Tuesday, April 28, 2020

CINTA TIGA HATI 18

Cinta Tiga Hati 
part 18

Vanesa melongo, benar-benar terguncang menatap wanita cantik bak boneka masuk ke dalam rumahnya dengan tenang dan senyum terkembang.

Memakai tunik sutra merah, ada tas kecil yang tersampir di lengan dan cara berjalannya anggun bak peragawati.

Rambut ikal coklat madu dibiarkan tergerai hingga di bawah bahu dengan anting panjang berdenting setiap kali dia bergerak.

Vanesa masih melongo saat wanita di depannya melenggang dan melihat-lihat ruang tamu dengan tertarik.

Bersikap seakan-akan di rumahnya sediri.

“Vanes, suami kamu ganteng ya?

Macho gitu.

Trus anak kamu lucu, mana dia sekarang?” cecar wanita cantik yang sekarang menunduk ke dalam lemari kaca.

Berkata tanpa basa-basi sebelumnya.

Vanesa masih belum pulih dari rasa kagetnya.

Tidak menjawab pertanyaan tamu yang sekarang berjalan santai mengeliling ruangan. Melihat dari satu foto ke foto lain.

“Ruang tamu kalian meski kecil tapi nyaman ya?

Jika dibandingkan sama kamarku masih luas kamarku sih?” gumamnya.

“Maaf, ini rumahku.

Ada maksud apa Anda kesini?” sela Vanesa dengan nada tanya.

Hana Belia menoleh cepat, seakan baru menyadari ada Vanesa di belakangnya.

Dia menegakkan tubuh dan menatap Vanesa, masih dengan senyum tersungging.

“Jangan ketus gitu, Vanesa.

Bisa nggak kita mengobrol layaknya teman?”

Tegurannya membuat Vanesa tersadar.

Dia menyilahkan tamunya duduk.

Kedatangan tunangan Vico benar-benar membuat kejutan.

Mengingat kedatangan mama Vico minggu lalu, semoga kunjungan Hana Belia berakhir baik tanpa pertikaian.

“Maaf, silahkan duduk. Mau minum apa?” tanyanya sopan.

Hana Belia duduk di sofa, Vanesa memilih tempat di seberangnya.

Sejenak keduanya berpandangan tanpa saling bicara.

Seakan-akan sedang saling menilai. Siapa yang lebih cantik dan siapa yang lebih kuat.

“Vanesa, kamu cantiik sekali.

Pantas saja Vico cinta mati sama kamu,” ucap Hana Belia tiba-tiba.

Kata-katanya tidak hanya membuat Vanesa kaget tapi juga bingung secara bersamaan.

“Hah, masa?” hanya itu yang mampu diucapkan Vanesa.

Hana Belia menyibakan rambut ke belakang sambil mengangguk.

“Iyaa, suka lihat wajah kamu yang mulus dan tahi lalat kecil di bawah dagu.

Tidak ada niat operasi?”

Vanesa menggeleng.

Merasa jika perkataan Hana Belia padanya ibarat basa-basi antar teman.

Hana Beli sekali lagi tertawa.

“Waktu aku lihat berita tentang kamu dan Vico, dalam bayanganku akan bertemu wanita sombong dan angkuh.

Ternyata kamu ramah ya?”

Kali ini Vanesa tidak bisa menahan tawa.

Sungguh Hana Belia datang dengan sikap di luar prasangkanya.

“Makasih, padahal banyak yang bilang aku judes,” jawab Vanesa enteng.

Hana Belia tertawa lirih.

 “Awalnya aku menyangka gitu.

Ternyata nggak. Apa kamu tahu aku datang untuk apa?”

Vanesa menggeleng.

Memandang tamunya dengan rasa ingin tahu yang tidak dia tutupi.

Hana Belia berpindah duduk.

Sekarang berdampingan dengan Vanesa.

Lengannya yang ramping tersampir pada pundak Vanesa dengan ramah.

Dia bersikap seakan sedang bicara dengan teman lama.

Gayanya yang santai membuat si pemilik rumah dilanda keheranan.

“Pinginnya sih marah-marah, kenapa kamu merebut Vico dariku tapi kalau dipikir-pikir aku juga yang salah,” ucapnya dengan nada sendu.

“Maksud perkataanmu apa?

Dan siapa namamu?” tanya Vanesa.

Hana Belia mendesah.

“Panggil aku, Hana. Gini loh, Vanes.

Sebenarnya aku dari kecil sudah cintaaaa sekali sama Kak Vico.

Saking cintanya aku minta sama orang tuaku buat dijodohin sama dia.

Oh ya, orang tua kami berteman.”

“Lalu?”

“Lalu orang tuaku mengajukan syarat.

Boleh menikah dengan Vico asal aku memperbaiki diriku dengan menuntut ilmu.

Aku sekolah ke luar negeri selama beberapa tahun dengan harapan saat kembali Kak Vico akan menerimaku, ternyata ….”

Hana Belia mendesah dramatis.

Membuat Vanesa yang mendengar ceritanya ikut kuatir.

“ternyata dia malah pacaran sama kamu.”

“Maaf.” Tanpa sadar ucapan maaf tercetus dari mulut Vanesa.

Hana Belia tersenyum sambil mengibaskan tangan.

“Nggak usah kuatir, salahku juga meninggalkan dia terlalu lama.

Kini saatnya aku merebutnya kembali dari tanganmu.

Kamu nggak keberatan kan?”

Vanesa menggeleng. “Dia milikmu, aku sudah menikah,” ucapnya pelan.

“Bagus! Berarti urusan di antara kita clear sekarang.

Tadinya aku sempat takut loh sama kamu.

Jangan-jangan nanti kamu ngamuk pas aku bicara soal Kak Vico.”

“Kenapa marah?” jawab Vanesa sambil tertawa.

Menggelengkan kepala dan menatap Hana Belia.

“Dia bukan milikku. Justru aku yang takut kamu datang untuk mengomeliku.”

“Adakah yang datang sebelumnya?” tanya Hana tertarik.

Vanesa tidak menjawab. Saat itu terdengar suara bayi menangis.

“Maaf, aku harus masuk,” pamitnya pada Hana.

“Eih, aku ikut.”

Sore itu adalah sore paling aneh dalam hidup Vanesa.

Seorang wanita kaya raya, pewaris perusahaan penerbangan terbesar nomor tiga di Indonesia, datang ke rumah untuk curhat.

Mereka mengobrol di ruang makan yang berada di dapur.

Hana Belia sangat menyukai Sean.

Berkali-kali dia menggendong dan mengajak bermain bayi yang sekarang sudah mulai belajar berjalan.

Dia juga sangat menyukai kue buatan Vanesa yang menurutnya adalah kue terenak setelah yang dia makan di restoran Perancis.

“Aku suka sekali datang kemari dan ngobrol denganmu.

Serasa punya saudara perempuan,” ucapnya dengan mulut mengunyah biskuit almond. “Padahal aku harus diet tapi tidak berhenti makan.”

“Kurus begitu mau diet apa lagi?

Vico bukannya nggak suka wanita kerempeng,” ucap Vanesa tanpa sadar dan langsung menutup mulutnya.

“Naaah itu. Badan kamu lebih berbentuk dari pada aku.

Lebih sexy juga, makanya Kak Vico lebih suka kamu juga.”

Perkataan Hana yang diucapkan dengan cemberut membuat Vanesa gemas.

Adakah orang di dunia ini yang cemburu dan dilakukan dengan sangat elegan?

Apakah Hana Belia pura-pura atau serius dengan sikap ramahnya?

Berbagai pertanyaan muncul di benak Vanesa tapi dia mendiamkannya.

Saat ini, bicara ramah dan menghormati tamu adalah prioritas.

“Kamu harus berusaha lebih dari sekedar memperbaiki bentuk tubuh,” saran Vanesa.

Hana Belia mengangguk.

“Aku tahu, banyak yang terlewatkan olehku selama kami terpisah jarak.

Kenapa aku datang pertama kali padamu dan bicara perihal Kak Vico?”

Hana mengalihkan pandangannya dari Sean yang sedang duduk mengudap biskuit di kursinya ke arah Vanesa yang asyik menuang teh dari teko ke cangkir.

“karena aku tahu kamu akan sangat memahami Kak Vico mengingat kebersamaan kalian selama ini.

Asal tahu saja, dia terpaksa menerima pertunangan kami demi kamu, Vanes.”

“Maksudmu?” tanya Vanes bingung.

Meletakkan cangkir berisi teh ke hadapan Hana.

Hana Belia mengembuskan napas panjang.

Wajahnya mendadak murung.

Dia memainkan cangkir berisi teh panas di tangannya.

Entah kenapa melihatnya seperti itu membuat Vanesa ditikam rasa bersalah.

“Hana ….?”

“Di malam pertunangan kami yang seharusnya menjadi malam bahagia, hal yang pertama dia ucapkan adalah ; aku mencintai Vanesa.

Karena orang tuaku terutama Mamaku mengancam akan menghancurkan bisnis keluarga Vanesa maka aku terpaksa bertunangan denganmu.

Jangan harap aku akan mencintamu, Hana.”

Tanpa sadar Vanesa membanting cangkirnya di atas meja.

“Benarkah dia mengatakan itu?”

Hana mengangguk pelan.

“Iya, dengan dingin dan tegas. Lalu meninggalkanku sendirian.”

“Maaf.”

Hana mendongak memandang Vanesa yang berdiri gamang.

“Jangan meminta maaf, ini bukan salahmu.

Aku tahu kamu tidak mau kembali pada Kak Vico karena sudah menikah.

Itulah juga yang membuatku masih menaruh harapan jika suatu saat dia akan kembali padaku.

Aku hanya perlu berusaha lebih keras untuk menaklukkan hatinya bukan?” kata Hana sendu.

Terlihat air mata hendak menetes dari ujung matanya.

Vanesa mendekatinya dan mengelus bahunya ringan.

Sama sekali tidak menyangka jika wanita yang terlihat baik dan ramah akan merasa sakit hati karena Vico.

“Jangan sedih, kamu harus tegar untuk mendapatkan hatinya.”

“Iya, aku akan berusaha.

Terima kasih sudah mau mendengarkan ceritaku.”

Mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol tentang masa lalu atau lebih tepatnya Vanesa yang mendengarkan Hana Belia bercerita tentang masa kecilnya bersama Vico.

Dia tidak banyak menyela, membiarkan wanita di hadapannya menumpahkan unek-unek.

Wanita seperti Hana Belia sungguh aneh menurut Vanesa.

Ceria tapi juga rapuh secara bersamaan.

Sedikit banyak dia memahami posisi Hana Belia, itu mengingatkan akan perasaannya saat dulu Ronald menikah dengan Mili.

Cemburu tapi juga tidak berdaya.

Setelah menghabiskan dua loyang biskuit almond, tiga teko teh panas dan banyak jeritan dari Sean yang menuntut perhatian, akhirnya Hana Belia pamit.

Sebelum pergi dia memberi isyarat akan datang kembali.

Vanesa menatap kepergiaannya dengan perasaan bingung.

Apakah Hana Belia tulus?

Apakah tidak ada yang disembunyikan di balik sikap baiknya?

Yang dia tahu hanya satu, dia tidak ada hubungan dengan Vico lagi.

Harusnya tidak ada alasan Hana Belia membencinya.

Mendadak dia teringat perkataan Hana Belia tentang Vico dan pengorbanannya. Vanesa merasakan tusukan perasaan bersalah.

Demi dirinya Vico berkorban.

Apakah dia patut diperebutkan dua lelaki yang sama-sama baik?

Vanesa mengusap wajahnya, berharap dengan itu hilang juga kegalauannya tentang Vico.

“Ini kantornya?” tanya Jery dari balik kemudi.

Ronald mengangguk.

“Yes, lantai atas. Dan ini gedung milik mereka sendiri.

“Wow, hebat juga ya Devian.

Waktu lo kenalin kita, gue pikir hanya direktur perusahaan kecil.

Nggak tahunya, waaah,” decak Jery kagum memandang gedung megah di hadapannya.

Setelah memarkir mobil, Ronald dan Jery menuju lantai sepuluh.

Ada seorang resepsionis yang menyapa dari balik meja.

Tak lama seorang wanita cantik berusia tiga puluhan dengan rambut pendek dan berseragam biru menyambut mereka dengan ramah.

“Perkenalkan, saya Sena.

Sekretaris Pak Devian, silahkan ikuti saya.

Beliau sudah menunggu di dalam.”

Ronald mengangguk ramah sementara Jery memandang Sena dengan terpana. Ronald hanya menggeleng melihat sikap Jery tapi tidak merasa aneh.

Sena memang wanita cantik, bisa jadi Jery terpukau padanya.

Mereka dibawa masuk melalui pintu besi dengan ukiran rumit.

Sena membuka dan tampak Devian duduk di belakang meja besar yang membelakangi jendela kaca.

 Sungguh ruangan besar sekali.

Ronald memperhatikan ada ruangan kecil yang disekat tepat berada di pojokan. Mungkin untuk tempat beristirahat.

“Hai, Bro!” Devian menyapa dan bangkit dari kursinya.

Keduanya berangkulan dan Jery menjabat tangan Devian dengan hormat.

Bertiga duduk di sofa hitam yang berada persis di tengah ruangan.

Meski di luar panas tapi keadaan di dalam kantor Devian sungguh sangat sejuk dan nyaman.

Sena sibuk dengan alat pembuat kopi yang ada di samping tembok.

Sementara Devian dan Ronald mengobrol basa-basi, mata Jery tidak lepas memandang sosok Sena.

“Aku sudah mempelajari dokumen yang kamu kirim kemari,” ucap Devian sambil menangkupkan tangan di atas dengkul. Cincin putih melingkari jari manisnya.

“Memang benar dugaanmu, itu ada hubungan dengan Tirta Group.”

Ronald mengangguk setuju.

“Pabrikku dikerjai habis-habisan.

Bahkan sekarang banyak pelanggan yang berniat memutuskan kontrak kerja sama karena pasokan dari kami tersendat.”

“Apa ini ada hubungannya dengan Vanesa?” tanya Devian ingin tahu.

Sena mendekat dengan nampan di atas tangannya.

Ada tiga cangkir berisi kopi panas mengepul yang dia hidangkan masing-masing satu cangkir pada tiga laki-laki di depannya.

Jika Ronald menerima dengan anggukan sopan maka Jery mengucap terima kasih dengan senyum tersungging.

Sena keluar dari ruang direktur setelah menghidangkan kopi.

“Bagaimana, Ronald?” lanjut Devian pada pertanyaannya.

Ronald termenung sejenak, menatap kopi yang beruap di hadapannya.

Membayangkan jika masa depan pabriknya terasa suram dan gelap layaknya warna kopi.

“Iya, memang semua berhubungan dengan Vanesa.

Dimulai dengan berita pertemuan antara Vico dan Vanesa dan diakhiri dengan pabrikku.

Sampai sekarang istriku masih enggan keluar rumah,” tutur Ronald.

Devian mengangguk prihatin.

Seakan dia bisa merasakan kesedihan yang menimpa Ronald.

“Lalu, apa rencanamu sekarang?” tanya Devian padanya.

Ronald melirik Jery yang terdiam di sampingnya.

Mereka membiarkan uang kopi menghilang dari atas cangkir.

Bisa jadi karena suhu ruangan yang terlalu dingin.

“Jika berkenan aku ingin minta bantuanmu.”

Devian mengangkat sebelah alisnya.

“Bantuan seperti apa yang kalian harapkan?

Apakah kalian ingin aku menanamkan modal?” tanya ingin tahu.

Ronald menggeleng cepat.

“Bukan itu, soal modal kami masih cukup mampu.

Jika tidak merepotkan ingin minta tolong pada Kakek Hanggoro.”

“Kakekku?”

“Iya, mengingat reputasi beliau.

Aku ingin meminta tolong pada beliau menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan Tirta Group menekan perusahaan kami.”

Penjelasan panjang lebar dari Ronald membuat Devian mengerti.

“Hanya itu?”

Ronald mendesah dan membuang napas panjang.

“Iya, hanya itu pertolongan yang aku minta. Karena hasilnya akan sangat besar bagi kami.”

“Silahkan minum kopinya.” Devian menyilahkan kedua tamunya.

Secara bersamaan mereka mengangkat cangkir dan menyesap kopi.

Ronald meminum tanpa benar-benar menikmati rasa.

Masalah demi masalah yang menimpa keluarga dan pabrik menyita tidak hanya pikiran tapi juga selera dalam menikmati hidangan.

Dia ingat tadi pagi Vanesa menegurnya karena menolak sarapan.

Demi agar istrinya tidak kuatir dia terpaksa menelan makanan meski tidak berselera.

“Aku akan bicara dengan Kakek, kurasa beliau akan menyetujui untuk membantumu. Jika permohonanku tidak didengar, biar istriku yang bicara,” ucap Devian dengan senyum terkembang.

“Kakekku itu lebih menyayangi Clarissa dari pada aku, cucunya sendiri.”

Mereka tertawa lirih.

Jery mungkin belum pernah bertemu Clarissa tapi Ronald sudah beberapa kali berjumpa.

Cantik, sederhana dan sangat penyayang.

Meski bersuamikan jutawan macam Devian tapi Clarissa tetap rendah hati.

Semenjak pertama kali diperkenalkan, Ronald sangat menghormati istri Devian dengan segala kesederhanaannya.

“Aku sudah menyuruh Sena untuk menghubungi beberapa pemasok besi yang kami kenal.

Sepertinya mereka setuju.

Daftarnya ada di tangan Sena, jangan lupa diambil sebelum pulang,” tutur Devian.

“Waah, terima kasih sekali, Bos. Biar saya ambil sekarang,” jawab Jery tiba-tiba.

Dia bangkit dari kursi dan membuka pintu.

Melangkah menuju meja Sena yang berada di luar kantor Devian.

Ronald mengamati kepergian Jery lalu beralih pada Devian.

“Terima kasih sekali atas bantuanmu.”

“Tidak usah sungkan, Ronald.

Kita berteman bagaimana pun.

Aku paham benar bagaimana hati porak poranda karena cinta.”

Ucapan Devian membuat Ronald tertawa.

Dia tahu persis bagaimana kisah cinta Devian dan istrinya yang berliku.

Mungkin karena merasa senasib perihal cinta yang membuat Devian bersedia menolongnya.

“Cinta memang rumit, di lain waktu membuatmu bahagia setengah mati tapi saat kau lengah dia menikam dan membuat kita tak berdaya,” ucap Ronald sungguh-sungguh.

Devian mengangguk setuju.

“Jika semua masalah ini selesai, jaga istrimu baik-baik.

Jangan biarkan laki-laki lain merebut hatinya.”

Sambil menghabiskan kopi, kedua laki-laki tampan itu mengobrol sambil merokok.

Kedua berbicara panjang lebar perihal ekonomi, keluarga dan banyak hal lainnya.

Hingga Ronald tak menyadari jika Jery tak jua kembali dari tempat Sena.

*****

Suara musik mengalun lirih dari dapur menarik perhatian Ronald yang baru saja bangun.

Selesai mandi dan berganti baju, dia menengok kamar anaknya.

Sean masih tertidur pulas di ranjang kecil miliknya.

Ronald berjalan menuju dapur, seketika wangi mentega menyergap penciumannya.

Tanpa sadar dia tersenyum melihat istrinya sedang sibuk menghitung kue dalam kotak yang ditumpuk di atas meja.

Bukankah Vanesa terlihat menawan dalam gaun rumah sederhana berwarna kuning.

Dengan rambut yang diikat dan terlihat tengkuknya yang putih.

Rasa mendamba Ronald tergugah melihat betapa lembut istrinya.

“My love, there’s only you in my life. The Only thing that right.” Menirukan lagu yang diputar dari handphone istrinya, Ronald bernyanyi pelan dengan tangan melingkari tubuh Vanesa.

“Eih, sudah bangun?

Mau sarapan?” tanya Vanesa sambil mendongak ke belakang untuk melihat wajah suaminya.

“Nanti, aku masih mau mesra-mesraan dengan istriku,” bisik Ronald di telinga Vanesa dan membuat wanita dalam pelukannya terkikik.

“Diih, apaan, sih?

Emang nggak lihat aku lagi sibuk?” tukas Vanesa pelan.

“Sibuk bisa dilanjutkan nanti.

Sekarang mari kita nikmati lagu ini,” ucap Ronald di dekat telinga Vanesa. “nyonya Ronald yang cantik, maukah berdansa denganku?”

“Aku nggak bisa berdansa,” kikir Vanesa saat tubuhnya diputar hingga sekarang menghadap suaminya.

“Sama, kita tiru saja film-film yang biasa kita tonton.

Bergerak pelan ke kanan dan ke kiri.”

Vanesa tidak berhenti tertawa saat Ronald mengajaknya berdansa sesuai irama musik. Dia terkikik keras saat tubuhnya diputar-putar layaknya pedansa professional.

Ronald sendiri mengamati istrinya yang gembira dengan wajah bahagia.

Bukankah mereka sekarang sedang berbahagia?

Bukankah sekarang mereka bersikap layaknya suami istri yang sedang mencintai? Vanesa yang sekarang ada dalam pelukannya kembali menjadi Vanesa yang dulu pernah dia cintai, bukan lagi wanita yang bersikap ketus saat berada di dekatnya.

“Sudah lama kita tidak kencan berdua, menonton film dan makan di luar,” bisik Ronald saat Vanesa memeluk punggungnya.

“Ada Sean, kasihan kan? Kalau kita bawa nonton.”

“Ehm … bagaimana jika Sean kita titipkan ke Mama untuk beberapa jam.

Lalu kita kencan berdua.”

Usulan dari Ronald membuat Vanesa tersipu.

“Baiklah, tapi setelah urusan dengan pesanan kue selesai.”

Ronald memandang berkotak-kota kue yang terhampar di atas meja.

“Kapan mau dikirim semua ini?” tanyanya.

“Nanti sore jam dua.”

“Mau pakai mobilku?”

Vanesa menggeleng. “Tidak perlu, ada taxi.”

“Baiklah, kita ada waktu tiga puluh menit sebelum Sean bangun dan aku harus ke kantor,” ucap Ronald.

“Mau ngapain?” tanya Vanesa heran.

“Mau ini.” Sebuah kecupan mendarat di bibir Vanesa.

Keduanya berpandangan, tangan Ronald mengelus rambut istrinya.

Entah siapa yang memulai keduanya berkecupan dengan hangat.

Sementara lagu sendu penuh cinta masih terus terdengar seakan menjadi pengiring akan kemesraan mereka.

Aroma bunga gardenia yang ditanam tepat di bawah jendela dapur, menyatu dengan wangi mentega dan gula dari dalam kue.

Di antara semua aroma yang menyergap hidungnya, Ronald merasa jika aroma tubuh Vanesa lebih wangi dari apa pun.

Mungkin dia yang terlalu cinta tapi begitulah adanya.

Cinta mematikan tidak hanya pendengaran, penglihatan tapi juga penciumannya.

Sebagai laki-laki dewasa dia merasa lemah karena asmara.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER