SA'AT HATI BICARA 017
{Tien Kumalasari}
Dita menyambut Santi sampai ke teras depan. Dalam hati bertanya tanya, apakah ada masalah lagi dengan Maruti.
"Hallo Dita," tapi Santi menyapa ramah.
"Dokter Santi? Silahkan masuk," sambut Dita tak kurang ramah.
"Terimakasih. Bagaimana keadaan ibu?"
"Baik dok, ibu lagi makan tuh didalam. Mau ketemu ibu?"
"Oh, tidak, tidak.. hanya ingin tau kesehatan ibu saja. Memang waktu kontrol ang terakhir ibu sudah dinyatakan sehat kan?Syukurlah."
"Iya dok."
"Terkejut ya, tiba2 aku datang kesini?"
"Iya, heran.. darimana dokter tau rumah kami..?"
"Mm... ya tau lah, kan di buku pasien ada alamatnya?"
"Ya, tapi kan nggak sangat detail.. artinya.. cuma rt rw aja.."
"Tapi pada tau rumah ini kok... "
"Terimakasih banyak dok, sudah repot2 mengabarkan kesehatan ibu saya. Dokter sangat baik ternyata ya."
"Itu sudah kewajiban saya... saya selalu begitu. Oh ya, namamu siapa, aku cuma tau Maruti."
"Nama saya Dita dok, Anindita."
"Oh, iya.. lupa atau kita memang belum pernah memperkenalkan nama ya. Nggak apa2, yang penting sekarang saya sudah tau."
"Saya buatkan minumn dulu dok," kata Dita sambil bangkit. Tapi Santi menolaknya.
"Tidak, jangan.. saya kan cuma mampir, ini cukup, saya pamit dulu ya, nggak usah panggil ibu, nanti bilang saja sama ibu kalau saya menanyakan kesehatannya."
Dokter Santi berjalan keluar, diiringi Dita.
"Oh ya, kamu deket ya sama mas Panji?" pertanyaan ini tiba2 mengejutkan Dita.
"Ya.. ya dok, artinya dia sering datang kemari."
"Oh ya, ada yang disukai diantara kalian pastinya," pancing Santi.
"Waah.. dokter ada2 saja, nggak tau lah saya," jawab Dita tersipu. Namun wajah kemerahan mengandung rasa malu itu tertangkap oleh dokter Santi yang kemudian menduga duga.
"Baiklah, karena saya harus kembali ke klinik, lain kali kita ketemu lagi dan ngobrol ya?"
Dalam perjalanan kembali ke klinik itu, dokter Santi menduga ada suka dihati Dita terhadap Panji, tapi Santi tau bahwa Panji lebih suka pada Maruti. Kelihatan sikapnya ketika mereka bertemu dirumah makan itu.
***
Maruti dan Laras sudah selesai makan, tapi mereka menunggu sampai Agus menyelesaikan makannya. Pembicaraan tentang Panji terhenti dengan hadirnya Agus. Tapi tiba2 Agus menanyakan sesuatu tentang Panji.
"Aku dengar Panji mau menikah.." kata Agus tiba2.
"Ngaaaak, siapa bilang?" kata Laras cepat2.
"Nggak ya, tapi calon isterinya sudah ngomong ke saya."
"Maksud mas Agus, dokter Santi? Ma'af, tapi mas Panji tidak suka pada dokter Santi."
"Ya, katanya begitu.. apa Panji sudah punya pacar?"
"Dia ini..."jawab Laras sambil menunjuk kearah Maruti. Maruti terkejut kemudian menepiskan tangan Laras.
"Ihh.. apa sih," tapi itu dengan senyum tersipu. Agus menangkap senyuman itu, ada guratan rasa kecewa ersungging dibibirnya, walau tampaknya tersenyum dan mengangguk angguk.
"Nggak usah malu Ruti, kamu kayak anak kecil saja."
Agus menghela nafas, dan menyuapkan nasi terakhirnya.
"Biar aku yang traksir kalian," Agus berdiri kearah kasir.
"Waah.. mas Kumis itu baik hati bener.." celetuk Laras yang kemudian dicubit oleh Maruti.
"Sst.. hati2 bicaramu, nanti dia dengar." dan kedua gadis itupun tertawa lirih.
***
Ketika Panji pulang kerumah siang itu, simbok menyambutnya dengan mengulurkan sebuah dompet.
"Apa ini mbok?"
"Ini punya bu dokter, semalam kemari, simbok nggak tau kalau dompetnya terjatuh. Padahal tas dan kunci mobil yang tadinya tertinggal sudah simbok susulkan. Rupanya dompet ini jatuh mas."
"Biarkan saja, kalau dia merasa kehilangan pasti diambil kemari."
"Lha kalau dia mbutuhkan .. kan kasihan mas.. "
"Itu bukan urusanku mbok, salah sendiri kalau sampai baragnya terjatuh . Suda mbok, aku mau mandi, siapkan baju bersih ya."
"Baik mas," simbok meletakkan kembali dompet itu dimeja, dan pergi kebelakang untuk menyiapkan baju momongannya.
Simbok berada dirumah itu sejak Panji masih kecil. Mereka saling menyayangi seperti keluarga saja, dan ketika bu Anjar meninggal, simboklah yang menggantikan merawat Panji seperti anaknya sendiri. Ia ingin bertanya mengenai dokter yang mengaku sebagai calon isteri momongannya itu, tapi ditahannya. Ia merasa Panji kurang suka pada dokter cantik yang selalu datang kemari tapi jarang bertemu Panji.
"Mas, tadi simbok masak rendang, saya siapkan dimeja ya?" teriak simbok dari luar kamar mandi setelah menyiapkan baju Panji dikamar.
"Wah, kangen aku sama masakanmu mbok, ya.. aku mau," jawab Panji dari dalam kamar mandi.
Simbok bergegas kedapur, menyiapkan nasi piring dan segala sesuatunya untuk makan momongannya. Gembira sekali simbok, karena Panji jarang sekali mau makan dirumah.
Namun ketika simbok sedang menata makanan dimeja .. tiba2 sebuah suara mengejutkannya.
"mBok.. kebetulan nih, aku belum makan."
Simbok menoleh dan dilihatnya dokter Santi sudah duduk disalah satu kursi dimeja makan itu.
"Bu dokter...?"
"Mas Panji ada kan? Ayo dong mbok, piringnya kurang satu, aku kan juga belum makan."
Simbok melangkah kebelakang dengan wajah cemberut. Tamu yang satu ini sungguh sangat lancang dan tak tau malu, pikirnya. Tiba2 ia terintat dompet yang terjatuh. Ia segera membalikkan tubuhnya menuju kearah meja dimana ia meletakkan dompet itu.
"Ini bu, milik ibu terjatuh semalam."
"Oh.. ya ampuun.. rupanya terjatuh disini? Pantesan aku cari dimana mana nggak ketemu, isinya cuma beberapa ratus ribu, tapi banyak surat2 pentingnya. Simbok nggak membuka buka isi dompet ini kan?" tanya Santi sambil membuka dompetnya, seperti sedang meneliti isinya.
"Ya ampun bu, selamanya simbok ini memang miskin, tapi sekalipun simbok belum pernah menginginkan sesuatu yang bukan menjadi milik simbok." jawab simbok sambil bersungut, lalu melangkah kebelakang.
Didepan kamar mandi tiba2 Panji keluar, hanya membalut tubuhnya dengan sehelai handuk.
"Ehhh... mas... berpakaian dulu, jangan lewat ruang makan sambil setengah telanjang begitu. Mengapa tadi mas Panji tidak mandi dikamar mandi yang ada dikamar saja sih?"
"Kangen sama kamar mandinya ibu, memangnya ada apa?" tanya Panji heran.
Tapi sebelum simbok menjawab, Santi tiba2 sudah muncul dihadapan mereka. Simbok serta merta menghadang didepan Panji, dan Panji melotot marah.
***
No comments:
Post a Comment