Friday, April 3, 2020

Comblang Syar'i 06

👩‍🏫 COMBLANG SYAR'I 👩‍🏫
                    PART 6
  Oleh Author : Nina kirana

Ainun sibuk membawa keripik singkong di tangannya. 
Dengan 1 kilo singkong ia bisa menghasilkan 50 bungkus keripik, ia jual setiap bungkus hanya 4 ribu rupiah. 
Modal utamanya hanya sekitar 80 ribu. 
Ainun akan untung banyak jika keripiknya terjual semua dalam satu hari.

Hilangnya pekerjaan membuatnya harus lebih bersemangat. 
Tanpa rasa malu ia menjajakan keripik buatannya pada setiap mahasiswa di kampus. 
Ada yang iba lalu membeli, ada yang memang menyukai keripik buatannya lalu membeli, ada juga yang mencibir lalu membeli, dan ada yang tak membeli sama sekali bahkan ada yang tak membeli sambil mencibir.

Semua Ainun lalui, ia tak malu menekuni usahanya. 
Hidup dalam gengsi hanya membuat semangatnya mati, hanya membuat rezekinya mati. 
Tak apa malu sekarang, besok ia akan tersenyum lebar.

Hari sudah siang, keluar kelas Bimo langsung menuju Syahira di kantin tempat mereka janjian. 
Syahira terbilang agresif, wanita itu terus mengirimkan pesan untuk menanyakan keadaannya dan memberikan perhatian.

Bimo berangkat, laki-laki itu berjalan menyusuri jalan daksinapati. 
Celana jeans belel, dengan kaos oblong berwarna biru juga jaket bomber yang ia kenakan siang itu membuatnya terlihat seperti preman, kedua tangan ia masukkan ke dalam saku seraya berjalan.

Nada dering blackberrynya kembali terdengar. 
Ia ambil......... “Syahira”. 
Bimo menarik nafas......,
Aku lagi jalan Syahira, sabarlah....!” 
Gumamnya.

Tak lama ia hadir, Kafe bernama “Take A Rest” menjadi pilihan Syahira. 
Sebuah Kafe kampus yang menyajikan makanan-makanan dengan harga yang cukup mahal. 
Menu makanannya pun terbilang modern, spaghetti, nasi goreng keju, chicken katsu dan banyak lagi.

Syahira menyukai tempat ini meskipun harganya terbilang mahal dibandingkan kantin Blok B langganan Ainun. 
Disini bersih dan rapih, kursinya pun nyaman ada beberapa sofa lalu sebuah TV LED, wifi dan banyak lagi sangat jauh jika dibandingkan kantin kumuh Blok B. 
Blok B hanya tempat dimana banyak mahasiswa berebut untuk mendapatkan sepiring nasi murah.

“Sudah lama................?” 
Tanya Bimo seraya duduk berhadapan di tempat yang sudah dipilih kekasihnya.

“Nggak kok...., Baru 20 menit.”

“Maaf ya, tadi dosennya reseh.”

“Nggak apa-apa kok kak.”

“Kakak, sudah makan....?”

“Ohh................ belom.”

“Aku pesanin ya..........”

“Ya Boleh....................”

Tak lama pelayan datang membawakan dua porsi nasi goreng lengkap dengan ayam katsu diatasnya dan salad di pinggiran piring. 
Bimo diam, ia teringat Ainun. 
Ia edarkan pandangan mencari jam dinding, pukul satu siang. 
Mendadak hatinya merasa khawatir....., 
‘Ainun sudah makan belum....?’ 
Gumamnya dalam hati.

“Oh ya … kamu lihat Ainun...?” 
Tanya Bimo.

“Ainun.........................?” 
Tanya Syahira heran.

“Dia sibuk …..................” 
Lanjut Syahira.

“Sibuk.........................?”

“Ya..., sibuk jual keripik. 
Naik ke lantai tiga, turun lagi ke lantai 1, naik lagi ke lantai 2. 
Kadang aku kasihan sama dia. 
Belakangan nilainya juga menurun, tadi itu dia habis dimarahin dosen kak.”

Bimo diam, rasa sakit mendadak hadir di dada saat mendengar cerita Syahira.

“Dimarahin................?”

“Ya..............................”

“Dosen siapa.............?”

“Bu Ajeng.....................”

“Mata kuliah apa........?”

“Psikologi Pendidikan...”

“Kenapa dimarahin.......?”

“Ainun masuk terlambat, dan dia bawa kantung keripiknya. 
Bu Ajeng nggak suka, terus dia disuruh keluar. 
Padahal hari ini pembagian tugas kelompok. 
Bu Ajeng itu memang dari dulu seperti sentiment sama Ainun. 
Dia hanya suka melihat mahasiswanya yang bersih dan rapih. 
Ainun pasti stress, dia nggak dapet teman kelompok.”

“Masuk kelompok kamu aja....!” 
Ucap Bimo sedikit kesal mendengar ceritanya.

“Sudah penuh......., Kak.” 
Tak lama Syahira diam, pupil matanya bergerak memberikan sinyal pada Bimo.

Ainun datang ia menawarkan keripik di kantin tempat mereka makan. 
Bimo menoleh, ia lihat wanita itu dari jauh. 
Mendadak hatinya sakit melihat keadaan Ainun tak terasa tangannya terkepal, beberapa orang memandang sinis pada Ainun, namun Ainun tetap bertahan.

Bimo jengkel, nafasnya kini naik turun melihat Ainun. 
Wajah Bimo mulai memerah, ia mungkin juga mengasihani Ainun namun cara mereka sangat menjijikkan baginya.

Ainun tak tahu keberadaannya disana.
Tempat duduknya dengan Syahira cukup jauh dari tempat dia berdiri. 
Syahira terperangah, Bimo terlihat kesal. 
Sendok ditangannya seperti ingin ia lempar, Syahira tak tahu dari mana amarah Bimo berasal.

“Berapa Nun.................?”
Tanya salah satu pengunjung kantin, yang juga mengenal Ainun.

“4 ribuan kak..................” 
Ucap Ainun tersenyum.

Tak lama mereka berbisik, lalu tertawa mereka seperti menghina gadis terhormat itu. 
Ainun diam, ia rapatkan kedua mulutnya dan tersenyum tipis.

“Nun.........., kita beli 3 …”

“Oh ya … Alhamdulillah.”

Ainun merogoh plastik keripiknya.

“Ini Kak........................”

“Kembaliannya ambil saja Nun.” 
Ucapnya seraya memberikan uang 15 ribu padanya.

“Terimakasih.........., Kak.”

Bimo bangkit, ia lempar sendok ditangannya hingga menimbukan suara yang nyaring, Syahira kaget semua terperangah begitupun Ainun yang kaget melihat keberadaannya. 
Bimo melangkah ke arahnya.

“Balikkin......................!” 
Rutuk Bimo pada Ainun.

Ainun diam, wajah Bimo memerah ia terlihat kesal. 
Ainun bingung melihat tingkahnya.

“BALIKKIN....................!” 
Teriak Bimo. 
Ainun terkejut, hatinya mendadak shock mendengar teriakannya. 
Tak lama Bimo merampas uang 15 ribu ditangannya, dan melempar ke arah mereka yang baru saja membeli keripik Ainun.

“Kakak mau apa sih......!” 
Rutuk Ainun, wajahnya memerah. 
Ia sangat kesal, air mata Ainun hampir keluar namun ia tahan. 
Ainun malu, semua mata kini tertuju padanya. 
Begitupun Syahira yang menyaksikan kekasihnya terlihat beda. 
Bimo diam, ia hanya menatap wajah Ainun yang mendadak memelas.

Ainun menarik nafas, ia tinggalkan Bimo dengan kemarahannya. 
Ainun mencoba menahan sakit di hatinya.

“Dasar kepala batu........!” 
Gumam Ainun.

Sakit hati Ainun ia terus berjalan membelakangi Bimo. 
Sementara Pompadeur mulai mengatur nafasnya, ia tak sadar apa yang ia lakukan melukai perasaan Ainun. 
Bimo mendesis, ia edarkan pandangannya seraya mengatur nafas.

“Kak ….....” sapa Syahira seraya memegang pundaknya. 
Pelan Bimo menoleh, ia melihat Syahira juga semua mata yang memandang aneh padanya. 
Bimo cukup dikenal oleh mereka, kadang perannya di kampus sangat penting. 
Mereka menatap serasa mencibir, ia dianggap seperti preman yang tak suka ada pedagang kecil seperti Ainun.

“Syahira, aku sudah kenyang.” 
Ucapnya lalu melangkah menuju kasir. 
Ia membayar semua tagihan makan siangnya bersama Syahira dan meninggalkan kekasihnya sendiri. 
Pedih hati Syahira, baru kali ini ia memiliki kekasih yang begitu cuek padanya.

Bimo pergi, ia berlari. 
Dilihatnya Ainun tampak kewalahan berlari menghindarinya.

“Berhenti NUN...............!” 
Teriak Bimo.

Ainun menghentikan langkahnya, wajah Ainun yang memerah tertutupi dengan kacamata yang besar. 
Nafas Ainun tersengal-sengal. 
Ingin rasanya memukul Bimo dengan tangannya. 
Laki-laki itu sudah memperlakukannya dibatas kewajaran.

“HEH............................! 
Kamu tuh memang doyan dikasihanni ya...?”
Rutuk Bimo kesal.

DEG....................! 
Astaghfirullah.................,’ 
Bisik Ainun. 
Mendadak air mata Ainun runtuh, Bimo baru saja menyerang harga dirinya. 
Ainun setidaknya sudah berusaha, ia pun tak ingin orang lain mengasihaninya.

“Harusnya tuh kamu tau....! 
Mana yang niat beli........! 
Mana yang kasihan sama kamu...!” 
Lanjut Bimo merutuknya emosi.

Ainun menelan salivanya, ia tatap wajah Bimo yang sama dengannya memerah, nafas Bimo pun sama tersengal-sengal.

“Apa kakak pernah merasakan lapar tapi tidak punya uang untuk beli makanan...?” 
Rutuk Ainun, air mata mulai membasahi pipi.

Bimo diam, hatinya mendadak perih mendengar pertanyaan itu dari mulutnya.

“Apa kakak...................! 
Pernah rindu ibu tapi tidak punya pulsa untuk nelepon....?” 
Rutuknya kembali.

Bimo menarik nafas, ia mulai menoleh menyesali perbuatannya.

“Apa kakak, pernah merasakan tak punya uang untuk bayar kuliah saat mau ujian....!” 
Katakan....!” KATAKAN...!” 
Teriak Ainun.

“Orang-orang seperti kalian tak akan pernah mengerti kehidupan saya....! 
Kehidupan kita berbeda kak.....! 
Jangan sok tau..............! 
Saya tak pernah minta dikasihani, saya tak peduli mereka membeli karena kasihan atau dengan mengejek saya...! 
Setidaknya saya sudah berusaha...!”
Air mata Ainun semakin deras, ia langkahkan kakinya meninggalkan Bimo yang terpaku mendengar perkatannya.

Pelan Bimo menyesali perbuatannya, laki-laki itu menarik nafas. 
Ia menunduk, sesekali ia mengusap pada rambutnya, raut wajahnya terlihat cemas. 
Ainun benar kehidupan mereka memang berbeda. 
Bimo berjalan, tak tahu ia akan kemana, ia menuju toilet yang jaraknya tak jauh dari kantin. 
Laki-laki itu mengusap wajahnya dengan air dan menatap dirinya di cermin.

”Apa yang terjadi padamu...!” 
Rutuknya.

Entah darimana emosinya memuncak, ia tak suka melihat tatapan sinis mereka ke wajah Ainun. 
Hatinya sakit melihat Ainun di hina. 
Bimo menarik nafas, ia sandarkan tubuh di dinding dan menyelorot ke bawah.

Pelan Bimo mengambil dompet di saku celananya, ia buka. 
ATM, Kartu kredit semua pemberian orang tuanya, Bimo bukanlah anak berprestasi, ia anak nakal yang bahkan pernah merepotkan orang tuanya karena masa lalunya yang kelam. 
Bimo tak pernah berfikir dewasa, di saat teman-teman seusianya sudah banting tulang mencari pekerjaan, ia justru asik menghabiskan waktunya untuk berkumpul bersama teman-temannya.

Ainun setidaknya lebih beruntung darinya, Ainun memiliki tujuan pada langkah hidupnya, sedangkan Bimo ia tak punya harapan, tujuan hiduppun nihil.

Sementara Ainun terus menerus mengutuk perbuatan Bimo padanya. 
Wanita itu duduk di bibir jalan, ia menangis. 
Harga dirinya seketika jatuh saat Bimo membentaknya, mendadak ia merasa tidak nyaman dengan kehadiran Bimo bersamanya. 
Ainun menunduk ia papah wajahnya di atas kedua lengan yang ia luruskan.

“Mbak …........................ “
laki-laki tua berseragam safari turun dari mobilnya dan menyapa Ainun.

“Ya................................!” 
jawab Ainun terperangah, pelan ia hapus air matanya.

“Beli keripiknya mba......”

“Oh ya, berapa Pak.......?”

“Semuanya saja.”

“Semua........................?” 
Tanya Ainun, seketika bibir di wajahnya terangkat. 
Ainun tersenyum lebar.

“Ada 20 lagi........., pak.”

“Ya, Nggak apa-apa. Berapa...?”

“80 ribu.”

“Ini Mbak, kembaliannya ambil saja,” 
Ucapnya seraya memberikan uang pecahan 100 ribu.

Ainun bangkit ia menundukkan kepalanya.
Tak lama laki-laki itu naik ke sebuah mobil yang pernah Ainun lihat sebelumnya, seorang laki-laki duduk di kursi tengah. 
Kaca mobil riben itu membuat Ainun kesulitan melihat orang yang baru saja membeli keripiknya.

Ainun menarik nafas lega. 
“Alhamdulillah ............…” 
Sejenak ia lupakan perbuatan Bimo padanya. 
Ainun kini lebih optimis. 
Ainun bangkit, ia tata hatinya hingga kembali tenang.

Ainun mencoba untuk kuat. 
Keripiknya habis, ia sangat bersyukur. 
Ainun kembali ke kampusnya. 
Beberapa mahasiswa tengah duduk di loby Daksinapati, yang mereka lakukan belajar menggunakan laptop atau memainkan Blackberry keluaran terbaru, berkumpul bersama teman-teman tertawa lepas, membahas tugas kelompok dan banyak lagi yang mereka lakukan, pakaian mereka terlihat rapih dan modern, seperti mereka tak memiliki masalah dalam hidupnya.

Orang tua mereka pasti mensupport anak-anaknya habis-habisan untuk menguliahkan mereka, tak seperti Ainun yang harus berjuang sendiri di Jakarta. 
Ainun menelan salivanya, ia sedikit melupakan kesedihannya. 
Ia tarik lebar bibirnya, dan mencoba tersenyum. 
Kali ini ia tak ingin dikasihani.

Ada tugas besar yang harus ia kerjakan, namun tak satupun teman sekelasnya yang mengajaknya untuk gabung dalam kelompok mereka. 
Tugasnya begitu berat, membuat sebuah manekin/ gambaran tentang psikologi pendidikan, modal yang dibutuhkan pasti banyak itulah alasan bu Ajeng membuat kelompok belajar.

Dosen itu memang selalu marah padanya, hanya dari tangannya Ainun selalu mendapat nilai C. 
Semester yang lalu pada mata kuliah psikologi peendidikan 1, Ainun cukup direpotkan olehnya karena nilainya kurang dari rata-rata. 
Ainun sampai pergi kerumahnya hanya untuk mendapatkan tugas tambahan, agar ia lulus mata kuliahnya. 
Dan kini, Ainun kembali mendapat masalah yang sama.

“Sar …..........................” 
Sapa Ainun pada salah satu temannya bernama Sarah.

“Masih bisa ngga aku gabung, kelompok....?”

“Sudah penuh........, Nun.”

Ainun menarik nafas......, 
Sarah adalah orang ke lima yang ia tanyakan dan mereka menjawab sudah penuh, kelasnya berjumlah ganjil. 
Wajar saja jika ia terlambat ia tak akan mendapatkan tempat. 
Setiap kelompok berjumlah 4 orang. 
Ainun semakin pusing memikirkannya, dengan kata lain ia harus mencari kelompok dari kelas lain.

‘Mereka tidak tahu, betapa beratnya aku berjuang untuk kuliah ini. 
Ya Allah...., kenapa mereka jahat sekali padaku,” 
Gumam Ainun dalam hati.

Ingin rasanya menjerit di tengah lobby agar mereka tahu betapa menderitanya dia. 
Ainun mencoba untuk kuat. 
Ia langkahkan kakinya menuju arah pulang. 
Kepalanya menunduk karena sedih, ia tak tahu harus berbuat apa.

Ainun tak tahu harus kemana, ia begitu enggan kembali ke rumah Pompadeur. 
Laki-laki itu baginya sudah sangat lancang, Pompadeur sudah mempermalukan dirinya di depan umum, dia juga sudah menghancurkan harga dirinya. 
Ainun kuat, kali ini ia tak akan lemah. 
Sisa uang akan ia gunakan untuk menyewa kos-kosan berapapun mahalnya itu. 
Toko Pak Madi!’seru Ainun. 
Pak madi adalah orang yang ingin ia temui saat ini, mantan bosnya hari ini pasti sedang membutuhkan bantuannya, pikir Ainun. 
Ainun bergegas, ia sudah tahu kemana kaki akan melangkah. 
Ainun menarik nafas lega dan mencoba untuk tersenyum.

Dengan percaya diri Ainun melangkah, tak jauh dari sana kerumunan mahasiswa terlihat berkumpul di bawah pendopo. 
‘Syahira.......................!’ 
Bisik Ainun. 
Ainun berbalik, ia tahu pasti ada Pompadeur bersamanya. 
Ainun berjalan cepat dan semakin cepat, ia mengambil jalan belakang agar tak berjumpa dengan mereka. 
Hati Ainun semakin teriris melihatnya, kali ini lebih sakit dari sebelumnya. 
Ainun menarik nafas, dan mendadak air mata itu kembali mengalir. 
Tak tahu kali ini apa yang ia rasakan, namun melihat mereka hatinya begitu perih.

Ainun menepi, ia duduk dibalik pepohonan rindang. 
Air matanya sudah tak terbendung. 
Ingin rasanya ia masuk ke pintu doraemon dan menghilang dari pandangan mereka. 
Ainun menangis, nafasnya tersengal-sengal. 
Teman-temannya yang tak peduli dengannya, sikap Pompadeur padanya, semua membuatnya hancur.

“Kamu tuh memang hobi menangis ya...?” 
Tanya seorang laki-laki yang begitu asing baginya.

Ainun perhatikan dari ujung kaki, sepatu pantopel mengkilap, celana berwarna hitam menutupi kakinya yang jenjang dan kemeja batik tulis, kulitnya begitu putih, dan wajahnya … Ainun berdiri. 
Dia adalah orang yang membeli toko buku Pak Madi.

“Bapak .....................…”

“Bukannya keripik kamu sudah habis...?” 
Tanyanya sedikit meninggi.

“Sudah Pak..., Alhamdulillah.”

“Terus kenapa masih menangis....?”

“Bapak kok ada di kampus...?” 
Tanya Ainun heran.

“Saya ada acara...........!”

Ainun terperangah, laki-laki tampan, dewasa, juga sukses dihadapannya mendadak terlihat baik.

“kamu masih cari pekerjaan....?” 
Tanyanya lagi.

Ainun tersenyum lebar.....,
“Iya … iya Pak.......!”

“Ikut saya.....................!”

“Sekarang …Pak..........?”

“Iya...............................!”

Ainun mengekor pada tubuh laki-laki yang berjalan didepannya. 
Lagi lagi ia harus melewati pondopo yang mungkin ada Pompadeur disana, Ainun berlindung dari tubuh laki-laki yang tingginya hampir sama dengan Pompadeur. 
Bersyukur, pompadour yang dari jauh terlihat murung tak 

........Bersambung.....

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER