👩🏫 COMBLANG SYAR'I 👩🏫
PART 11
Ainun tersadar di minggu pagi dengan suara gemiricik dari arah dapur. Rumah ini terlalu besar, hingga suara adzan pun tak terdengar.
Ainun bangkit, dilihatnya Marni sedang manadahkan air.
“Mbok..........................,”
Sapa Ainun.
“Sudah bangun......, Nun.
Ini masih jam 4.”
“Ya Nggak apa-apa Mbok, sambil menunggu adzan.”
“Subhanallah, jarang ada anak muda seperti kamu, Nun.”
“Biasa saja.........., Mbok.”
“Biasanya mereka bangun jam berapa, Mbok....?”
Lanjut Ainun.
“Siapa..........? ooo .....…”
“Tuan biasanya jam 6 sudah bangun, kalo anak-anak agak siang.”
“Jam 6..., Apa Tuan sholat Mbok...?”
“InsyaaAllah sholat Nun, di kamarnya ada sajadah.”
“Alhamdulillah................”
Beberapa jam kemudian Raiyan keluar, seperti biasa ia duduk di sofa depan dan mengambil Koran harian yang terletak di atas meja.
Tak lama Ainun datang dengan secangkir kopi hangat juga sarapan yang sudah dibuatkan Marni.
Lelaki itu bergeming, ia terus fokus membaca Koran harian.
“Mbok............................!”
Panggilnya tanpa mempedulikan keberadaan Ainun didekatnya.
Si Mbok berlari mendekat.
“Ya....................... Tuan,”
“Masak yang banyak hari ini, Rafika mau datang.”
Ainun terperangah sebuah nama yang baru ia dengar.
Ainun mengikuti tubuh si Mbok ke dapur.
“Mbok..., Rafika siapa.....?”
“Calonnya Tuan.............,”
Ucap si Mbok sedikit agak jengkel.
“Kenapa wajah Mbok begitu....?”
Tanya Ainun heran.
“Itu loh, Non Rafika tidak suka dengan Radit.”
Ainun menarik nafas.....,
“Apa Tuan tau...............?”
“Tau..............................!”
“Loh....., kenapa tetap dipertahankan...?”
“Ya begitulah Tuan..., Nun.
Gengsinya tinggi, dia masih saja malu punya anak seperti Radit.”
Ainun mendesis ia semakin kesal dengan perlakuan Raiyan yang tak memikirkan Radit.
Ainun kesal, ia tak sanggup membayangkan jika Radit memiliki Ibu yang tak menyukainya.
Ainun naik ke kamar Radit, ia membersihkan kamar Radit.
Terlintas ide di pikiran, Ainun akan membuat wanita itu menyukai Radit, atau jika tidak …
“Ya....! Demi Radit.........!”
“Inooon.........................!”
“Radiit...........................!”
Jawab Ainun mendekat.
“Bangun tidur, langsung mandi terus makan.”
Radit tertawa, wajah Ainun begitu lucu.
Ia memeluk Ainun lalu tersenyum lebar.
Semenjak kehadiran Ainun, Radit hampir tidak pernah mengalami tantrum.
Ainun tahu bagaimana cara menangani anak Autis dengan baik, Radit sangat sensitif dengan suara, dengan pukulan juga orang asing.
“Radiit … ayo kita buktikkan bahwa kamu anak luaar biasa...!”
Ucap Ainun seraya membopong Radit menuju kamar mandi.
Ainun tulus, seperti biasa ia memandikan Radit seraya bernyanyi tanpa ada beban.
Sesudahnya ia pakaikan Radit pakaian serapih juga terbaik di lemarinya.
“Radiit ganteng, apa bisa aku menjadi istrimu....?”
Ucap Ainun tersenyum.
“Inooon, Inooon.............!”
Jawab Radit seraya tertawa.
Raiyan mengamati Ainun, gadis itu tak kenal lelah.
Ia cukup salut dengan sikap Ainun yang konsisten.
Sudah dua hari ini sejak keberadaan Ainun Radit tidak mengalami tantrum.
Ainun selalu bersikap layaknya seorang Ibu memeluknya dengan erat, bermain hingga Radit lelah, mengajarkan beberapa suku kata dan banyak hal.
Radit kini sibuk dengan beberapa kunci di tangan juga gembok yang sudah Ainun sediakan.
Ainun bangkit, ia harus berjuang agar Radit mendapatkan Ibu yang tepat.
Ia tak ingin anak asuh kesayangannya itu menjadi korban akibat ayahnya salah dalam memilih seorang Ibu untuk Radit.
Ainun memberanikan diri menemui Raiyan.
Lelaki itu terlihat sibuk di ruang kerjanya.
“Bisa bicara..........., Pak.”
“Duduk...........................”
“Ini.................................,”
Ucap Ainun seraya memberikan sebuah kertas berisikan diagram lingkaran berisikan jadwal Radit dan tugas-tugas Raiyan.”
“Apa ini.......................?”
“Tugas Bapak sebagai orang tua Radit,”
Raiyan terkejut, ia tak menyangka seorang baby sitter bisa memberikannya sebuah tugas.
“Saya dapat tugas.......?”
Tanya Raiyan.
Ainun mengangguk.
“Haruskah....................?”
“Bapak ingin, Radit berubahkan....?”
“Apa ini bisa dipertanggungjawabkan....?”
Ainun mengangguk yakin.
Beberapa pekerjaan menjadi tugas Raiyan.
Diantaranya; memeluk dan mencium kening Radit saat pagi hari dan menjelang tidur, makan malam/ siang bersama Rania juga Radit, bermain di luar ruangan bersama Radit juga Rania.
Raiyan terenyuh, Ainun membuat catatan begitu rapih.
Semua hal yang diminta Ainun, sudah lama tak ia lakukan pada Radit.
Pesan terakhir Ainun dalam jadwal membuat laki-laki ini sedih......
“Tidak ada kekerasan....!”
“Ok................ kita mulai.”
Senyum Ainun merekah...,
“Alhamdulillah, kita mulai hari ini Pak,”
ucapnya bersemangat.
Ainun naik ke atas, Radit tengah sibuk bermain dengan kunci miliknya.
Jadwal makan siang sudah tiba.
Sesuai kesepakatan Ainun akan mengembalikan suasana rumah menjadi hangat.
Makan siang/ malam bersama adalah saat dimana keluarga bisa berkumpul.
Menurut buku yang ia baca, jika sebuah kelurga selalu membiasakan diri berkumpul dan bercerita dalam satu meja, akan membantu menambahkan rasa hangat juga kekompakkan.
Tak lama tamu yang diharapkan Raiyan datang.
Sebuah mobil sedan berwarna merah terlihat terparkir di luar.
Ainun menarik napas, ia berharap Rafika adalah wanita baik yang bisa menerima kehadiran Radit.
Makanan telah Mbok Marni siapkan di atas meja, Raiyan menyambut Rafika yang mendadak masuk ke dalam rumah.
Rania dipangkuan si Mbok dan Ainun masih bersiap menjaga Radit agar anak itu siap untuk makan bersama di bawah.
Sebuah rencana yang mendadak muncul begitu saja, ia ingin Raiyan memperlakukan Radit layaknya anak normal.
“Kita akan berjuang Radit, kakak janji Ayah Radit akan sayang sama Radit....!
Sekarang Radit nurut sama kakak ya, kita makan bersama di bawah...!”
Ainun menarik napas dan mulai menggiring Radit untuk turun.
“Radit ayoo...................,”
Ajak Ainun.
Pelan Radit mengikuti Ainun, erat Ainun memegang tangannya.
Mulai pijakan tangga pertama, Radit berlari masuk ke dalam.
Ainun mencoba lagi, Radit takut untuk turun.
Ainun kali ini menarik tangannya untuk turun, Radit meronta.
Tak mengeluh, Ainun menggendongnya lalu mengecup kening Radit.
Radit semakin meronta, ia kembali ke kamarnya dan duduk disudut kamar.
“Radit ….... ayo Nak, kita turun.”
“Kesini..........................!”
Mendadak Raiyan datang, kali ini tiada emosi.
Ia mencoba mendekati anak sulungnya.
Lalu merapihkan rambut Radit yang berantakan di kepalanya.
Ainun diam.
Di bawah ia melihat Rafika tampak berdiri menunggu di bawah tangga, wanita itu cantik tinggi bak model, rambutnya lurus, kedua pipinya tirus, kedua matanya bulat, bibirnya berwarna merah terang, pakaian yang ia kenakan begitu modis, celana panjang dan blouse pendek bermotif Gucci.
Radit meronta, Ainun terperangah.
Ia tak ingin Ayahnya mendekat.
“Apa harus.....................?
Makan siang di bawah.....!”
Rutuk Raiyan sedikit jengkel dengan peraturan Ainun.
Ainun mengangguk.
“Kita paksa..................!”
Raiyan menggendong anak sulungnya, Radit meronta.
Tangan Raiyan lebih kuat untuk menahan tubuh Radit yang terus meronta.
Pelan Ainun mengekor Raiyan yang tengah menggendong Radit.
Di meja makan sudah terlihat Rania juga Mbok Marni dan Rafika yang duduk dan bersenda gurau dengan Rania.
Raiyan merebahkan tubuh Radit di atas kursi.
Radit lari, Ainun menarik dan mendekapnya.
“Apa harus anak itu makan, disini....?”
Tanya Rafika, begitu menyakitkan hati Ainun.
Marni yang berdiri di sebelah Rafika pun mulai terlihat jengkel, namun Raiyan bergeming.
Tak nampak raut emosi di wajah.
Ainun membawa beberapa kunci lalu ia jejerkan di atas meja.
Radit diam, ia duduk lalu memainkan kuncinya.
“Kita makan.................!”
Ucap Raiyan.
Radit mulai berulah, ia menghentakkan kunci ke atas meja.
Hingga menimbulkan suara yang begitu nyaring.
Rafika bergeming, ia terus menikmati makan siang bersama kekasihnya.
Hati Ainun semakin sakit, ia terus melatih Radit untuk menggapai sendok di tangan.
Ainun memegang erat pundak Radit, dan tangan satunya membantu tangan Radit untuk memegang sendok.
Radit tak terbiasa makan dengan tangannya sendiri.
Mbok Marni selalu menyuapinya.
Pelan, Ainun tuntun Radit dengan kelembutan juga kesabaran yang memancar dari sisi Ainun.
Wanita itu melatih Radit dengan baik.
Sendok pertama Radit lempar, lalu ia kembali memegang kunci, raut wajah Raiyan mulai kesal.
“Mba, anak itu tidak betah makan di sini.
Bawa saja ke kamarnya....!”
Perintah Rafika pada Ainun.
“Radit anak baik, dia pasti bisa makan disini,”
jawab Ainun tersenyum.
Ainun mencoba kembali, kali ini ia paksa tangan Radit untuk memegang tangan Radit, Radit marah kali ini tak hanya sendok ia buang, piring di hadapan ia empaskan ke samping hingga mengotori tubuh Ainun.
“Radit..........................!”
Teriak Raiyan dengan suaranya yang menggelegar.
Ainun panik, Raiyan bangkit dan mulai hilang kendali.
“Makan..........................!”
Rutuknya, Radit diam, tubuhnya bergetar seperti kejang.
“Ambil yang baru Mbok...!”
Rutuknya, kali ini Raiyan yang membuat tubuh Radit diam, napas Radit tersengal-sengal, wajah Radit pucat, ia terlihat begitu takut dengan Raiyan.
“Makan......................!”
“Biar saya saja....., Pak.”
Raiyan bergeming.
“Saya mohon Pak.”
“Makan.........................!”
Rutuk Raiyan seraya memaksa masuk makanan ke dalam mulutnya.
“Cukup....., Pak..............!”
Teriak Ainun, Raiyan diam, ia melihat wajah Ainun memerah, sorot mata Ainun begitu tajam, tak lama Radit berlindung di balik tubuh Ainun yang mungil.
“Saya ajak Radit kesini bukan sekedar untuk makan, tapi untuk melatihnya agar berdisiplin....!”
Raiyan diam, emosinya tertahan dengan janji yang ia berikan pada Ainun.
Raiyan melengos, ia pergi dari meja makan.
Ia merasa malu, Ainun lebih peduli dengan Radit dibandingkan dirinya.
Mata Ainun berkaca-kaca, ia sungguh tak sanggup Raiyan tak adil memperlakukan Radit.
“Masalah Radit bukan hanya makan, Pak.
Tapi banyak, apa Bapak tidak melihat itu....?”
“Cukup.........................!”
Teriak Rafika.
“Kamu kok berani sekali berbicara seperti itu.....?
Ingat kamu siapa..........?”
Rutuk Rafika.
“Maaf bu, saya hanya pengasuh disini, tapi saya ingin Radit sembuh.”
Rafika terkekeh melihat kelakuan Ainun, sorot matanya begitu sinis.
Ainun kembali mencoba, ia biarkan Raiyan juga Rafika.
Seseorang yang harusnya memikirkan masa depan Radit.
Raiyan bergeming, ia melanggar janjinya.
Emosinya lebih besar dibanding apapun, ia tinggalkan meja makan dan menuju ruang kerjanya.
Dengan sabar Ainun melatih Radit, hingga Radit lelah dan menyerah.
Senyum lebar Ainun ia berikan pada anak sulung Raiyan sebagai reward.
Radit bisa makan dengan tangannya sendiri, dan memegang sendok dengan benar.
“Alhamdulillah …
Radit bisa, besok janji dengan kakak.
Radit harus bisa makan sendiri, ya....!”
Ucap Ainun menangis dan memeluk Radit erat.
Raiyan masuk ke ruang kerja.
Rafika mengekor dari belakang.
“Sayang … aku sudah bilang, sebaiknya Radit kamu masukkan ke sekolah luar biasa.
Ia perlu seseorang yang mendidiknya dengan benar.”
“Rumah Rafika..............!”
“Apa..............................?”
“Hanya rumah tempat Radit bisa belajar untuk pertama kali, anak itu jangankan keluar dari rumah, keluar dari kamar pun ia menolak.”
“Lalu siapa dia.............?”
“Rafika aku mengundangmu kesini, agar kamu bisa memahami Radit....!”
Rutuk Raiyan.
“Aku sudah bilang dari awal, aku tak sanggup merawat Radit.
Kamu tidak ingat bagaimana dia dulu mengigit kuping aku....?”
“Kalau begitu kita tidak bisa terus....!”
“Apa.............................?”
“Aku mencari pengganti Ibu untuk anak-anakku, tidak hanya pengganti istri untukku.
Mengertilah.................!”
Rafika geram, ia keluar dari ruang kerja seraya membanting pintu.
Tak lama wanita itu pulang dengan raut wajah kesal dan kecewa.
Dari jendela tempat kerjanya Raiyan menatap Ainun, Ainun mengajak anak-anaknya bermain di taman, mereka bersenda gurau.
Radit berlarian keliling taman.
Ini adalah pertama kalinya Radit turun sejak setahun belakangan.
Raiyan menyesal.
Ainun seperti memberikan pelajaran berharga untuknya.
Ainun tak terlihat lelah, ia begitu bersemangat.
Raiyan diam, ia tahu saat ini ia harus segera mencari pengganti Malika.
Pekerjaan ia begitu banyak hingga tak sanggup jika harus merawat Radit juga Rania sendiri.
Kehadiran Ainun cukup membantu pekerjaannya.
Raiyan bangkit, ia melihat Ainun begitu kelelahan di tangan ia menggendong Rania dan tangan yang satu menarik tubuh Radit.
“Sini..............................!”
Raiyan mendadak hadir dan membopong Radit.
“Mau kemana..............?”
Ainun diam, ia menarik napas dan melihat perubahan sikap Raiyan.
“Kamar.”
Ucap Ainun pelan.
Ainun membopong Rania dan Radit digendong Raiyan, keduanya masuk bersamaan.
Raiyan biarkan mereka masuk ke dalam kamar, tak lama suara teriakan kembali terdengar.
Bukan teriakan tangisan, melainkan candaan.
Berulang kali nama Inoon mereka teriakkan, Raiyan tersenyum.
Ia tak salah membawa anak buah Pak Madi kerumahnya.
Tak lama Raiyan kembali, ia buka pintu kamarnya sedikit.
Ainun terlelap di tengah ranjang seraya memeluk Radit di sisi kanan juga Rania di sisi kiri.
Raiyan tersenyum, ia mulai menyukai semangat Ainun.
Pelan ia matikan lampu kamar.
Apa yang Ainun lakukan tak lebih sama dengan yang dilakukan istrinya dulu.
Raiyan mulai membuka kembali peraturan yang Ainun berikan, ia mulai membuka diri.
Mendadak Ainun keluar, ia mengusap wajahnya dengan kasar.
Matanya terlihat begitu sipit, Ainun berjalan menuju lantai dasar, kamar Ainun bersebelahan dengan si Mbok yang baru ia kenal bernama Marni.
Ainun limbung, ia begitu lelah seharian mengurus anak-anak.
Perutnya lapar, juga haus.
Ainun menuju dapur, ia diam di sudut meja.
Begitu malu rasanya membuka tudung saji yang berada di atas meja.
Berulang kali ia hanya meminum air putih.
Ia tak biasa mengambil makanan tanpa seizin pemiliknya.
Ainun begitu bersyukur ia bisa tinggal di rumah Radit yang megah ini, setidaknya ia bisa tidur nyaman dan bisa membayar kuliah.
Kadang, jika dirasakan merawat Radit amatlah berat, tulang-tulangnya terasa hampir patah karena terkadang Radit minta ia bopong.
Tubuh Ainun yang mungil kadang seperti robot yang tak mengenal lelah.
Ainun masuk ke dalam kamar, ia rebahkan tubuh diatas ranjang.
Tak lama Mbok Marni kembali mengetuk pintu dan mengantarkan paket untuknya.
Ainun menarik nafas lega, lagi-lagi Bimo mengirimkan Beefburger dan kentang goreng.
“Assalamualaikum....,” jawab Ainun.
“Waalaikumsalam.., Nun...!”
“Terima kasih, Kak …”
“Tumben kamu telepon, Nun.”
“Karena Kakak sudah terlalu baik sama saya”
“Cuma Burger Nun........”
“Ya...., namun datang di saat yang pas.”
“Kamu lapar.................?”
“He’eh.”
Jawab Ainun seraya melahap.
“Memangnya kamu tidak dikasih makan...?”
“Dikasih kak.”
“Oh ya Kak, kakak jangan sering-sering seperti ini.
Saya tidak enak dengan Syahira.”
“Syahira........................?”
“Ya............”
“Saya sudah tidak pacaran, Nun.”
“Oh kenapa..................?”
“Saya mau berubah......,”
“Alhamdulillah bagus itu, Syahira pasti suka.
Jika Kakak siap kakak baru lamar dia, pacaran itu cuma merugikan diri sendiri,”
Ucap Ainun menahan perih di hati.
Saat ini Ainun tak tahu, hubungan Bimo dan Syahira sudah sejauh mana.
Ia hanya bisa mengira-ngira bahwa saat ini Bimo nyaman menganggapnya sebagai sahabat.
Pun begitu Ainun sudah bersyukur.
Bimo diam, Ainun nampaknya belum paham akan perasaannya.
Tak lama Ainun menutup telepon.
Bimo bimbang, ingin hati mengungkapkan rasa namun lidah begitu berat.
Bimo kini berada di kediaman orang tuanya, rumah berasitektur modern di bilangan Jakarta selatan adalah rumah Bimo, rumah dengan halaman parkir yang luas, dari luar, tampak warna krem dan emas terlihat begitu dominan di rumahnya.
Ada delapan tiang besar yang kokoh berdiri di tengah-tengah rumah ini.
Anak laki-laki dari orang berpengaruh di kampusnya.
Tak ada yang tahu bahwa Bimo adalah putra dari Sastro Dharaya seorang pengusaha sukses yang juga salah satu Alumni kampusnya sekarang, penampilannya yang berantakan seperti tak terurus membuat Bimo terlihat seperti berandalan.
Jika mahasiswa lain mungkin sudah dikeluarkan, karena lulus terlalu lama.
Bimo sudah banyak mendapat teguran di kampus dan tahun ini adalah tahun penentuannya.
Rektorat masih memberikan kesempatan pada Bimo karena menghormati Sastro Ayah Bimo.
Ayahnya adalah alumni di Universitas UNJ yang melakukan Endowment ya itu sejumlah dana yang disumbangkan alumni atau pihak-pihak tertentu untuk tujuan-tujuan yang disaratkan para donatur.
Dana tersebut dikelola oleh kampus, tidak dihabiskan begitu saja melainkan diinvestasikan baik dalam bentuk saham, obligasi.
Ayah Bimo bernama Sastro Dharaya, adalah seorang pengusaha sukses.
Laki-laki ini memberikan endowment cukup besar untuk kemajuan kampusnya dulu, wajar jika Bimo selalu disegani baik dari pihak pengurus dan pejabat.
Bimo Dharaya pernah mengalami peristiwa kelam dalam hidupnya, hubungan dengan orang tuanya tidak berjalan baik.
Lima tahun lalu, Bimo bergabung dan menjadi pemimpin di sebuah klub motor berandal, kelompok berandal yang dipimpinnnya pernah melakukan tawuran besar, hingga menyebabkan beberapa orang luka parah.
Satu diantaranya meregang nyawa dan berakhir cacat permanen.
Bimo yang saat itu ditahan, tak sedikit pun mendapatkan bantuan dari orang tuanya.
Ia menjalani hidup seperti pemuda-pemuda lainnya.
Sastro sudah lelah dengan kenakalan Bimo.
Bimo banyak belajar dari beberapa tahanan, bahwa menjadi kuat tak melulu harus menggunakan kekerasan.
Satu tahun mendekam di penjara, Bimo akhirnya bebas.
Anak itu berubah dan memahami alasan orang tuanya untuk tidak membebaskannya.
Bimo termenung di dalam kamarnya, kamar yang sudah lama tak ia tempati.
Sebuah kamar yang penuh dengan hiasan poster motor balap.
Bimo rebahkan tubuhnya, Ainun wanita itu banyak memberikan perubahan pada diri Bimo.
Tak satupun orang yang mampu menasihati Bimo hingga ia mau berubah.
Senyum Ainun, nasihat Ainun begitu masuk ke relung hati.
Pelan, seorang wanita paruh baya membuka pintu kamar Bimo.
Wanita bernama Ranti melihat anak laki-lakinya tengah menghafal bacaan sholat, Sudah dua hari Bimo berada di rumah dan ia melihat perubahan besar dalam diri Bimo.
Ranti bernafas lega dan bersyukur, siapapun yang membantu Bimo berubah patut di berikan pelukan olehnya.
Sesekali ia datang kembali dan melihat Bimo sedang belajar bahkan sholat suatu hal yang tak pernah Bimo lakukan sebelumnya.
Ranti masuk, ia membawakan makanan kesukaan Bimo, lalu duduk di sebelah putranya yang tengah menghafal doa.
“Apa Syahira, yang membuatmu menjadi seperti ini....?”
“Syahira.......................?
Mama kenal................?”
“Syahira itu putri dari Pak Bagyo, Dekan di Fakultas pendidikan, sahabat dekat Ayah.”
“Bukan................., Mah.
Bimo tak ada hubungan dengan Syahira.”
“Loh … lalu kemarin......?
Mamah Syahira bilang kalian sedang berpacaran.”
“Bimo ingin berubah mah, Bimo tak ingin menjalin hubungan dengan siapapun.
Kami memang berpacaran tapi hanya satu minggu,”
Ranti tersenyum, ia mengusap rambut anaknya.
“Mamah senang mendengarnya, Nak.”
“Itu.............?”
Tanya Ranti pada sebuah catatan doa di tangan Bimo.
Bimo tersenyum kecil dan mengamati kembali tulisan Ainun.
“Ini … dari seseorang yang mengajarkan Bimo banyak hal, mengajarkan Bimo untuk rajin, dan tidak mengeluh, mengajarkan Bimo untuk selalu ingat akan Tuhan dan juga orang tua, Bimo salut dengan dia mah, dia yang membuat semangat Bimo kembali.”
“Ajak dia kerumah.”
“Dia tak akan mau, Mah.
Anak ini keras kepala,”
ucapnya cengengesan.
“Dia pasti seorang wanita tangguh dan hebat yang bisa membuat Bimo Mamah berubah.”
Bimo mengangguk dan tersenyum.
Ranti memeluk Bimo, belum pernah ia melihat Bimo sedemikian serius.
*************************
“Nun............................,”
Sapa Mbok Marni di balik pintu.
“Ya...................... Mbok.”
“Dipanggil Tuan.”
Buru-buru Ainun habiskan beefburger lalu keluar dari kamarnya, dilihatnya Raiyan sedang duduk di meja makan membelakanginya.
“Duduk.................., Nun.”
Ainun menarik kursi yang jaraknya cukup jauh darinya.
“Saya tau, kamu belum makan.
Makanlah.......................,”
"Saya sudah makan, Pak.”
Jawab Ainun merasa kenyang setelah menyantap mie ayam bakso pemberian Bimo.
“Terima kasih ya Nun, kamu banyak membantu saya.”
“Sudah lama mereka kehilangan sosok ibu di Rumah.
Kamu lumayan menggantikannya,”
Lanjutnya sopan.
“Bapak memang harus menikah lagi, Bapak tidak bisa sendiri.
Radit perlu sentuhan, pelukan hangat seorang Ibu.”
“Oh ya..., lalu Rafika........?”
“Dia tidak cocok....., Pak.
Maaf.”
Jawab Ainun begitu polos.
Raiyan tersenyum, ia tak menyangka Ainun akan berani menjawab hal itu.
“Setidaknya Bapak harus mencari perempuan yang menyayangi Radit juga Rania, tidak hanya menyayangi Bapak.
Ibu Rafika sangat cantik, dia pasti sangat cocok dengan Bapak.
Tapi Bapak juga harus memahami Radit, Radit ingin Ayahnya sayang dengan dia,”
Tutur Ainun berkaca-kaca.
“Terima kasih......., Nun.
Saya tidak menyangka kamu begitu sayang dengan putra saya.”
“Lalu siapa yang cocok menjadi Ibu untuk Radit....?”
Tanya Raiyan, sedikit berharap orang seperti Ainun yang bisa menjadi Ibunya Radit.
“Siapa yang akan sanggup dengan Radit, Nun....?
Tidak semua wanita memiliki sifat keibuan seperti kamu atau istri saya, semua teman wanita saya kebanyakan kaum sosialita yang hanya sibuk berbelanja dan mempercantik diri,”
Lanjut Raiyan.
Ainun diam
“Bagaimana jika saya bantu carikan, Pak....?”
Uhuk.............................!
Raiyan tersedak.
Ainun begitu polos dan lucu, ia begitu berani menawarkan bantuan yang amat tak ia sangka.
“Di kampus saya terkenal dengan comblang Syar'i Pak, sudah beberapa pasangan sukses menikah karena saya.”
Tutur Ainun dengan bangga.
“Oh ya, untungnya apa buat kamu...?”
“Pahalanya besar Pak, asal mereka menikah ya.
Diriwayatkan dari Abi Hurairah,
*Nabi bersabda :*
Barang siapa yang berjalan, mempertemukan seseorang pada wanita halal yang mana hendak mengumpulkan (menikahkan) keduanya, maka allah akan memberi rizqi padanya seribu bidadari.
Dan setiap bidadari berada di istana yang terbuat dari mutiara dan yaqut, untuk setiap langkah kakinya dan kalimat yang diucapkannya (ketika hendak menjodohkan, menikahkan) ditulis baginya pahala ibadah setahun yang malamnya digunakan untuk qiyamul lail sedangkan siangnya digunakan untuk berpuasa.”
“Oh ya, kamu tau dari mana itu....?”
“Pengajian Pak.
Saya tidak bisa bersedekah seperti Bapak yang punya banyak uang, hanya itu yang bisa lakukan agar amalan saya banyak nanti.”
“Tapi itukan bidadari Nun, masa kamu dapat bidadari.”
“Bidadari untuk lelaki, bidadara untuk perempuan....!”
Raiyan tertawa mendengar penjelasan Ainun, wanita dihadapannya begitu lucu juga percaya diri.
Tak lama suara canda juga tawa terdengar, Marni begitu senang melihat semangat Ainun.
Baru pertama kali ia melihat Raiyan tertawa lebar.
“Lantas pendamping seperti apa yang akan kamu carikan untuk saya....?”
“Hmmm …....................,
Bapak serius mau saya carikan....?”
Jawab Ainun tersenyum.
Raiyan semakin tertawa, bibirnya melebar dan tangannya memegang perut yang geli, wajahnya terlihat semakin manis.
Pertama kalinya Ainun melihat senyuman di wajah Raiyan.
Semakin lama hubungan mereka semakin cair, Ainun pun iba melihat Radit yang merindukan kasih sayang seorang ibu.
Tanpa Istri, Raiyan pincang.
Raiyan tak sanggup merawat Radit sendiri, ia membutuhkan seorang partner untuk bisa menjaga Radit juga Rania.
....BERSAMBUNG.......
No comments:
Post a Comment