Wednesday, April 1, 2020

Hati Bicara 20

SA'AT HATI BICARA  20

(Tien Kumalasari)

"Kenapa?" tanya Panji ketika melihat wajah Maruti tampak cemas.

"Aku harus segera pulang mas, ibu menelpon, Dita sakit."

"Sakit apa?"

"Entahlah, ibu hanya mengatakan itu kemudian menutup telponnya.

"Baiklah, ayo aku antar kamu pulang." kata Panji sambil berdiri.

***

Dalam perjalanan pulang itu Maruti hanya diam. Dalam hati ia bertanya tanya, sakit apa gerangan adiknya, sementara pagi tadi sebelum berangkat kerja tampak biasa2 saja. Iya sih, agak berbeda, sikapnya acuh, dan sedikit kethus. Maruti tak bergitu memperhatikannya karena ia harus segera berangkat kerja.

Tapi ada yang aneh memang.

"Katanya mau bangun pagi2... kok nggak jadi?" kata Maruti menggoda adiknya.

"Nggak... males,"

"Lho.. kok males, katanya mau belajar jadi isteri yang baik.."

"Nggaaaak... nggak jadi.." jawabnya ketus, sambil berlalu kebelakang. Dilihatnya Dita masuk kekamar mandi.

"Dita, kamu ini kenapa sih?" tanya Maruti yang kemudian menyiapkan sarapan pagi sendirian. Ia tak mengacuhkan sikap Dita yang tampak aneh, karena ia harus buru2.

"Masak apa pagi ini?" tiba2 tanya ibu yang keluar dari kamar.

"Nggak masak bu, opor yang kemarin masih ada.. sama sambel goreng. Ibu mau dimasakin apa?"

"Nggak.. itu cukup. Mana Dita?"

"Ada dibelakang, sepertinya lagi mandi bu."

"Ya sudah, nanti kamu sarapan saja dulu, bisa terlambat kalau menunggu Dita, dia kan kalau mandi lama sekali.

Maruti menghela nafas panjang. Bayangan ketidak ramahan Dita pagi tadi masih terbayang. Apakah waktu itu dia sudah mersakan sakit?

"Jangan cemas, nanti segera kita bawa adikmu kerumah sakit."

Maruti mengangguk.

***

Namun setiba dirumah, ternyata Dita menolak dibawa kerumah sakit. Dia justru marah2 karena melihat Marut datang bersama Panji. Kata2 dokter Santi kembali terngiang ditelinganya, bahwa Panji tidak menyukai dirinya tapi kakaknya. Dita memejamkan matanya.

"Dita, kalau kamu sakit, ayo kita ke dokter."

"Nggak, aku nggak akan kemana mana." Dita membalikkan tubuhnya membelakangi orang2 yang berdiri ditepi ranjangnya.

"Dita, kamu tadi kesakitan, ibu takut lalu menelpon mbakyumu."

"Sebetulnya apa yang dikeluhkan bu? Sudah minum obat apa?"

"Tadi bilang perutnya sakit sekali, sampai menangis.. ibu bingung. Tapi dia tidak mau minum apapun. Seharian dia tidak keluar dari kamarnya. Karena kamu terlambat pulang, lalu ibu menelpon."

Maruti, Panji dan bu Tarjo keluar dari kamar Dita. Bau minyak kayu putih tercium sangat menyengat.

Tanpa seorangpun tau, air mata menitik dipipi Dita. 

***

"Bu, coba ibu yang minta supaya Dita mau dibawa ke dokter.Mungkin kalau ibu yang inta, dia akan mau," kata Panji.

"Sudah seharian ibu memintanya nak, tapi dia nggak mau. Tapi terus2an mengeluh perutnya sakit, dan hanya minyak kayu putih saja yang kemudian saya balurkan ke perut dan sekitarnya."

"Mengapa sikap Dita jadi aneh begitu?" keluh Maruti.

"Ibu juga heran.. "

"Tapi bagaimanapun dia harus dibawa kedokter." kata Panji.

"Mas, coba mas yang bicara sama dia, " pinta Maruti pada Panji.

"Baiklah... mudah2an aku bisa membujuknya."

Pelan Panji melangkah kearah kamar Dita. Dilihatnya gadis itu meringkuk, membelakangi pintu masuk, sehingga dia tidak tau bahwa Panji datang mendekatinya.

"Dita." panggil Panji pelan.

Tapi walau pelan.. itu cukup membuat Dita membalikkan tubuhnya. Mata basahnya berkejap kejap.. bibirnya menyunggingkan senyum, sangat tipis.

"Kamu sakit apa? Mana yang sakit?" lembut suara Panji, bagi Dita suara itu seperti sebuah kidung yang mengalun dari langit tingkat tujuhbelas.. lembut menggelitik hati dan jiwanya. Namun manakala diingatnya bahwa bukan dia yang membuat Panji tertarik, senyum itu tiba2 menghilang. wajah cantinya kembali pias, sendu dan redup.

"Mana yang sakit?"

Panji memegang tangan Dita. Aduhai, seandainya pegangan tangan ini tulus demi sebuah cinta, alangkah indahnya.

"TAPI MAS PANJI MENYUKAI MARUTI."

Suara itu kembali merobek robek hatinya.

"Dita, jawab pertanyaan mas ya," Panji mengulang pertanyaannya. Sebelah tangannya masih menggenggam tangan Dita. Kemudian Dita meletakkan tangan itu diatas perutnya yang tertutup selimut tipis.

"Disini? Mengapa kamu tidak mau diajak ke doktar? Kita orang2 awam yang tidak tau tentang penyakit, hanya dokter yang bisa menyembuhkanmu."

Dita menggeleng.

"Dita, kamu mau sembuh tidak?"

"Panggil dokter Santi," bisik Dita pelan. Dan Panji terkejut.

"Mengapa harus dokter Santi? Aku punya dokter pribadi yang baik. Kalau kamu ingin dokternya datang, aku bisa memanggilnya kemari."

"Aku mau dokter Santi," ulang Dita, dan kembali ia membelakangi Panji yang sudah duduk ditepi pembaringannya.

Apa boleh buat. Dia harus menelpon dokter Santi. Tapi..uppss.. dia tidak lagi memiliki nomor kontak dokter Santi.Panji telah membuangnya beberapa bulan lalu, begitu tau Santi mengejar kejarnya.

"Tapi Dita, aku tidak punya nomor kontak dokter Santi. Lagi pula apa dia tau alamat rumah ini?"

"Aku ada.. dia pernah mampir kesini," jawab Dita sambil meraih ponselnya dan mencarikan nmor dokter Santi untuk Panji. 

Panji agak merasa heran mendengar Santi pernah mampir kesini, tapi ia tak ingin banyak bertanya, ditelponnya dokter Santi.

"Hallo, mas Panji? Tumben menepon, kangen ya sama aku?" jawab Santi dari seberang sana.

"Santi, datanglah kerumah Dita, dia sakit dan hanya kamu yang dia minta untuk memeriksa penyakitnya."

"Aku? Mengapa harus aku, bawa saja kerumah sakit," jawab Santi .

"Dia tidak mau dan hanya mau kamu yang memeriksanya, karena itu datanglah segera. Aku mohon."

Panji menutup telponnya.

"Aku sudah memintanya datang," kata Panji kepada Dita.

Panji beranjak keluar dari kamar itu, tapi Dita memanggilnya.

"Mas, tolong minyak kayu putih itu," pinta Dita.

"Dimana?"

"Diatas meja."

"Oh, ini.. baiklah," Panji mengulurkan minyak kayu putih itu.

"Mas, tolong.. perutku kembali sakit, sangat sakit.. disini," Dita merintih.

"Ini minyaknya," jawab Panji tak menerti.

"Tolong mas, gosokkan.."\

Panji terkejut, masa ia harus meraba raba perut Dita? Bergegas dia keluar.

"Maruti.. Maruti.."panggilnya. Maruti  berdiri dan menghampiri Panji.

"Apa mas? Dia kenapa?"

"Dia kesakitan lagi, minta digosok perutnya dengan minyak kayu putih."

"Oh, baiklah, aku kesana."

Maruti melangkah kekamar Dita, tapi dilihatDita sudah menggosok sendiri bagian perutnya .

"Mana Dita, biar mbak yang menggosokkannya, mana yang sakit?" tanya Maruti lembut. 

Tapi Dita menggeleng dengan wajah muram.

"Nggak, biar aku saja. "

"Dita..."

"Dokter Santi sudah datang?"

"Apa?"

"Tadi aku minta mas Panji untuk memanggil dokter Santi kemari."

"Mengapa dokter Santi?"

"Aku hanya ingin dokter Santi," jawab Dita ketus, sambil kembali membetulkan selimut, kemudian membalikkan tubuhnya membelakangi Maruti.

Maruti menghela nafas panjang. Tak biasanya Dita bersikap seperti ini. Tapi tak ada yang bisa diperbuatnya. Ia keluar dari kamar dan mendengar Panji sedang berbicara dengan ibunya.

"Mungkin karena dokter Santi itu sangat baik, nak. Dia memang baik, kemarin dia mampir kemari hanya menanyakan penyakit ibu. Ia sangat akrab dengan Dita, walau baru beberapa kali bertemu."

Maruti duduk diantara mereka. 

Dan mendengar pembicaraan itu ia yakin bahwa Panji sudah menghubungi dokter Santi. 

Selang beberapa menit kemudian, dilihatnya Santi sudah datang. Ia menghentikan mobilnya tepat dibelakang mobil Panji.

Bu Tarjo dan Maruti Menyambutnya, tapi begitu naik ke teras, Santi langsung mendekati Panji yang masih saja duduk dikursi dan merangkulnya.

***

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER