👩🏫 COMBLANG SYAR'I 👩🏫
PART 17
Suasana rumah Raiyan terlihat sepi, tak terdengar suara teriakan Radit dan Rania seperti biasa.
Biasanya jika ia pulang, Radit dan Rania berhamburan keluar seraya memanggil-manggil girang namanya.
Ainun melangkah masuk kedalam, lelaki berparas indo jerman itu duduk seraya menonton televisi, Rania lelap di pangkuan dan Radit terlelap di atas karpet.
Ainun buru-buru, ingin membantu Raiyan.
Mata Raiyan berkedip, memberikan isyarat tidak apa-apa.
Ainun mengangguk dan pergi ke kamarnya.
Wanita itu membersihkan diri, sholat ashar lalu keluar.
Tak lama membantu si Mbok menyiapkan makanan untuk makan malam.
Aroma masakan memenuhi isi rumah, sore ini si Mbok memasak opor ayam kesukaan Radit dan Rania, Ainun membantu menyiapkan hidangan lainnya.
“Nun..............................!
Saya ingin bicara sebentar....!”
Ucap Raiyan.
Lelaki ini resah, saat melihat Ainun dengan lelaki yang mengantar Ainun, pikirannya terus membayangkan Ainun akan meninggalkan anak-anaknya.
“Ya Pak..............,”
Jawab Ainun seraya meletakkan pisau dari genggaman.
Ainun mengikuti Raiyan, lelaki itu masih terlihat rapi meskipun hanya mengenakan kemeja dan celana pendek.
Semua pakaian akan terlihat bagus jika ia yang mengenakan.
“Duduk............!”
Raiyan diam, ia tatap Ainun, begitu sayang Radit dan Rania pada gadis di hadapannya.
“Nun................!”
“Iya Pak...........?”
“Bagaimana apa sudah menemukan calon Ibu untuk anak-anak saya....?”
“Sampai saat ini belum Pak tapi Ainun sudah dapatkan satu calon untuk Bapak, dia mahasiswa dari jurusan pendidikan luar biasa, saya rasa dia cocok untuk Bapak.
Tadi pagi, dia mengajarkan Radit sangat baik, dia juga bersedia memberikan teleponnya pada Ainun,”
Tutur Ainun bersemangat.
Raiyan hening, ia diam menunduk tak lama ia menatap Ainun dengan segudang keceriaan di wajah wanita berusia 20 tahun itu, terasa rugi jika melepaskan Ainun.
Ainun begitu unik, semua kebaikan yang ia butuhkan untuk anak-anaknya ada dalam diri Ainun.
Raiyan tak membutuhkan wanita yang bisa ia cintai kelak, ia hanya membutuhkan pelipur lara untuk anak-anaknya.
Lelaki yang kini duduk berhadapan dengan Ainun adalah lelaki yang tak mudah jatuh cinta pada seseorang.
Cintanya sudah lama pergi meninggalkannya, Raiyan pernah sakit, terluka dibuang oleh cinta pertamanya hingga akhirnya ia menikah dengan Malika.
Mencintai Malika pun membutuhkan proses panjang, semenjak kelahiran Rania.
Raiyan baru menyadari betapa ia mencintai Malika istrinya, hingga akhir hidupnya Malika pun masih menyesali sikap Raiyan.
Kali ini ia tak akan mengulangi kesalahan kedua.
Jika Ainun menjadi istrinya kelak ia akan mencoba dan belajar mencintainya.
“Nun … saya rasa hentikan saja pencarian jodoh buat saya.”
Ainun terperangah, lalu melihat Raiyan.
“Bapak sudah menemukan sendiri....?”
Raiyan mengangguk.
“Apa … Ibu Rafika..........?”
Tanya Ainun penasaran.
Raiyan menggeleng.
“Saya tidak akan membiarkan wanita itu menjadi Ibu untuk anak-anak saya, Nun.
Rafika pernah memukul Radit, saya baru lihat itu kemarin di CCTV.”
“Oohh … Ainun lega Pak,”
Jawab Ainun tersenyum lebar.
“Kenapa kamu begitu menyayangi anak-anak saya, Nun....?”
“Oooh … itu … Ehh, karena sebelumnya saya tidak pernah menjadi pengasuh anak, mungkin Pak.
Tapi Radit dan Rania anak-anak yang luar biasa, Pak.
Siapapun yang menjaga mereka pasti akan menyayangi mereka seperti Ainun,”
Jawab Ainun.
“Saya sudah menemukan calon ibu untuk anak-anak saya.”
“Oooh Alhamdulillah … Ainun turut senang Pak.”
Raiyan diam, ia menatap Ainun yang sejak tadi menunduk kedua tangan ia letakkan di depan seraya memainkan jemari, entah apa yang dipikirkan Ainun.
Namun Raiyan rasa sudah saatnya ia meminta Ainun untuk menjadi Ibu dari anak-anaknya.
“Nun … kita sudah sama-sama dewasa, saya yakin Ainun juga paham dan cukup usia untuk bisa mengerti.
Saya bukan tipe lelaki yang banyak basa-basi, saya ingin langsung saja.....!”
Deg......................!
Hati Ainun mulai merasa tak nyaman, ia tak mengerti dengan perkataan Raiyan.
“Nun … saya ingin kamu menjadi Ibu dari anak-anak saya.”
“Uhuk.................!”
Batuk Ainun, wanita itu terkejut, kedua mata terbelalak, bibir mendadak beku, napasnya mulai tak beraturan.
Apa yang dikatakan Bimo benar adanya, berat Ainun menelan salivanya.
“Nun .................…”
“Ah ya Pak...........!”
“Bagaimana.........?
Kamu mau...........?”
“Maaf Pak … tapi Ainun masih ingin kuliah.”
“Kamu akan terus kuliah Nun, bahkan jika kamu ingin melanjutkan sampai magister sekalipun akan saya bantu.”
Ainun diam, bukan itu yang Ainun maksud, ada hal yang lebih mendasar, janjinya pada Bimo.
“Tapi Ainun ….”
“Pikirkan Radit, Rania Nun....!”
“Bukan itu, Pak … Ainun sayang dengan Radit dan Rania.
Tapi tak pernah terbesit sekalipun di hati akan menikah dengan Bapak.”
Raiyan mendekatkan kepalanya ke arah Ainun.
“Kenapa......................?”
“Eehh … Bapak terlalu baik untuk Ainun juga kaya raya.
Ainun tak pantas Pak …,”
Jawab Ainun gugup.
“Tapi saya mau kamu menjadi istri saya, Nun....!”
Ainun semakin tersudut.
Semua alasan sudah ia keluarkan namun Raiyan nampak memaksa.
Bulir bening tak sengaja terjatuh, permintaan Raiyan sungguh membuat hati Ainun resah.
Lelaki di hadapan Ainun adalah orang baik, anak-anak mereka pun Ainun sayangi.
Tapi perasaan Ainun tak bisa ia bohongi, hanya ada Bimo di hati dan belum terganti, mendadak suara Bimo seperti terdengar
“Ingat janji kamu, Nun ....!”
“Nun............................!”
“Radit tak bisa hidup tanpa kamu, anak itu membutuhkan kamu....!
Kamu adalah wanita yang selama ini saya cari....!”
Ucap Raiyan sungguh-sungguh, kedua mata Raiyan berkaca-kaca.
“Saya tahu, kamu pasti kaget.
Tapi saya sudah tak bisa menunggu terlalu lama, Radit akan tumbuh semakin besar, begitupun Rania.
Kalian sudah cocok dan saya senang, saya berjanji akan memenuhi semua kebutuhan kamu juga keluargamu, saya juga akan memperlakukanmu dengan baik.”
Lembut Ainun mengusap air matanya, ia tak sanggup untuk menyakiti lelaki di hadapan.
“Tapi Ainun …,”
Lirih Ainun.
“Kamu tidak perlu menjawab sekarang … saya tunggu jawaban kamu jika kamu sudah siap.....!
Sekarang istirahatlah....!”
Ucap Raiyan.
Ainun bangkit, ia berjalan menuju kamar seraya menangis.
Ia pun belum ingin untuk menikah, hasrat untuk meraih kesuksesan dengan tangannya masih ingin ia wujudkan.
Jika mungkin tak ada Bimo besar kemungkinan hati akan bertaut dengan Raiyan, namun Bimo terus menguasai hati juga pikiran.
Ia rebahkan tubuhnya di ranjang, lalu menutup seluruh wajah dengan selimut.
“Nun …!”
Sapa Marni dari balik pintu, tak lama wanita paruh baya itu masuk.
“Makan dulu, Nun.......!”
Ainun menggeleng.
“Nun … kamu kenapa....?”
Ainun diam, ia masih memikirkan tawaran Raiyan untuk menjadi istri juga ibu dari anak-anaknya.
“Nun.........................!”
“Hah....! Ya Mbok......!”
Jawabnya sedikit kaget.
“Kamu mikirin apa.....?”
Tak lama air mata menetes, ia memeluk Marni yang ia rasakan sebagai pengganti Ibunya.
“Nun...................!”
Ucap Marni heran seraya mengusap kepala Ainun.
Mereka berbicara berdua di kamar Ainun, Marni mendengarkan Ainun dengan tulus.
Anak muda itu menceritakan masalah juga perasaannya akan lelaki lain.
“Nun … Tuan Raiyan orang yang baik, lebih baik lupakan saja bujangan itu.
Sudah lama ia merawat anaknya sendiri, Radit, Rania sudah cocok dengan kamu.
Mbok khawatir mereka akan mendapatkan Ibu yang tak baik, Pak Raiyan itu mudah terprovokasi Nun, ia pasti akan kembali seperti dulu.
Mbok kasihan Radit Nun ….”
Ainun diam, ia melengos.
“Nggak bisa Mbok, Ainun sudah berjanji dengannya.”
“Radit … Rania............?”
“Si Mbok lelah Nun.
Sejak ada kamu, rumah ini menjadi lebih berwarna.
Nyonya Malika seakan kembali.”
“Ainun bukan Malika, Mbok....!”
“Nun …..........”
“Ainun rela menjadi baby sitter hanya untuk mereka, tapi bukan dengan menikah....!”
Ainun menangis, bimbang.
“Terserah kamu, Nun … tapi menurut Mbok, kamu juga harus berfikir realistis.
Nun, hidup kamu tuh sama susahnya dengan Mbok.
Dipinang lelaki kaya raya, tampan, baik hati adalah impian setiap wanita.”
“Ainun tidak pernah berharap, Mbok.”
“Hmmm ….”
Tak lama wanita paruh baya itu bangkit dan meninggalkannya.
“Ya Allah … apa yang harus Ainun lakukan.....?”
Gumamnya.
Malam semakin larut, Ainun bangkit dari tidurnya.
Ia melapangkan sajadah kemudian beristikhoroh bermunajat meminta petunjuk dari Sang pemilik takdir, Ainun tak ingin salah langkah.
Allah adalah sang penentu, Ainun pasrah dengan keputusannya.
Hanya Allah yang bisa membawanya pada jalan yang dirahmati dan dikaruniakan untuknya.
Jauh di sana, Bimo pun tak mampu memejamkan mata.
Kebahagiaan hari ini sulit Bimo lupakan, Ainun begitu unik dan berarti ia tak mungkin melepaskannya.
Mendadak hatinya resah kembali dengan lelaki bernama Raiyan.
Lelaki itu terlihat mengharapkan Ainun, Bimo dengan segala kekurangannya belum bisa bersaing dengan lelaki seperti Raiyan.
Bimo bangkit, untuk pertama kali dalam hidupnya ia bertahajud.
Lelaki itu memohon untuk kehidupan yang lebih baik, hati sudah terpaut dan begitu besar pada wanita bernama Ainun.
Dua doa bersatu bermunajat akan satu permintaan dan harapan, hanya Allah sang pengatur hati hanya Allah sang penakluk jiwa.
Jiwa sudah beriktiar, namun takdir hanya Allah yang tahu.
Malam menjadi saksi dari dua insan yang sedang memohon untuk disatukan.
*************************
Dalam hening Ainun nampak lesu, keceriaan tak datang pagi ini.
Ainun keluar dari kamarnya, Mbok Marni tengah sibuk dengan segudang aktivitasnya.
Tanpa kata Ainun membantunya, beberapa sayuran ia ambil dan ia bersihkan.
Setelah selesai Ainun menuju kamar Radit, kedua anak itu begitu lucu.
Pelan Ainun cium kening mereka, refleks Rania memeluk Ainun.
“Inooon.......................!”
Sapa Rania.
Ainun tersenyum seraya menangis.
“Rania kangen Inoon....?”
Lirih Ainun.
Anak itu mengangguk lalu tersenyum,
“Maafkan kakak, ya sayang …”
Gumam Ainun seraya memeluk Rania.
Tak lama Radit pun bangun, tanpa bicara Radit menarik tangan Ainun lalu memeluknya.
Ainun memeluk kedua putra Raiyan lalu menangis.
Ainun diam, membayangkan wajah Radit sama beratnya dengan membayangkan wajah Bimo.
Ainun tak mampu menjawab, ia hanya menjawab dengan air mata yang mengalir.
Waktu semakin siang, saatnya Ainun bersiap menuju kampus, seperti biasa setelan warna biru tua menjadi favorit, kacamata yang tak pernah lupa ia kenakan.
Dari jauh, raiyan tengah menunggu.
Ainun resah.
“Saya antar, Nun..........!”
“Tidak usah Pak …
Ainun sudah terbiasa naik angkot....!”
“Nggak apa-apa, ayoo naik.”
Marni tersenyum ke arah Ainun, wanita berkacamata itu duduk di belakang.
“Di depan Nun...............!”
Perintah Raiyan.
“Di sini saja Pak...........!”
“Saya bukan supir kamu.....!”
Ainun bangkit dan berat hati ia duduk di depan.
Dengan pelan Raiyan mengendarai mobil menuju kampus Ainun, sesekali ia menatap Ainun yang terus diam terpaku menghadap keluar.
Mata Ainun terlihat membesar, Raiyan bisa menebak semalaman Ainun tak tidur.
“Di sini saja Pak..........!”
Titah Ainun.
Mobil Raiyan menepi.
“Nun....................!”
Sapanya saat Ainun turun dari mobil.
Ainun berhenti.
“Pikirkan lagi, Radit dan Rania....!”
Ainun bimbang, Radit dan Rania memang sangat berarti bagi Ainun, apa yang dibicarakan Marni penuh menguasai pikiran, hati Ainun tak sanggup jika anak-anak itu jatuh ke seorang Ibu seperti Rafika.
Namun hati begitu berat hati Ainun tidak untuk Raiyan.
Ainun tutup pintu mobil dan berlari meninggalkan Raiyan.
Ainun terus berlari, ia ingin angin menerbangkan setiap masalah di hati.
Langkah Ainun terhenti, ia lihat Bimo sedang duduk di depan lobby, ke dua tangan ia letakkan di atas lutut, wajah menunduk ke bawah, sebuah brosur di tangan.
Ainun diam, sepertinya Ainun tahu apa pekerjaan Bimo “Sales.......!”
Gumam Ainun, hati Ainun mendadak sesak, semua yang Bimo lakukan hanya demi memenuhi janji yang ia buat bersama, bulir bening menetes hingga terasa di tangan.
Ainun berusaha kuat dan menata hati ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan.
Lelaki berambut pompadour itu baru saja menawarkan beberapa produk namun ia malu dan merasa lelah, pelan Ainun menata hati, ia usap semua air yang mengalir di mata.
Ia dekati Bimo, dan mencoba memberikan semangat pada lelaki pujaan hati.
“Kakak.......................!”
Teriak Ainun yang mendadak duduk di sampingnya.
Ainun mencoba melupakan permintaan Raiyan.
“Nun...........................!”
Bimo terkejut, brosur di tangan mendadak ia simpan.
“Sini Ainun lihat...........!”
Ucap Ainun seraya merampas brosur di tangan Bimo.
“Hahahhaha................!
Ini mah gampang........!”
“Maksud kamu apa......?”
“Tunggu..........................!
Kamu kenapa................?
Mata kamu kok.............?”
Lanjut Bimo, lelaki itu menatap kelopak mata Ainun yang membesar.
“Nggak apa-apa............!
Jadi kakak harus jualan kosmetik ya.....?”
Bimo melengos, ia tampak malu dengan Ainun.
Ainun bergerak ia berjalan jongkok dan berusaha menengok ke arah wajah Bimo.
Sepasang netra kini saling bertemu.
“Kakak harus semangat donk....!
Tunggu Ainun ya, nanti kita jualan bareng.....!”
“Kamu bukannya ada kuliah, Nun....?”
Ainun mengangguk, “Kakak tunggu sini ya, Ainun cuma ada satu kelas.”
Ainun buru-buru naik ke atas sedangkan Bimo terus diam meratapi pekerjaan yang sulit baginya, sampai saat ini ia belum berhasil menjual barang dari perusahaannya.
Pelan ia membuka isi tas, 50 buah cream wajah dan 50 buah pembersih muka adalah tes dia sejak kemarin. Lelaki itu sudah berkeliling salon di sekitar rumah maupun kampus. namun mendadak hati begitu malu, pekerjaan ini terasa merendahkannya namun Bimo harus bisa menjualnya untuk bisa terus bekerja dan membuktikkan pada Sastro. Satu jam lebih Bimo termenung memikirkan nasibnya, tak lama Ainun turun dengan segudang ceria di wajah.
“Ayo kak......................!”
“Kemana.....................?”
“Ikut aja........................!”
Ainun mengajak Bimo ke sebuah pasar yang jaraknya tak jauh dari kampus, pasar tradisional yang sudah lama berdiri di daerah rawamangun Jakarta timur.
Riuh lagu india dari pedagang kaset cd terdengar begitu jelas.
Ainun tersenyum, sesekali riang mengikuti mimik ala penyanyi india “Bholi si surat ….”
Gumamnya menirukan penyanyi india terkenal.
Bagi Ainun cara ini mampu membuatnya lupa akan semua masalah yang berkecamuk di hati.
Bimo tertawa melihat tingkah Ainun, sikapnya membuat hati Bimo senang dan melupakan penat yang ia bawa sejak kemarin.
“Bu …boleh saya pinjam mejanya...!”
Tanya Ainun sopan pada salah satu pedagang sayur.
“Boleh mba.................!
“Mana Kak...................!”
“Apanya........................?”
“Dagangan kakak..........!”
Bimo memberikan tasnya pada Ainun, Ainun mengambil beberapa produk lalu meletakkan di atas meja, ia jejerkan rapih setiap produk dan brosur ia tumpuk di dekatnya, Ainun membaca sedikit dan melihat pricelist yang ada.
Bimo gelagapan, ia mengusap-usap kepalanya melihat tingkah Ainun tak lama....
“Ibu-Ibu Ayooo sini lihat, pembersih wajah muka dan cream wajah dijamin kinclong....!”
Teriak Ainun seraya melepas kacamatanya.
Bimo tertawa, semangat Ainun terasa mengalir di darahnya.
“Nun..., kacamata kamu...!
pake....!”
“Kalo nggak gini, nggak keliatan nanti....!”
Ucap Ainun.
“Ayooo Ibu-Ibu diskon.....!!”
Mendengar kata diskon para wanita paruh baya mendadak hadir, Ainun tersenyum ia tunjukkan wajahnya pada setiap wanita yang ada tanpa mengatakan bahwa ia pernah memakai produk yang sama.
“Kakak Ayoo..................!”
Ucap Ainun seraya melotot, wajah Ainun putih bersih, matanya bulat, bagian yang paling Bimo sukai dari wajah Ainun adalah hidungnya mungil dan sedikit mancung, bibir Ainun tipis dan merona.
“Kakak.........................!”
Rutuk Ainun.
“Oh ya.........................!
Ayooo Ibu Ibu..............!”
Teriak Bimo, energi terasa pulih, semangat Ainun menyembuhkan letih dan kekecewaan yang ada.
“Masnya kok ganteng banget siih....!”
Goda salah satu wanita paruh baya.
Bimo menegakkan alis matanya dan tersenyum.
Ainun melirik.
Tak lama wanita mungil itu kembali berulah,
“Ibu-ibu beli hari ini dapat potongan harga ditambah pin BB si Akang ganteng.....!”
“Hah, Ainun................!”
Rutuk Bimo.
Semua wanita dari kalangan umur mendadak memenuhi dagangan Ainun, tak hanya wanita manusia setengah-setengah (banci) pun ikut datang dan memeriahkan.
“Mas colek dikit donk.....!”
Ucap salah seorang banci yang membuat suasana menjadi semakin riuh.
Ainun tertawa terbahak-bahak, bulir bening terlihat di ujung mata karena menahan geli.
Bimo hanya ia jadikan pajangan dan tersenyum seraya memberikan pin BBnya pada wanita-wanita yang baru saja membeli dagangannya.
Canda tawa hadir di antara Bimo dan Ainun, membuat suasana menjadi ramai, dalam sekejap dagangan Bimo habis.
“Alhamdulillah...............!”
Teriak mereka bersamaan, Ainun melompat kegirangan dan Bimo menatapnya riang.
Uang hasil dagangan kini sudah di tangan.
Bimo begitu bergairah, lelaki itu mengajak Ainun untuk makan siang di warung ketoprak dekat pasar.
“Nun … terima kasih ya.....!”
Ainun mengangguk seraya melahap ketoprak telur yang penuh dengan bumbu kacang.
Bimo terus menatap Ainun, hatinya begitu senang Ainun hadir saat ia membutuhkan seseorang.
“Kak … selama pekerjaan yang kakak lakukan halal, jangan pernah malu,”
Ucap Ainun seraya menatap kedua mata Bimo.
Bimo tersenyum, ia memang harus belajar banyak dari Ainun tentang semangat hidup, ia teringat bagaimana Ainun dulu menjajakan keripik sendiri tanpa bantuan siapapun, Bimo mulai memahami beratnya hidup, tanpa bantuan keluarga begitu sulit hingga terasa bernapas pun sesak namun Ainun mampu melewatinya dengan mudah.
Bersama Ainun, Bimo semakin bergairah.
Ainun mampu membuat Bimo yakin untuk menjalani hidup dan membuat Sastro merubah pikiran akan keputusannya.
“Nun …..................”
“Hmm...................”
“Kamu, masih inget sama janji kamu kan.....?”
Ainun diam, buru-buru ia menegak air putih.
Mendadak permintaan Raiyan kembali terngiang.
“Kak … kita tidak usah bahas itu ya,”
Ucap Ainun pelan.
“Kenapa.......................?”
“Kak....., kalau jodoh itu nggak akan kemana, Ainun pun takut berjanji.
Ainun hanya bisa pasrah dengan Allah.”
“Nun...., apa kamu tidak percaya dengan cinta....!”
Ucap Bimo, kedua mata menatap Ainun serius.
Ainun bangkit, ia mulai tak nyaman dengan percakapan Bimo.
“Nun.............................!
Aku cinta sama kamu....!”
Ucap Bimo, membuat keramaian menjadi hening, membuat tubuh menjadi gemetar, membuat saliva tertelan, membuat jantung berdegup kencang.
“Kakak, cukup kak..........!
Ainun ini siapa...............?
Ainun hanya anak seorang petani karet, seorang anak yang hanya bercita-cita membahagiakan orang tuanya, Ainun tidak pernah bermimpi bisa mencintai atau berharap mendapatkan lelaki seperti kakak.
Ainun lelah kak..............,
Kenapa Kakak bisa terus mendekati Ainun dan sekarang berkata perasaan yang seharusnya kakak simpan untuk jodoh kakak....!”
“Kamu tahu Nun............?
Lelaki yang mencintaimu ini adalah orang bodoh....!
Orang bodoh yang tak pernah menangis karena kamu jadi menangis.
Orang bodoh yang tak pernah tertawa karena kamu jadi tertawa.
Orang bodoh ini akan terus mengikutimu seperti bayangan.
Cinta ini datang bagai angin Nun, jangan tanyakan dari mana asalnya.
Kamu cukup di sana, diam, jangan bergerak meskipun hanya selangkah, aku akan datang...!
Jika kamu tak mengerti kamu sama bodohnya denganku...!
Bodoh..........................!”
Ainun diam, perkataan Bimo semakin membuat hati Ainun rapuh.
Wanita itu melengos, ia gugup, mulut terkunci tak sanggup ia menjawab apa yang Bimo katakan.
“Bimoo........................!”
Sapa seorang lelaki yang mendadak hadir di tengah keduanya.
“Moey..........................!”
Jawab Bimo gugup, ekspresi wajah Bimo berubah.
Ainun diam dan melihat keduanya.
Wajah Bimo tampak gugup dan mencuri-curi melirik ke arah Ainun.
“Kapan balapan lagi.....?”
Tanya Moey.
“Gua udah nggak balapan....!”
Jawab Bimo.
“Apa...............................!
Lu inget janji lu ama gua kan...?”
Rutuk Moey.
Ainun diam, mendadak wajah berubah pucat melihat sikap Bimo yang berusaha menghindar dari lelaki yang kini merangkul pundaknya.
Bimo bermain mata pada Ainun, pupil mata bergerak seperti meminta Ainun untuk pergi.
Ainun pergi dan perlahan meninggalkan Bimo bersama lelaki yang disapa Moey.
Resah, khawatir mendadak menyambangi batin Ainun, lelaki di samping Bimo tadi terlihat menyimpan dendam.
Entah apa yang Bimo janjikan, Ainun yakin lelaki itu sudah berubah.
...BERSAMBUNG..........
No comments:
Post a Comment