SA'AT HATI BICARA 21
(Tien Kumalasari)
Panji mendorong tubuh Santi pelan kemudian berdiri menjauh.
"Santi, jaga sikapmu," tegur Panji kesal
"Ma'af ya bu Tarjo, so'alnya kami itu kan sebenarnya dijodohkan.. tapi..."
"Santi, ada pasien menunggu kamu didalam, jangan bicara yang tidak2, Panji memootong dengan kesal.
"Maruti, antarkan Santi ke kamar Dita," katanya pada Maruti.
"Mari dokter, silahkan," Maruti mendahului masuk kedalam, diikuti dokter Santi.
"Ma'af dokter kalau kami merepotkan," kata Maruti sambil berjalan kearah kamar Dita.
"Nggak apa2. Keluarga ini sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri, jadi nggak usah sungkan."
Marruti tak menjawab. Ada perasaan tak enak pada Santi, tapi Dita memaksa harus dia yang memeriksanya.
"Dita, ini dokter Santi sudah datang. Kamu merepotkan saja," tegur Maruti pada adiknya setelah mereka memasuki kamar Dita.
"Hallo Dita, sakit apa?" tegur Santi ramah.
Santi tersenyum, ada bekas air mata membasah dipelupuk matanya.
"Sakit sekali,dokter..." bisik Dita lirih..
"Maruti, boleh meninggalkan kami berdua saja? Aku akan memeriksa adikmu," kata Santi kepada Maruti.
Maruti mengangguk, lalu keluar dari kamar Dita. Tak lupa ia juga menutup pintunya.
***
Bu Tarjo masih duduk terpaku, ditemani Panji yang sebenarnya merasa kesal dengan sikap Santi tadi.
Maruti kemudian duduk didekat ibunya. Ditepuknya tangan ibunya lembut.
"Ibu jangan cemas, Dita tak apa2 kok," hibur Maruti.
"Apa kata dokternya tadi?"
"Belum bilang apa2, masih diperiksa, kita tunggu saja ya."
Bu Tarjo mengangguk lalu menyandarkan kepalanya di sandaran kursi.
"Maruti, aku minta ma'af atas sikap Santi tadi. Dia memang keterlaluan,' kata Panji tiba2.
"Oh, dokter Santi itu tunangan nak Panji?" tanya bu Tarjo.
"Bukan bu, Santi yang salah terima. Saya tidak ada hubungan apa2 sama dia. Ma'af klau sikapnya mengganggu. Saya sudah kesal terhadapnya." keluh Panji.
"Nggak apa2 nak, jangan dipikirkan."
Maruti tertunduk lesu. Bahwa Santi mengejar kejar Panji, dia sudah tau, dan bahwa Panji tidak suka, dia juga sudah tau. Sa'at ini pikirannya masih tertuju pada sakitnya Dita. Selama ini Dita tak pernah mengeluh sakit apapun, mengapa tiba2 dia kesakitan seperti itu?
Tiba2 dilihatnya Santi keluar dan kemudian duduk disebelah Panji. Panji memalingkan mukanya, memandang kearah kebun.
"Bagaimana anak saya , dokter?" tanya bu Tarjo cemas.
"Bu, saya melihat ada benjolan diperut Dita, tapi ibu tidak usah khawatir. Sekarang juga saya akan membawa Dita kerumah sakit."
Maruti dan bu Tarjo terhenyak. Dipandanginya dokter Santi lekat2.
"Mengapa harus dibawa kerumah sakit dok?" tanya bu Tarjo cemas.
"Ibu tenang saja, saya bawa Dita kerumah sakit, supaya bisa diperiksa keadaan yang sesungguhnya disana. Kalau sudah ketahuan penyakitnya, akan lebih mudah mengobatinya."
"Tt..tapi.. apakah itu berbahaya?"
"Mari kita berdo'a supaya Dita baik2 saja yaq bu. Sekarang juga saya akan membawanya. Boleh minta tolong mas Panji untuk membopongnya?" pinta Santi kepada Panji.
"Ya.. tentu," jawab Panji sambil cepat2 masuk kedalam, diikuti Maruti dan ibunya.
Dilihatnya Dita sudah duduk sambil memegangi perutnya.
"Dita, bisa berjalan?" tanya Panji sesampainya dikamar
Dita menggeleng sambil menundukkan kepalanya. Sumpah sesunguhnya hatinya berdebar debar.
"Mari, biar aku gendong kamu," kata Panji sambil mendekat, kemudian mengangkat tubuh Dita. Dita dengan senang hati merangkul pinggang Panji dan menyandarkan kepalanya kedadanya. Kapan lagi bisa begini. Pikir Dita.
Panji membawanya keluar dari kamar, menuju kearah mobil Santi, kemudian mendudukkannya dikursi depan disamping Santi yang sudah lebih dulu duduk dibelakang kemudi.
"Terimakasih mas Panji," Santi tersenyum, barangkali senyum paling memikat yang pernah disuguhkannya kepada pria yang dicintainya itu. Tapi Panji memandangpun tidak, ia bahkan menutup pintu mobil Santi, lalu berjalan kearah rumah.
Dilihatnya Maruti dan bu Tarjo sudah bersiap akan pergi.
"Ibu, biar saya antar kalau mau kerumah sakit juga" kata Panji sambil mengambil kunci mobilnya yang tadi diletakkannya diatas meja.
"Apa tidak merepotkan nak? Kami bisa memanggil taksi," jawab bu Tarjo yang merasa sungkan.
"Nggak bisa bu, nanti kelamaan, biar saya antar saja."
Dan mau tak mau Maruti dan bu Tarjo mengikuti Panji dan masuk kedalam mobilnya.
***
Dirumah sakit itu Dita langsung dimasukkan kedalam bangsal pasien, bukan ke ruang UGD atau tempat pemeriksaan awal. Santi yang memesankan kamar ketika membawa Dita sambil menyetir, sehingga begitu sampai ternyata kamar sudah disiapkan. Sebuah kamar yang nyaman, tidak tercampur pasien lain, dan ada sofa untuk penunggu. Ini kelas yang tidak murah, pikir Maruti, dan tentu saja juga pikir bu Tarjo.
"Ini kamar Dita selama harus dirawat bu, jangan khawatir tentang biaya, saya yang akan menanggungnya," kata dokter Santi sambil tersenyum.
Bu Tarjo menghela nafas, ada rasa lega, tapi juga merasa sungkan terhadap dokter Santi.
"Nanti saya akan mengganti berapa biayanya dok, meskipun tidak bisa sekaligus, tapi saya bisa mencicilnya," sela Maruti.
"Tidak Ruti, sayalah yang akan membayarnya. Sudahlah, sa'at ini jangan memikirkan apapun, yang penting Dita segera sembuh," kata Panji sambil memandang kearah Dita.
Diam2 Dita berpikir, begitu besar perhatian Panji kepadanya, apakah itu bukan karena cinta? Dita tak bisa berfikir bahwa Panji memperhatikannya karena dia adalah adik Maruti, gadis yang dicintainya.
Dokter Santi tersenyum, entah apa arti senyum itu. Ia mendekati ranjang Dita dan mengelus perutnya.
"Kamu tenang saja disini, jangan berfikir apapun. Besok perawat akan mengambil darahmu dan kamu akan diperiksa semuanya.. semoga semua baik2 saja,' kata Santi.
Dita mengangguk. Ia tak henti2nya mengelus perutnya. Maruti mendekat dan mngeluarkan minyak kayu putih yang sejak tadi dibawanya.
"Perlu digosok pakai ini?"
"Nggak usah... biar disini saja, nanti aku menggosoknya sendiri."
Malam itu Maruti dan ibunya menginap dirumah sakit. Tak tega rasanya membiarkan Dita tidur sendiri disana. Mereka memaksa, walau dokter Santi melarangnya.
"Baiklah, nanti saya akan memintakan selimut untuk ibu." kata dokter Santi.
"Jangan dokter, saya bisa mengambilnya kerumah, sekaliyan mengambil pakaian Dita untuk ganti nanti.
"Ya, biar ibu istirahat di sofa itu dulu, saya mengantar Maruti pulang untuk mengambil selimut dan apa saja yang diperlukan," kata Panji tiba2.
"Tapi mas..."
"Sudah, jangan membantah, kami permisi dulu ya bu," Panji berpamit pada bu Tarjo, sambil menggandeng lengan Maruti.
Dokter Santi memandangnya dengan mata berkilat. Ada api menyala disana, namun tak sepatah katapun diucapkannya.
***
Pagi itu Maruti kekantor hanya untuk minta ijin agar boleh menunggui adiknya dirumah sakit. Setiba disana ternyata Laras sedang menunggunya..
"Laras? Kamu sudah disini pagi2?" teriak Maruti.
"Mas Panji bilang, kamu akan kekantor pagi untuk minta ijin tidak masuk kerja. Jadi aku menunggu kamu disini. Bagaimana Dita? Sakit apa dia, kok begitu tiba2?"
"Entahlah, hari ini dia akan diperiksa. Baru nanti hasilnya akan ketahuan."
"Ya ampuun.. si cerewet itu, mudah2an tidak apa2."
"Aamiin, terimakasih Laras. Sekarang aku ke ruang pak Agus dulu ya, aku harus minta ijin, paling tidak hari ini, supaya bisa menemani ibu dirumah sakit."
"Ibu tidur dirumah sakit?"
"Ya, mau bagaimana lagi, kalau aku saja yang dirumah sakit, ibu nggak ada temannya, ya kan?"
"Begini saja, biar nanti ibu pulang, aku yang akan menemani bu Tarjo dirumah. Kasihan kalau dirumah sakit terus."
"Ya ampun Laras, jadi merepotkan kamu."
"Nggak, sudah sana, pamit dulu, aku menunggu disini."
***
"Aku sudah mendengarnya, Panji sudah menelpon aku, jadi sesungguhnya kamu tidak usah datang kemari juga nggak apa2," kata Agus ketika Maruti berpamitan.
"Tapi kan saya juga harus datang sendiri pak, nggak enak ,"
"Baiklah, aku beri kamu ijin sampai adikmu sembuh ya," kata Agus.
"Terimakasih banyak pak, sekarang saya permisi dulu.'
"Kamu sama siapa?"
"Ada Laras menunggu didepan pak."
"Oh, baiklah. Nanti seusai kantor aku akan melihat keadaan adikmu dirumah sakit. Berikan nanti melalui WA dikamar apa dan nomor berapa dia dirawat."
"Baiklah, terimakasih pak."
Maruti berlalu, tapi kemudian Agus tak membiarkan Maruti keluar sendiri. Ia mengikuti sampai Maruti ketemu Laras.
"Selamat pagi mas, njemput Maruti nih," kata Laras.
"Ya, aku tau, hati2 dijalan ya."
"Terimakasih mas, titip salam buat Sasa ya,"
Agus mengangguk, ada rasa senang ketika Laras memperhatikan anaknya.
***
Ketika tiba dirumah sakit, Maruti merasa heran karena dilihatnya ibunya tak ada disana. Ia heran melihat dari kejauhan Dita sedang bercanda dengan dokter Santi.Ia mendengar Dita terkekeh senang, dan mereka berbicara seperti dua orang sahabat. Apa Dita sudah sembuh?
***
No comments:
Post a Comment