SA'AT HATI BICARA 25
(Tien Kumalasari)
Maruti tak menjawab apapun. Dipandanginya ibunya yang masih berlinangan air mata. Hanya karena Dita jatuh cinta maka ibunya menangis nangis seperti ini? Maruti tak mengerti. Sekarang, ketika seseorang ingin merenggut Panji darinya, ia merasa, bahwa dirinya memang benar2 jatuh cinta pada Panji.Sungguh Maruti takut kehilangannya. Sakit hatinya ketika ibunya meminta agar ia mengikhlaskan Panji pada Dita. Terbayang wajah tampan yang selalu memandanginya dengan mesra dan membuatnya tersipu malu. Terbayang senyuman menghanyutkan yang selalu terbawa dalam mimpi2nya. Benar, aku jatuh cinta.. pikir Maruti. Ada rasa kesal mendengar kata2 ibunya. Dalam segala hal, ia bersedia mengalah, tapi cinta? Aduhai, jangan sekejam itu.
"Maruti, kamu dengar kata2 ibu?" bu Tarjo membuyarkan lamunan Maruti.
"Apa bu, Ruti tidak mengerti..."
"Ibu minta, ikhlaskan nak Panji untuk Dita," mata bu Tarjo masih berlinangan..
"Mengapa hanya karena Dita lalu ibu harus datang ketempat ini.. dan berbicara begitu pada Maruti? Cinta itu kan masalah perasaan bu, rasanya sulit mengikhlaskan sebuah cinta. Dan nanti biarpun Ruti ikhlas, maukah mas Panji menerimanya? Ini tidak mudah, dan saya kira ibu tidak usah terlalu memikirkannya sampai menangis nangis begini. Biarlah waktu berjalan, dan waktu yang akan menentukan. Jodoh itu kan sudah digariskan oleh Allah."
Bu Tarjo mendengarkan kata2 Maruti, dan kembali air matanya bercucuran. Maruti mengusapnya bingung.
"Ibu, sudahlah bu, jangan menangis lagi."
"Berilah kebahagiaan pada adikmu diakhir kehidupannya," bergetar suara bu Tarjo.
"Apa maksud ibu?" Maruti tiba2 merasa cemas. Ini bukan masalah mengikhlaskan sebuah cinta, pasti ada yang lain.
"Umur adikmu diperkirakan tinggal 6 bulan lagi."
Dan Maruti merasa seakan sebuah palu menghantam kepalanya keras2. Matanya memandang ibunya tak berkedip.
"Itu benar, kemarin dokter Santi mengatakannya."
"Sebenarnya sakit apa Dita? Katanya hanya sakit perut biasa."
"Ibu tidak bertanya penyakitnya apa, tapi katanya sudah parah dan tidak bisa disembuhkan."
"Nanti Maruti akan menghubungi dokter Santi dan bertanya lebih jauh. Ruti kira Dita baik2 saja."
"Kamu jangan menentang diagnose dokter, dia mengatakan pasti karena sudah melakukan pemeriksaan. Bukankah waktu di rumah sakit sudah dilakukan pemeriksaan macam2?"
"Benar bu, tapi penyakit yang sebenarnya kita belum mengetaahui, Ruti harus ketemu dokter Santi lagi."
"Terserah kamu saja. tapi ibu minta, mengalahlah untuk adikmu."
***
Siang itu juga Maruti meminta ijin pada Agus untuk menemui dokter Santi. Dan keterangan dokter Santi sama seperti apa yang dikatakan ibunya, hanya saja dokter santi mengatakannya lebih jelas. Kanker lambung.
"Begitu tiba2?" tanya Maruti.
"Kanker lambung biasanya dikeluhkan ketika sudah pada stadium akhir. Dirumah sakit Dita beberapa kali muntah darah. Itu kamu tidak tau Maruti."
Maruti tercekat. Dita jarang bicara padanya, apakah separah itu?
"Apa tidak ada tindakan yang bisa menyembuhkannya?"
"Ada, nanti pasti ada, kan Dita sudah aku beri obat2 yang harus diminum sampai habis. Itu rekomendasi dari dokter ahli yang menanganinya. Dia hanya berbicara sama aku karen aku yang merawatnya. Nanti apa ada tindakan chemotherapi, atau operasi, bisa jadi..tapi aku ingin mengatakan terus terang, keadaan penyakitnya sudah sangat parah, sehingga aku tidak bisa menjanjikan apa2. Ma'af ya, aku tidak bisa menutupi apapun supaya keluarganya tidak banyak berharap. Cuma saja jangan sampai Dita mengetahui hal ini."
Keterangan dokter itu membuatnya limbung. Intinya, tak ada harapan untuk kesembuhan Dita. Ya Tuhan.. itu sebabnya ibunya menangis nangis.
***
Hari itu benar2 tak ada yang bisa dikerjakan Maruti. Kenyataan yang harus dihadapi sungguh membuatnya seperti berada diawang2, terbawa angin, tanpa pegangan. Seperti mimpi membayangkan dirinya akan kehilangan adiknya.
" Ya Tuhan, akan aku berikan apapun yang bisa aku berikan untuk kamu, Dita," bisik Maruti pilu.
Maruti kemudian teringat, sikap Dita akhir2 ini yang sangat cuek padanya, apakah karena cemburu? Sungguh Maruti tidak merasakan hal itu. Kalau Dita tertarik pada Panji, itu Maruti sudah tau, tapi jatuh cinta? Ya ampun.. kalau bisa akan aku berikan mas Paanji padamu Dita, agar kau bahagia. Tapi apakah mas Panji mau?
Maruti masih duduk dikursi kerjanya ketika tiba2 sepasang tangan kecil menepuk pahanya.Maruti terkejut dan melihat siapa yang datang menggelendot di pangkuannya.
"Sasa?"
"Tante..." sapa mulut mungil itu sambil tersenyum manja.
Maruti mengangkat tubuh Sasa dan mendudukkan di pangkuannya.
"Sasa sama siapa?"
Jari kecil itu menunjuk ke arah pintu, dan suster Sasa memasuki ruangan sambil tangannya melambai kearah Sasa.
"Sasa nggak boleh nakal.."
"Nggak kok mbak, Sasa nggak nakal, ya kan? Sasa mau jemput papa ya?"
"Ayo..ayo.. aku mau ketemu papa..," rengek Sasa sambil melorot turun dari pangkuan, dan menarik tangan Maruti agar mengikutinya.
"Sasa... ketemu papa sama mbak saja ya," tolak Maruti lembut, tapi Sasa menggelengkan kepalanya.
"Mau sama tante... ayo.. ayo.."
"Sasa.. jangan nakal.. ayo sama mbak saja..," tegur perawatnya sambil menaarik tangan Sasa.
"Sama tante.. sama tante.."
Maruti terpaksa menurut, mengikuti langkah2 kaki kecil yang setengah berlari menuju ruangan papanya. Tapi sebelum Maruti mengetuk pintu ternyata Agus sudah keluar dari ruangannya. Wajahnya berseri ketika melihat anaknya.
"Sasa..." Diangkatnya tubuh Sasa tinggi2 dan Sasapun terkekeh senang.
"Saya permisi dulu, " kata Maruti.
"Eh.. Maruti, kamu pulang sama siapa?"
"Saya...." ragu2 Maruti menjawabnya..
"Oh, Panji menjemputmu?" tebah Agus sambil menurunkan anaknya.
"Entahlah, mungkin.."
"Ya sudah.. tungguin saja... aku pulang dulu sama Sasa ya,"
"Silahkan pak.."
"Tante kok nggak ikut?"tiba2 Sasa nyeletuk.
"Tante masih nanti pulangnya...ayo, kasil salam dulu sama tante," kata Agus.
"Tadi kata papah mau jalan2 sama tante .." Sasa protes, tampaknya sa'at menelpon papanya Agus berjanji akan mengajak Maruti jalan2.
"Papah lupa, ternyata tante Maruti tidak bisa ikut bersama kita sekarang. Lain kali ya?"
Sasa menyalami Maruti. Mata kecilnya yang seperti bola mungil berbinar memandangi Maruti, tampaknya kecewa karena Maruti ternyata tidak ikut bersamanya.
Pada sa'at Agus keluar dari pintu depan, datanglah Panji. Keduanya bersalaman tapi Agus segera berlalu. Sasa ingin buru2.
Panji melangkah mendekati Maruti dengan wajah berseri. Dilihatnya Maruti masih berdiri terpaku ketika melihatnya.
"Maruti, ma'af terlambat, tadi janjian sama Laras, omong agak lama."
"Nggak apa2 kok mas," jawab Maruti pelan, yang kemudian mengikuti langkah Panji yang menggandengnya menuju mobil.
Ya Tuhan, apakah ini kebersamaan bersamanya yang terakhir? Apakah ia harus melepaskan bahagia yang seharusnya direngkuhnya? Ribuan pisau seakan menyayat nyayat hatinya, perih tak terhingga, dan berlinanglah air matanya. Beruntung ketika itu Panji sedang membuka mobil, dan Maruti cepat2 menghapusnya. Ketika Panji membukakan pintu untuknya, Maruti pura2 menolah kearah lain, sehingga Panji tidak melihat wajahnya.. Maruti duduk disamping kemudi, dan diam tak bergerak. Bermacam perasaan mengaduk aduk perasaannya. Antara kehilangan adiknya dan kehilangan cintanya.
"Maruti, apa kamu marah karena aku terlambat menjemputmu?"
"Oh, apa? Tidak... bukan mas... " gugup Maruti menjawabnya.
"Kok diam ?"
"Kepalaku sedikit pusing mas," jawab Maruti sekenanya.
" Lho, sudah minum obat belum?" tanya Panji khawatir.
"Sudah.. sudah mas, nggak apa2 kok, nanti juga sembuh."
"Baiklah, sekarang aku mau sedikit cerita dulu. Aku tadi bicara sama Laras. Dulu aku pernah bilang akan membuka cabang perusahaan diluar kota, ini hampir selesai aku urus. Segala sesuatunya akan beres kira2 bulan depan, dan Laras sudah aku suruh ikutan menata semuanya. Dan seperti janjiku, nanti kamu akan bekerja sama dalam mengurus perusahaan itu, bersama Laras.
Maruti mendengarkan, tapi tak ada reaksi apapun atas semua yang dikatakan Panji. Panji penasaran. Disebuah tempat sepi, dihentikannya mobilnya.
"Ruti, kamu masih pusing?" tanya Panji yang merasa sangat khawatir.
Kini tak tahan lagi Maruti membendung tangisnya. Ia menutupi mukanya dengn kedua tangannya, dan tenggelam dalam isak yang menyayat.
Panji kebingungan. Duduknya agak bergeser mendekat kearah Maruti, dirangkulnya Maruti, dan dibiarkannya kepalanya rebah pada bahunya. Panji mengelus punggung Maruti lembut.
"Ada apa sebenarnya? Kamu seperti memendam sesuatu."
"Mas, aku mohon.... penuhilah permintaanku," isaknya.
"Ya, tentu, permintaan apa ?"
"Cintailah Dita.."
Dan serta merta Panji melepaskan rangkulannya.
***
No comments:
Post a Comment