Wednesday, April 1, 2020

Hati Bicara 26

SA'AT HATI BICARA  26

(Tien Kumalasari)

Panji duduk menjauh dari Maruti, membiarkan gadis yang dicintainya masih menangis sambul menutupi mukanya.

"Kamu bilang apa? Cintai Dita? Kamu pikir cinta itu apa Ruti?Coba ulangi kata2 kamu tadi, apa aku salah mendengarnya?"

"Aku mohon.. mas."

"Kamu tidak tau bagaimana cinta? Kamu tidak bisa mengerti bagaimana cinta? Memangnya cinta bisa dipindah tangankan seperti barang? Ini masalah perasaan Ruti. Aku mencitaimu. Itu sesungguhnya yang ingin aku katakan secara lisan ketika aku akan menjemputmu sore ini. Tapi belum2 kamu merusak segalanya, ada apa Ruti?" kata Panji dengan nada tinggi, ada amarah yang tertahan melihat tangis Maruti.

"Mas...."

"Sekarang aku ingin kamu menjawabnya, jawab yang jujur, apakah kamu mencintai aku?"

Maruti masih terisak.

"Jawab Maruti, apa kamu mencintai aku?"

"Aku... sangat..."

"Sangat apa? Jawab dengan jelas."

"Aku cinta mas.." lalu tangis itu meledak lagi.

"Maruti, sayangku.. kalau begitu tidak ada yang bisa memisahkan kita, tidak ada yang akan merusak kebahagiaan kita, walau itu adikmu sekalipun."

Panji kembali mendekati Maruti dan merengkuhnya dalam pelukan yang sangat erat. Membiarkan tangis Maruti terbenam didadanya, air matanya membasahi bajunya. Panji mengelus kepala Maruti lembut.

"Aku tau hatimu sangat baik, kamu menyayangi adikmu, bahkan mungkin akan kamu berikan apapun yang kamu punya kepada siapapun yang memintanya. Tapi ini cinta, rasa, tidak bisa dialihkan begitu saja,"kata Panji sambil terus mengelus kepala Maruti.

"Tapi mas.. aku ingin memberikan kebahagiaan pada Dita di akhir hidupnya," kata Maruti disela sela tangisnya.

Panji tertegun. 

"Pada akhir hidupnya? Apa maksudmu?"

"Dokter memvonis Dita karena penyakitnya, umurnya hanya kira2 6 bulan lagi."

"Apa? Sebenarnya apa penyakit adikmu sehingga ada vonis seperti itu?"

Maruti menceriterakan semua apa yang dikatakan Santi kepada Panji. Ibunya memaksa dirinya untuk merelakan Panji kepada Dita, untuk memberikan kebahagiaan pada sisa hidupnya. Panji mendengarnya tanpa mengucap apapun. Tapi akhirnya..

"Tidaaak, aku tidak bisa."

"Maaas.. tolong mas.," ratap Maruti, tapi Panji tidak bergeming. Ia menjauh dari Maruti dan bersiap menjalankan lagi mobilnya.

Maruti menubruknya. Membenamkan kepalanya dipangkuan Panji, dan melanjutkan tangisnya disana.

"Mas.. aku harus menyembahmu agar mas mau menurutinya ? Biar itu aku lakukan.."

"Tidak ada yang bisa kamu lakukan. Tidak.. Tidak.. dan Tidak !!"

"Di akhir hidupnya mas.. tolonglah.. Dita mencintai mas... menikahlah sebelum semuanya terlambat dan dia meninggal dengan hati terluka," ratap Maruti.

Mobil itu berjalan perlahan.. Maruti  masih menelungkup dipangkuan Panji.

 "Maas ... tolong aku mas... "

"Tidak.. Mintalah apapun.. tapi jangan cinta ini kau berikan kepada siapapun.. hanya untuk kamu Maruti... hanya untuk kamu.!" tandas Panji sambil terus menjalankan mobilnya. Bukan kearah rumahnya, tapi rumah Maruti. Maruti terus saja menangis, dan panji tak henti2nya mengatakan tidak.

Sampai mobil itu berhenti, tepat didepan pagar rumah Maruti.

"Maruti, kita sudah sampai, ini rumahmu, turunlah," kata Panji dingin, sedingin air es yang seakan mengguyur ubun2 Maruti, dan membuatnya menggigil.

"Turunlah...," pinta Panji sambil mengangkat kepala Maruti yng masih telungkup dipangkuannya.

Maruti bangkit, mengusap air matanya lalu turun dari atas mobil, dan berlari kearah rumah. Panji memandangi punggungnya, dengan perasaan pilu. Tak urung setitik air matapun turun dan membasaki pipinya.

***

"Lho mas, katanya mau menjemput Maruti dan melamarnya," tegur Laras ketika tiba2Panji nyeloning masuk lalu duduk disofa yang ada di teras itu.

"Mas... kamu kesurupan ya?" seloroh Laras yang dianggapnya tidak lucu oleh sepupunya. Wajahnya muram. Matanya terpejam dan kepalanya direbahkan pada sandaran kursi.

"Waduh.. bener2 nih.. Kesambet setan mana kamu mas? Kamu sakit?" Laras memegang dahi Panji, tapi tak ada tanda2 bahwa sepupunya sedang sakit.

"Ini tak mungkin Laras, sungguh... ini tak mungkin.." keluh Panji lirih.

"Apanya yang tak mungkin? Apanya mas? Oo... cintamu ditolak ? Iya mas?" 

Panji menggeleng.

"Aneh kalau Maruti menolak cintamu, kelihatan kok kalau ia sayang banget sama kamu. Ya kan mas?" Laras menyibakkan rambut Panji yang sedikit tergerai ke dahinya. Mereka sangat dekat sejak masih kecil, suka ataupun duka, Panji selalu membaginya bersama Laras, demikian pula sebaliknya. Laras melihat ada bekas air mata dipipi Panji.

"Kamu menangis? Astaga.. ada cowok gagah.. ganteng.. pintar.. pengusaha muda yang sukses.. bisa menangis? O lala... siapa gerangan yang menyakitimu mas, biar aku hajar dia," Laras masih mencoba mencandai kakaknya. Tapi Panji  tak bisa tersenyum kali itu.

"Baiklah, aku ambil minuman dulu untuk kamu, supaya hatimu lebih tenang dan bisa menceriterakan apa yang terjadi."

Tapi sebelum beranjak, Panji memegangi tangannya erat. Ia khawatir nanti tantenya bertanya dan ikut terbebani dengan perso'alannya.

"Piye ta mas..." Laras kembali duduk, disebelah Panji. 

"Laras, Maruti sudah gila.." keluh Panji lirih.

"Gila? Gila bagaimana ?"

"Masa aku disuruh mencintai Dita..adiknya.."

"Haaa? Lha kenapa? Maruti nggak mau sama mas? Menolak cinta mas ?"

Panji kemudian menceriterakan perihal Dita yang kata dokter umurnya tinggal 6 bulan lagi. Laras mendengarnya dan terkejut.

"Masa sih mas, kan Dita kelihatannya sehat2 saja? Tapi kalau iya, mengapa Maruti harus minta supaya mas mencintai Dita?"

"Nggak tau juga aku, katanya Dita suka sama aku.."

"Lhah, maksud Maruti, supaya Dita bahagia diakhir hidupnya, begitu..?"

"Nah itulah, tapi mana aku bisa Laras? Ini kan masalah perasaan.. bagaimana bisa aku menikahi wanita yang tidak aku suka, dan apa tidak kasihan dia mendapatkan cinta yang pura2?"

"O.. baiklah, aku mencoba memahami perasaan Maruti. Begini, kalau benar perkiraan dokter itu, Maruti ingin memberikan kebahagiaan bagi adiknya di akhir hidupnya. Dia tau Dita suka sama mas, maka alangkah bahagianya apabila mas bisa mengimbangi perasaannya . Itu maksudnya Maruti..dia ingin memberikan apa yang diinginkan Dita sebelum dia meninggal."

"Ya mana bisa aku mengimbangi perasaan Dita, sementara aku tidak suka sama dia..?" suara Panji meninggi.

"Benar, tidak suka, berpura2lah mas, demi kebahagiaan Dita di akhir hidupnya."

"Berpura pura? O.. tidak.. tidak.. aku tidak bisa. "

Laras menghela nafas panjang, memang sulit, tapi Laras masih berharap akan ada jalan terbaik untuk sahabatnya, dan juga untuk sepupunya.

***

Maruti menangis dikamarnya. Malam telah raut, tapi tak sedikitpun matanya bisa terpejam.Harapan untuk membahagiakan adiknya kandas, apa yang bisa dilakukannya? Tadi dia memasuki kamar Dita, dilihatnya Dita tertidur pulas, memeluk guling kesayangannya. Wajah polos nan cantik itu akan segera meninggalkannya,

 "Ya Tuhan, tolong jangan ambil nyawa adikku.Ambil saja nyawaku untuk menggantikannya.." rintih Maruti sambil mengelus kepala adiknya. Lembut elusan itu, takut kalau sampai Dita terbangun. Kemudian dia masuk kekamarnya sendiri, dan tenggelam dalam tangis disana.

"Apa sekarang yang harus aku lakukan? Kebahagiaan mana yang bisa melingkupi kehidupan Dita diakhir hidupnya?"

Ketika tiba2 ia merasa haus, lalu ia keluar kamar dan menuju kearah dapur. Namun dilihatnya Dita juga sedang menuang air dingin dari dalam kulkas.

"Dita, mengapa minum air dingin?" tegus Maruti.

"Haus.." jawab Dita singkat.

"mBak buatkan teh panas ya?"

"Nggak usah, ini cukup."

"Oh ya Dita, mbak lupa bilang, tadi ada salam buat kamu lho," kata Maruti sambil tersenyum.

"Dari siapa?"

"Dari mas Panji," kata Maruti berbohong. 

"Oh ya?" mata Dita berbinar. Hati Maruti berdebar, kebohongan ini akan berbahaya apabila nanti Dita mengetahuinya. 

"Tadi mbak jalan sama mas Panji?" pertanyaan ini penuh rasa cemburu, dan Maruti bisa menangkapnya.

"Nggak, kan mas Panji teman pak Agus, jadi kadang2 ketemuan disana. Tapi nggaak selalu ketemu mbak kok. Kebetulan saja tadi ketemu," kebohongan berlanjut.

"Oh, kalau ketemu lagi titip salam juga dari aku,"

"Baiklah, memang kamu selalu yang ditanyakan setiap ketemu. Dia juga bilang belum bisa menengok kamu karena kesibukannya."

"Ya, gak papa."

"Sekarang tidurlah lagi, malam telah larut."

Dita menghabiskan air dalam gelas yang tadi dituangnya, lalu keluar dari dapur menuju kekamarnya.

Maruti menghela nafas panjang. Apakah kebohongan itu akan membuat Dita akan bersikap baik padanya? Entahlah.

***

Maruti bangun kesiangan sehingga tak sempat membuat sarapan buat ibu dan Dita. Ia hanya menggoreng telur mata sapi dan membuat sambal kecap kemudian makan beberapa sendik nasi, lalu bersiap pergi.

"Kamu sudah mau berangkat?" tegur ibunya.

"Ya bu, ma'af Ruti nggak sempat memasak apapun kecuali goreng telur dan sambal kecap. Untuk makan siang nanti....." ibunya langsung memotong..

"Untuk makan siang nanti biar ibu yang memasak, Dita minta dibuatkan ca brokoli, jadi ibu bisa menunggu tukang sayur datang nanti."

"Baiklah bu, terimakasih, Dita berangkat sekarang ya.." Maruti mencium tangan ibunya.

Namun tiba2 didengarnya mobil berhenti diluar pagar, itu mobil Panji. 

Maruti berdebar debar.

***

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER