👩🏫 COMBLANG SYAR'I 👩🏫
PART 14
Ainun menjadi lebih bergairah melihat perkembangan Radit yang mulai semakin jauh, Ainun semakin sayang dengan anak berusia 8 tahun itu, kulitnya putih, bibir merona, rambut hitam pekat, membuat Radit terlihat seperti anak lelaki pada tokoh komik.
Ainun mulai membuat sebuah tulisan pada kertas dan menempelkannya pada setiap benda, Radit sudah mengenal huruf namun ia belum bisa membaca.
Mengajarkan anak Autis berbeda dengan anak normal dan tingkat kecerdasan seorang anak tidak bisa dilihat hanya dari sudah bisa membaca atau belum, sudah bisa berhitung atau belum namun lebih dari itu.
Kecerdasan tidak hanya melulu seorang anak bisa menggambar bagus atau mewarnai tanpa keluar garis namun lebih dahsyat dari itu.
Radit adalah anak cerdas, anak normal mungkin akan kewalahan merapikan rubik dalam waktu sekian menit, cara mengajarkan Radit membaca menurut Ainun dengan cara mengenalkan benda nyata, menggunakan buku tertulis hanya membuat Radit bosan dan akan kembali tantrum jika ia tak menyukainya.
Ainun mulai dari kamar, ia tulis setiap kata pada benda yang menempel di kamar.
P-I-N-T-U, pelan Ainun menarik tangan Radit ke arah pintu, ia bantu Radit meraba pintu dan menunjukkan huruf yang menempel.
Ia membantu Radit mengeja huruf satu persatu.
Respon Radit hanya mengulang satu kali dan menatap satu kali pada media, Radit cepat menangkap namun ia cepat pula bosan, Ainun berusaha mengenalkan beragam kata benda pada Radit selama satu hari ia dirumah, selagi Raiyan mengurus masalah ia di kampus.
Ainun mulai keluar, ia mulai menempel kertas pada benda-benda di sekitar kamar.
Wanita lugu itu begitu bersemangat, bantuan Raiyan juga perubahan Radit membuat Ainun merasa sangat bertanggungjawab atas perubahan Radit.
Semakin sore, sebuah mobil fortuner datang dan terparkir di luar.
Raiyan kembali, ia seperti sudah selesai mengurusi semua masalahnya.
Ia masuk ke dalam rumah, Ainun seperti membuat ulah pada rumah.
Ainun menempel setiap benda dengan kertas berwarna dan bertuliskan kata benda tersebut.
T-V, M-E-J-A, P-I-N-T-U, … dan banyak lagi.
Raiyan menarik napas dan terkekeh akan tindakan Ainun, wanita itu pasti melakukan ini demi Radit.
Raiyan naik ke atas menuju kamar Radit, ia membuka pintu kamar Radit.
Kedua anaknya sedang bermain keran shower dengan Ainun di dalam kamar mandi, tubuh Ainun basah karenanya.
Raiyan semakin senang, ia menatap Rania juga Radit, senyum mereka begitu lebar.
Ainun tampaknya benar-benar mengurus anak-anak dengan baik.
“Nun …...........................”
“Bapak..........................!”
Ainun menutup pintu kamar mandi dengan keras.
“Pak Maaf, baju saya basah...!”
“Kenapa, Nun...............?
Kamu toh masih berpakaian...!”
“Jangan Pak, Ainun malu.
Bajunya melekat soalnya, Bapak keluar dulu ya.”
Raiyan terkekeh, Ainun lagi-lagi membuatnya kagum wanita itu begitu menjaga diri.
Raiyan keluar, tak lama kemudian Ainun keluar dengan sebuah selimut menutupi tubuh Ainun, lelaki itu memperhatikan Ainun berjalan dan menahan tawa melihatnya.
Raiyan masuk ke dua anaknya kini sudah bersih, wangi juga rapi.
Ainun memakaikan mereka pakaian, menyisiri rambut mereka.
Ainun merapikan diri di kamar, berganti pakaian lalu keluar.
Ia lihat Raiyan tengah duduk di meja makan dengan hidangan kue yang ia bawa dari luar.
“Bapak tunggu saya.....?”
“Ya..................., duduk.”
“Ainun...., apa yang kamu lakukan sama rumah saya...?”
Tanya Raiyan seraya melahap kue coklat dan menyodorkannya pada Ainun.
“Bapak keberatan........?”
“Jelaskan saja............?”
“Agar Radit bisa membaca Pak.”
“Nun..., saya pernah dengar dari seseorang kemampuan membaca pada Radit tidak boleh dipaksa, itu hanya akan membuat sel syaraf di kepala menjadi tegang.”
“Jangankan Radit, anak normal juga Pak.”
“Maksudnya................?”
“Pak...., semua itu tergantung bagaimana metode yang digunakan, sel syaraf tegang karena anak dipaksa, anak di tekan untuk bisa membaca, anak dijejeli dengan buku tak bergambar yang membuat mereka lelah dan jenuh.
Membaca itu penting Pak, setidaknya dewasa nanti Radit tidak mudah ditipu orang.”
“Oh ya …........................”
Jawab Raiyan tersenyum, coklat menempel di mulut hingga membuat Ainun tersenyum geli.
“Oh ya...., besok kamu sudah bisa kuliah lagi.”
“Alhamdulillah …............”
Jawab Ainun senang, senyum di wajah lebar, tubuhnya melompat kegirangan.
“Terus..., uang kuliah kamu...?
Tadi mau saya urus, dan ternyata sudah dibayar.
Lagian membayar iuran harus ada nomor mahasiswa, KTM kamu saya tidak bawa.”
“Tunggu...., sudah terbayar.....?”
Raiyan mengangguk.
Ainun diam, KTM dia sampai saat ini masih ditangan Bimo untuk jaminan hutangnya.
Dada ainun bergetar, Bimolah pasti yang sudah membiayai kuliahnya.
Ainun bangkit dari kursi.
“Mau kemana...............?”
Tanya Raiyan heran yang melihat perubahan sikap Ainun.
“Ainun mau ke kamar Pak.”
Ainun masuk ke dalam kamar, ia mengambil ponselnya dan buru-buru menghubungi Bimo.
Ia tak ingin Bimo terus-menerus memberikan bantuan padanya.
Uang kuliah bukanlah uang sedikit, Bimo sudah berlebihan.
Nada tersambung, dan terangkat Ainun langsung nerocos tanpa basa-basi.
“Assalamualaikum..., Kakak.
Kenapa Kakak bayarin uang kuliah saya...?
Maaf Kak...., kakak sudah berlebihan, Ainun tidak minta kakak melakukan ini.
Besok Ainun akan kembalikan uang kakak.”
“Waalaikumsalam ….”
Suara wanita begitu empuk dan bening terdengar.
“Eh … eh, maaf Bu.
Saya salah sambung....,”
Ucap Ainun ragu.
“Kamu benar Nak, ini nomor Bimo.
Kamu Ainun..................?”
“Iya …..............................”
“Alhamdulillah..., akhirnya.”
“Ibu …............................?”
“Saya Ibunya Bimo.........,
Bimo banyak bercerita tentang kamu Nak.
Terima kasih ya......, Nun.
Kamu sudah membantu anak saya untuk berubah, sepanjang hari ini saya perhatikan dari jauh Bimo hampir tak pernah melewatkan sholat di masjid,”
Tuturnya.
Ranti memang meminta seseorang untuk memperhatikan Bimo dari jauh.
Ainun terenyuh.............,
Bimo benar-benar berubah.
“Bukan saya bu …........,
Tapi Kak bimo sendiri,”
Jawab Ainun merendah.
“Suatu saat semoga kita bisa bertemu ya Nun.”
“InsyaaAllah .........… bu,”
Jawab Ainun tak lama Ranti menutup sambungan telepon.
Ainun begitu tenang, orang tua Bimo orang yang baik.
Ainun tahu Bimo berasal dari keluarga berada, Ainun selalu membayangkan kisah-kisah sinetron yang selalu mengangkat keburukan dari orang kaya yang menganggap rendah orang miskin.
Semua itu tidak berlaku untuk Bimo dan keluarganya.
*************************
Ainun berlari kencang begitu senang menuju kampus tercinta.
Masalah yang ia hadapi kemarin serasa terbang terbawa embusan angin yang ia rasakan saat angin menerbangkan sebagian hijabnya.
Ainun terus bersabar, gelora bagaikan mahasiswa baru muncul tiba-tiba.
Ainun harus sukses, ia bangkit dari kesedihan.
Pagi yang indah dikampus hijau UNJ, pepohonan rindang seakan menyambut Ainun dengan suka cita, nyanyian merdu lagu jazz yang dibawakan sekelompok mahasiswa seni terdengar lembut diteliga.
Ainun menarik napas, pelan ia mencari keberadaan lelaki berkepala Pompadour.
Sebelum berangkat kuliah Ainun sempat meminta saran pada Mbok Marni, apa yang harus ia berikan untuk membalas kebaikan orang.
Mbok Marni yang hanya berprofesi sebagai ART itu pun menjawab dengan bijak...,
“Membalas orang yang baik dengan kita tak mesti dengan membalas uang, Nun.
Kadang perhatian lebih mereka senangi.”
Ainun mengikuti saran Marni, tadi pagi ia meminjam tempat bekal Rania, ia isi dengan nasi goreng buatannya, telur dadar ia iris tipis menghiasi pinggirannya.
Ainun bergairah, ia ingin mengucapkan terima kasih pada Bimo, juga ingin mengembalikan uang Bimo.
Ainun merasa Bimo sudah berlebihan, semalam Ainun meminta Raiyan memberikannya uang cash, Ainun berencana akan mengembalikan uang Bimo.
Ainun berkeliling kampus seni, celingukan mencari Pompadour, namun tak satupun tanda-tanda keberadaan lelaki yang Ia cari.
Ainun harap-harap cemas,
“Apa Kak Bimo benar di DO atau ….”
Ainun lekas bertanya pada salah seorang mahasiswa yang duduk di pendopo, tempat Bimo sering duduk bersama kawanannya.
Lelaki dengan kepala terkepang dengan gitar petik di tangan, adalah lelaki yang selalu bersama Bimo di kampus.
“Permisi …......................”
“Ainun...........................!”
Sapanya.
Ainun terkejut lelaki itu mengenalnya.
Bimo seperti menceritakan Ainun kebanyak orang.
“Kamu cari Bimo.........?”
Tanyanya.
Ainun mengangguk.
“Bimo sudah tidak kuliah, Nun ….”
Deg................................!
Hati Ainun sakit mendengarnya, seketika wajah ceria berubah menjadi masam.
“Bimo ada di lorong 12 Nun, ia sedang membuat mural disana.
Ia....................., bekerja.”
“Bekerja.......................?”
“Iya .......… kesana saja.”
Ainun bergegas, ia berlari dengan penuh harap.
DO................................?
Bekerja.........................?
Semua teramat menyakitkan di hati juga telinga.
Apa yang terjadi dengan Bimo pun sama sekali tak ia ketahui, Bimo tak pernah membagikan masalahnya pada Ainun, lelaki itu begitu peduli dengan perasaan Ainun yang selalu merasa bersalah akannya.
Lorong 12 adalah sebuah jalan dekat kampus yang kanan-kirinya di tutupi tembok, akan terlihat bagus jika seni mural menghiasi tembok di sana.
Ainun berhenti, ia menatap dari jauh.
Lelaki berambut Pompadour sedang memegang kuas di tangan, pakaiannya kotor karena cat warna yang menempel di tubuh, kepala ia ikat dengan slyer berwarna kuning.
Ainun diam, tak terasa air mata menetes.
Bimo harus berjuang keras untuk bekerja, entah kenapa dan untuk apa.
Ainun tak ingin bertemu, ia hanya membuat Bimo semakin khawatir karena air mata yang menetes dan ketidaksiapan hati melihat Bimo kacau.
Bekal yang ia bawa, ia titipkan ke seseorang yang hendak melintas di depan Bimo.
Bimo yang sibuk dengan dunianya pun mendadak terkejut menerima sebuah kotak bekal bergambar hello kity, Bimo buka nasi goreng lengkap dengan telur suwir.
Bimo tersenyum lebar, ia meletakkan cat dan kuas.
Ia berlari mengejar seseorang yang ia yakin Ainun, benar wanita itu berlari bagai angin, takut Bimo melihatnya.
“Ainun...........................!”
Teriak Bimo.
Mendadak hati Ainun berdetak kecang, seluruh tubuh kaku, Ainun menggeleng ia ingin menghilangkan rasa yang tak biasa.
Pelan Bimo melangkah, Ainun menata hati, pikiran juga senyum di wajah.
“Nun...., kamu tuh kerjaannya lari mulu.”
“Heh …............................”
Ainun memaksa senyuman di wajah.
“Ayo........................!”
“Kemana................?”
“Makan...................!”
“Nggak … Ainun udah makan,”
“Kalo gitu temenin.”
“Ainun ada kelas, harus buru-buru.”
“Sebentar aja..., Nun ….”
Cepat Ainun menelan salivanya, sorot mata Bimo begitu teduh, tanpa sadar Ainun mengiyakan permintaannya.
Ainun duduk di sebuah kursi yang tak jauh dari tempat Bimo bekerja.
Jarak mereka satu meter, Ainun sangat menjaga jarak begitupun Bimo yang menghormati Ainun.
“Terima kasih ya..., Nun.
Kamu tau aja kalo aku lapar....?”
“Kakak..., nggak punya uang...?”
“Hahahha … Nun, uang ada.
Cuma lagi malas makan,”
Jawab Bimo menutupi.
Sisa uang yang ia dapat dari Ayahnya sudah habis ia gunakan untuk membeli cat juga kuas, ia akan mendapat ganti setelah selesai bekerja.
Bimo menahan lapar sejak pagi.
Kini ia merasakan bagaimana Ainun menahan lapar saat tak ada uang.
Lahap ia makan nasi goreng buatan Ainun.
“Kamu bisa anterin aku tiap hari...?”
“Hah...........................?”
Tanya Ainun heran.
“Maksud Kakak..........?”
“Nasi gorengmu enak, Nun.
Kalah pak Domar di kantin.”
“Kakak di DO ..........….?”
Bimo diam, ia menarik napas.
“Doakan aku, yang terbaik ya Nun.
Sebenarnya tak lulus pun tak masalah, Ayah aku tak pernah suka aku mengambil jurusan ini.
Ia lebih suka aku menjadi seorang pedagang, yang kelak akan meneruskan usahanya.
Ini hanya hobby, Nun.”
“Insya Allah … oh ya, Kak.
Ini.................................!”
Ucap Ainun seraya memberikan amplop berwarna coklat.
“Apa ini.........................?”
“Uang kakak, Ainun tahu Kakak pasti yang membayar biaya kuliah Ainun.”
Bimo diam, ia memang sempat membayar kuliah Ainun sebelum ia dipanggil dan akhirnya harus DO.
“Nun … aku ikhlas, hutangmu juga sudah ku anggap lunas,”
Jawab Bimo.
Ia pun membutuhkan uang, namun ia tak ingin menjatuhkan harga dirinya di hadapan Ainun.
“Nggak … jangan...........!”
“Ambil kembali Nun.......,”
Jawabnya seraya mengunyah.
“Kak......, Ainun bekerja.
Ainun bisa bayar sendiri.
Kenapa Kakak terus menerus membuat Ainun seakan lemah, Ainun tidak suka.....!”
Bimo menghentikan makannya.
Ia menatap Ainun.....,
“Aku tahu, kamu orang seperti apa Nun.
Keras kepala, itu yang aku suka dari kamu.
Apapun yang menjadi kebutuhanmu dan bebanmu juga jadi beban aku,”
Tuturnya menatap Ainun.
Ainun melengos.
“Kakak jangan macam-macam ya....!
Kita belum ada hubungan...!”
“Insyaa Allah akan …......”
“Belum, Kak...................!
Kakak tidak tahu masa depan akan seperti apa....?
Perbuatan kakak hanya merugikan Kakak di masa depan.
Ainun bilang, Ainun tidak mau memiliki hubungan sebelum menikah...!”
“Nun...., kok kamu serius sih.
Kita kan memang nggak ada hubungan apa-apa, sentuhan aja nggak.....!
Saya sudah tanya dengan ustad, kyai di dekat rumah.
Mereka bilang, boleh membantu orang, pahalanya banyak.”
“Tapi Ainun ….................!”
“Dosa nolak rezeki.., Nun.
Kalau mau balas, bawakan saya setiap hari makanan ke tempat ini...!”
“hiii................................!”
Ainun mendesis.
“Pekerjaan kamu bagaimana....?”
Tanya Bimo.
Mendadak Ainun ingat pesan Raiyan untuk mencarikan jodoh untuk Ayah dari dua anak itu.
“Oh ya Kak....., kakak kalo ada kenalan perempuan, kalem, lembut, baik hati, cantik.
Kasih tau Ainun ya......!”
“Ada..............................”
Jawab Bimo.
“Siapa..........................?
Ainun boleh kenal.......?”
“Kamu.........................!”
Jawab Bimo cengengesan.
“Kakak..........................!
Ainun bilang jangan macem-macem....!”
Ainun bangkit, ia berlari meninggalkan Bimo yang terkekeh melihat sikapnya.
“Nun..., belajar yang rajin ya....!”
Teriak Bimo.
....BERSAMBUNG.....
No comments:
Post a Comment