👩🏫 COMBLANG SYAR'I 👩🏫
PART 16
Ainun bangun lebih pagi, ia kini harus lebih rajin di dapur.
Permintaan Bimo untuk dibawakan makanan setiap hari, tak sengaja membuat hatinya kian berdesir.
Ainun sadar dengan apa yang ia lakukan, Bimo sudah terlampau baik dengannya, hanya menyediakan makanan untuk Bimo bukanlah hal yang sulit.
Pagi ini Ainun membantu si mbok memasak, kadang pun ia bersenda gurau dengan wanita paruh baya ini.
“Mbok … Ainun mau bawa bekel lagi.”
“Kemarin sudah disampaikan....?”
“Sudah Mbok................,”
“Kamu tuh aneh Nun, nggak pacaran tapi kayak orang pacaran....!”
“Ainun memang nggak pacaran Mbok.”
“Tapi hatimu nggak bisa dibohongi Nun, liat wajahmu saja mbok sudah tahu kalau kamu menyukainya.”
“Menyukai tidak harus menjalin hubungankan Mbok.”
Marni mengangguk, dan membiarkan Ainun yang memasak pagi ini.
Ainun adalah anak muda yang tahu betul bagaimana cara memasak, ia banyak belajar dari Ambunya di kampung.
Marni bisa lihat bagaimana cara Ainun mengupas bawang, membersihkan sayuran dan memotong ayam, Ainun lihai seperti sudah terbiasa.
Ia pun meracik bumbu dengan takaran bumbu yang tepat.
Marni mengapa melihat Ainun, bahkan ia pun tak bisa memasak seperti Ainun.
“Nun .. bumbu ayam, si mbok sudah beli.”
“Nggak sedap Mbok.......,
Ainun buatkan ya..........!”
Ucapnya tersenyum lebar, Marni hanya mengangguk dan melihat Ainun menghaluskan bumbu ditangan,
“kemiri, bawang putih, jahe, kunyit, lengkoas....!”
Ucap Ainun lalu ia haluskan menggunakan blender, yang sudah lama tak digunakan si Mbok, ya Marni hanya menggunakan bumbu jadi selama memasak, jika membuat sayur pun ia hanya mengiris.
“Kamu ngapain Nun......!”
Suara Raiyan terdengar, tak biasanya Raiyan turun sepagi ini.
Ainun pun diam, wadah blender ditangan, Ainun pagi itu terlihat dewasa dengan celemek yang menempel di badan.
“Kamu masak.............?”
Tanya Raiyan mendekat.
“Bukan Pak, Ainun hanya bantu Mbok Marni.”
“Ainun yang masak, Pak...,”
Sahut Marni.
Raiyan melangkah, ia lihat sayur bayam lengkap dengan jagung dan wortel sudah tersaji di atas meja.
“Teruskan masak, aku mau coba...!”
Lelaki itu semakin menyukai Ainun.
Tak lama Ainun menghidangkan ayam goreng dengan sayur bayam juga sambal.
“Kita sarapan bareng Nun....,”
“Saya dibelakang saja Pak.”
“Nggak apa-apa Nun.....,
Duduk disini saja.”
Ainun diam, ia melihat Raiyan.
Lelaki itu terus berbicara dengan mulut yang penuh dengan makanan.
“Pak … apa Ainun boleh meminta makanannya....?”
“Ya bolehlah Nun, kamu ada-ada saja...!”
“Maksud Ainun, Ainun mau bawa ke kampus.
Boleh Pak.................?”
“Boleh Nun ….............!”
Ainun tersenyum lebar, ia bisa membawakan makanan untuk Bimo.
Ainun bergegas, hati yang berbunga mampu menghilangkan luka, lelah dan kesedihan.
Ainun datang lebih pagi, selain ingin mencari mangsa wanita baru untuk Raiyan.
Hati pun ingin bertemu dengan sang pemilik, rasa tak begitu mudah datang, sekian lama hati tak pernah merasakan suka, bahagia dan rindu.
Ainun merindukan Bimo, dalam malam nama Bimo pun mulai ia sebut, doa dan keyakinan menjadi satu arah.
Namun Ainun tetaplah sama, ia masih tetap kuat dengan pendiriannya, rasa tak mungkin bisa ia lawan namun sikap menjaga diri harus diutamakan.
Lorong 12 menjadi tempat Ainun berjanji untuk membawakan
makanan, Ainun berlari bagai angin sesekali ia melompat, darah yang panas mengalirkan semangat ke jiwa Ainun.
Ainun diam, ia celingukan pada lorong 12 yang masih sepi, tiada satupun yang lewat sepagi ini dan Bimo pun belum datang.
Ainun duduk di tempat ia duduk kemarin sore, ia tatap setiap lukisan mural dari tangan Bimo dan mendadak detak jantung melambat, tubuh gemetar hingga sulit bernapas.
Ainun bangkit ia mendekat ke arah tembok yang sudah penuh dengan warna, bulir bening menetes, ia raba lukisan yang begitu indah dengan jemari, gambar yang penuh arti bagi Ainun.
Sebuah gambar yang entah mengapa Bimo lukiskan, Ainun menangis gambar wanita berkacamata itu sangat menyentuh relung hatinya.
Begitu mirip dengan wajah, juga semangatnya.
“Ainun..........................!”
Lelaki berkepang sahabat Bimo menghampiri.
“Kamu cari Bimo.........?”
Ainun mengangguk, lembut ia mengusap wajahnya.
“Semalaman dia bekerja disini, Nun.
Melukis mural sangat melelahkan Nun, ia selesai jam dua malam.”
Hati Ainun perih, apa yang membuat Bimo bekerja sedemikan kerasnya.
Kemana kekayaan yang biasa ia banggakan, batin dan pikiran Ainun berkecamuk.
“Kakak tau.....................?
Kenapa Bimo bekerja...?”
“Bimo diusir dari rumah, ia juga di DO.
Kamu bantu dia ya Nun … sekarang Bimo di rumah kosnya.”
Dalam diam, air mata Ainun deras.
Napas Ainun tersengal-sengal memikirkan Bimo, semua hanya karena Bimo membantunya.
Lelaki dihadapan seperti sangat mengenal Bimo.
Ainun mengangguk, ia berlari.
Ainun menuju rumah kosan Bimo tempat dia dulu pernah tinggal.
Ainun berlari menerjang angin, setiap orang menatap Ainun dengan heran, jembatan penyebrangan ia lewati dengan begitu cepat, lelah, letih hilang dalam sesaat.
Ainun tiba di jalan swadaya, warga disini yang kata mereka melaporkan mereka, meskipun Ainun tak pernah melihat warga melintas di hadapan.
Pelan Ainun memberanikan diri, ia celingukan lalu berlari, hati Ainun bertabuh layaknya genderang perang membawa tubuh Ainun menuju Bimo.
Rumah Bimo sepi namun pintu terbuka, pelan Ainun masuk membuka pintu rumah.
“Assalamualaikum …
Kakak............................!”
Teriak Ainun saat melihat Bimo terbaring di sofa.
“Wa … alaikumsalam,”
Lelaki berambut Pompadour itu terlihat sakit.
Peluh memenuhi tubuh, wajahnya pucat dengan bibir bergetar.
“Kakak kenapa.............?”
“Nun ….........................!”
Ucapnya memaksa senyum yang terlihat sulit.
Ainun menarik napas, ia menangis dan masuk ke dalam.
Ia keluarkan bekal makanan dan menghidangkannya untuk Bimo.
“Makan Kak...................”
“Kamu kenapa kesini....!”
Ainun diam seraya menahan suara isakan yang tak sanggup ia tahan, ia tak mengindahkan pertanyaan Bimo.
Ia buka bekalnya, dan berlari mengambil piring juga sendok di belakang.
Bimo tersenyum melihat rasa khawatir Ainun, pelan rasa suka membuatnya bangkit, rasa sakit berkurang.
“Kamu nangis, Nun.....?”
Ainun menggeleng.
“Heh........, aku makan ya.
Nun...............................!”
Ainun mengangguk dan kebelakang, ia ambilkan air untuk Bimo.
“Waaah, enak ini Nun.
Ayam goreng … yang masak kamu...?”
Ainun mengangguk, ia tatap Bimo, lelaki itu terlihat lapar.
Napasnya tersengal seperti sedang demam, ingin menangis namun Ainun tahan.
“Kakak … sakit..............?”
“Nggak apa-apa …...........”
Jawabnya gemetar, semalaman Bimo menahan lapar.
Ongkos pengerjaan Mural baru bisa ia terima siang ini, Bimo tak memiliki cadangan uang, harga diri serasa di ufuk awan, meminjam uang adalah hal yang tak pernah ia lakukan.
“Enak, Nun.....................!”
Semangat Bimo sedikit bangkit, demam sedikit berkurang.
“Kakak, mau apa lagi.
Biar Ainun bantu.”
Bimo tersenyum, wanita disampingnya terlihat sangat khawatir.
“Aku demam, Nun..........”
Wanita itu sekejap menghilang dari pandangan, dan tak lama kembali lagi membawakan obat.
“Minum, kak................!”
Ainun melihat peluh di wajah Bimo, lelaki itu mencoba untuk kuat.
Pelan Bimo melahap makanan yang Ainun bawakan, hati kecil Ainun menjerit.
Lelaki di hadapannya adalah lelaki yang dulu sempat membantunya.
Kini Bimo seperti tak berdaya, diusir dari rumah, di DO.
“Kamu khawatir ya Nun … kamu takut kehilangan akukan....?”
ledeknya.
Ainun menggeleng.
“Kakak mau ke dokter.....?”
Bimo tertawa “Aku nggak apa-apa Nun, kamu ingat … mukamu lebih parah terlihat saat kamu meminta kiranti.....!”
Ucapnya seraya tertawa.
“Hiih..............................!”
Jawab Ainun, mulutnya menyungging ke atas.
“Kakak tuh … udah begini masih aja bercanda....!”
“Kok marah.................?”
“Harusnya kakak tuh, telepon teman kakak.
Bukannya teman kakak banyak....!”
“Aku cuma pengen kamu yang datang Nun ….”
jawabnya lemas.
Ainun diam, ucapan Bimo semakin meyakinkan Ainun betapa seriusnya lelaki berambut pompadour ini dengannya.
“Oh ya Nun, Kamu tau dari mana aku masih disini....?”
“Teman kakak yang berkepang, beritahu aku.”
“Namanya Kelik Nun, dia sahabat baik aku.
Jadi … tadi kamu sempat kekampus...?”
Ainun mengangguk.
“Kamu sudah lihat hatiku Nun...?”
“Hati ..........................…?”
“Tembok itu …................,
Ungkapan hatiku Nun ….”
Deg.................................!
Hati Ainun semakin tak menentu, berat ia mendengar ucapan Bimo.
“Kakak, berlebihan.........! harusnya kakak tak perlu seperti itu, bagaimana jika….”
“Jika apa......................?”
“Kak, kakak tidak perlu menyukai Ainun berlebihan.
Sewajarnya saja...........!”
“Kamu calon istriku Nun....!”
“Bukan........................!”
“Tapi kamu sudah berjanji....!”
“Kak, manusia bisa berjanji tapi Allah yang menentukan....!”
“Jangan kecewakan aku Nun.....!”
Ainun melengos, pembicaraan mereka sudah terlalu jauh.
Ainun bangkit, dalam ruangan dengan pintu terbuka itu ia hanya berdua.
Akan semakin parah jika ia berlama-lama di rumah Bimo.
Perasaan Ainun semakin tak karuan, perkataan Bimo terus menerus membuat hati Ainun kian berdesir.
“Oh ya …...................,
Nesa bagaimana.....?”
Tanya Bimo mengalihkan pertanyaan Ainun, agar wanita itu tetap tinggal untuk beberapa saat.
“Pak Raiyan tidak cocok..., Kak.”
“Raiyan..........................!”
Ucap Bimo.
“Kak...., Pak Raiyan itu carinya yang sayang dengan anak-anaknya, keibuan, baik hati.
Wanita seperti Nesa sudah sering katanya dia ajak kerumah, Huhh......!
Ainun harus kerja keras, semua teman liqo Ainun pun tak sedang mencari jodoh ….”
Tutur Ainun.
Bimo menghentikan makannya, ia letakkan sendok di meja.
Hati Bimo mulai tak karuan, sesama lelaki ia seperti paham maksud Raiyan.
"Wanita yang kayak gitu udah nggak ada Nun....!
Baik hati, keibuan, lembut ... kalaupun ada cuma satu, dan itu cuma buat BIMO DHARAYA, denger itu....!"
“Kakak tuh, ngomong apa sih...!”
“Denger Nun, Bos kamu yang namanya Raiyan itu cuma cari alasan aja....!
Aku curiga jangan-jangan dia suka kamu...!”
“Kakak udah sembuh....!”
Ainun bangkit, percakapan Bimo mulai tak terarah.
“Ainun pamit.................!”
“Nun.............................!"
Ainun berhenti.
"Jangan kecewakan aku, aku serius...!”
Lanjut Bimo.
Ainun diam, sorot mata Bimo begitu tajam.
Sepasang netra kini bertemu, Bimo begitu serius dengan ucapannya.
Tubuh Ainun kaku, Ainun gugup tanpa menjawab wanita itu keluar dan membanting pintu rumah Bimo, ia menekan dadanya, tak sadar Ainun mulai bermain dengan perasaan, Bimo sudah terlalu berlebihan.
Lelaki itu memang tak tahu bagaimana menjaga batas antara lelaki dan perempuan, ia tak tahu jika seseorang mengungkapkan perasaan bisa membuat seseorang lupa akan dunia, lupa bahwa keindahan surga melebihi indahnya hubungan yang terjalin sebelum menikah.
Ainun pergi meninggalkan Bimo, ia yakin lelaki itu akan pulih tanpa bantuannya.
Ainun berlari mengejar waktu.
Ia harus sampai di kampus dalam waktu 15 menit, ia lupakan sejenak sikap dan tingkah Bimo.
Hari ini jadwal Ainun begitu padat di kampus, ia harus mengerjakan tugas.
Ia juga harus menyiapkan beberapa judul dan mempersiapkan proposal untuk skripsinya.
“Nun … mural kamu jadi trending topic...!”
Ucap Sarah teman sekelasnya.
“Heee … itu bukan gambar Ainun, kok Sarah.”
Sejak Bimo marah-marah dihadapan teman-temanya beberapa hari lalu, beberapa kini sudah mulai dekat dengan Ainun.
Salah satunya Sarah, Ainun menatap Sarah dari atas hingga bawah.
Wanita itu pun tak kalah cantik dengan Syahira, wajahnya putih, rambut ikal, bibirnya sedikit tebal dan hidungnya mancung.
“Sarah ….........................”
“Hmmm..........................”
“Kamu suka anak-anak.”
“Nun..., wanita itu wajib suka anak-anak.”
“Oh ya … apa kamu sudah ada calon, pacar atau ….?”
“Nun, apa kamu nggak bosan comblangin orang....?
Urus saja hidup kamu sendiri.
Kamu makan susah, hidup susah, mending kamu cari jodoh buat diri kamu.
Biar ada yang biayain hidup kamu,”
Tutur Sarah.
Perkataannya amat menyakitkan bagi Ainun, namun benar.
Ainun pun hampir tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, ia terus memikirkan nasib orang lain.
“Apa yang kamu katakan benar Sarah, aku memang sulit.”
Jawab Ainun dengan suara sedikit agak parau.
“Aku permisi Nun..........”
Ainun sejenak berfikir di dalam kelas sendiri, tiada siapapun bersamanya.
Ia tatap ke luar, langit mendung akhirnya melepaskan hujan, gerimis membasahi kampus hijau.
Ainun bangkit dan menatap ke luar jendela, pepohonan seperti tersenyum dan menari menyambut hujan.
Segar dan sejuk terasa pelan ia menarik napas ia alirkan udara masuk melalui hidung hingga ke paru.
Begitu dingin terasa.
Sejenak Ainun berfikir, apa yang dikatakan Sarah.
Sudah terlalu banyak ia mendapat bantuan Bimo ataupun Raiyan.
Kedua lelaki itu mendadak hadir dalam kehidupan Ainun, Ainun tak bisa terus menerus membiarkan mereka memanjakan dirinya.
Ia tak boleh lupa, akan tujuannya untuk kuliah.
Kebahagiaan keluarga adalah yang utama.
Ainun turun ke bawah, waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore.
Lobby Daksinapati terlihat sepi, hanya tinggal segelintir mahasiswa yang masih duduk di lantai bawah, menikmati wifi gratis yang kampus berikan.
Ainun melangkahkan kaki ke luar, di depan Lobby terlihat lelaki yang tak asing baginya dengan sebuah payung besar di tangan kanan, rambut Pompadournya lebih rapih ia gunakan jell agar tertarik kebelakang.
Pakaian juga celananya rapi tak seperti biasa.
Bimo menunggu Ainun sejak tadi dibawah.
Ainun tersenyum, ia tak mampu menghindar dari sepasang netra yang sejak tadi dipasang ke arah pintu lobby, keduanya saling berhadapan dengan jarak 5 meter.
Berdiri tanpa berkata, hanya tersenyum.
Angin meniup pada keduanya, mengantarkan pesan bahwa Bimo lelaki di hadapan Ainun sudah siap menjadikannya istri dan Ainun belum dapat memberikan jawaban secara penuh padanya.
Entah berapa lama, 1 tahun atau mungkin lebih.
Jodoh hanya Allah yang menentukan, ia tak ingin perasaannya ke Bimo semakin parah begitupun sebaliknya.
Bagaimana jika Ainun bukan jodoh Kakak.....?
Bagaimana jika Kakak bukan jodoh Ainun.....?
Sakit, gila, sinting mungkin yang kan terjadi.
Ainun tidak bisa terus menerus menanam benih sayang, Ainun takut menjadi tak waras karena kakak.
Perlahan Bimo langkahkan kaki ke depan, Ia menyodorkan payung ke arah Ainun seraya tersenyum.
Perkataan Sarah, cukup membuat Ainun diam sejenak.
“Makan, yuk.................!”
“Kita tidak bisa satu payung, Kak.”
“Payung ini untuk kamu, Nun.”
“Kakak saja, kakak sedang sakit.”
“Aku sudah sembuh, Nun.
Berkat kamu ….”
Ainun diam, Bimo sedang tidak bercanda lelaki itu serius.
“Nun … aku punya berita baik.”
“Apa.............................?”
“Aku diminta Ayahku bekerja di perusahaannya, aku berjanji akan menjadi sukses dan segera akan melamarmu Nun.”
“Ainun tidak butuh orang sukses … yang Ainun butuhkan suami yang bisa membimbing Ainun menuju surga.”
Bimo terperangah, wanita dihadapannya mulai berbicara serius.
“Aku pun akan terus belajar Nun, percayalah.
Saat ini pun aku sedang berusaha untuk menjadi seorang Imam bagi anak dan istriku kelak.”
“Kak … bagaimana jika kita tidak berjodoh....?”
Bimo diam, hujan mulai membasahi tangan juga mendadak dingin terasa di dada mendengar pertanyaan Ainun.
“Apa kakak bisa melupakan Ainun....?”
Bimo semakin diam.
Ainun menunduk,
“Ainun takut kita tidak berjodoh kak, simpanlah perasaan kakak hanya untuk seseorang yang akan menjadi pasangan hidup kakak.
Kita tidak bisa seperti ini Kak, jika kakak terus seperti ini, Ainun hanya semakin merasa sakit.”
“Kenapa sakit..............?
Kamu pasti berjodoh denganku Nun, percayalah ….”
Ainun melengos, ia menahan perasaan yang membuncah di dada.
“Inooon........................!”
Teriak suara Rania dari arah yang tak diduga, Ainun edarkan pandangan mobil fortuner hitam tengah menunggu tak jauh dari tempat ia berdiri.
Ainun terperangah, air mata menetes pembicaraan Ainun Bimo terputus.
Tak lama Raiyan turun dari mobil dan membiarkan Rania dan Radit berbaur mengejar Ainun di bawah gerimis, mereka berlarian menyambut Ainun.
Tangan Radit begitu lembut menggapai tangan Ainun.
“Radiiit........................!”
Sapa Ainun seraya mengecup kening Radit.
Bimo menatap haru, Ainun begitu menyayangi anak laki-laki di hadapan.
Ainun mengecup, ia memeluk dan tertawa.
Bimo merasakan pahit, cemburu yang amat mendalam.
Bukan dengan seorang anak sekecil Radit, namun dari seseorang yang memiliki Radit.
“Kalian ngapain kesini....!”
Bimo diam, Ainun membiarkan keheningan tak terjawab.
Pelan lelaki itu melihat ke arah mobil.
Raiyan terlihat dewasa dan sukses dengan semua yang ia miliki, mata Raiyan menunjukkan keinginan untuk memiliki Ainun.
Wanita yang kini berikrar janji dengannya.
Tak terasa kedua tangan terkepal, sorot mata penuh nanar.
Berat Bimo menahan rasa cemburu.
“Kak … aku pulang ya.....,”
Ucap Ainun seraya meninggalkan Bimo dan bercanda dengan ke dua anak Raiyan yang selalu setia menyayangi Ainun.
“Ingat janji kamu, Nun …..”
Ainun menatap Bimo dan mengangguk, lalu pergi meninggalkan Bimo yang membelakanginya.
Niat Bimo ingin mengajak Ainun makan malam pupus, lelaki itu sudah menyiapkan segalanya di kantin Blok B dari uang hasil melukis, sebuah makan malam sederhana dengan alunan musik jazz yang sudah ia persiapkan dengan teman-temannya.
Bimo menahan sakit di dada, ia sadar bahwa dirinya masih kalah jauh dengan Raiyan.
Ainun berbeda dengan gadis lain yang percaya dengan cinta sejati, Ainun lebih percaya dengan takdir Allah.
Batin Bimo semakin kacau jika memikirkannya, bagai memasang lotre dan hanya Bandar yang bisa menentukan siapa pemenangnya.
Sampai saat ini pun, Bimo masih menduga-duga perasaan Ainun padanya.
Kedatangan Raiyan cukup mengusik batin Bimo.
......BERSAMBUNG........
No comments:
Post a Comment