👩🏫 COMBLANG SYAR'I 👩🏫
PART 12
Hari berlalu, Ainun kembali menuju kampusnya.
Radit sudah sarapan, anak itu juga sudah mandi.
Meninggalkan anak Autism kadang lebih mudah dibandingkan anak normal, karena kebanyakan anak autis sibuk dengan diri juga benda yang mereka suka.
Semalam Raiyan membelikan beberapa benda untuk Radit sesuai permintaan Ainun, diantaranya rubik juga gembok aneka warna.
Seusai mandi, Radit sibuk dengan mainan baru.
Dengan penuh semangat Ainun melangkahkan kakinya menuju kampus.
Lagi-lagi ia harus melewati Fakultas seni untuk bisa sampai menuju Fakultasnya, Ainun celingukan ia tak ingin berjumpa dengan Bimo.
Perasaan ia sudah mulai tak karuan jika melihatnya.
Ada rasa canggung, dan perasaan aneh yang menyesak di dada.
Ainun tak suka.
“Amaaan......................!”
Ucapnya lega, ia melenggang masuk ke kampusnya.
Tak jauh di sana, persis di depan pintu Fakultasnya, laki-laki bertubuh tinggi tegap mengenakan jaket jeans, kaos putih belel dan celana jeans berdiri membelakanginya.
“Pompadour..................!”
Ainun panik, ia melengos dan menghindar.
“Cepet … cepet … cepet,”
Gumam Ainun berlari pelan.
“Ainun...........................!”
Panggilnya, Ainun diam dan menghentikan langkah.
“Aduuuh.......................!”
Gumamnya.
“Akhirnya … datang juga,”
Ucap Bimo lega.
Senyum Bimo begitu lebar menyambut kedatangan Ainun.
“Ayo ikut......................!”
Perintahnya.
“Ainun, ada tugas Kak.”
“Semua Dosen belum datang,”
“Ainun ada kelas..........!”
“Sepagi ini, bohong dosa Nun.”
“Heeeh, iya.
Kita mau kemana.........?”
“Udah ikut aja ….”
Ainun mengekor tubuhnya yang berjalan pelan.
Sesekali Bimo tersenyum, dan meledeknya.
Bimo menuju kantin Blok B.
Tempat ia pernah melihat Ainun dulu berebut makanan.
“Duduk..........................!”
“Kak..., aku udah makan.”
“Diam ….........................”
Ucap Bimo.
Tak lama, kue pancong, kue cubit, es cendol, es teh manis, mie ayam diletakkan di hadapan Ainun.
Ainun melotot heran dengan tingkah Bimo yang sejak tadi mengambilkan makanan untuknya.
“Makan.........................!”
Perintahnya.
Ainun terperangah, ia melotot, bibirnya menganga kaku melihat banyaknya makanan yang Bimo pesan.
“Kakak tuh kenapa sih, memangnya setiap hari aku kelaparan apa....?”
“Makan..........................!”
“Kak..., aku udah kenyang.”
“Makan, atau kamu yang bayar...!”
“HAH...........................!”
Mulut Ainun semakin menganga.
Bimo tertawa melihat ekspresinya,
Ainun begitu lucu dan imut, ia bayangkan jika Ainun melepas kacamatanya mungkin ia akan terlihat semakin cantik, lugu dan kepolosannya membuat hati Bimo nyaman dengannya.
Ainun mengambil kue pancong dan melahapnya langsung ke mulutnya tanpa memotong kuenya.
Mulutnya penuh, kedua pipinya semakin gembil karenanya.
“Lagi .........................….”
“Kakak..., mau bunuh aku ama pancong..!”
Ucap Ainun kewalahan, kue pancong sudah penuh di mulutnya.
“Aku..., nggak sanggup Kak.
Kakak makan juga.......!”
Perintah Ainun.
“Okeeh...........................!
Jawab Bimo seraya menyantap mie ayam yang sudah ia pesan.
“Kak..., aku ada job nih...!”
“Job, apaan.................?”
“Cariin jodoh................!”
Bimo tersedak, buru-buru ia minum.
“Jodoh buat siapa........?”
“Bos aku........................!”
Ucap Ainun.
“Bos kamu.....................?
Memangnya dia ….........?
“Duda............................!”
Uhuk..............................!
Bimo semakin tersedak “Dudaa....!”
Jawabnya terkejut.
“Aku mau carikan Ibu yang cocok untuk anak-anaknya, kasihan.
Aku sudah terlalu jauh sayang sama Radit....!”
Bimo menghentikan makannya,
“Tunggu Radit siapa......?”
Tanyanya jengkel.
“Kakak kenapa..............?”
Tanya Ainun heran melihat ekspresi wajah Bimo.
“Radit siapa..................?
Kuliah dimana..............?”
“Hahahhahaha …............
Radit kesayangan Inoon tuh umurnya masih 8 tahun Kak.”
“Ooh.......................... …!”
Bimo lega, tak lama wajahnya kembali tersenyum.
“Nun...............................,”
Sapa Bimo sorot matanya begitu teduh dan terasa hangat.
Mendadak hati Ainun membeku, suasana kantin yang ramai menjadi begitu lengang.
Berat Ainun menelan saliva, rasa gugup mendadak hadir.
“Nun..., aku akan berubah.”
“Maksud Kakak..........?”
“Aku akan sholat, aku akan segera lulus, percayalah Nun.”
“Hmmm … bagus.........!”
Jawab Ainun seraya melahap kue untuk mengurangi rasa gugupnya.
“Syahira pasti tambah suka,”
Lanjut Ainun.
“Syahira.......................!”
“Ya...............................,”
Jawab Ainun yang terus menghindar dari sorot mata Bimo.
“Aku sudah putus dengan Syahira, Nun...!”
Uhuk...............................!
Ainun semakin gugup, mendadak hatinya berdesir, tubuh Ainun gemetar dan berpeluh.
“Aku tak akan pacaran lagi.”
Ainun tersenyum dan mengangguk
“Alhamdulillah, bagus itu Kak....!”
Ucap Ainun gugup.
“Kak......., aku udah telat.
Aku masuk dulu ya,”
Ucap Ainun seraya membersihkan diri.
“Nun.............................!”
Sepasang netra kini bertemu, degup jantung Ainun kian melambat.
Tatapan Bimo begitu tulus.
“Aku berjanji aku akan berubah … , tak ada hubungan sebelum sah, tak ada berpegangan sebelum sah, tak ada kencan sebelum sah, bukan begitu Nun....?”
Ainun mengangguk.
Sorot mata Bimo begitu tajam memandang mata Ainun, Ainun melengos.
Wanita itu tetap memiliki pendirian kuat untuk menjaga izzah hingga ia menikah.
Namun hati tak berdusta, perasaan Ainun kian berdesir.
Bimo seperti sedang mengungkapkan perasaan padanya, namun ia tak yakin.
“Aku pergi Kak.............!”
Ucap Ainun bangkit dan meninggalkannya.
Bimo menarik napas, ia memegang dadanya yang pun sama berdesirnya dengan Ainun.
Syahira melihat dari jauh, ada perih yang menusuk di dada.
Bimo membohonginya, jika ia hanya kasihan dengan Ainun, sorot matanya tak mungkin sebahagia itu.
Gadis bertubuh sintal itu begitu kecewa, hatinya sakit namun ia tak bisa memaksakan kehendak Bimo.
Syahira langkahkan kakinya, ia pergi dengan emosi dan kebencian yang begitu besar di hati.
Ainun berjalan cepat meninggalkan Bimo, hatinya terus berdegup, tatapan Bimo seakan tak pernah lepas di pandangan.
Ainun hanya gadis desa yang tak pernah mengharapakan perasaan cinta timbul di hati, dan kini perasaan itu nyata adanya.
@@@@@@@@@@@@
Ucapan Bimo sangat menganggu Ainun, sepanjang pembelajaran di kelas.
Ainun hanya termenung memikirkan ucapan juga perasaannya, Ainun mulai goyah.
Berulang kali ia menatap keluar, hati Ainun begitu lembut dan polos.
Belum pernah hati berdesir, seperti yang ia rasakan sekarang.
“Nun...........................!”
Sapa temannya seraya menepuk pundaknya.
“Ya................................!”
“Kamu di panggil Ibu Shanti....,”
“Kenapa........................?”
Tanya Ainun heran, terperangah melihat seorang mahasiswa datang menyampaikan pesan untuknya.
Shanti adalah kepala jurusan Prodi Pendidikan Psikologi.
Ainun bangkit dan buru-buru Ainun menuju ruangan prodi, ruangan kantor yang hanya dibatasi sekat berukuran setengah badan, beberapa meja dosen dan meja Shanti berada paling ujung dan sedikit lebih luas.
Ainun masuk, semua mata kini tertuju padanya.
Lilis...., dosen yang cukup mengenal Ainun mendadak datang memegang pundak Ainun.
Ia lihat, Shanti sedang sibuk dengan sambungan telepon di telinganya.
“Ada apa ya Bu.............?”
Tanya Ainun pada Lilies.
“Nanti, Ibu bantu...........,”
Jawabnya menenangkan.
“Masuk, Nun..................!”
Perintah Shanti.
“Duduk..........................,”
Perintahnya.
Ainun menurut, ia duduk dan siap mendengarkan.
“Nun …...........................”
“Ya............... Bu............,”
Jawab Ainun gusar, raut wajah Shanti berbeda seperti biasanya, ia menghela napas.
“Katakan pada Ibu, apa yang kamu lakukan....?
Sehingga kampus memutuskan kamu untuk Drop Out....?”
“DROP OUT...................!”
Ainun terguncang mendengarnya.
Ainun menggeleng dan tak paham dengan ucapan Shanti.
“Katakan.............., Nun.”
“Saya tidak paham..., Bu,”
Air mata Ainun mulai meleleh, ia tak paham jika kampus harus mengeluarkannya.
“Apa karena saya telat bayaran bu....?
Saya usahakan akan membayarnya bu.
Saya sudah dapat pekerjaan baru, saya yakin saya bisa bayar.”
Air mata Ainun semakin meleleh.
Ruangan prodi yang tak bersekat itu membuat beberapa dosen menitikkan air mata mendengar penjelasannya.
“Bukan itu Nun................,
Coba kamu pikirkan.......,”
Tanyanya lagi.
“Apa karena nilai Ainun yang kurang bagus bu....?
Maafkan Ainun bu, Ainun sibuk bekerja.
Ainun akan belajar lebih giat lagi Bu,”
Napas Ainun mulai tersengal-sengal.
Shanti mulai terenyuh.
Ia tahu, meskipun nilai Ainun tak cukup membanggakan, tapi Ainun mampu membuktikkan pada mereka bahwa ia adalah mahasiwi mandiri.
“Ainun mohon Bu …........”
Ainun merengek.
Kuliah adalah satu-satunya alasan Ainun banting tulang, ia tak mungkin mengecewakan orang tuanya.
Shanti terenyuh, bulir air menggenang di pelupuk mata.
Lilies menggeleng, ia pun tak tega jika Ainun dikeluarkan.
“Bu lilies......., antar saya.
Yuk Nun …......................”
Ajak Shanti, Ainun mengekor di belakang.
Semua pertanyaan berkumpul di kepalanya.
Ia tak tahu kemana Shanti akan membawanya, tangan Lilies erat memeluk pundak Ainun.
Tak lama mereka masuk ke ruangan dekan Fakultas.
Ruangan yang hanya di datangi untuk sekedar meminta tanda tangan atau bimbingan skripsi.
Bapak Bagyo Surahat.
Ainun duduk, tak lama Shanti berbicara.
“Saya ingin meminta penyelidikan terlebih dahulu, Pak.
Ainun mahasiswa saya adalah salah satu mahasiswa berprestasi.”
“Prestasi......................?!
Apa ini..........................!”
Jawabnya seraya melempar lembar nilai Ainun.
“Tapi itu masih sebatas tuduhan Pak, tidak berdasar,”
Sambung Lilies.
“Banyak saksinya.........!”
Rutuk Bagyo.
Ainun semakin diam, tubuhnya membeku, ia masih belum paham kesalahan apa yang ia lakukan.
Shanti dan Lilies seperti seorang pengacara yang membela terdakwa.
“Nun, katakan...............?
Apa kamu tinggal satu rumah dengan mahasiswa lelaki di kampus ini.....?
Apa kalian melakukan sesuatu yang dilarang agama....?”
Deg................................!
Ainun diam, peluh keluar dari dahinya.
Ainun menggeleng, ia mulai gugup.
Ia memang sempat tinggal dua malam di rumah Bimo, namun tidak melakukan apapun.
“Kamu yakin, Nun.........!”
Tanya Lilies.
“Sa-saya memang sempat tinggal dua malam, di-...?”
“Dimana.......................?”
Tanya Shanti.
Ainun susah payah menelan salivanya, degup jantungnya semakin cepat.
Ainun tersudut.
“Dirumah mahasiswa seni,”
“Apa saya bilang.........!”
Teriak Bagyo.
“DO..............................!”
“Tidak Pak, saya tidak melakukan apapun.
Malam itu saya tidak punya tempat tinggal, saya tidak punya uang Pak, saya tak tahu harus tinggal dimana.
Saya berani sumpah, saya tidak melakukan sesuatu yang melanggar norma agama.”
“Kami memiliki saksi, laporan warga juga sudah kami terima, dan beberapa warga disana pun turut melapor.
Bahwa kalian tinggal satu rumah seperti pasangan suami istri....!”
“Itu bohong Pak............,”
Teriak Ainun.
“Wallauhi Pak, Demi Allah … saya tidak melakukan apapun,”
Lanjutnya, air mata Ainun kian deras.
“Panggil Orang tuamu, kita akan urus surat-suratmu besok.”
Ainun turun dari sofa, ia bersimpuh di lantai.
“Saya mohon Pak, orang tua saya hanya seorang petani karet.
Mereka tak akan sanggup jika tahu saya dikeluarkan, saya mohon Pak.
Saya mungkin miskin tapi saya tak pernah melanggar perintah Tuhan.
Saya hanya orang miskin Pak, bodoh sekali saya jika saya melakukan hal hina itu, saya mohon untuk memberikan saya kesempatan.”
Suasana hening, jawaban Ainun membuat setiap mata menangis.
“Saya mohon penyelidikan Pak...!”
“Penyelidikan apa..........?
Jika kita tidak memenuhi permintaan warga, nama kampus kita yang jelek....!”
Ainun semakin menangis, ia menyesali keputusannya dulu untuk tinggal di rumah Bimo.
“Saya mohon, Pak.........!”
“Saya percaya Ainun......!
Kita juga tidak bisa terima mentah-mentah laporan warga....!”
Seru Lilis.
“Saya mohon Pak Bagyo, buka sedikit hati Bapak....!”
Rutuk Shanti.
“Kita panggil, Mahasiswa itu sekarang juga....!”
Rutuk Shanti.
“Pendosa tak akan pernah mengaku.
Dengar kami Ainun, kamu sudah memalukan kami, kamu melanggar norma dan etika, semua tertulis jelas di peraturan kampus kita.
Badan pengawas Mahasiswa akan segera memanggilmu.”
“Saya Mohon Pak, saya tidak bersalah, Saya mo-mohon....!”
Ucap Ainun memohon, air mata kini memenuhi mulutnya.
“Saya Mohon, pak Bagyo....!
Harusnya anda bisa melindungi mahasiswa anda,”
Desak lilies.
Bagyo mengangkat teleponnya, tak lama Shanti menghentikan sambungan.
“Saya mohon.................!”
Rutuknya.
Bagyo diam, ia menghela napas.
Wajah Shanti juga Lilies memerah, Ainun bersimpuh dan terus menangis .
“Ok................................!
Kita panggil Mahasiswanya,”
Seru Bagyo.
Shanti mendekati tubuh Ainun yang bersimpuh di lantai.
“Katakan................, Nun.
Siapa nama mahasiswa yang membantumu....?”
Ainun menelan salivanya, jika ia katakan nama Bimo.
Sudah pasti Bimo juga akan mendapat sanksi karenanya, Bimo hanya ingin membantunya.
Tak seharusnya ia mendapatkan masalah yang sama.
“Bu … dia orang baik, dia hanya ingin membantu Ainun.”
“Ibu paham, tapi kita harus tahu kebenarannya.”
“Bimo bu … Ainun tak tahu nama panjangnya.”
“Bimo … Bimo Dharaya....?”
Tanya Shanti kaget.
Shanti tahu, bimo adalah anak yang sulit diatur.
Banyak isu yang mengatakan bahwa Bimo sering berganti pacar, Bimo adalah anak dari sastro Dharaya yang juga Shanti kenal.
Shanti lemas, ia menuju Lilies.
Ainun menyesal, tak seharusnya ia menerima tawaran Bimo dulu.
Lilies mendekat.
“Nun....., kamu yakin namanya Bimo....?”
Ainun mengangguk.
“Kita panggil anaknya....!”
Bagyo mengangkat teleponnya dan menghubungi fakultas seni.
Ia meminta untuk mendatangkan Bimo ke ruangannya.
Lilies memeluk Ainun erat, Ainun sudah ia anggap putrinya sendiri.
Ia begitu rajin, juga tekun.
Ainun selalu mendapatkan nilai A pada setiap mata kuliah yang ia ajarkan.
Kadang Ainun pun suka membantunya mengoreksi ataupun hal lainnya.
Lilies sangat yakin, Ainun tak bersalah.
Selang beberapa lama, Bimo dharaya masuk didampingi dosen yang juga menjabat sebagai Badan konseling fakultas seni.
Seperti tersangka dosen itu mendorong pundaknya masuk ke dalam ruangan.
“Ainun.........................!”
Sapa Bimo yang melihat Ainun tertunduk menangis.
“Bu Shanti...., Bu Lilies maaf bisa keluar sebentar, saya ingin berbicara dengan Bimo.”
Bimo semakin heran, apa yang terjadi dengan Ainun dan mengapa ia dipanggil.
Bimo menatap pada meja laki-laki yang baru saja memintanya untuk berbicara berdua.
Dekan FIP, Bagyo.
‘Syahira’ gumamnya jengkel.
“Bimo … saya sahabat Ayahmu, jika kamu mau.
Saya bisa membuat Ainun saja yang dikeluarkan.”
“Dikeluarkan................?”
Tanya Bimo, sorot matanya tajam seperti ingin menerkam, kedua tangan tiba-tiba mengepal.
“Bimo, jika masalah ini sampai kerektorat kamu pun akan dikeluarkan, apa lagi sampai sekarang kamu masih menunda kelulusanmu.”
“Atas dasar apa kalian mengeluarkan kami....?”
“Kami mendapat laporan, bahwa kalian telah tinggal bersama layaknya suami istri.”
“FITNAH.......................!”
Rutuk Bimo.
“Laporan sudah banyak masuk ke badan pengawasan kampus.”
“tidak ada bukti, itu FITNAH....!”
Teriak Bimo seraya menghentakkan telapak tangan ke meja.
Bagyo panik, anak muda dihadapannya terlihat sangar dan murka.
“Banyak saksi yang memberatkan kalian....!
Saya menawarkan bantuan padamu karena Ayahmu....!”
“Saya tidak peduli, jika sampai Ainun dikeluarkan …!”
Rutuk Bimo.
“Kalau begitu kita bawa, ke Badan pengawasan...!”
Ancam Bagyo setelah melihat kelakuan Bimo yang tak sopan dengannya.
Bimo menarik napas, masalahnya semakin pelik ia tak mampu melindungi Ainun.
Tak lama Ainun dan lilies masuk.
Bimo melihat Ainun menangis, nafasnya tersengal-sengal.
“Nun......., kamu tenang.
Aku nggak akan biarkan mereka mengeluarkanmu,”
Ucap Bimo menenangkan.
Ainun menangis, ia pun khawatir Bimo juga akan dikeluarkan.
“Maafin Ainun......., Kak.
Karena Ainun kakak jadi dapat tuduhan ini.”
“Ini bukan salahmu, Nun.
Kita di fitnah!”
“Fitnah........................?
Siapa yang menfitnah Kak....?”
Syahira pasti Nun,
Gumam Bimo dalam hati.
Bimo, Ainun yang ditemani Lilies menuju ruang BP, disana mereka akan disidang seperti layaknya tersangka, bukti-bukti akan di jabarkan di sana.
Bimo yakin, ia dan Ainun akan bebas tidak ada bukti yang memberatkan mereka.
Jika benar Ainun akan dikeluarkan, Bimo yakin itu hanya keinginan Bagyo saja, karena Syahira.
*************************
Ruangan BP yang berukuran 4x4 meter itu menjadi pengalaman baru bagi Ainun, sedangkan Bimo sudah beberapa kali ia masuk keruangan ini karena mendapat teguran dari kampus.
Ainun duduk didampingi Lilies, wajahnya pucat, Ainun hanya menunduk tak berani mendengakkan wajah.
Sedangkan Bimo gusar, ia mondar-mandir di dalam ruangan seraya mengusap rambutnya.
Bimo khawatir, Ainun yang akan jadi korban dan akan dikeluarkan.
Wanita itu begitu menginginkan kelulusan.
Tak lama ketua BP Amar Hadi datang, dengan sorot mata yang tajam ia menatap Bimo.
“Lagi-lagi kamu..............?
Nggak bosan kamu di kampus ini....?”
Bimo diam, Ainun melihat tangannya terkepal, separuh bibirnya menyungging ke atas.
“Laporannya.................?”
Ucapnya pada asistantnya.
Ia membaca dengan seksama.
Surat laporan warga juga beberapa lampiran foto yang entah dari mana asalnya.
“Begini, Berita tentang adanya mahasiswa kami yang melakukan praktek kumpul kebo, telah ramai di warga, dan bahaya bagi nama kampus jika kami tidak mengeluarkan kalian, warga akan menganggap kami tidak tegas.”
“Tapi, itu fitnah..............!”
Rutuk Bimo.
“Berandal, masuk penjara, menunda kelulusan, meninju dosen, apa perlu saya sebutkan kenakalanmu yang lain....?”
Teriak Amar hadi seraya menghentakkan tangan ke atas meja.
Bimo diam, menarik napas.
Ainun terperagah, begitu kelam masa lalu Bimo yang tak ia ketahui.
“Keluarkan saya, tapi jangan keluarkan Ainun.”
“Apa itu, bentuk pengakuan....?”
“Tidaak, ini salah saya Pak.
Kak Bimo tidak bersalah, malam itu saya tidak punya tempat tinggal Pak, kami tidak melakukan apapun, demi Allah,”
“Panggil orang tuamu,”
“Orang tua saya hanya petani karet Pak, mereka jauh.
Saya mohon Pak, beri saya kesempatan,”
“Bukankah kampus harusnya membantu mahasiswanya yang kekurangan....?”
Tegas Lilies.
“Ainun ini salah satu mahasiswi terbaik kami, apa karena ia bermalam ditempat seseorang yang berniat membantunya sudah dianggap tak berasusila...?”
Lanjut Lilies.
Bimo diam, ia melihat air mata Ainun semakin deras.
Tak lama ruangan BP terbuka, laki-laki paruh baya bersetelan jas rapi masuk ke dalam dia Sastro Dharaya, orang tua dari Bimo Dharaya.
“PLAK..........................!”
Tamparan keras baru saja Bimo dapatkan darinya.
“Apa lagi yang kamu lakukan.....!”
Teriak Sastro.
Ainun diam, ia pucat, khawatir, cemas, iba melihat Bimo mendapat pukulan keras.
Bimo diam, mulutnya terkunci.
“Keluarkan saja dia.........!
Saya sudah tidak ada urusan dengan anak ini...!”
Teriak lelaki yang tak lain Ayah kandung Bimo.
“Saya mohon …
Jangan keluarkan Ainun....!”
Rutuk Bimo, wajahnya memerah.
Ainun menatap Bimo, ia begitu peduli dengan nasib Ainun.
“Sabaar................... Pak.
Ini semua belum terbukti...,”
Tegur Lilies pada Sastro.
“Ainun, tolong panggil wali kamu,”
Ucap Amar.
Ainun diam, tak satupun yang bisa ia jadikan walinya di Jakarta, dulu sekali Pak Madi pernah menjadi walinya untuk penerimaan piagam penghargaan, namun masalah ini.
Ainun berfikir keras, ia izin keluar ruangan.
Ia ambil ponselnya, nama Raiyan tercatat di Ponsel.
“Assalamualaikum, Pak …”
“Waalaikumsalam, ada apa Nun.”
“Pak … saya butuh bantuan Bapak,”
Ainun masuk ke dalam ruangan, Raiyan tak menjawab permintaan Ainun, teleponnya langsung mati begitu saja.
Ainun pasrah, Bimo mungkin ada orang tuanya yang siap memberikan jaminan, sedangkan Ainun hanya ada Lilies yang tak bisa memberikan jaminan untuknya.
Seketika ruangan BP menjadi tegang juga haru, Lilies sejenak pergi meninggalkan Ainun, Bimo yang tak sanggup melawan amarah Sastro duduk diam, di sudut ruangan, kedua mata teduh menatap Ainun yang tampak menangis di sudut sofa.
Kedua kaki Ainun naik turun untuk mengurangi rasa cemas, ingin rasa melindungi Ainun namun ia tak sanggup.
Sedangkan Amar sedang sibuk mengetik surat di layar komputernya.
Tak lama pintu terbuka, laki-laki yang tak asing bagi Ainun datang, tiba-tiba air mata begitu saja menetes.
“Pak...........................,”
Raiyan menarik napas melihat Ainun yang tersedu di sudut ruangan, Bimo menatap dengan penuh rasa ingin tahu akan laki-laki yang mendadak datang kemudian menatap Ainun.
Lelaki berkemeja hitam juga celana hitam, kulitnya putih bersih, ada rasa tak nyaman di hati Bimo saat Ainun menyapanya.
“Saya wali Ainun...........,”
Ucapnya mendadak datang memberikan harapan bagi Ainun.
Ainun terenyuh, ia tak yakin jika Raiyan akan datang untuk membantunya.
“Ada masalah apa, dengan Ainun....?”
“Begini Pak ….................”
Amar mengulangi ceritanya dari awal.
“Ainun, bukan orang seperti itu.
Saya berani menjamin,”
Deg.............................!
Hati Bimo semakin rapuh, Raiyan tampak lebih mengenal Ainun dibandingkan dirinya.
Raiyan terlihat sukses dibandingkan dirinya, ia hanya laki-laki tak berguna yang hanya berlindung dari pundak orang tua.
“Kalian bisa kembali, jika ada tuntutan dari warga kita akan coba selesaikan dengan cara kekeluargaan.
Berdoa saja, semoga keputusan yang diambil terbaik untuk kalian dan kamu, jangan harap kamu bisa bertahan,”
Ucap Amar seraya merutuk Bimo.
Mendengar itu hati Ainun bagai tersambar petir, air mata semakin deras terlihat.
Wanita itu menatap Bimo, lelaki itu tak bersalah.
Hanya karena membantunya, ia harus dikeluarkan.
Ainun merasa begitu bersalah.
Ainun bangkit,
“Saya mohon Pak.........,
Kak Bimo tidak bersalah.
Ia hanya ingin membantu saya, malam itu saya tidak punya tempat tinggal Pak.
Saya mohon … tolong percayalah dengan saya, agama saya menjadi saksi akan kejujuran saya hari ini,”
Tutur Ainun memohon, kedua tangan ia satukan.
Bimo menatap Ainun, bulir bening itu pun menetes.
Seisi ruangan mendadak haru melihat Ainun, begitu pun Raiyan juga Sastro melihat ketulusan Ainun.
“Ainun....., saya percaya.
Sekarang pulanglah......!”
Ucap Amar.
Bimo diam, ia merasa malu.
Ainun kini sudah mengetahui banyak tentang dirinya.
Sastro keluar ruangan, di belakangnya Bimo mengikuti.
Bimo berhenti menatap Ainun, dan tersenyum menguatkan.
Ainun mengangguk, air mata terus mengalir di pipi.
Ainun begitu malu dengan Raiyan, tak seharusnya kejadian ini menimpa dirinya.
Tanpa berbicara Raiyan meninggalkan ruang BP, Ainun mengikutinya dari belakang.
Bimo melihat Ainun begitu menurut dengan laki-laki yang baru saja membantunya.
Ingin bertanya pada Ainun, siapa dia.....?
Kenapa dia begitu mengenal Ainun.....?
Usianya pun tak terlalu tua....?
Kenapa dengan mudah ia menolong Ainun....?
Bimo hanya diam, dan melihat Ainun mengikuti lelaki bertubuh jangkung itu dari belakang.
Bimo diam, ia tak bisa berkutik melihat amarah di wajah Sastro.
Lelaki itu terllihat emosi, Bimo biarkan Ayahnya pergi.
Rasa dendam juga jengkel menyelimuti hati Bimo.
Bimo sangat tahu, bahwa ini perbuatan Syahira.
Lelaki itu kembali, ia mencari Syahira di seluruh ruangan fakultas.
Dari jauh terlihat sebuah kelas dengan pintu terbuka, beberapa mahasiswa tengah duduk berkumpul dan salah satunya Syahira.
Berani, Bimo masuk ke dalam kelas.
Seluruh mahasiswa terperangah, Bimo hentakkan tangan persis di kursi meja Syahira.
Matanya melotot geram, nafasnya tersengal wajah memerah,
“kenapa kamu tega.......?”
Rutuknya.
“Pertanyaan yang sama, kenapa kamu tega.....!”
Rutuk Syahira, bulir bening mendadak menetes di wajah.
“Ainun tidak bersalah....!”
Rutuk Bimo.
Syahira melengos, ia mengusap air matanya.
“Dengar, jika sampai kamu menyakiti Ainun.
Aku tak akan tinggal diam.....!”
Rutuk Bimo, lelaki itu bangkit melihat semua wajah yang menatapnya dengan benci.
Mereka terlihat mendukung apa yang dilakukan Syahira.
“Kenapa kalian begitu jahat dengan Ainun.....?
Kenapa.......................!!
Kalian tau Ainun susah kan....!”
Teriak Bimo.
Bimo begitu kesal, jika saja teman-teman Ainun peka akan nasib Ainun, mungkin Ainun tak akan tertimpa masalah seperti saat ini.
Bimo begitu khawatir akan nasib Ainun, ia tak akan terima jika Ainun sampai dikeluarkan.
“Kak...............................”
Bimo terperangah, suara Ainun terdengar lembut di telinga Bimo.
“Terima kasih, Kak.
Ainun tak pernah minta dikasihani, mereka teman-teman baik Ainun.
Ainun memang tak pernah bercerita, ini bukan kesalahan mereka …
Kak Bimo, terima kasih,”
Tutur Ainun menangis.
Wanita itu tak sanggup melihat kebaikan Bimo, ia merengkuh dada dan duduk dilantai.
Beberapa teman, menahan pilu dan menangis.
Satu diantara mereka mendekat lalu memeluk Ainun erat.
“Maafkan kami, Nun.....!”
*************************
Bimo kembali pulang, ia tahu sudah tak ada kesempatan baginya untuk melanjutkan kuliah.
Kelulusan bukanlah hal utama bagi Bimo, Bimo sadar ia sudah banyak melakukan kesalahan.
Jauh sebelum kejadian itu terjadi, Bimo sudah bertekad untuk menyelesaikan kuliahnya.
Namun nasib berkata lain, tak apa setidaknya Ainun masih terus melanjutkan kuliah.
Bimo menarik napas, ia langkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
Dari jauh dilihatnya Ranti menangis tersedu tangan kanan memapah dahi, dua saudara perempuan duduk diam menahan tangis dan Sastro duduk di tengah kedua tangan terkepal.
Sebuah koper dan tas ransel terlihat dekat di samping Sastro yang duduk di sofa kulit berwarna hitam, kehadiran Bimo sudah ditunggu sejak pagi.
Amarah di wajah Sastro kian memuncak.
“Mamah mohon, pikirkan lagi Pah,”
Ucap Ranti memohon air mata berderai di pipi.
Tak lama Bimo duduk berhadapan dengan Sastro.
“Kamu bisa pergi...........!
Sudah tidak ada tempat untuk kamu dirumah ini....!”
Rutuk Sastro tanpa menatap, ia begitu kecewa dengan Bimo.
Bimo diam, ia mengangguk.
“Keluarkan dompet kamu....!”
Dengan berbesar hati ia keluarkan dompet dan di letakkan di meja.
“Kamu tidak boleh bawa motor, semua yang saya belikan tak boleh kamu bawa, termasuk handphone.....!”
Rutuk Sastro kecewa.
“Pah … mamah mohon, Pah....!”
“Biar...................., Mah.
Bimo akan buktikan ke Papah, Bimo akan berubah,”
Ucap Bimo seraya meletakkan kunci motor juga handphone miliknya.
Sastro mengambil dompet Bimo, ia mengambil uang cash berjumlah tiga ratus ribu dan meletakkannya di meja.
“Pergi.............................!”
“Paaah ….”
Ucap Shania, juga Marsya Saudara perempuan Bimo.
“Paah … kasian Kak Bimo...!”
Bimo pergi, ia mencium wajah Ranti yang basah karena air mata, lalu memeluk ke dua saudaranya.
Begitu berat ia menggapai tangan Ayahnya.
Sastro diam, Bimo pergi membawa tas ransel juga koper yang sudah mereka rapihkan.
Entah kemana, berapa lama, ia tak tau.
Bimo kini tak lebih dari seorang manusia yang tak punya tujuan, tiada harapan, ia bahkan lebih dikasihani dibandingkan Ainun.
Bimo diam, uang tiga ratus ribu ditangan, ia menarik napas lalu tersenyum.
Ia mulai merasakan begitu beratnya hidup Ainun dulu.
.......BERSAMBUNG.......
No comments:
Post a Comment