Tuesday, April 7, 2020

Comblang Syar'i 13

👩‍🏫COMBLANG SYAR'I 👩‍🏫
                  PART 13

Bimo kembali ke rumah yang ia sewa. 
Setidaknya masih ada waktu dua minggu untuk ia tinggal dari biaya sewa yang sudah ia berikan. 
Ia rebahkan tubuhnya di atas ranjang dan menatap langit-langit. 
Tak lama bulir bening menetes di pelipis. 

Bimo sesak memikirkan keputusan Sastro. 
Ia merasa dibuang, diacuhkan. 
Namun lebih baik begitu, jika ini yang bisa membuat Ayahnya senang dan melupakan kesalahan Bimo dulu, dengan tenang Bimo bisa menerima. 

Bimo adalah penyebab adik bungsunya meninggal dunia, 5 tahun lalu. 
Satu minggu setelah ia bebas dari penjara. 
Bimo mengantar Sasya adik perempuan yang terkecil untuk teraphy. 
Sasya adalah anak berkebutuhan khusus, ia tak bisa berbicara lancar, pupil di mata pun tak karuan. 
Jika melihat dan mengingatnya Bimo selalu berderai air mata. 

Diantara saudara perempuan lainnya. 
Sasya adalah adik yang teramat menyayanginya, ia selalu senang di peluk dan bermain dengan Bimo. 
Sasya tidak sekolah, seumur hidupnya hanya ia habiskan untuk teraphy. 
Hingga suatu hari, Motor yang dikendarai Bimo juga Sasya terlempar. 
Motor Bimo terhantam keras dengan sebuah mobil berkecepatan tinggi, tubuh Sasya terbentur keras di atas aspal, dan Bimo hanya bisa melihat tubuh adiknya bersimbah darah, tubuh dia pun kaku tak berdaya. 
Berulang kali ia memanggil-manggil nama adiknya namun Sasya tak bersuara, adik kecilnya tak bernapas. 

Bimo rapuh ia kacau dan tak sadarkan diri.

Di kamar kosnya Bimo tersadar, ia mengingat Sasya dan menangis sesegukan. 
“Maafkan Kakak Sya....!” 

Ia kembali termenung, Selama satu bulan dulu ia diopname karena kondisi tubuh juga trauma berat yang Bimo alami. 
Bimo begitu terguncang mendegar kematian Sasya. 
Selama satu bulan di Opname selama itu pula, Sastro tak pernah melihatnya. 
Sastro begitu kecewa dengan Bimo. 

Sastro mengira Bimo tak bisa menjaga Sasya dengan baik, Sastro mengira Bimo kembali ke arena balap dan bertingkah di jalan. 

Bimo menangis, ia menyesali perbuatannya. 
Seandainya saja ia lebih berhati-hati. 
Seandainya saja ia lebih memikirkan keselamatan adiknya, tentu hal itu tak akan terjadi.

@@@@@@@@@@@@

Sedangkan Ainun terus berusaha tersenyum menjaga Radit. 

Wanita itu tetap ingin terlihat tegar meskipun hati perih memikirkan nasib Bimo juga dirinya yang diambang DO. 
Ainun selalu berkeyakinan bahwa Allah mengikuti setiap pikiran hamba-hambanya. 
Ainun berkhusnudzon akan ada pertolongan untuknya. 

Radit yang terus setia dengan mainan barunya, terus sibuk memanggil-manggil nama Inoon. 
Anak itu begitu lucu, hingga membuat kesedihan Ainun berkurang. 
Ainun bernyanyi, Ainun menghibur Rania juga Radit dengan wajah yang tersenyum lebar tiada satupun yang tahu hatinya terluka, kecuali Raiyan yang sejak tadi memperhatikannya.

“Ainun … bisa kita bicara....?” 
Ucap Raiyan, saat melihat Ainun sibuk dengan anak-anaknya.

Ainun mengangguk, tak biasanya wanita itu terlihat kacau dan lemah.
Ia mengekor pada tubuh Raiyan, mengikuti hingga ke ruang kerja. 
Raiyan duduk di kursi, diikuti Ainun yang duduk berhadapan dengannya. 
Ainun terus menunduk.

“Maafkan Ainun....., Pak. 
Terima kasih, karena Bapak sudah membantu Ainun.”

“Katakan, apa hubunganmu dengan lelaki itu....?”

“Hanya teman........, Pak. 
Malam itu dia membantu saya. 
Saya tak ada tempat tinggal, setelah Bapak memutuskan membeli toko Pak Madi, tiada tempat untuk saya berlindung.”

“Kamu tinggal di toko Pak Madi....?” 
Tanya Raiyan terharu, hatinya sesak mendengar cerita Ainun. 

Berat Ainun mengangguk, tak lama air mata itu kembali jatuh. 
Ainun tak kuasa menghadapi cobaan yang ia terima, ia tak ingin kampus mengeluarkannya.

“Berapa lama kamu tinggal dengan lelaki itu....?” 

“Hanya dua malam Pak, setelah saya bekerja dengan Bapak. 
Barulah saya pindah, saya bersumpah Pak.”

“Ainun saya percaya dengan kamu, kamu tidak akan di DO.
Percayalah.”

“Tapi keputusannya belum keluar, saya tak tahu harus berkata apa...?”

“Saya pengacara Nun, jika kampus tetap mengeluarkan kamu. 
Saya akan menuntut mereka.....!”

Ainun mendengakkan kepalanya, ia menatap Raiyan sungguh-sungguh. 
“Pengacara...................?” 
Tanya Ainun. 
Ainun baru saja mengetahui profesi Raiyan lainnya selain pengusaha.

Raiyan mengangguk.

“Lalu bagaimana dengan teman saya...? 
Dia begitu baik dan kini ia juga menjadi korban.”

“Jika mendengar penjabaran ketua BP tentang sikap dan prilaku anak itu, saya rasa ia tetap akan di DO, Nun.”

Ainun kembali lemas, ia kembali menangis.

“Apa Bapak tidak bisa membantunya...?”

“Kenapa saya harus membantunya...?”

“Karena dia orang baik, Pak."

Ainun menghapus air matanya. 
Sebuah tisu Raiyan sodorkan.

Ainun menarik napas. Ainun begitu khawatir dengan nasib Bimo, ia tahu Bimo baru saja ingin menyelesaikan kuliahnya, Bimo pasti sangat kecewa.

“Apa dia pacar kamu....?”

Ainun terkejut, tak lama Ainun mendongakkan kepala, 
“Bukan.................., Pak. 
Ainun tidak pernah pacaran,” 
Jawab Ainun begitu polos.

“Saya tidak bisa membantu Nun, kamu berdoa saja untuk dia. 
Sekarang istirahatlah, saya tahu kamu lelah. 
Radit dan Rania biar Mbok yang jaga.”

“Terima kasih........, Pak.”

Ainun limbung, terhuyun menuju kamar. 
Sejak pagi ia hanya makan kue pancong pemberian Bimo dan itu masih membuatnya kenyang hingga sore. 
Ia masuk ke kamar dan bersandar di pojok ranjang. 
Ainun menekuk kedua lutut lalu menangis. 
Ia mengambil ponselnya lalu menghubungi Bimo. Mailbox.

“Ainun ingin bertemu Kakak, Ainun ingin minta maaf,” 
Gumamnya seraya melihat layar ponsel. 
Ainun terlelap, rasa lelah juga pening menghantuinya. 
Ia begitu shock dengan kejadian yang menimpanya. 

Malam berlalu, Ainun terjaga hingga pagi memikirkan masalah yang mendera. 
Ia melapangkan sajadah dan bermunajat hingga subuh. 
Ainun lelap di atas sajadah hingga dikejutkan dengan suara ketukan pintu kamarnya. 
Suara Mbok Marni terdengar nyaring di luar, Ainun bangkit dari sajadah selepas subuh. 
Ia mengusap wajahnya dengan kasar dan buru-buru membuka pintu. 

“Ada apa, Mbok...........?” 
Tanya Ainun heran. 

“Ada yang mencari kamu, Nun. 
Diluar.”

“Apa laki-laki, tinggi, rambutnya berdiri....?”

“Iya betul.”

Ainun tersenyum lebar. 
“Alhamdulillah …,” batinnya. 
Ia merapikan hijab dan berlari keluar. 
Dilihatnya Bimo sedang berdiri tak jauh dari pagar. 
Satu tangan ia masukkan ke dalam saku, seraya menendang pada kerikil dengan kakinya. 
Ainun menata hati untuk tidak bersedih, ia yakin Bimo tak suka melihat Ainun menangis. 

“Kakak, pagi sekali ….” 
Sapa Ainun tersenyum lebar, ia berusaha memberikan energi positif pada Bimo.

“Nun...........................!” 
Sapa Bimo tersenyum lebar.

“Ini...............................!” 
Lanjut Bimo seraya membawakan Ainun kue pancong yang ia beli dekat dengan masjid selepas subuh.

“Kakak kenapa selalu repot-repot sih....!” 
Ketus Ainun.

“Kamu harus makan Nun, biar kuat. 
Pekerjaanmu pasti banyak di dalam.”

Ainun terenyuh, Bimo begitu peduli dengannya.
Tak lama ia menatap Bimo, hatinya berdegup. 
Air mata ia tahan untuk keluar.

“Kakak, tak perlu khawatir. 
Oh ya, Bos Ainun bilang. 
Ainun tak akan di DO, 
Sekarang kita tinggal cari cara agar kakak tidak di DO juga.”

“Nun … aku senang dengarnya. 
Tak masalah aku di DO, Nun. 
Asal kamu meneruskan kuliahmu.”

Ainun mulai terenyuh, hidung juga dada mulai kembang kempis menahan air mata.

“Kenapa.............., Kak. 
Kakak harus berjuang.”

“Kamu tidak usah pikirkan aku, Nun.”

Ainun menunduk. 
Perasaan di dada semakin tak karuan.

“Nun aku pernah di penjara, aku juga pernah memukul orang, aku pernah hampir membunuh orang. 
Apa kamu tidak takut denganku, apa kamu tidak jijik.....?”

Ainun menggeleng heran dengan pernyataan Bimo. 
Ia masih tetap yakin, Bimo adalah lelaki yang baik. 

“Apa kamu percaya Nun, kalo aku bisa berubah...?”

Ainun mengangguk, air mata mulai menetes. 
Melihat wajah Bimo yang sungguh-sungguh ingin berubah. 

“Nun..., kamu percayakan anak nakal ini akan berubah....! 
Percayalah Nun, suatu saat aku akan datang bukan sebagai berandal, bukan sebagai anak yang tak punya masa depan. 
Lelaki ini akan datang ke seseorang yang berhak atasmu sebagai lelaki dewasa yang memiliki harapan juga masa depan. 
Percayalah …..................” 
Tutur Bimo. 
Semalaman Bimo begitu lelah memikirkan nasib juga masa depan, hanya senyum dan kepercayaan Ainun yang mampu membuatnya bangkit.

Ainun diam, ia tak paham dengan perkataan Bimo.

“Maksud Kakak, apa......? 
Tanya Ainun heran.

“Nun...., aku menyukaimu.”

Deg...............................! 
Hati Ainun terkejut. 
Perlahan detak napas melambat, peluh keluar di pelipis Ainun diam seribu bahasa. 
Ia tahu hal ini akan melanda dirinya suatu masa.

“Nun.............................”

Ainun masih diam, hatinya berdetak tak beraturan. 

“Maaf , Ainun tidak tahu harus menjawab apa ….” 
jawab Ainun ragu.

“Kamu tidak perlu menjawab, Nun. 
Saya tidak memintamu untuk jadi pacar. 
Saya hanya memintamu untuk menunggu,” 
Pinta Bimo.

Ainun semakin tak mengerti. 
Ia terus menunduk.

“Nun katakan, jawab. 
Apa kamu mau menungguku hingga aku datang ke orang tuamu....?”

Ainun melengos. 
“Maaf Kak, Ainun ….”
%
“Nun Apa aku harus berdoa pada Tuhan hanya untuk meminta janjimu....?”

Ainun bimbang, ia ragu. 
Tak tahu harus menjawab apa, namun yang jelas bunga di hati merekah dan mewangi. 
Entah dari mana datangnya, ia begitu senang Bimo mengungkapkan isi hati. 
Berat Ainun menelan salivanya.  
Pelan ia menatap sorot mata Bimo lalu kembali melengos. 
Bimo begitu serius dengan ucapannya, rambut ia basah karena mungkin habis berwudu. 
Merubah Bimo adalah harapan Ainun sejak awal, ia ingin Bimo berubah dari masa lalunya yang kelam. 

“Ainun tak bisa berjanji, Kak.”

“Ahhh...........................!” 
Bimo melengos seraya mengusap kepala.

“Ainun, aku mohon. 
Aku janji akan berubah Nun, yaa …” 
Desak Bimo yang begitu khawatir dengan keberadaan pria yang datang sebelum dirinya. 
Ainun pernah berkata dulu padanya, bahwa ia tak pernah mau untuk berpacaran. 
Jika seseorang datang ke orang tuanya, dan Ayahnya ridho itu lebih baik.

“InsyaaAllah …..............”

“Apa Nun.....................?”

“InsyaaAllah Ainun akan menunggu Kakak.”

Bimo tersenyum lebar. 
Hatinya lega mendengar jawaban Ainun 
“Terima kasih, Nun. 
Aku akan buktikan ke kamu kalau aku layak untukmu.” 

“Sekarang masuklah Nun, 
Terima kasih Nun.”

Ainun mengangguk, ia masuk ke dalam tanpa berbalik dan melambaikan tangan. 
Ainun berdiri di balik pintu dan menekan dadanya erat, ia diam dan menarik napas. 
Pelan Ainun pikirkan janjinya pada Bimo. 
Ia tak tahu harus berbuat apa, ia tak punya kuasa untuk menolak berjanji pada Bimo, hati yang menyuruh, hati yang berbicara, Ainun pun menyukai Bimo. 
Ainun menarik napas, air mata menetes di pipi, ia usap lembut dan langkahkan kaki ke dalam, Mbok Marni tengah sibuk menyiapkan sarapan.

Ainun bersemangat, ia membantu Marni di dapur meskipun hati tetap was-was akan keputusan kampus untuk dia juga Bimo. 
Secangkir teh hangat dan roti telah siap di atas baki. 
Seperti biasa Ainun letakkan di atas meja. 
Raiyan belum turun dari kamar, Ainun membantu si Mbok membereskan rumah. 

Tak lama lelaki itu turun, dengan pakaian rapi kemeja garis vertical membuat tubuhnya kian terlihat tinggi, lengan panjang ia gulung hingga siku. 
Raiyan nampak berwibawa. 
Tak lama lelaki itu duduk dan seperti biasa membaca Koran seraya menyeruput teh atau kopi hangat yang telah disajikan. 

“Nun............,” sapanya.

Ainun buru-buru menghampiri. 
Raiyan menatap Ainun, keceriaan belum kembali di wajah Ainun, ia masih terlihat sedih.

“Hari ini, saya akan mengurus masalahmu dan kamu urusi saja masalah saya,”

“Terima kasih........., Pak. 
Tapi … masalah Bapak apa....?” 
Tanya Ainun heran.

“Bukankah kamu janji mencarikan pasangan untuk saya...!”

“Ehhh … iya Pak,” 
Jawab Ainun kaget Raiyan serius dengan ucapannya kemarin sore.

“Saya butuh pendamping secepat mungkin, saya tak peduli ia berasal dari keluarga mana. 
Yang penting ia sayang dengan anak-anak saya sudah cukup.”

“Apa Bapak yakin........?” 
Tanya Ainun ragu, jika melihat wajah, penampilan, harta Raiyan tak memiliki kekurangan sedikit pun. 
Pasti banyak wanita diluar sana yang bersedia menjadi pendampingnya.

“Yakin, kenapa..............?”

“Bukan … maksud saya, Bapak itu kan bersih, ganteng, kaya banyak perempuan jika Bapak mau, Bapak bisa dapatkan. 
Kenapa Bapak mempercayakan pada saya.....?” 
Tanya Ainun polos.

“Saya tidak sekedar mencari istri, Nun. 
Saya mencari Ibu untuk anak-anak saya, Rafika adalah wanita terakhir yang telinganya di gigit Radit. 
Sebelumnya sudah ada beberapa wanita. 
Nun......., jika saya hanya mementingkan diri sendiri, Saya sudah menikah sejak Ibu mereka meninggal,” 
Tutur Raiyan, lelaki ini mulai khawatir Ainun akan meninggalkan anak-anaknya. 

“Kriteria Bapak..........?”

Raiyan mengambil dompetnya, ia keluarkan sebuah foto dan diberikan pada Ainun. 
Wanita berhijab dengan ke dua pipi yang terlihat gembil, wajahnya sangat ayu dan polos. 
Bening dan putih, kebaikan dan kelembutan terpancar di wajah, senyumnya begitu lepas dan lebar. 
Ia adalah Malika, almarhumah istri Raiyan juga Ibu dari kedua anaknya.

“Ini ….............................”

“Jika kamu bisa menemukan wanita seperti itu, saya akan langsung setuju.”

Ainun diam, Malika begitu cantik, dari mana ia bisa mendapatkan wanita secantik ini.

“Tapi jika tidak, setidaknya wanita pilihanmu bisa sayang juga merawat anak-anak saya.”

“Tidak harus seperti ….” 
jawab Ainun seraya menunjuk pada foto.

“Ya................................”

“InsyaaAllah.........., Pak.”

“Berapa lama................?”

“Saya tidak tahu....., Pak.”

“Saya tak ingin Radit tumbuh besar tanpa kasih sayang ibu. 
3 bulan waktu yang cukup, jika tidak saya mungkin akan segera menikah dengan Rafika. 
Saya rasa dia bisa belajar,” 
Dengus Raiyan mencoba menarik simpati Ainun.
Anak-anaknya sudah terlampau dekat dan sayang dengan Ainun, belum pernah ia melihat kemajuan dalam diri Radit juga kemampuan kognitif pada Rania. 
Raiyan terlalu sibuk hingga tak pernah memikirkan anak-anaknya.
Kedatangan Ainun sangat membantu Raiyan.  

“Bu Rafika.....................?” 
Ainun terkejut, Raiyan memutuskan untuk menikah dengannya. 
Perasaan Ainun mendadak jengkel saat mengingat sikap Rafika pada Radit.

Raiyan mengangguk......., 
“InsyaaAllah...................,” 
Jawab Raiyan ragu.

Ainun kembali ke kamar Radit, diihatnya putra Raiyan sedang terlelap bersebelahan dengan Rania adiknya. 
Ainun elus wajah mereka, Ainun mulai menyayangi mereka. 

“Kakak janji, akan bawakan Ibu untuk kalian, Ibu yang bisa membahagiakan kalian. 
Kakak tidak akan biarkan Ibu tiri jahat datang ke rumah ini,” 
Tuturnya seraya mengecup kening Rania dan Radit.

Ainun bergegas, ia merapikan kamar Radit yang berantakan. 
Lantai dua adalah tugas Ainun. 
Setelah kehadiran Ainun, tugas Marni lebih ringan. 
Meskipun sebenarnya itu bukan tugasnya, namun Ainun selalu membantu Marni. 
Sungguh-sungguh ia membersihkan setiap debu yang menempel, hanya dengan bekerja ia mampu menghilangkan tekanan di dada.

“Inooon........................!” 
Teriak Rania.

Senyum Ainun merekah kedua anak itu bangun tidur bersamaan, Rania tersenyum dan Radit kembali memainkan rubik di tangan. 
Mereka rindu bermain dengan Ainun. 
Ainun berlari, ia memeluk dua anak Raiyan dengan penuh suka cita. 

Ainun terperangah, rubik di tangan Radit tersusun rapi. 
Ainun mendekat, ia tatap baik-baik Radit memainkan benda berbentuk kubus itu. 
Ainun mengambil rubik di tangan Radit, lalu mengacak dan memberikan lagi pada Radit. 
Pelan ia perhatikan seraya melihat waktu berjalan, dan ….

“Horaaaayyyy...............!” 
Ainun girang seketika kesedihan di wajah lenyap, ia melompat-lompat kegirangan seraya memeluk Rania di tangan.

Raiyan masih berada di ruangan kerjanya, suara teriakan Ainun terdengar hingga ruangan. 
Lelaki itu beranjak dan berlari menuju kamar Radit. 

“Ada apa, Nun................!” 
Tanyanya melihat Ainun melompat-lompat kegirangan. 

“Sebentar Pak................,” 
Ucap Ainun seraya mengambil rubik di tangan Radit, dan memberikannya pada Raiyan.

“Kenapa....................?”

“Acak-acak.........., Pak.”

Raiyan mengacaknya cukup lama, lalu mengembalikannya. 

“Lihat..................... Pak.” 

Raiyan duduk mendekat, ia perhatikan tangan Radit dengan seksama. 
Ainun sibuk menghitung waktu yang bergulir. 
Tak lama ….

“Alhamdulillah …............,” 
Teriakan Raiyan pun terdengar. 
Radit mampu merapihkan rubik hanya dalam waktu 4 menit lebih, kemajuan yang begitu pesat. 
Lelaki berusia 36 tahun itu memeluk Radit erat, bulir bening terlihat di ujung 

.....BERSAMBUNG.....

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER