Comment