👩🏫 COMBLANG SYAR'I 👩🏫
PART 18
Percakapan Moey dan Bimo berlanjut sesaat setelah Ainun pergi meninggalkan mereka.
“Denger Moey, gua udah nggak mau balapan lagi....!”
“Kalo gitu lu mesti bayar.....!
Apa yang udah lu lakuin sama Ade gua...!”
“Gua udah kasih semua, lu mau apa lagi.....!”
“Hahahhaa..................!
Gua mau lu bernasib sama kayak Ade gua, celaka di arena balap....!”
“Itu bukan kesalahan gua....!”
“Lu tau … semangat hidup Ade gua udah ilang sejak ia lumpuh....!”
“Gua minta maaf Moey, tapi itu diluar dari kuasa gua....!”
Bimo bangkit, ia meninggalkan Moey dengan penuh dendam di hati.
“Tiga kali........................!
Kalo lu menang, gua lupain....!
Itu kesepakatan kita......!”
Bimo diam dan melangkah, meladeni orang seperti Moey hanya membuang-buang waktu.
Tepatnya 6 tahun lalu, di arena balap, motor yang dikendarai Bimo tak sengaja berbenturan keras dengan adik lelaki Moey.
Lelaki itu terluka parah hingga kini cacat permanen, ia tak bisa jalan karena kedua kaki harus teramputasi.
Semenjak itu Moey selalu memberikan ancaman kepada Bimo untuk perbuatan yang tidak ia sengaja.
Sastro pun sudah memmberikan uang pergantian, ia juga sudah menghukum anak lelakinya sesuai proses hukum yang berlaku.
Sastro tak melindungi putranya seperti orang kaya lainnya, ia ingin Bimo berubah dan menyesali perbuatannya.
Namun nyatanya dendam Moey masih sama.
Bimo menghentikan langkah, Ainun tampak gugup di balik pohon.
Ia menarik napas.
“Kamu ngapain, Nun....?”
Ainun diam, cemas, khawatir mendadak membuncah di dada Ainun.
Ia sempat menguping perbincangan mereka.
“Nggak apa-apa...........!”
Jawab Ainun melengos.
“Kamu percaya sama aku kan, Nun....?”
Ainun menatap sepasang mata Bimo, lelaki itu terlihat serius.
Ainun tersenyum dan mengangguk, ingin menanyakan apa lelaki itu akan berbuat jahat padanya, namun hati resah, bimbang.
Ia berharap masalah Bimo tak sepelik yang ia bayangkan.
“Kak.............! kakak ….”
“Aku janji nggak akan balapan lagi Nun...!”
“Tapi tadi …...................!”
“Nggak usah dipikirin Nun....!”
Bimo mengelak, ada sesuatu yang lelaki itu sembunyikan dari Ainun.
Masa lalu Bimo memang begitu kelam hingga tak pantas jika disandingkan dengan Ainun.
Wanita sepolos Ainun pantas mendapat lelaki baik, dan Bimo sedang berproses untuk menjadi lebih baik.
Ainun kembali pulang, dalam hati begitu resah saat mendengar ancaman Moey pada Bimo.
Ainun mencoba menarik napas.
Ia berusaha berkhusnudzon dan berharap juga memohon keselamatan untuk lelaki yang banyak membantunya.
Segudang masalah menguasai ruang batin dan pikiran Ainun, di hadapan rumah Raiyan yang megah.
Ainun terpaku, ia menatap seluruh kemegahan yang nyata namun hidup bukan hanya sekedar mencari kepuasan.
Kemiskinan yang mendera Ainun dan keluarganya, membuat Ainun harus hidup sulit di Jakarta, makan nasi dengan garam bahkan tak makan sekalipun pernah ia lalui, berjalan kaki karena tak ada uang transport hingga kaki lecet berdarah pun pernah ia alami, meminjam uang demi membantu orang tua di kampung, sampai dihina, dicaci pun pernah Ainun tempuh.
Menerima lamaran Raiyan baginya adalah jalan pintas, untuk melepas semua kesulitan yang mendera.
“Inoooon......................!”
Teriak Rania seraya berlari kemudian merengkuh tubuh Ainun.
Ainun peluk anak gadis itu, aroma shampoo dan minyak telon begitu menusuk dan akan selalu Ainun kenang, bulir bening kembali menetes.
“Inoon........., anis..........?”
Tanya Rania begitu lucunya.
Ainun mengangguk, dengan lembutnya Rania mengusap air mata Ainun.
Tak lama Raiyan keluar, lelaki itu berdiri memandangi Ainun juga putrinya.
Ainun melengos, ia mengusap kasar pada wajah dan berdiri.
Ainun gendong putri Raiyan dan masuk ke dalam.
“Bagaimana Nun, kamu sudah ada jawaban....?”
Raiyan terlihat begitu memaksa.
Ainun mengangguk dan meneruskan langkahnya.
Ainun tahu dan siap resiko yang akan ia ambil.
Wanita itu sudah mantap dengan keputusannya, Ainun tahu apa yang harus ia lakukan.
Setelah membersihkan diri, ia mengganti pakaian dan keluar dari kamar.
Lelaki bernama Raiyan duduk di ruang TV, di sebelahnya duduk Radit dengan rubik di tangan dan Rania yang sedang sibuk dengan mainan boneka di tangan.
“Inooon........, ain..........!”
Teriak Rania.
Ainun tersenyum, wanita itu mendekat.
Wanita itu mengajak bermain Rania dan Radit untuk sesaat.
“Kita keruangan saya Nun...!”
Ainun mengangguk, ia mengikuti Raiyan dari belakang.
Raiyan terlihat lebih optimis, ia merasa Ainun tak akan mampu meninggalkan Rania juga Radit.
“Bagaimana Nun..........?”
Ainun diam, ia hanya memandangi jari yang ia terus usap-usap.
“Nun............................!”
Ainun menarik napas, ia mencoba untuk kuat dan mencoba untuk tersenyum.
Air mata mengalir begitu saja, napas Ainun sesak.
“Ainun … mo-mohon maaf, Pak ….”
“Maksud kamu............?”
“Ainun … Hmmm … Ainun tidak bisa menerima lamaran Bapak ….”
Raiyan diam dan melengos, ia begitu kecewa dengan jawaban Ainun.
Kedua tangan tak terasa terkepal, ia yakin Ainun sudah memiliki seseorang di hati.
“Kenapa.......................?”
Tanya Raiyan.
“Ainun … Ainun sudah berjanji dengan seseorang,”
Jawab Ainun polos.
“Janji.............................?
Kamu bilang kamu tidak pacaran, Nun.....!”
Rutuk Raiyan.
“Ainun memang tidak pacaran Pak, tapi Ainun sudah berjanji....!”
Jawab Ainun, ketegangan mendadak hadir di jiwa, berulang kali saliva tertelan, Ainun tak kuasa menatap sorot mata Raiyan yang tajam.
“Huh.............................!”
Dengus Raiyan.
Lelaki itu berdiri seraya membelakangi, Ia tampak tak terima dengan keputusan Ainun.
Ia menatap keluar kemudian memejamkan mata.
“Kalau begitu maaf Nun, dengan berat hati saya terpaksa memberhentikan kamu dari pekerjaan ini.....!”
Rutuk Raiyan.
Ainun mendongakkan kepala, ia tak sanggup jika harus berpisah dengan Rania juga Radit.
“Tap … Tapi Ainun bisa menjadi Baby sitter untuk ….”
“Tidak perlu Nun.............!
Saya tidak ingin rasa sayang anak-anak saya semakin berlebihan....!
Kamu siapkan barang-barang kamu, besok kamu bisa pergi....!”
“Ainun mohon Pak.........,
Ainun akan bekerja lebih rajin.....!
Ainun juga akan membuat Radit lebih baik lagi dari sekarang....!”
“Ini gaji kamu................!”
Ucapnya sinis seraya melempar amplop coklat ke arah Ainun.
Ainun diam, tangisannya pecah.
Hatinya sesak melihat perlakuan Raiyan, membayangkan pelukan Radit dan Rania semakin membuatnya sesak.
Ainun paham perasaan Raiyan, ia pun tak bisa memaksakan diri atas kekecewaan yang Raiyan terima.
Lelaki itu berdiri membelakangi Ainun, kedua tangan ia masukkan ke dalam saku.
Pelan Ainun mengambil amplop coklat yang Raiyan lemparkan begitu saja, harga diri hanya sebatas rupiah, Raiyan sama sekali tak menghargai kasih sayang Ainun pada anak-anaknya.
“Ainun pamit, Pak ….......”
Ainun keluar dari ruangan, kedua anak Raiyan masih sibuk bermain.
Ainun tak ingin membuang-buang waktu ia habiskan waktu bermain dengan Rania juga Radit, ia memaksa tersenyum, tertawa, agar keduanya senang.
“Kita main yuk … di kamar.....!”
“Horay.........................!”
Teriak Rania senang.
Ainun membopong Rania juga menarik tangan Radit menuju lantai dua, air mata terus deras mengalir.
Kedua anak Raiyan begitu menyayangi Ainun, pelukan juga kecupan selalu mereka berikan untuk Ainun.
Ainun habiskan malam bersama mereka dan lelap bersama di kamar yang akan menjadi sejarah untuk Ainun.
Hari semakin larut, Ainun rebahkan tubuhnya di samping mereka.
Ia mendongeng hingga rembulan memudar, setiap netra yang ada sudah terpejam.
Ainun menangis, ia akan merindukan masa-masa bahagia bersama mereka.
Ia kecup kening Radit dan Rania.
“Maafkan Kakak, kakak lupa bahwa ada Allah …
Kakak berjanji tanpa lupa menyebut InsyaaAllah, Kakak hanya bisa berharap kalian akan mendapat Ibu yang baik, bahkan lebih baik dari Kakak.
Semoga Allah mempertemukan kita lagi dengan caraNya ya sayang ….”
Bisik Ainun seraya memberikan kecupan terakhir.
Ainun bangkit, ia tinggalkan mereka lalu menuju kamarnya, ia duduk di pojok kamar ia rengkuh kedua lututnya dan menangis.
Lagi-lagi untuk kesekian kalinya Ainun akan berhadapan dengan koper tua miliknya, koper tua yang selalu menemani Ainun kemanapun, Ainun masukkan setiap pakaian, dan barang-barang yang ada.
Ia begitu tegar dan yakin bahwa keputusannya tidaklah salah.
Ia membuka amplop coklat pemberian Raiyan, dengan angkuh Raiyan melempar ke arahnya.
Harga diri Ainun begitu jatuh, uang 10 juta rupiah terlihat di dalam, Ainun diam uang yang Raiyan berikan terlalu banyak dan tak sebanding dengan apa yang sudah Ainun lakukan.
Di malam yang sama, Bimo pun mulai merasa letih dengan segudang pekerjaannya.
Sastro belum juga memberikan kepercayaan padanya untuk pindah posisi setelah ia berhasil menjual semua produk.
Sesekali ia tersenyum dan tertawa membayangkan keceriaan berjualan bersama Ainun, ia bayangkan sesulit apapun keadaan dirinya memiliki istri seperti Ainun hidup akan terus terasa seperti surga, ceria tiada tangisan hanya sebuah keoptimisan dan keceriaan.
Bimo bangkit, ia pikirkan sesuatu yang akan membuat wanita pujaan hatinya senang.
Ainun sudah banyak membantunya, sebuah laptop miliknya pantas menjadi hadiah untuk Ainun.
Lelaki berambut pompadour itu merebahkan tubuhnya, menatap ke langit-langit.
“Sedang apa kamu, Nun ….”
Gumamnya.
Adzan subuh membangkitkan Ainun dari segala kegundahan hati, Ainun mulai mempersiapkan semua untuk pergi meninggalkan kediaman Raiyan.
Ainun keluar kamar dengan membawa koper tua miliknya.
Marni terperangah, ia menatap Ainun sudah rapi dengan barang bawaan miliknya, air mata mengalir dari kedua sudut mata.
Marni mendekat.
“Bodoh kamu Nun ….......,
Ya ampun Nun...............!”
Ucapnya seraya memeluk tubuh mungil Ainun.
“Maafkan Ainun ya Mbok.”
“Nun … pikirkan lagi, Radit, Rania sangat membutuhkan Ainun.”
Ainun menarik napas, apa yang sudah ia jawab tak bisa ia tarik kembali.
“Maafkan Ainun Mbok,” lirih Ainun.
Air mata masih terus mengalir, Ainun sudah yakin dengan keputusannya.
Terlihat Egois namun ia yakin keputusannya adalah yang terbaik, Bimo lebih membutuhkannya, lelaki itu tulus tidak main-main, sesuatu hal buruk akan terjadi jika Ainun meninggalkannya.
“Ainun titip ini untuk Tuan ya Mbok,”
Ucapnya seraya meninggalkan sebuah surat.
Ainun tinggalkan kediaman Raiyan saat langit masih gelap, saat udara masih sejuk, saat pepohonan masih menunduk malu menyambut pagi.
Ia tak ingin melihat kekecewaan di wajah Raiyan, ia pun tak ingin mendengar teriakan anak-anak menyebut namanya, semua hanya membuat Ainun semakin merasa sulit dan meruntuhkan tekadnya, tekad untuk bersama-sama maju dengan lelaki yang entah apa ia akan menjadi jodohnya atau bukan, namun tekad akan memenuhi sebuah janji itu lebih berharga.
Sebuah Koper ia geret kembali, demi mencari sebuah tempat tinggal baru.
Tempat tinggal yang bisa membawa keceriaan baru, tanpa ada sayatan pedih di hati.
Teruntuk Bapak Raiyan
Maafkan Ainun atas semua kelancangan, ketidaksopanan hingga membuat Bapak merasa tidak nyaman, mohon maaf Ainun tidak pamit.
Semoga Bapak dan keluarga selalu diberikan kesehatan juga kebahagiaan.
Terima kasih karena sudah mengenalkan Ainun dengan Radit anak lelaki hebat, juga Rania anak perempuan yang super baik dan cantik.
Terima kasih untuk semua kebaikan Bapak, Ainun hanya mengambil hak Ainun, Bapak memberikan terlalu banyak semalam.
Sisanya Ainun kembalikan.
Terima kasih Pak …........,
Terima kasih ….
Raiyan membuka amplopnya, Ainun hanya mengambil dua juta rupiah dari uang 10 juta yang sudah ia berikan.
Raiyan terenyuh, ia merasa sudah terlalu kasar pada wanita baik itu.
Ia menarik napas dan membiarkan kesedihan berlalu dalam hidupnya, Raiyan belum begitu mencintai Ainun, namun rasa sayang juga khawatir terus menerus hadir di hati untuk wanita berkacamata bernama Ainun.
Tiba di kampus, langit sudah terang, matahari mulai menunjukkan keperkasaannya, udara sejuk pagi mengalir tipis di setiap aliran darah.
Ainun berharap hari ini adalah hari terbaiknya.
Ia duduk berhadapan persis dengan lukisan tangan Bimo Dharaya, lukisan mural bergambar wajahnya yang terlihat hidup, Ainun berkacamata tersenyum riang namun ada bulir mata di pipi, Bimo sangat memahami Ainun, Ainun adalah seorang wanita yang menutupi kesedihan dengan keceriaan yang ia berikan untuk orang banyak.
“Nun ..........................…”
“Kak....................., kelik.
Pagi sekali.................?”
Tanya Ainun heran.
Kelik duduk di sebelah Ainun, bersama menatap lukisan Ainun yang Bimo ukir dengan tangannya.
“Aku memang tidak pernah pulang, Nun.
Aku tinggal di kampus, kadang tinggal dengan Bimo.
Bimo adalah satu-satunya alasan saya masih kuliah Nun.”
“Bimo...........................?
Kenapa.......................?”
“Anak itu yang terus membantu saya membayar kuliah.”
Ainun menangis, tangisannya semakin deras.
Ia semakin yakin hidayah akan datang untuk Bimo, hidayah baik yang akan menjadikannya seorang lelaki yang alim dan menjadi imam untuknya kelak.
“Jangan kecewakan Bimo, Nun …
Dia serius dengan kamu.
Besok menikah pun dia siap.”
Ainun diam, ia pun tak ingin buru-buru menikah namun norma agama lebih utama, menikah adalah jalan utama dari seseorang untuk terselamatkan dari hubungan dosa kecil yang berujung pada perzinahan, mengucap rindu, mengucap sayang, mengucap cinta hanya membuat hati semakin berdesir parah hingga hati dan pikiran lupa bahwa cinta, rindu, sayang pada sang Khalik adalah yang paling nyata.
Setan mampu melakukan apa saja pada dua insan yang sedang di mabuk asmara, menikah adalah jalan terbaik.
“Dia hanya sedang menunggu waktu, agar Ayahnya mengizinkan dia untuk menikahimu Nun.”
“Ainun tidak memaksa, Kak.”
“Aku tahu, Nun …..............
Jangan kecewakan dia....!
Setidaknya jaga saja janjinya, Bimo tak akan mengecewakanmu.”
Perkataan Kelik membuat Ainun semakin takut untuk melepaskan janjinya pada Bimo.
“Kak Kelik … kenal dengan Moey....?”
“Moey..........................?”
Ainun mengangguk.
“Moey hanya ingin Bimo balapan lagi Nun, tapi semenjak mengenalmu Bimo sudah berhenti balapan, banyak hal yang Bimo lepaskan sejak ia bertemu dengan kamu.
Club motor, kuliahnya, band, teman-teman di kampus.
Saat ini anak nakal itu jadi alim Nun, dia semangat mengaji.
Setiap hari di rumahnya ia mengaji, saya sampai panas."
Ainun tersenyum, penjelasan Kelik sangat membuat hatinya terbang hingga lupa akan kesedihan yang ia alami.
@@@@@@@@@@@@
Seharian Ainun duduk di kursi kelas, terpaku menatap langit.
Koper tua masih di sisi, Ainun belum mendapatkan tempat baru untuk tinggal.
Ainun bukan wanita yang mudah menyerah, ia juga tak suka merepotkan orang lain.
Seribu pertanyaan kini kembali menyambanginya, cemoohan, ejekan juga ledekkan akan wanita koper sudah biasa terdengar.
Ia terpaku memikirkan Rania juga Radit, pelukan mereka masih terasa hangat di dada.
Ainun mencoba untuk kuat, ia turun kebawah seperti biasa menurunkan koper dari setiap anak tangga yang ada, bunyi suara geretan koper mengundang tanya bagi yang mendengarnya.
“Ainun’s Come back.......!”
Teriak mereka, entah mengejek atau menghibur.
Ainun tak paham, ia terus berjalan menyusuri jalan membiarkan semua berlalu dan terus melangkah optimis.
Hari semakin sore, Bimo baru saja kembali dari pekerjaannya.
Ia kini lebih optimis dan percaya diri meskipun tanpa Ainun, lelaki itu datang ke kampus berharap berjumpa dengan Ainun, ia ambil ponselnya dan menghubungi Ainun, seperti biasa selalu Mailbox.
Kemeja hitam dan celana abu adalah pakaian yang ia kenakan hari ini, seraya meregangkan otot ia rebahkan tubuhnya di atas pendopo tempat ia biasa berkumpul dengan sahabat.
“Bim.............................!”
Sapa Kelik, lelaki berkepang yang selalu setia menjadi sahabatnya.
“Eh, Lik..........................!”
“Ainun kenapa lagi........?”
Tanya Kelik.
“Kenapa.......................?”
Tanya Bimo heran.
“Calon istri lu tadi pagi geret koper lagi....!”
Bimo bangkit, “Apa........!
Terus kemana dia........?”
“Nggak tau...................!”
“Pinjem motor, Lik.......!”
Bimo bangkit dan berlari, ia mencoba kembali menghubungi Ainun namun sambungan telepon terputus.
Bimo mencoba mencari keberadaan Ainun di kampus, namun tak menemukan hasil.
Ia mengendarai motor menuju arah utara kampus.
“Nun … kamu dimana....?”
Gumam Bimo.
Bimo terus mengelilingi sekitar perumahan dan bertanya pada setiap anak kampus yang ia kira mengenalnya.
Bimo yakin, Ainun sudah tak tinggal dengan Raiyan, ia pasti dalam kesulitan.
Hingga matahari menarik cahayanya, Bimo tak kunjung menemukan Ainun.
Lelaki itu kelelahan ia kembali pulang.
Ia terus menghubungi Ainun, berulang kali.
Mailbox.
Sementara Ainun termenung di kamarnya yang sudah ia sewa, kamar yang tak jauh dari kos-kosan bu septi, dengan biaya 500 ribu per bulannya.
Kamar ini lebih luas dari kamar-kamar Ainun sebelumnya, kamar mandi diluar pun bersih dan terdiri dari beberapa pintu, ada beberapa anak UNJ yang juga tinggal satu atap dengannya.
Ia rebahkan tubuhnya, lalu membuka mushaf yang sudah lama tak ia baca, dalam hening suara Ainun begitu lembut membacayakan ayat demi ayat surat Ar-rahman, ia begitu menyukai surat ini.
Tak ada satupun pemberian Tuhan yang belum Ainun syukuri, semua mulai dari kecukupan rezeki, keluarga yang bahagia semua Ainun syukuri meski terkadang sulit untuk menjalani hidup, namun Ainun selalu yakin Allah selalu menyediakan berbagai macam bantuan untuknya.
Tengah malam Ainun terjaga, ia bentangkan sajadah Ainun gadis mungil itu bertahajud dan berdoa,
“Allah … perasaan apa ini, kenapa akhirnya Kau menancapkan rasa rindu di hati hanya untuk Bimo Dharaya kenapa hati juga resah dan pilu memikirkan Rania dan Radit.
Allah ... semoga putusanku adalah ilham terbaik dariMu, jika bukan aku mohon wahai Sang pemilik takdir, tunjukkanlah aku jalan yang benar ...
Jika memang Bimo Dharaya adalah jodoh yang sengaja Kau simpan untukku, maka jagalah hati ini terus hingga aku hidup dengannya, jika tidak maka hilangkanlah perasaan ini, perasaan yang hanya akan membuat dzolim bagi suamiku kelak.”
Adzan subuh berkumandang, Ainun bangkit dari atas sajadah.
Ia regangkan setiap persendian otot, dan bangkit.
Warung bu Ecih adalah salah satu tujuan pertama Ainun, ia ingin kembali mengupas bawang putih.
Pekerjaan yang sudah lama tak ia kerjakan, seusai sholat subuh Ainun bergegas.
Ia lupakan setiap masalah yang ada, ia hirup udara Jakarta yang masih bersih dari debu, berjalan pelan lalu berlari seraya berolaharga meregangkan otot.
“Nun.............................!
Kamu kemana saja.......?”
Teriak Bu Ecih yang kerepotan dengan tumpukan karung bawang.
“Hehhee … kemarin Ainun ada pekerjaan, Bu. Sekarang nganggur lagi....!”
Ucap Ainun seraya tersenyum.
“Hari ini, bisa bantu Ibu.
20 kg lagi...................?”
“20kg.........................?
Satu karung...............?”
“Iya … gimana mau....?”
“Mau..........................!”
Teriak Ainun.
“Ya sudah … ambil ya, Ibu mau berangkat antar catering...!”
“Ya bu........................!”
Ainun berusaha untuk kuat, karung bawang seberat 20 kg ia peluk lalu ia geret hingga ke luar.
Berat, Ainun tetap berusaha.
Menggendong karung ini serasa menggendong Radit yang mungkin lebih berat.
“Uuuuh........................!”
Seru Ainun yang mulai keberatan.
Langkah Ainun terhenti, di hadapannya kini terlihat Bimo Dharaya nafasnya tersengal karena habis berlari.
Lelaki itu berdiri dan menatapnya dengan tajam.
Ainun diam dan berusaha tak membalas tatapan matanya.
“Sini...............................”
Ucapnya seraya merampas karung bawang dari pelukan Ainun.
“Kakak …......................”
Bimo diam, rasa kesal masih menyambangi hati.
Semalaman ia khawatir dengan wanita yang kini terpaku memandanginya, namun tak satupun kabar yang ia dapatkan.
“Kamu nggak ada pulsa....?
Atau kenapa.................?
Kenapa Hp kamu mati seharian....?
Kalau ada masalah apa kamu tidak bisa berbagi sama aku, Nun....!”
Ainun diam, tatapan Bimo penuh nanar.
Lelaki di hadapannya was-was mencari Ainun semalaman.
“Nun..............................!
Aku ini orang paling dekat sama kamu....!
Harusnya kamu beritahu aku kalau kamu pindah....!”
Ainun semakin diam, lelaki dihadapannya mulai menunjukkan perasaannya.
Ia hiraukan Bimo dan terus melangkah.
“Nun....., jawab............!”
“Ya sudah kakak, mau bantuin aku nggak...?”
Bimo diam, napasnya masih tersengal-sengal.
“Ikuti Ainun.................!”
Bimo mengangkut karung bawang menuju rumah kos Ainun yang baru.
“Sampai sini saja, Kak....!”
Icap Ainun, seraya mengambil karung bawang dari tangannya.
“Nun...........................!
Kamu kenapa.............?”
Ainun menarik napas, perasaan ia terhadap Bimo sudah sulit ia atur.
Semakin dalam, justru akan semakin rumit dan parah.
“Nggak apa-apa, Kakak pulang saja...!”
“Nun..............................!
Aku mau bantu.............!”
“Nggak usah, Kak.........!”
Bimo mengambil paksa karung bawang dari tangannya,
“Aku bantu.....................!”
Rutuk Bimo kesal.
Ainun diam terpaku tak lama ia masuk ke dalam mengambil wadah dan dua buah pisau.
“Nih.............................!”
Ucap Ainun seraya memberikan pisau kecil.
Ainun ikut diam, membiarkan emosi Bimo mereda.
Beberapa menit kemudian, tangan Bimo mulai bergerak ia mulai mengambil bawang putih dari karung dan mulai mengupasnya.
Perlahan senyuman mulai nampak, lama kelamaan tawa canda mulai terdengar.
“Nun … apa yang terjadi...?”
“Kak..., bukan begitu megang pisaunya.....!”
Ucap Ainun mengalihkan pertanyaan.
“Nun … kamu berhenti bekerja...?”
Ainun mengangguk.
“Aku senang, Nun.......!”
Ucap Bimo, bibirnya tersenyum lebar.
Satu masalah seperti hilang di pundaknya, Bimo merasa lega.
Pikiran tentang Raiyan mendadak hilang dalam sekejap.
“Kakak, kupasnya yang betul.
Kalo nggak nanti jarinya panas....!”
“Ini udah panas, Nun.....!
Nggak ada cara cepet apa....?”
“Kata ibu-ibu, biar cepet direndem air, nanti kulitnya mudah dikupas.”
“Ya sudah, rendem aja....!”
“Kata bu Septi tidak boleh kak, katanya cepet basi nanti bumbunya.
Ya sudah kerjain aja, jangan protes...!”
Bimo diam, ia tertawa dan melanjutkan mengupas.
Mendengar Ainun berhenti bekerja dari Raiyan merupakan satu kebahagiaan sendiri baginya, Bimo merasa bebas tak tersaingi.
Wanita mandiri juga unik di hadapannya kini hanya miliknya seorang.
Ia hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melamar Ainun menjadi istrinya.
“Oh ya Nun ….................,
Aku ada kabar bagus....!”
“Apa.............................?”
“Besok aku sudah mulai bekerja di Perusahaan....!”
“Hmm … bagus............!”
“Sepertinya aku sukses meyakinkan Ayahku, Nun....!”
“Alhamdulllah..............!”
“Nun...., jika Ayahku mengizinkanku menikahimu ….”
“Kakak bekerja saja yang rajin....!
Nikah … nikah mulu.....!”
“Hahahahahahha........!”
Ainun bergegas, bawang putih sudah selesai dikupas.
Bimo yang antarkan bawang menuju rumah Bu Ecih sedangkan Ainun bersiap menuju kampus.
Ainun seperti tak pernah lepas dengan Bimo, 100 kali ia mencoba untuk menghindar, 1000 cara juga Bimo mencoba untuk mendekat.
Bimo bagai menuai jaring ke laut lepas, hingga Ainun sulit keluar.
Buru-buru Ainun keluar dari kamar kosnya, ia ingin datang lebih awal.
Jauh dari pandangan seorang lelaki bernama Bimo tengah berdiri menunggunya, ia mengenakan kemeja berwarna maroon membuat kulitnya semakin terlihat putih, celana bahan yang ia pakai sangat pas hingga membuat kakinya terlihat jenjang.
“Aku antar ke kampus, Nun ….”
“Huh … kakak nggak kerja...?”
“Sekalian bareng kita, aku kan naik angkot.”
Sepanjang jalan yang Bimo lakukan hanya terus memandangi wajah Ainun yang begitu menggemaskan dan selalu membuatnya rindu, serasa ingin memuaskan hati akan rindu yang ia rasakan sepanjang harinya.
“Kakak … berhenti nggak natap Ainun.”
“Kamu geer Nun...........!”
Ainun menarik napas panjang,
“Kalo wajah Ainun kayak gini kakak masih mau perhatiin nggak.....?”
Ucap Ainun seraya menjelek-jelekkan wajahnya, kedua mata disatukan, dan bibir di majukan.
“Masih lah … apa lagi begitu, makin ngangenin.”
“Kakak, cukup Kak.
Ainun gerah dengernya....!”
Jawab Ainun, ia berlari meninggalkan Bimo yang selalu membuat hatinya berdegup kian kencang.
“Nun...............................!
Tunggu....................... !”
Teriak Bimo seraya mengejarnya.
Canda tawa seakan tak pernah usai, Ainun Bimo seakan mengukir sejarah mereka akan sebuah hubungan yang sewajarnya tanpa ada ikatan yang pasti.
Ikatan mereka hanya disimpul benang emas tak terlihat, benang yang senantiasa bisa putus namun bisa juga menguat.
Jodoh adalah kuasaNya tiada satupun yang tahu, namun ikhtiar wajib bagi Bimo dan pasrah harus bagi Ainun.
Keduanya hanya menunggu waktu yang tepat, waktu yang pas hingga Allah mengetuk palu akan tanggal, hari, jam mereka akan sahnya sebuah hubungan.
.......Bersambung.......
No comments:
Post a Comment