SA'AT HATI BICARA 023
(Tien Kumalasari)
Laras menatap bu Tarjo, seakan mencari jawaban, apakah bu Tarjo setuju seandainya mas Panjinya melamar Maruti.. Tapi bu Tarjo menghela nafas berat. Sangat berat. Laras merasa heran, kok bu Tarjo seperti nggak suka? Mas nya yang ganteng, yang sudah mapan, yang penuh perhatian sama keluarganya, akan ditolaknya ?
"Bu, apakah ibu tidak suka sama mas Panji?" Laras memberanikan dirinya untuk bertanya.
"Nak Panji sangat baik, dia menantu yang sempurna," jawab bu Tarjo lirih.
"Tapi, Laras lihat kok sepertinya ibu tidak suka?"
"Suka nak, ibu suka..."
Tapi Laras menangkap keraguan dalam jawaban bu Tarjo.Apa kekurangan mas Panji nya?
***
Maruti melewati hari2nya menunggui Dita dirumah sakit, dengan perasaan tak menentu. Tentang penyakit Dita yang belum ada jawabannya, juga sikap Dita yang selalu dingin terhadapnya. Setiap kali diajaknya bicara, hanya sepatah dua patah kata jawabannya, dan sepertinya enggan diajaknya bicara.
"Dita, mbak merasa Dita enggan berbicara sama mbak. Apa mbak salah sama Dita?" tanya Maruti pada suatu siang ketika sedang berdua.
Tapi Dita kembali menggelengkan kepalanya.
"Tapi sikap Dita aneh, sepertinya benci sama mbak."
"Aku lagi merasakan sakit," jawabnya pendek, kemudian membalikkan tubuhnya membelakangi kakaknya.
"Oh, gitu ya.. sakit sekali kah perut kamu?"
"Ya..." jawabnya tanpa menoleh.
"Aku mau tidur," lanjut Dita.
Maruti menghela nafas, kemudian mencium kepala adiknya lalu berjalan kearah sofa, menghempaskan tubuhnya disana.
Tiba2 seseorang masuk, dan itu adalah Panji. Berdebar hati Maruti ketika memandangi sosok tegap gagah yang super ganteng itu, dan tersenyum penuh pesona sambil menatapnya mesra. Aduhai.. seandainya Dita tidak sedang sakit, pasti sempurnalah rasa bahagianya melihat kedatangan priya yang dikaguminya.
"Kok sendirian Ruti?"
"Ya, mau sama siapa lagi?"
"Bagaimana Dita?" tanyanya sambil menoleh kearah ranjang, dimana dilihatnya Dita sedang tidur menghadap kearah sana. Panji berjalan mendekati.
"Bagaimana keadaanmu Dita?" tanya Panji pelan, tapi Dita diam saja. Pasti bukan karena tidur karena balum lama masih terjaga. Panji kembali kearah sofa dan duduk disamping Maruti.
"Tidur dia?" tanya Panji..
"Mungkin.. mas tidak kekantor?"
"Ini dari kantor. "
"Kok langsung kemari, apa nggak capek mas?"
"Nggak, kan buru2 pengin ketemu kamu?" goda Panji sambil lagi2 tersenyum sangat manis. Maruti menundukkan muka, tak tahan melihat kilatan senyum yang begitu mempesona.
"Kamu cantik sekali Maruti," kata Panji sambil tak lepas memandangi Maruti.
Maruti tersipu.
Sepasang insan yang saling mengagumi, dan saling jatuh cinta, pastinya. Hanya saja belum saling mengungkapkan isi hati. Tapi bukankah hati juga bisa bicara?
Tiba2 terdengar denting begitu keras, dilantai, dan berserakanlah pecahan gelas. Maruti dan Panji terkejut, hampir bersamaan mereka mendekati ranjang Dita. Rupanya Dita telah menjatuhkan gelas yang tadinya terletak dimeja.
"Dita? Kamu mau minum? Harusnya minta saja pada mbak," tegur Maruti sambil memunguti pecahan gelas, lalu dimasukkannnya kedalam kresek plastik yang kebetulan ada disana. Panji membantunya.
"Hati2 tanganmu terkena pecahan kaca Ruti," Panji mengingatkan.
Ranjang Dita terdengar berderit, Dita memunggungi mereka dengan kasar. O.. jangan2 Dita memang membanting gelas itu ke lantai, siapa tau? Pembicaraan antara Panji dan Maruti itu pasti terdengar olehnya, walau mereka berbisik bisik. Ada darah mendidih yang asapnya menguap dari ubun2..Ada yang ingin dijatuhkannya lagi, Dita berfikir, atau dibantingnya agar suaranya terdengar lebih keras apabila dibanting. Tapi tak ditemukannya barang diatas meja didekatnya kecuali bungkusan plastik berisi roti yang dibawa Laras pagi tadi. Keduanya masih saja asyik memunguti pecahan gelas.
"Auw..." tiba2 Maruti berteriak lirih, tapi itu membuat Panji meletakkan sekeping kaca yang berhasil dipungutnya. Dipegangnya tangan Maruti.
"Tuh kan, sampai berdarah," desis Panji yang tiba2 saja tanpa ragu menarik jari tangan itu dan dimasukkannya kemulutnya.
"Maaas..." Maruti terkejut, tapi Panji tanpa sungkan melumat jari itu untuk menghindari infeksi. Itu kata Panji kemudian.Benarkah itu, atau mitos? Atau memang ia ingin melumatnya? Perlahan Maruti menarik tangannya, wajahnya kemerahan.
"Aku akan minta tensoplast sebentar," kata Panji sambil bangkit berdiri dan mencari suster jaga.
Maruti menghela nafas. Debaran jantungnya belum berhenti. Juga aliran darah dari luka terkena pecahan gelas itu. Sementara diatasnya, diranjang tempat tidur, air mata Dita juga menitik pedih. Gelas yang dijatuhkannya karena kesal, justru membuat bara yang menyala semakin berkobar.
***
Bu Tarjo kembali berada dikamar Dita. Laras yang menemaninya semalam telah pulang, setelah memasak buat bu Tarjo.
"Nak Laras itu mengapa repot2 segala. ibu itu bisa makan seadanya... lagi pula siang nanti ibu akan kerumah sakit. Maruti berjanji menjemput ibu."
"Nggak apa2 bu, hanya sup ayam, dan perkedel. Semoga ibu suka. Itu juga tadi Laras beli dari tukang sayur yang lewat."
"Terimakasih banyak ya nak, sudah ditemenin, dimasakin enak lezat... bagaimana ibu membalasnya nanti."
"Ibu, ibu tak perlu membalasnya.. kan ini Laras lakukan dengan tulus. Ma'af kalau Laras nggak bisa menemani makan ya, so'alnya ada yang menunggu Laras dirumah. Mungkin mas Panji."
"Nggak apa2 nak, nanti ibu makan masakan nak cantik ini, pasti habis deh."
"Terimakasih ibu."
Bu Tarjo termenung ditepi pembaringan dita. Ia telah selesai sarapan, sup ayam yang tadi dimasak Laras, yang menurutnya sangat enak.
Kembali bu Tarjo membuka bantal Dita, mengambil buku kecil yang kemarin sudah dibacanya. Bu Tarjo ingin mengulang membacanya, barangkali ada yang salah. Lembaar demi lembar dibukanya, tapi tak ada yang berubah. Gadis kecilnya jatuh cinta pada Panji, dan itu tembuatnya gelisah. Sebuah pertarungan cinta memang tak kasatmata, tapi pasti ada yang tersakiti salah satu diantaranya. Dan kini, kedua anak gadisnya lah yang sedang bersabung rasa untuk sebuah cinta.
"Akankah aku berfihak kepada salah satu diantaranya? Mereka adalah anak2ku, dan luka salah satunya adalah lukaku juga,' bisik bu Tarjo sambil menutup kembali buku kecil itu.
Tiba2 ponsel bu Tarjo berdering. Dari Maruti, apakah dia tak jadi menjemput? Bu Tarjo mengangkat ponselnya.
"Ibu?" suara Maruti dari seberang sana.
"Ya nak, ibu sedang menunggu kamu."
"Bu, Maruti tidak jadi menjemput ibu sekarang."
"Kenapa nduk? Sesuatu terjadi pada adikmu?" tanya bu Tarjo cemas.
"Enggak bu, dokter Santi bilang, mau menemui ibu dirumah, ada yang ingin dikatakannya, katanya, jadi Maruti nanti aja menjemput ibu ya."
"Apa yang akan dikatakan nak dokter sama ibu?"
"Maruti juga belum tau bu, katanya hanya ibu yang boleh tau,Maruti juga cemas, jangan2 tentang penyakit Dita."
"Ya Tuhan.." bisik bu Tarjo lirih.
"Tapi ibu jangan sedih dulu, siapa tau itu berita baik," kata Maruti ragu2, dan bu Tarjo menangkap keraguan itu. Ditutupnya ponsel dengan perasaan tak enak. Sudah seminggu Dita dirawat dan hasil pemeriksaan lab itu belum juga usai. Apakah hari ini akan ada vonis bagi penyakit Dita?
Bu Tarjo mengembalikan buku kecil itu dibawah bantal dan berjalan kearah depan rumah. Ia duduk disebuah kursi , menunggu kedatangan dokter Santi.
Dipejamkannya matanya, dan bibirnya membisikkan do'a.
"Ya Allah, sembuhkanlah anakku, angkatlah penyakitnya, biarkanlah dia melanjutkan hidupnya dengan bahagia, dia masih sangat muda ya Allah," dan menitiklah air matanya.
Mata bu Tarjo yang basah masih terpejam ketika tiba2 seseorang menyentuh lengannya. Bu Tarjo membuka matanya dan melihat dokter Santi sudah ada dihadapannya. Dokter cantik itu mengambil tissue dari dalam tasnya dan mengusap air mata bu Tarjo.
"Ibu jangan sedih, bukankah mati hidup manusia itu ada ditangan Allah Yang Maha kuasa?"
Bu Tarjo tertegun. Mengapa dokter Sant mengucap kata2 seperti itu? Berita burukkah yang dia bawa?
"Duduklah nak," kata bu Tarjo terbata.
"Bu, saya mohon ma'af, kalau berita yang saya bawa tidak menyenangkan hati ibu."
Bibir bu Tarjo bergetar. Kata2 itu tidak memberikan harapan baik.
"Ada apa dengan anakku?"
"Bagaimanapun beratnya saya harus mengatakan bu, penyakit Dita ternyata sudah parah."
Bu Tarjo bersandar ke sandaran kursi, lemas.
"Memang penyakit Dita tak pernah dirasakan secara serius, tapi itu benar2 serius bu. Dari hasil yang saya baca, Dita tidak akan tertolong."
"Ya Allah...." kali ini bu Tarjo menjerit, dan meledaklah tangisnya. Dokter Santi mendekat, merangkul bu Tarjo dan membiarkan wanita setengah tua itu melepaskan tangisnya.
"Kita tidak bisa berbuat apa2 bu, menurut saya, berikanlah kebahagiaan buat Dita pada akhir hidupnya. Turutilah semua kemauannya, dan biarkan tersampai apa yang diinginkannya. Jangan sampai enam bulan terakhir sebelum dia pergi, kekecewaanlah yang dibawanya...Ma'af, saya harus mengatakannya.."
Dan bu Tarjo menangis meraung raung, mengiris hati siapapun yang mendengarnya.
***
No comments:
Post a Comment