👩🏫 COMBLANG SYAR'I 👩🏫
PART 7
Ainun mengekor tubuh laki-laki yang berjalan didepannya.
Lagi lagi ia harus melewati pondopo yang mungkin ada Pompadeur disana, Ainun berlindung dari tubuh laki-laki yang tingginya hampir sama dengan Pompadeur.
Bersyukur, pompadour yang dari jauh terlihat murung tak melihatnya.
“Naik............................!”
Paksanya meminta Ainun naik ke dalam mobilnya.
“Ya, Pak......................!”
Ucap Ainun mengangguk.
Tak lama mobil itu jalan, entah apa yang ada dalam pikiran Ainun.
Untuk sesaat ia merasa nyaman bersama lelaki yang baru saja ia kenal.
Ainun duduk di tengah, dan lelaki yang ia tak tahu namanya duduk di depan bersebelahan dengan supir.
Ainun terperangah, keripik singkong miliknya tersimpan rapih di sebelahnya, Ainun sadar lelaki ini yang memborong semua keripiknya.
“Alhamdulillah … semoga orang baik,”
Gumam Ainun.
Kursi mobil yang ia duduki begitu empuk, suara mesin mobil pun hampir tak terdengar di telinganya.
Mobil keluaran terbaru, suaranya begitu lembut dan ia tidak merasakan apapun saat ada guncangan pada ban mobilnya.
Ainun semakin bertanya-tanya kemana lelaki ini akan membawanya, Mobilnya kini sudah keluar dari pintu kampus.
Mobil berjalan menuju jalan arah jalan Pemuda lalu memutar balik menuju arah rawamangun.
Ainun masih bergeming, tak lama mobil berbelok ke arah perumahan Pemuda indah.
Perumahan mewah setahunya.
“Turun.........................!”
Ucapnya.
Ainun terperangah, ia baru saja turun di sebuah rumah minimalis yang terlihat mewah.
Dua buah mobil terparkir rapih di garasi, halaman yang cukup luas dengan beberapa permainan anak-anak diluarnya.
Pintu rumah yang setinggi dua meter, cukup untuk lelaki yang baru saja membawanya.
Tiang pancang di depan rumahnya begitu tinggi.
“Masuk........................!”
Perintahnya lagi.
Ainun hanya ikut perintah dan mengekor di belakang.
Ainun masuk ke dalam, sebuah ruang tamu besar dengan sofa kulit berwarna coklat dan satu buah meja dengan vas bunga di atasnya ditambah hiasan wallpaper di dinding membuat ruangan ini terlihat nyaman dan indah.
Ainun terus mengikuti langkahnya, ia baru saja melewati ruang tamu, kini ia berjalan menuju ruang keluarga.
Satu ruang keluarga dengan karpet yang begitu besar, sebuah sofa berhadapan persis dengan teras dan ada kolam renang kecil di luar.
“Duduk.........................!”
Ainun tak sadar, ia baru saja mengikutinya hingga ke ruang kerja miliknya.
Puluhan buku berjejer di sepanjang dinding, satu buah meja dan dua buah kursi yang saling berhadapan.
“Nama kamu siapa.....?”
“Ainun..................., Pak.”
“Semester berapa kamu....?”
“Lima …........................”
Jawab Ainun ragu.
“Jurusan.....................?”
Ainun menelan salivanya.
“Psikologi, pendidikan.”
“Ok..............................!”
Jawabnya.
“Saya tidak bisa memperkejakan kamu di kafe, karena semua karyawan laki-laki.
Tapi saya sedang butuh seseorang untuk bekerja di rumah saya.
Kamu bisa sambil kuliah, kalau kamu mau.”
“Apa, Pak....................?”
Tanya Ainun penasaran.
“Menjaga anak saya.....!”
Ainun melotot, ia terperangah.
“Apa Pak.......................?”
Tanya Ainun heran.
“Bisa.............................?”
Tanyanya kembali.
Ainun mengangguk, apapun pekerjaannya asal halal tak mengapa.
“Maksud Bapak, menjaga.... ?”
Tanya Ainun heran.
“Saya sedang mencari Baby sitter untuk anak saya, tapi saya ingin mencari yang berpendidikan.
Setidaknya selama menjaga anak saya ada ilmu yang diberikan.”
Ainun mengangguk ia mulai paham sedikit.
“Jam berapa pulang kuliah....?!”
Tanyanya lagi dengan nada tetap sama sedikit meninggi.
“Antara jam 2 sampai jam 3 siang, Pak.”
“Ya sudah kamu bekerja mulai pukul tiga sore sampai jam delapan malam, jika saya pulang lebih awal kamu bisa pulang lebih awal juga.
Sabtu, Minggu kamu libur.
Perhari kamu saya akan bayar 200 ribu.”
Deg.......! 200 ribu.........!
Ainun tersenyum, belum pernah ia mendapatkan gaji sebesar itu.
Jika dikalikan dalam sehari 200 ribu satu bulan ia bisa mendapat 4 jutaan.
Ainun mengangkat wajahnya.
“Mau....... ,Pak..............!”
Ucapnya senang.
Allah memberikan jalan pada mereka yang kesulitan.
Seketika hati Ainun merasa lega, rasa sakit yang ia rasakan tadi siang terbalaskan oleh sebuah pekerjaan dengan gaji yang cukup.
“Mulai kapan, Pak.........?”
Tanyanya tersenyum.
“Hari ini...........................! Hari ini adalah test, jika kamu lolos, kamu bisa datang lagi besok.
Anak saya sudah dua hari ini susah makan.
Kalo kamu berhasil membujuknya untuk makan, kamu bisa bekerja mulai besok.”
Ainun diam, test yang terdengar mudah namun sangat sulit dikerjakan.
Ia tak tahu anak usia berapa yang akan ia jaga.
“Mbok.........................!”
Teriaknya.
“Ya, Tuan .....................…”
Deorang wanita berumur datang menemuinya.
“Bawa dia, ke kamar anak-anak.”
“Ya, Tuan................”
Ainun mengikuti si Mbok, menuju kamar anak-anak di lantai dua.
Tangga yang berkelok membuat rumah ini semakin terlihat mewah.
Di tambah lagi, beberapa lukisan juga ukiran, guci crystal menghiasi setiap sudut rumah.
Ainun naik ke lantai dua, ada ruang keluarga dengan layar TV LED terbaru, yang berhadapan dengan sofa.
Beberapa mainan anak-anak terlihat di sudut ruang.
Ainun menarik nafas lega, sepertinya anak yang akan ia jaga berusia 5 hingga 10 tahun.
“Mbok, nama saya Ainun,”
Ucap Ainun memperkenalkan diri.
“Oh ya, Mba Ainun.
Saya Mbok Lastri.”
“Mbok, Bapak namanya siapa....?”
“Oooh, Pak Raiyan Abhimata Mba,
Panggil saja Pak Raiyan...”
“Panggil saja saya Ainun, Mbok.”
“Nggih.”
“Yuk masuk..................,”
Ucap si Mbok.
Sebuah kamar anak modern dengan kasur berbentuk mobil dan berbetuk boneka dan tertata rapih, lemari pakaian berwarna-warni juga beberapa mainan dan dinding yang dihiasi wallpaper bergambar Mickey Mouse.
Ainun tersenyum, dua orang anak terlihat di sudut kamar.
Yang satu anak laki-laki berusia 8 tahunan, dan yang satunya seorang balita berusia 4 tahun.
“Namanya Radit dan Rania...,
Mbok tinggal ya mba.”
“Nun .. panggil saja Nun.”
Ucap Ainun.
“Ya....................., Nun,”
Jawabnya tersenyum.
Melihat Ainun si Mbok berfikir, Ainun akan cocok dengan anak-anak.
Sudah dua hari Mbok mencoba membujuk Radit untuk makan, namun ia menolak.
Radit memiliki masalah dengan Autism sedangkan Rania lahir dengan cantik dan normal, rambutnya ikal matanya begitu besar, bulu matanya lentik dan garis bibirnya begitu nyata.
Ainun mendekat, Radit tengah sibuk dengan sebuah kunci ditanganya, kedua pupil mata radit tak beraturan, meskipun begitu ia terlahir tampan, wajahnya putih, garis bibirnya sama dengan Rania tebal dan berwarna merah, rambutnya lurus mirip seperti ayahnya, ia terlihat menyukai kunci yang terbuat dari besi.
Sedangkan Rania sibuk dengan mainan boneka di tangannya.
“HAI..............................!”
Teriak Ainun memecah keheningan ruangan yang luas itu.
Rania menoleh, dan Radit masih sibuk dengan beberapa kunci ditangannya.
“Hai, nama Kakak Ainun...!”
Jawabnya seraya tersenyum dan memainkan kacamatanya.
Rania tertawa, wajah Ainun terlihat lucu saat ia memainkan kacamatanya.
Gadis kecil itu tertawa lebar.
“Nama kamu siapa.......?”
Tanya Ainun mendekat.
“Aania...,” jawabnya sedikit cadel.
“Kamu ganteng.............!”
Tanya Ainun pada Radit seraya menjulurkan tangan.
Radit tak menjawab, ia menggeser tubuhnya dari Ainun.
Anak itu ketakutan, “Kakak baik looh.”
Ainun tersenyum begitu lebarnya.
Tak lama sebuah kunci yang semula ia mainkan, Ainun ambil dan Ainun bunyikan ke lantai.
“HAAAA........................!”
Radit berteriak, anak itu tantrum.
Ia melempar semua barang ke arah Ainun, Ainun panik.
Radit seperti tak menyukai dengan apa yang baru saja Ainun lakukan.
Ainun panik, Ia teringat dengan dosen favoritnya ibu Suryani Lilis dosen dari Psikologi perkembangan, yang pernah mengatakan bahwa menangani anak tantrum pada ABK(anak berkebutuhan khusus) adalah dengan cara mendekapnya erat dan membiarkannya menangis di pelukan.
Anak itu pun normal, yang Ia butuhkan hanya sebuah pelukan.
Ainun berlari mengejar Radit yang mulai mengamuk, ia lepas tasnya.
Ainun merapatkan ke dua tangan Radit lalu memeluk tubuhnya erat.
Radit berusaha meronta, ia berusaha menendang Ainun.
Ainun diam, ia biarkan Radit diam dalam pelukannya.
Tak lama Rania menangis, ia begitu shock melihat tingkah kakaknya.
Suara langkah kaki pun terdengar, dan tak lama pintu kamar terbuka.
“KELUAR.......................!”
Teriak laki-laki yang baru saja memperkejakannya.
“Tunggu....Pak...............!”
Sergah Ainun.
Radit masih meronta dan berteriak.
“Apa yang kamu lakukan....?!”
Teriaknya kembali melotot.
“Lepas..........................!”
Ainun melepas, Ayahnya begitu marah.
Tak lama laki-laki itu menggendong Rania, dan membawa Rania keluar bersamanya, Ainun mengikuti.
Pintu kamar Radit di kunci, Ia membiarkan anak laki-lakinya meraung seperti orang gila.
Ainun shock, ia kaget melihat perlakuan Ayahnya.
“Pak.........., saya mohon.
Tolong buka Pak.”
“Diam, Kamu.................!”
“Saya Mohon.................!”
“DIAM............................!”
Teriaknya melotot.
Ainun shock.
“Kasih saya kesempatan.”
Jawab Ainun menunduk.
Tak lama amarah laki-laki itu mengendur, ia menatap Ainun, hijab Ainun berantakan karena Radit namun semangat Ainun begitu besar.
“Terserah......................!”
Ia pergi bersama Rania, meninggalkan Ainun juga sebuah kunci yang tertempel di pintu.
Pelan Ainun masuk, ia lihat Radit mengamuk dan menghancurkan beberapa barang.
Tangannya begitu kuat, bahkan Ainun pun tak sanggup memeluknya erat.
“Bismillah ya Allah.......!”
Teriak Ainun.
Ia coba kembali, mendekati Radit.
Ia masih yakin, anak itu adalah anak baik yang bisa berubah atas kehendak Allah.
Ainun ingat, ia begitu menyukai kunci.
Ada beberapa hal yang mungkin disukai radit akan kunci, entah itu bunyinya atau bentuknya yang keras dan unik.
Ainun mengambil beberapa kunci miliknya, lalu menyodorkannya pada Radit.
Radit bergeming, cara Ainun tak ampuh untuk menarik perhatiannya.
Cara berikutnya Ainun hentakkan kunci itu dengan keras di atas meja, agar terdengar olehnya.
Radit tak menoleh, ia masih sibuk berteriak di sudut kamar.
Ainun kehabisan akal, kesempatan ia untuk bekerja sepertinya sangat tipis.
Ainun menunggu, ia menunggu anak itu berhenti.
Tak lama anak itu kelelahan, Ainun mendekat, ia sejajarkan tubuhnya dengan Radit.
Ia peluk radit erat, anak itu semakin lemah untuk menolak pelukan Ainun.
Kini Radit lemah di pelukan Ainun.
Ainun menangis, ada kesedihan yang amat dalam di mata Radit.
Ainun mencium kepalanya, lalu merebahkan tubuh Radit.
Ia peluk radit erat, sesekali ia menarik nafas lalu terlelap.
Ia mengelus lembut pada kepalanya, Ainun bershalawat, ia pun bersenandung menyanyikan lagu.
Tak lama pintu terbuka sedikit.
Raiyan melihat Ainun tengah memeluk putranya.
Lelaki itu menarik nafas, apa yang Ainun lakukan hampir sama dengan yang istrinya lalukan dulu.
Mendadak terlintas di pikiran bayangan akan istrinya yang meninggalkannya dua tahun lalu, ia diam lalu menutup pintunya.
Laki-laki itu tak sanggup menahan kesedihan akan kepergian istrinya, ia lemah dan menjadi keras.
Radit selalu menjadi alasan akan amarahnya, semenjak kepergian istrinya laki-laki ini rapuh, ia menjadi sosok yang keras dan penuh amarah.
Sudah sering ia mengunci Radit di kamarnya, ia bahkan tak mengizinkan Radit untuk keluar atau bahkan bermain dengan adiknya lama-lama.
“Mbok.........................!”
“Ya......................,Tuan.”
“Bawakan makanan Radit keatas.”
“Ya...................., Tuan.”
Beberapa saat, Radit lemah.
Ainun terus melantunkan shalawat dan surat-surat pendek di telinganya seraya mengusap-usap rambutnya.
Tak lama, Ainun terperanga si Mbok datang membawa makanan di atas nampan.
Ia letakkan makanannya di atas meja belajar yang tak jauh dengan tempat tidurnya.
“Makanannya mbak.”
Ucap si Mbok yang belum terbiasa memanggil namanya.
Ainun mengangguk, tak lama Ainun bangkit.
Radit menarik lengan Ainun dan tak melepaskan dekapan Ainun di badannya.
Si Mbok mendekat, ia duduk dan memegang makanannya.
Ainun mencoba bangkit perlahan.
Ia ambil piring di tangan si Mbok.
“Radit sayang … makan ya...?”
Ucap Ainun lembut seraya mengusap wajahnya yang berkeringat.
Tak lama ia memberikannya makan, suapan pertama Radit menolak, ia melepeh makanan yang masuk ke mulutnya.
Ainun mencoba kembali.
Radit kembali mengamuk, ia menghempaskan sendok di tangan Ainun.
Tangan Ainun yang satu erat memeluk tubuhnya, anak itu masih lemas.
Bibirnya kering, Ainun mengambil air minum lalu memberikannya, Radit menegak habis minuman air putih di gelas.
“Mbok, ini apa..............?”
Tanya Ainun seraya mencicipi bubur buatan si Mbok, bubur nasi yang dicampur dengan sayuran.
Rasanya hanya ada asin sedikit, begitu hambar dan tidak enak dimakan bagi Ainun.
“Bubur sayur........, Mba.”
“Sudah berapa lama Radit tidak makan, Mbok...?”
“Dua hari, si Mbok juga bingung.
Kasihan sampai di jejelin Tuan.
Tuan terus marah sama Radit.”
Ainun menarik nafas.
“Radit suka makan apa, Mbok...?”
“Minum susu sama Mie instant.”
Jawabnya datar.
“Susunya bawa saja Mbok.”
“Nggak boleh Mba, sama Tuan.”
Ainun paham ia pernah membaca bahwa anak Autism memang sebaiknya tidak mengkonsumsi susu, kasein (protein pada susu) dapat membahayakan jaringan saraf pada tubuh anak dengan autisme.
Tapi kasus Radit berbeda, anak ini sudah lemas.
Mungkin karena ia tak makan selama dua hari.
“Tapi, Radit lemes Mbok.
Kasihan dia, bisa-bisa dia sakit.”
Jawab Ainun tegas.
“Atau buatkan teh manis hangat mbok, oh ya apa dia suka telor....?”
Si Mbok mengangguk.
“Bawakan juga nasi putih dan telor kesukaannya ya Mbok.”
Si Mbok kebingungan, tak lama ia mengangguk.
Buru-buru si Mbok turun, ia buatkan semua makanan permintaan Ainun, dan tak lama ia kembali lagi.
Ainun berhasil, Radit mau makan dari tangannya.
Senyum merekah di wajah Ainun, setidaknya 5 kali suapan di tangannya berhasil masuk ke mulutnya juga 5 tenggak teh manis hangat berhasil masuk ke tubuhnya.
“Alhamdulillah..........,”
Ucap si Mbok.
Ainun tersenyum lebar.
Lalu ia bangkit dan melompat “Radit harus kuat....!”
Ucapnya seraya menggembungkan kedua pipinya.
Tak lama anak itu tertawa, Ainun terlihat lucu.
Pipinya begitu gembil, kacamatanya besar dan hidungnya hampir tak terlihat karena besarnya kacamata.
Radit tak berbicara, ia hanya terus tersenyum.
“Oooh … manisnya,”
Ucap Ainun seraya memeluk dan mencium kening Radit.
“Kakak, pulang dulu ya.”
Radit menggeleng.
Erat ia pegang tangan Ainun.
Ainun diam dan menatap si Mbok.
Mbok menggeleng, memberikan sinyal ia akan kembali tantrum jika Ainun memaksa pulang.
Ainun mengangguk, tak lama ia meninabobokan Radit di sampingnya.
Keduanya terlelap.
“Hah.....!” Ainun bangun, lampu kamar sudah padam.
Tak sadar ia terlelap di kasur Radit yang begitu empuk.
Anak itu sudah tertidur pulas, dan Rania pun sudah terbaring di ranjang bayinya yang super besar.
Ainun bangkit, ia lihat jam didinding sudah pukul 9 malam.
Buru-buru Ainun merapihkan diri dan mengambil tasnya, pelan Ainun melangkahkan kakinya keluar.
Ainun celingukan, rumah itu begitu besar dan sepi.
Si Mbok ataupun Tuan besar tidak terlihat.
Pelan Ainun langkahkan kakinya keluar, ia berniat pulang sendiri dan akan kembali besok sesuai perjanjian.
“Berhenti......................!”
Suara Tuan rumah terdengar tebal di telinganya.
Laki-laki itu turun dari tangga dan memperhatikan Ainun berjalan keluar.
“Sudah malam, biar supir saya yang antar kamu.”
Ainun berbalik. “Iya, Pak.”
Jawab Ainun menunduk, amarahnya
tadi siang masih Ainun ingat.
Sangat menakutkan juga membuat bulu kuduk merinding.
“Terimakasih................,”
Ucap Raiyan.
“Sa-sama-sama Pak,”
Jawab Ainun ragu.
Ainun kembali diantar menggunakan mobil yang biasa Bosnya pakai, Mobil Toyota Fortuner keluaran terbaru.
Tak lama ia diturunkan persis di depan jalan Swadaya oleh supir yang baru saja ia tau bernama Pak Arif.
“Terimakasih, Pak,”
Ucap Ainun seraya melambaikan tangan.
Dari jauh, Pompadour melihatnya.
Dengan siapa dia.........?
Bisiknya.
Ia begitu cemas, menunggu Ainun kembali.
“Nun … kamu dari mana....?”
Tanya Bimo,
Bimo mencoba untuk bersikap biasa agar Ainun mau memaafkannya, ia masih merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan tadi siang.
Ainun bergeming, ia terus berjalan melewati Bimo.
“Nun … kok kamu diam,”
Tanyanya lagi.
“Oh ya, tadi aku ke toko Pak Madi.
Dia kasihan Nun, kamu tidak bantu dia....?”
Ainun diam, ia lupa akan niatnya untuk membantu Pak Madi.
“Jadi aku gantiin kamu deh,”
Ucap Bimo berusaha menarik simpati Ainun.
Ainun masih diam.
“Pak Madi mau pulang kampung, Nun.
Tokonya tutup kenapa....?”
Ainun menutup pintu kamar.
Perasaannya masih sakit jika mengingat kejadian tadi siang.
Kasihan Pak Madi, bisik Ainun.
“Nun, kamu sudah makan belum..,
Nun aku sudah belikan makanan...,
Nun...............................?”
Tanya Bimo di balik pintu.
Huh................................!
Ainun mulai merasa terusik, ia buka pintu kamarnya.
“Kakak itu bipolar ya.....?”
Rutuk Ainun.
Bimo melotot, tak lama ia tertawa.
“Bipolar.........................?
Hahahhhaa....................!
Yang bener saja kamu Nun, masa aku Bipolar.”
Ucapnya meledek berusaha mencairkan suasana.
“Tunggu, Bipolar apa.....?”
Lanjut Bimo bertanya.
Mukanya mendadak datar.
“Cari tahu sendiri.........!”
Rutuk Ainun seraya menutup pintunya dengan keras.
Bug..............! “Ssst........”
Bimo mendesis kesakitan.
Ia baru saja menahan pintu Ainun dengan jari-jarinya.
Ainun melotot, ia menarik pintunya dengan keras.
Ainun terperangah, keempat jari Bimo memerah.
“Kakak tuh mau apa sih....!”
Tanya Ainun merasa aneh dengan sikapnya.
“Maafkan aku......, Nun,”
Ucapnya.
Bimo menelan salivanya, netra Bimo terlihat teduh.
Ainun menoleh, ia tak ingin sepasang matanya bertemu.
“Lepaskan tangannya, Kak.
Saya mau istirahat.”
Ucap Ainun menunduk.
Hatinya mendadak berdegup kencang melihat sikap Bimo.
Ainun begitu marah padanya, harga diri Ainun seketika jatuh ketika Bimo mengatakan dirinya selalu ingin dikasihani.
Ainun tak bisa bohong, ia pun tau Bimo selama ini mengasihaninya.
Namun tidak mengertikah mereka, bahwa dikasihani kadang menjadi jalan untuk mereka bisa tetap hidup, tak usah diucapkan, tak usah ditunjukkan cukup simpan dalam hati dalam-dalam jika mengasihani seseorang, pun Ainun tak meminta setidaknya ia berusaha.
Ainun diam, mendadak rasa khawatir menyeruak, jemari Bimo terluka karenanya.
Pelan Bimo melepaskan Tangannya, wajahnya menunduk.
Ainun menutup pintunya, ia belum puas jika Ainun belum memaafkannya.
Seharian ini ia kalut dengan perasaannnya akan Ainun.
Hatinya mendadak aneh, ada rasa sakit juga kehilangan, ia begitu kecewa dengan menyesali perbuatannya.
Harusnya ia memaki mereka yang menghina Ainun, namun entah kenapa ia justru memakinya.
Bimo tak ingin Ainun dikasihani, wanita itu lebih baik dari mereka.
Bimo diam, di balik kamar Ainun ia bersandar.
Bimo menyesal, perasaannya kini tak menentu, perasaan yang tak jelas kian menyeruak di dada.
Melihat wajah Ainun yang mendadak sinis padanya, seketika membuat hati bergetar.
.......BERSAMBUNG......
No comments:
Post a Comment