SA'AT HATI BICARA 018
(Tien Kumalasari)
Santi bukannya mundur karena malu, malah mendekat dan terkekeh senang.
"Ya ampun mas.. malu aku," pekiknya sambil menutup wajah dengan jari2 tangan, tapi terbuka lebar, sehingga dengan jelas bisa memandang kedepan.
Panji membalikkan tubuhnya dan kembali masuk kedalam kamar. Dulu kamar itu memang kamar bu Anjar. Entah mengapa tiba2 siang itu Panji ingin sekali mandi dikamar mandi yang ada dikamar ibunya, sementara simbok menyiapkan ganti pakaiannya dikamarnya sendiri dan itu memang harus melewati ruang makan dimana tadi Santi duduk disana.
Simbok bersungut sungut, menuju kamar Panji dan mengambil pakaian yang tadi disiapkannya disana, lalu memasukkannya kekamar bu Anjar, kemudian menutupnya rapat.
Santi masih tersenyum senyum ketika kembali duduk diruang makan, sementara wajah simbok gelap tertutup mendung. Menurutnya, sangat tidak pantas seorang wanita bersikap demikian bebas dihadapan priya yang hanya berbalutkan selembar kain, sementara priya itu bukan apa2nya.
"mBok, aku minta teh lemon ya, yang dingin."
Huh.. memangnya siapa dia .. main perintah saja. Majikan bukan, tamu juga bukan tamu yang diundang. Gerutu simbok, tapi dibuatkannya juga apa yang diminta Santi.
Ketika simbok membawa nampan berisi teh lemon dingin seperti yang diminta Santi, dilihatnya Panji sudah rapi dan berjalan kearah depan sambil menjinjing tas kerjanya.
"Mas..." sapa simbok, mungkin maksudnya bertanya, apa nggak jadi makan.
"Aku mau langsung kekantor mbok, ada rapat siang ini."
Dan Panji terus melangkah kedepan. Santi menghirup lemon tea didepannya, kemudian setengah berlari mengejar Panji.
"Mas, dengar mas, nggak selamanya bisa begini. Mas harus segera menghentikan semuanya dan menentukan hidup mas."
"Kamu yang harus menghentikan semua ini Santi.Aku sudah lelah."
"Mas, tunggu dulu mas.. apa mas lupa bahwa..."
"Bahwa apa, ibuku almarhum tidak menyebutkan kamu yang harus menjadi pasangan hidupku sesa'at sebelum meninggal, jadi jangan mengancamku dengan kejadian itu."
"Tapi mas..."
"Dengar Santi, dan ini yang terakhir, aku mohon jangan lagi menggangguku karena aku tidak ingin menjadikanmu isteriku."
"Sungguh ?"
"Sungguh !! Dan jangan lagi menggangguku."
"Mas, apa karena ada wanita lain?"
"Ya !" tegas kata Panji.
"Maruti?"
"Ya."
Lalu Panji terus melangkah, memasuki mobilnya dan memacunya keluar dari halaman.
Santi kembali kedalam, meminum lemon tea sampai habis lalu menyambar dompet yang ketinggalan, kemudian berlalu tanpa perduli pada simbok yang memandanginya sambil geleng2 kepala.
"Gara2 dia, momongan kesayanganku nggak jadi makan masakanku lagi," omelnya.
***
Agus dan Maruti kembali kekantor, tapi Laras masih mengikutinya. Ia lupa tadi membawa bungkusan belanjaan yang ditinggalkan dimeja Maruti.
"Nanti aku mau langsung pulang," kata Laras
"Disini dulu juga nggak apa2 kok, sambil menunggu Maruti pulang," tiba2 kata Agus.
"Kelamaan mas, nanti mengganggu."
Tiba2 terdengar langkah2 kaki mendekat, semua menoleh kearah pintu masuk. Santi dengan wajah kusut menuding kearah Agus.
"Mas ! Sebenarnya Sasa ada dimana? "
"Kamu ini kenapa? Datang2 tanpa permisi langsung marah2." omel Agus kesal. Ia tidak suka wajahnya dituding tuding seperti yang dilakukan Santi.
"Aku lagi pengin marah nih mas, tadi aku kerumah, kepengin ngajak Sasa jalan2.. tapi rumah dikunci. Apa mas selalu biarkan perawat itu membawa Sasa kemana dia suka? Itu nggak baik mas, dia hanya bisa keluar dengan ijin mas."
"Sasa bukan dibawa perawat semaunya, dia kerumah ibu, karena ibuku kangen. Jadi bukan kemauan perawat itu."
Laras dan Maruti menundukkan muka. Laras pura2 membuka hapenya dan berbicara dengan seseorang, sementara Maruti segera membuka buka laci seperti sedang mencari sesuatu. Sungkan rasanya mendengarkan pembicaraan yang tampaknya kurang enak didengar itu.
Mereka masih bersitegang sampai Agus masuk kedalam ruang kerjanya dan Santi masih juga mengikutinya.
"Mulai sekarang jangan pernah lagi datang kemari dan mempermalukan aku didepan karyawan2ku."
"Aku juga tidak akan datang kemari kalau tidak sedang mencari anakku."
"Baiklah, dia tidak ada disini, dan sekarang pulanglah. Ini yang terakhir kamu boleh datang ya, ingat itu." kata Agus sambil menunjuk kearah pintu keluar.
Santi melangkah kearah pintu. Sekali lagi ia menoleh dan mencibir.
"Apa mas suka pada Maruti dan takut dia cemburu padaku? Mas keliru, ada orang lain yang menyukai dia."
"Keluaarrr!!" hardik Agus dan terdengar bantingan pintu setelah Santi keluar dari sana.
***
Hari itu Santi seperti orang kalap. Tak ada tempat yang memberinya suasana bersahabat dengan dirinya. Keluar dari ruangan Agus dia juga tidak menoleh lagi pada Laras dan Maruti yang masih saja pura2 dengan kesibukannya.
Santi mengendarai mobilnya tak tentu arah. Ia merasa tak punya pegangan. Ia harus melakukan sesuatu yang akan membuatnya senang. Tiba2 ia melewati rumah yang siang tadi dikunjunginya, rumah keluarga bu Tarjo, Santi tau Maruti belum pulang dan dia ingin menemui Dita. Hanya gadis itu yang masih bisa bersikap baik padanya.
Ia menghentikan mobilnya didepan pagar, dan langsung masuk ke pekarangan yang tampak sepi. Mungkin Dita sedang tidur, atau ... ah tidak.. Santi melihat Dita sedang duduk diteras, kepalanya menunduk dan tampak sedang menulis sesuatu. Karena terpaku pada sesuatu yang dikerjakannya, maka Dita sama sekali tak tau bahwa seseorang sedang mendekatinya.
"Lagi nulis apa nih?"
Dita terkejut. Cepat dia menutup buku kecilnya lalu berdiri menyambut kedatangan Santi.
"Dokter Santi? Kok sudah sampai disini lagi?"
"Iya, lagi mencari alamat seseorang, tapi nggak ketemu." jawab Santi sekenanya.
"Oh, coba dimana alamatnya, barangkali saya bisa menunjukkan."
"Nggak usah, besok saja."
"Lho.."
"Tadi menoleh kesini, melihat kamu sedang menulis sesuatu. Apa tuh? Buku harian ya?"
"Ya," Dita tersipu.
"Kamu seperti orang lagi jatuh cinta. Pasti semua2 kamu catat dibuku itu."
Santi memungut buku kecilnya dan digenggamnya erat.
"Dokter tau aja."
"Benar kan?Kamu lagi jatuh cinta? O.. aku tau.. pasti yang kemarin malam makan bersama itu."
Dita terkejut. Kok dokter Santi tau ketika dia sedang makan malam? Dengan Panji kan? Bagaimana dia bisa tau.
"Kok tau dok, mas Panji bilang ya?" Dita nggak sadar bahwa dia sedang terkena pancingan dokter Santi.
"Nah, itu. Hm.. memang mas Panji laki2 yang menarik ya? Nggak aneh kalau Dita suka."
"Ah.. dokter.." Dita tersipu.
"Apa kamu yakin mas Panji juga suka sama kamu?"
"Dia... sangat perhatian sama aku.. " kata Dita polos.
"Tapi dia tidak suka sama kamu."
"Apa?" Dita terkejut.
"Dia itu sukanya sama kakak kamu, Maruti."
***
No comments:
Post a Comment