Saturday, April 18, 2020

CINTA TIGA HATI 08

Cinta_tiga_hati  
Part 8

Rumah besar ditopang dengan empat pilar putih di teras tampak tinggi menjulang.

Air mancur yang berada di halaman dengan ikan emas yang gemuk-gemuk sedang asyik berenang.

Pemandangan di dalam kolam seperti punya kehidupan yang terpisah dengan penghuni rumah. Pepohonan rindang tertanam asri di sudut halaman.

Jika dilihat sekilas, kondisi rumah seperti sangat nyaman untuk ditinggali dengan perabotan mengkilat dan mahal. Itu jika yang dilihat hanya jumlah kekayaan di mana kandil, guci dan benda-benda antik yang berserakan di ruangan adalah ukuran kenyaman.

Ada dua penjaga gerbang di depan.

Salah seorang di antaranya terlihat sedang menggoda wanita muda berseragam asisten rumah tangga di dekat tanaman bunga.

Seorang lagi sedang asyik menelepon. Isu yang terdengar, di dalam rumah besar ada total dua puluh asisten rumah tangga yang membantu menangani pekerjaan rumah di istana yang terdiri atas empat lantai dengan arsitektur bergaya Victoria.

Di sebuah kamar bercat putih dengan jendela kaca yang tinggi, tampak seorang laki-laki tampan sedang melamun.

Matanya terpaku pada kolam renang yang terlihat jelas dari tempatnya berdiri.

Entah berapa banyak rokok yang sudah dia hisap jika dilihat dari banyaknya putung dalam asbak di atas meja nakas di samping jendela.

Tangannya gemetar menyisir rambut yang berantakan.

Dia bahkan belum mengganti pakaian tidurnya yang berupa celana pendek katun dan kaos oblong putih.

Seharusnya hari ini dia mengikuti rapat akhir tahun.

Sang papa tidak akan senang jika melhat dia absen tapi otaknya tidak bisa diajak bekerja hari ini.

Bayangan seorang wanita dengan sapu di tangan dan wajah marah memenuhi pikirannya. Banyak wanita cantik yang dimulai dari model terkenal atau artis papan atas.

Bahkan beberapa adalah pewaris perusahaan besar yang akan dengan senang hati menjadi kekasihnya tapi dia menginginkan wanita lain.

Pikirannya tertuju pada Vanesa. Kekasihnya yang cantik, baik hati dan mandiri. Wanita pertama yang mampu memporak-porandakan hidupnya.

Dia, Vico Tirta adalah anak tunggal dari pemilik perusahaan Tirta Group.

Perusahaan pemasok sawit nomor enam terbesar di Indonesia dan sebagai salah satu orang terkaya di Jakarta.

Sekarang hatinya tercabik-cabik karena wanita.

Vico mendesah resah, menoleh saat mendengar pintu kamarnya diketuk.

“Masuk!”

Pintu terbuka dan masuklah seorang wanita separuh baya yang berjalan gemulai dengan riasan lengkap di wajah dan gaun warna salem menjuntai ringan.

Meski sudah berumur tapi kecantikan dan proposi tubuhnya tetap terjaga, kesan terlihat adalah, kaya, anggun dan bugar.

“Vico, Sayang. Kenapa dari pagi kamu nggak keluar kamar?

Apa perut nggak lapar?”

Vico memandang mamanya dan menggeleng. “Belum lapar, Ma,” ucapnya parau.

“Ada apa, Sayang?

Kenapa kamarmu berantakan, putung rokok di mana-mana dan kalau Mama nggak salah lihat, dari semalam kamu belum ke luar kamar sama sekali.”

Sambil mengomel, Bu Anita, mama Vico berjalan mondar-mandir keliling kamar.

Tangannya beralih dari baju yang tersampir sembarangan.

 Handuk dan kaus kaki yang berserakan di atas ranjang maupun di lantai.

Vico tetap termangu di tempatnya, tidak mengindahkan meski mamanya terus mengomel.

“Vicoo! Kamu dengar, Mama nggak, sih?”

Menghela napas sambil memijit keningnya, dia berbalik.

“Ada apa sih, Ma. Datang-datang mengomel nggak jelas. Vico lagi pusing nih?”

Bu Anita mengernyitkan kening, menatap putra semata wayangnya yang terlihat gundah.

Dia pergi ke sudut ruangan dan mengambil keranjang kosong.

Menaruh pakaian, kaus kaki dan semua kain yang terserak di lantai ke dalam keranjang lalu menghampiri anaknya.

“Ada masalah apa?

Coba bilang sama, Mama?” tanyanya halus.

Menepuk punggung anaknya yang kekar.

Vico berumur nyaris dua puluh delapan tahun tapi dia masih merasa Vico anak kecil yang butuh diperhatikan.

“Mama nggak pahamlah apa yang Vico rasakan,” jawab Vico sambil mengelak dari tepukan mamanya.

“Kamu belum ngomong gimana Mama mau mengerti?”

Vico mendesah pelan.

Meletakkan kepala di bahu mamanya.

“Vanesa makin lama makin cuek, Ma.

Tidak mau menelepon lagi dan sangat malas membalas pesan.

Sebenarnya salah Vico apa sih, Ma?”

Bu Anita terdiam. Mengelus rambut anaknya.

“Bukannya dia sudah menikah?

Kenapa kamu mengharapkan wanita yang sudah punya suami, Vico?”

“Pernikahan terpaksa, Ma!” Vico mendongak dari bahu mamanya.

“Dia menikah sama si brengsek Ronald karena keinginan orang tuanya.

Aku yakin, Ma. Ada sesuatu yang terjadi padanya, mempengaruhi keputusannya dan membuatnya meninggalkanku.

Vanesa itu wanita berhati lembut meski keras kepala, aku yakiiiin sekali jika dia menyembunyikan sesuatu.”

“Masih banyak wanita lain, kenapa harus dia?” tegur Bu Anita.

Dia memandang Vico lurus-lurus. “Carilah wanita yang sederajat dengan kita.

Wanita yang membuat masa depanmu lebih cerah.”

“Hah, selalu soal harta yang Mama bicarakan.

Aku tahu Mama juga tidak menyukainya tapi aku cinta, Ma. Vico cinta sama dia!”

“Vico! Jangan teriak-teriak!” hardik Bu Anita yang kaget melihat anak laki-lakinya berkata sambil histeris.

“Maaf, Ma. Maafin, Vico.”

Dengan lunglai Vico menghampiri mamanya dan mencium telapa tangannya.

Sungguh dia tida sengaja ingin membentak sang mama.

Hanya saja, hati terlanjur sakit dan pikirannya buntu.

“Vico, Papamu akan sangat kecewa jika melihat keadaanmu seperti ini.

Ingat, kamu adalah pewaris Tirta Group dan apa kata para pemegang saham atau relasi jika mereka melihat anak satu-satunya dari keluarga Tirta menangis hanya karena seorang wanita.

Miskin pula,” ujar Bu Anita sambil berdecak tidak puas.

“Jangan bicara seperti itu soal Vanes, Ma.

Dia berbeda dengan para wanita yang selama ini selalu mengelilingiku.

Dia tidak pernah peduli apakah aku dari keluarga konglomerat atau pegawai biasa.”

Bu Anita melambaikan tangannya.

Berbalik dan melangkah menuju ranjang yang berantakan.

Tangannya secara otomatis merapikan selimut yang acak-acakan.

“Kamu pikir Vanesa tidak tahu kalau kamu anak dari keluarga Tirta?

Dia tahu soal itu, Vico.”

Wajah Vico memucat.

Dia memandang mamanya yang sibuk berkeliling kamar untuk merapikan.

Perkataan mamanya sungguh tidak bisa dia percaya.

Selama mereka berkenalan, tidak pernah sekali pun dia menyebut-nyebut perihal Tirta Group dan dirinya sebagai pewaris tunggal.

Jika Vanesa bertanya dia akan mengatakan kalau dia hanya pegawai biasa.

Bukan seorang putra konglomerat.

“Dari mana Mama tahu tentang ini?” tanya Vico curiga.

Sang mama berdiri dari tempatnya duduk dan memandang Vico sambil tersenyum. “Kamu pikir keluarga kita akan diam-diam saja saat tahu kamu menjalin hubungan dengan seorang wanita?

Kamu pikir Papa dan Mama tidak mencari tahu seperti apa wanita yang sedang dekat denganmu?

Bagaimana jika dia adalah orang suruhan saingan bisnis keluarga kita?

Yang ditugaskan untuk mencelakaimu?”

“Vanesa bukan seperti itu, Ma!” teriak Vico menyangkal tuduhan.

Sungguh tak habis pikir dengan isi hati keluarganya yang rumit.

Yang dia rasakan ke Vanesa murni perihal cinta tapi mereka mengaitkannya dengan harta.

Bu Anita tersenyum tipis.

Memandang wajahnya yang mulus tanpa guratan dalam pantulan cermin tinggi yang terletak di sudut dinding.

“Dia memang bukan wanita gila harta tapi tetap saja, dia tidak boleh menjadi bagian dari keluarga kita. Ingat Vico, dia sudah menikah.

Kamu tidak boleh mengganggunya!”

Mengabaikan peringatan mamanya, Vico berbalik. Menghampiri jendela kaca dan menggesernya ke samping. Berjalan menuju balkon kamarnya.

“Aku tidak akan menyerah untuk mendapatkannya, Ma.

Apalagi jika sekarang aku tahu dia nggak bahagia.”

“Vico,”

“Pergilah, Ma. Aku mau mandi dan siap-siap.

Pasti sekarang Papa sedang mengomel panjang lebar karena aku belum juga datang ke kantor.”

Vico tidak menoleh saat terdengar pintu terbuka dan menutup kembali.

Dia tahu mamanya sudah pergi.

Merasakan dadanya yang terasa sesak dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.

Bagaimana pun dia harus tetap tenang.

Dia akan bergerak pelan untuk menyelidiki apa penyebab Vanesa berubah pikiran dan mendadak menikahi Ronald.

Dia masih menyimpan harapan di dadanya, jika Vanesa masih mencintainya.

Dia akan mencari tahu itu.

“Vanesa, apakah kamu bisa masuk ke kantor saya sebentar?” Pak Gunawan, sang manajer dan juga kepala bagian marketing memanggilnya dari samping pintu ruangannya yang terbuka.

Vanesa mendongak dari kegiatannya sedang menyuapi Sean.

Memandang atasnya dan tersenyum.

“Baik, Pak. Sebentar ya?”

Pak Gunawan mengangguk, diam-diam memperhatikan Vanesa yang lincah menyuapi dan mengelap mulut bayi berusia setahun yang duduk tenang di atas kursi bayi.

Merasa apa yang dilihatnya sudah cukup, Pak Gunawan berbalik menuju kantornya dan menunggu Vanesa di sana.

“Rin, bisa kamu awasi anakku sebentar?

Pak Gunawan memanggilku,” pinta Vanesa pada Ririn, seorang staf yang khusus ditugaskan menangani dokumen.

“Oke, Kak. Ririn jagain Sean yang ganteng,” jawab Ririn sambil mengulurkan tangan dan mengelus pipi montok Sean dengan gemas.

“Thanks, ya.”

Dia bergerak cepat, meninggalkan Ririn yang asyik menggoda Sean.

Melewati pintu terbuka dan menuju langsung ke ruangan Pak Gunawan yang lebih besar dari ruangannya.

Di depan pintu dia mengetuk pelan sebelum masuk dan duduk di kursi persis di depan meja atasannya.

“Pak Gunawan, ada yang bisa Vanes bantu?” tanyanya sambil tersenyum.

Pak Gunawan menangkupkan tangan di atas meja.

Memandang Vanesa yang sudah hampir lima tahun ini menjadi anak buahnya.

Salah satu karyawan yang berpotensi dan rajin.

“Berapa lama kamu bekerja di sini, Vanes? Hampir lima tahun bukan?”

Vanesa mengangguk.

“Selama ini kamu adalah salah satu karyawan yang paling bisa aku andalkan.”

“Terima kasih, Pak.”

Hening. Pak Gunawan terlihat menghela napas sebelum melanjutkan kata-katanya. Vanesa sendiri merasa ada sesuatu yang tidak enak akan terjadi.

“Kamu tahu perusahaan kita sedang berkembang.

Semua dituntut untuk bergerak cepat demi kemajuan perusahaan dan waralaba kita.”

“Iya, Pak.”

Pak Gunawan mengetuk meja kaca di depannya.

“Vanesa, pekerjaanmu bagus. Rajin dan selama setahun ini kamu mampu menghadapi apa pun dan bagaimana pun rintangan yang dihadapi perusahaan tapi itu tidak cukup.”

“Maksud Pak Gunawan, apa?” tanya Vanesa pelan.

“Kami sudah berdiskusi, para atasan tentu saja.

Keputusan sudah diambil jika kamu tetap membawa anakmu bekerja maka kami tidak bisa menerimamu lagi.”

Vanesa terhenyak, dia sudah menduga hal ini terjadi karena Sean tapi tidak mengerti akan secepat ini.

“Pak, saya sudah membuktikan dalam beberapa bulan ini jika saya tetap bisa menangani pekerjaan meski ada anak saya.”

“Saya tahu, Vanesa. Saya percaya sepenuhnya dengan kemapuanmu tapi itu menimbulkan kecemburuan dari pegawai yang lain.

Mereka menyangka, kamu mendapat pengistemewaan dari kantor, Vanes.

Dan itu menimbulkan gejolak di antara para pegawai, pahamilah itu!”

Vanesa menarik napas panjang. Seperti ada sesuatu yang menggumpal di dadanya. Terasa sakit.

“Jadi, saya harus bagaimana, Pak?” ucapnya pelan.

Pak Gunawan memandang lurus ke arah Vanesa.

Pegawai kesayangan yang selama lima tahun ini berada di bawah didikannya.

“Ada dua pilihan untukmu, tetap bekerja dengan catatan tidak lagi bisa membawa anakmu ke kantor atau---,”

“--- resign,”

“Iya, kamu sudah tahu jawabannya.”

Pukul lima sore, Vanesa keluar dari ruangannya sambil membawa dua kardus besar yang dia letakkan di bagasinya.

Itu adalah barang-barang pribadinya yang selama ini ada di ruangan tempatnya bekerja.

Perusahaan sudah memberi pilihan dan dia juga punya pilihan sendiri.

Sambil menahan air mata yang nyaris runtuh saat dia berpamitan dengan teman-teman sekantornya, Vanesa memilih untuk mengundurkan diri dari perusahaan.

Terus terang, dia tidak tega jika harus memberikan Sean untuk diasuh orang lain.

Dia merasa ini adalah keputusannya yang terbaik.

Vanesa melirik ke arah Sean yang sedang berceloteh di atas kursi bayi di yang dia letakkan di bagian tengah mobil.

Dari stereo terdengar lagu anak-anak yang diputar untuk membuat Sean gembira.

Terkadang Vanesa ikut menyanyi dan bercakap-cakap dengan anaknya.

Lalu lintas padat, mertuanya baru saja menelepon agar dia datang ke rumah mereka. Ada urusan penting, dia tidak tahu apa.

Satu yang pasti, dia tidak akan pernah mengatakan pada mereka jika dia mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja karena Sean.

“Hai, cucu Oma paling ganteng,” sapa Bu Gayatri dengan gembira saat melihat Vanesa menggendong cucunya masuk ke rumah.

Vanesa tersenyum dan menyerahkan anaknya untuk dipangku mertua perempuannya. Celoteh riang terdengar seketika menghiasi ruang tamu yang semula sepi.

“Vanes, Mama memasak rendang kesukaanmu. Sana, kamu cuci tangan dan cicipi masakan Mama.”

Vanesa tertawa lirih, mengecup pipi ibu mertuanya yang terlihat gembir bermain dengan cucu laki-lakinya dan berjalan menuju westafel dapur untuk mencuci tangan.

Dengan sepiring nasi dan beberapa potong daging rendang, Vanesa duduk tenang di meja makan.

Entah kenapa dia merasa lapar sekali dan rendang buatan Bu Gayatri sungguh menggugah selera.

 Aroma santan, jintan dan rempah-rempah yang lain terasa nikmat di mulutnya.

Dia sekarang seorang pengangguran tapi bukan berarti karena itu harus bersedih dan berhenti makan enak.

Perkara pekerjaannya tidak akan membuatnya susah.

“Wah-wah, lihat siapa yang datang? Adik iparku yang cantik.”

Sebuah suara yang feminim menyapanya dari arah ruang tengah.

Vanesa mendongak dan memandang Anisa yang terlihat santai dalam balutan celana jin dan blus putih.

“Makan, Kak. Mama sengaja mengundangku datang untuk makan rendang buatannya.”

Anisa tersenyum. Duduk di sebelah Vanesa yang asyik mengunyah.

“Kelihatan enak memang, sayang aku lagi diet.

Jadi hanya bisa melihat. Apa kamu nggak takut jadi gemuk? Itu kan kalorinya besar.”

Vanesa mengangkat bahu.

“Itu bisa diatur, masalah diet dan sebagainya.

Sementara ini, rendang lebih penting, “ jawabnya ringan.

Anisa tertawa, tangannya meraih gelas di atas meja dan menuangkan air putih ke dalamnya.

Lalu meneguknya dengan rakus.

Terus terang dia iri melihat cara Vanesa makan dan pingin sekali mencicipi rendang tapi apa daya, dia dikalahkan oleh berat badan yang makin lama makin membengkak.

Itu tidak boleh terjadi, apa kata suaminya jika dia tahu berat badannya naik selama tinggal di Jakarta.

“Kamu datang sendiri? Tidak bersama adikku pastinya.”

Vanesa menggeleng. “Kami beda arah kantor.”

“Oh begitu, apa dia tidak meneleponmu untuk mengatakan bahwa hari ini dia akan terlambat pulang?”

“Tidak.”

Anisa tertawa lirih.

“Pasti dia juga tidak memberi tahu alasan dia pulang terlambat, kan?”

Vanesa meletakkan sendoknya. Merasa makannya kurang nikmat karena harus mendengarkan Anisa bicara hal yang memancing-mancing keingin tahuan.

“Ada apa, Kak. Bicara saja langsung tidak usah ditahan.”

Anisa mendekatkan mulutnya ke Vanesa dan berbisik.

“Ronald ada janji makan malam dengan Natali.

Kamu lihat saja, pasti malam ini dia pulang terlambat.”

“Lalu? Apa masalahnya?”

“Hah, masih nggak paham juga kamu.

Demi Natali, dia mengorbankan waktu berkumpul dengan kamu, itu bisa berarti sesuatu.”

“Berarti apa?

Bukankah Kak Natali sudah menikah?” tanya Vanesa heran.

Anisa memiringkan kepala dan memandang Vanesa yang sedang mengelap mulut dengan tisu.

Mengakui dalam hati jika Vanesa memang cantik.

Tidak heran jika Ronald bersedia menikahi mantan adik iparnya sendiri.

“Kuberikan satu rahasia,” bisik Natali pelan.

“Duluu sekali, saat Ronald masih kuliah dan Natali yang lebih dewasa sedang merintis usaha, mereka pernah dekat satu sama lain.

Sangat dekat, sampai akhirnya Natali memilih pergi ke luar negeri, merintis karir dan menikah di sana.

Meninggalkan Ronald sendiri, patah hati.”

Vanesa terkesiap.

Sungguh berita yang baru saja didengarnya membuatnya kaget.

Jadi Natali mantan pacar suaminya?

Memang dulu Ronald pernah mengatakan jika dia sempat menjalin hubungan dengan wanita yang lebih tua tapi sama sekali tidak menyangka jika itu adalah Natali.

Dia pikir, hubungan mereka hanya sebatas teman masa kecil.

“Lalu, apakah sekarang setelah Natali menikah dia akan kembali pada Kak Ronald?” tanya Vanesa bingung.

“Pernikahan Natali sedang diambang masalah.

Sudah hampir dua tahun ini mereka tidak harmonis.

Aku yakin seratus persen jika Ronald pun pasti tahu masalah Natali.

Setelah Ronald menduda, sempat terpikir oleh Natali untuk kembali pada Ronald.

Siapa sangka, adikku malah menikahi kamu.

Apa kata orang tentang kalian?

Turun ranjang?”

Vanesa menyipit, duduk bersendekap dan menghadap ke arah Anisa.

Dari ruang tamu terdengar tawa ceria Sean yang sedang bermain dengan neneknya.

“Apa kita pernah punya masalah, Kak?” tanya Vanesa.

“Tidak, kita tidak pernah punya masalah.”

“Lalu, kenapa Kakak mengusik pernikahanku?”

“Itu karena aku tahu apa yang terbaik untuk adikku.

Dia dan Natali lebih cocok satu sama lain.

Buktinya, mereka menikah dengan orang lain pun akhirnya bercerai.

Dalam kasus Ronald, Mili meninggal.”

“Apa yang membuatmu yakin, aku tidak cocok untuk adikmu?” tantang Vanesa.

Anisa menatap Vanesa yang terlihat menantangnya.

Mengakui dalam hati jika Vanesa tidak selemah yang dia pikirkan.

“Ini,” tunjuk Anisa pada pelipisnya sendiri. “keras kepala dan arogan.

Ronald harusnya bersanding dengan wanita mandiri yang mengerti akan dirinya, mengayomi dan menyokong semua kegiatannya.

Bukan dengan kamu yang keras kepala dan yah, tidak cukup lugas.”

“Masalahnya adalah, kami yang menikah kenapa kamu yang repot, Kak?

Sekarang Kak Ronald adalah suamiku.

Mau tidak mau kamu harus mengakui itu.

Lalu sekarang kamu sibuk memuji-muji wanita lain hanya untuk meyakinkan aku tidak cocok untuk adikmu.” Vanesa beranjak dari kursinya.

Memanmdang Anisa yang masih duduk diam di tempatnya.

Lalu bicara lirih. “Dia milikku, kamu pikir aku akan melepaskan suamiku begitu saja demi wanita lain?

Tidak akan!”

Vanesa bergerak meninggalkan ruang makan, baru berajalan tiga langkah dia menoleh.

Wajah Anisa terlihat mearh padam karena marah.

“Satu lagi, dari pada kamu sibuk mengurus rumah tangga kami.

Lebih baik jika Kakak mengurus keluarga sendiri.

Siapa tahu, jika anakmu sekarang sedang menangis karena kangen dengan Mamanya.”

Mengabaikan Anisa yang terdiam di belakangnya. Vanesa menghampiri ibu mertua dan anknya.

Mereka mengobrol tentang banyak hal dan Vanesa tidak melepaskan senyum dari bibirnya.

Dia tahu, ibu mertuanya sangat baik.

Sungguh jauh berbeda dengan anak perempuannya.

Karena itu, dia sayang dan hormat dengannya.

Tidak peduli jika yang dilakukan anak-anaknya menyakiti hati.

Saat dia berpamitan pulang, Bu Gayatri sibuk membungkus makanan untuknya dan Ronald. Vanesa menerima dengan penuh haru.

Apa yang dikatakan Anisa menjadi kenyataan.

Hingga pukul sembilan malam tidak ada khabar dari suaminya jika dia akan pulang terlambat. Vanesa tetap melakukan pekerjaan rumah seperti biasa.

Sementara tangannya bergerak untuk menyapu dan mengepel, pikirannya dipenuhi oleh Ronald dan pekerjaannya yang baru saja hilang.

Sean sudah terlelap.

Waktunya bagi Vanesa untuk merapikan cucian kering. Handphone-nya bergetar dari atas mesin cuci.

Dengan sigap dia membuka layar dan melihat nama Vico tertera di sana.

“Apa khabar, Sayang? Sudah makan malam? Jangan sampai telat makan, love you.”

Rentetan pesan dari mantan kekasihnya membuat dadanya sesak.

Dia hanya membaca tanpa membalas, tidak bijak jika terus menerus memberi harapan pada Vico yang tampan dan baik hati sedangkan statusnya tak lagi sendiri.

Vanesa terduduk di lantai.

Bersandar pada mesin cuci, sementara handphone di tangannya masih terus berbunyi yang menadakan pesan masuk.

Vico tidak berhenti mengirim pesan meski dia tahu Vanesa membaca tanpa membalas satu pun pesannya.

Pukul sebelas malam, Vanesa yang kelelahan tertidur di kamar Sean.

Dia tidak menyadari kedatangan Ronald.

Dia hanya menggeliat kecil saat merasa tubuhnya dibaringkan dengan benar dan diselimuti.

Dia tidak bergeming, tetap menutup mata saat sebuah kecupan mendarat di dahi dan bibirnya.

Tidak menyadari jika sang suami baru saja pulang dan sedang membungkuk di atas wajahnya, memandang dengan penuh damba.

Ronald membelai wajah Vanesa, merasakan kehalusan di ujung jarinya.

Tubuhnya sangat sakit menahan hasrat untuk sekedar memeluk istrinya.

Dia akan sabar menunggu, hingga tiba waktunya, Vanesa bisa menerima kehadirannya secara utuh.

Dia bersedia menunggu tak berbatas waktu.

Keesokan paginya, Vanesa yang sedang menyiapkan sarapan bertanya sambil lalu pada Ronald, Jam berapa dia pulang dan kenapa terlambat.

Ronald menjawab ringan sambil menyesap kopinya.

“Ada meeting dengan Jery, pulang jam sebelas.”

Vanesa tahu jika dia telah dibohongi.

Bersambung....

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER