👩🏫 COMBLANG SYAR'I 👩🏫
PART 8
Bug..............! “Ssst........”
Bimo mendesis kesakitan.
Ia baru saja menahan pintu Ainun dengan jari-jarinya.
Ainun melotot, ia baru saja menarik pintunya dengan keras.
Ainun terperangah, keempat jari Bimo memerah.
Kakak tuh mau apa sih...!”
Tanya Ainun merasa aneh dengan sikapnya.
“Maafkan aku, Nun........,”
Ucapnya.
Bimo menelan salivanya, netra Bimo terlihat teduh.
Ainun menoleh, ia tak ingin sepasang matanya bertemu.
“Lepaskan tangannya, Kak.
Saya mau istirahat.”
Ucap Ainun menunduk.
Hatinya mendadak berdegup kencang melihat sikap Bimo.
Ainun diam, mendadak rasa khawatir menyeruak, jemari Bimo terluka karenanya.
Pelan Bimo melepaskan Tangannya, wajahnya menunduk.
Ainun menutup pintunya, ia belum puas jika Ainun belum memaafkannya.
Seharian ini ia kalut dengan perasaannnya akan Ainun.
Hatinya mendadak aneh, ada rasa sakit juga kehilangan, ia begitu kecewa dengan menyesali perbuatannya.
Harusnya ia memaki mereka yang menghina Ainun, namun entah kenapa ia justru memakinya.
Bimo tak ingin Ainun dikasihani, wanita itu lebih baik dari mereka.
Sementara Ainun diam dikamar, lagi-lagi sikap Bimo membuat hatinya tak karuan.
Ainun menarik nafas, ia mulai mengontrol emosinya.
Beberapa saat Ainun keluar, handuk juga perlengkapan mandi berada ditangan.
Malam itu tubuhnya sangat lengket.
“Hah..............................!”
Kaget Ainun, bimo terlelap di ruang depan.
Kakinya menggantung di ujung sofa.
Ainun mulai merasa tidak nyaman.
Ia ingin mengembalikan keadaan seperti dulu lagi, tak ada malu, tak ada sungkan, ia ingin bersikap biasa saja dengan laki-laki yang baru saja memohon maaf padanya.
Ainun terenyuh, ia mulai bisa memahami sikap Bimo padanya, perlahan ia mengintip wajah Bimo yang terlelap di sofa.
Satu bungkus nasi terlihat diatas meja, Ainun menelan salivanya.
Sepertinya Bimo tau ia belum makan, Ainun pun merasa lapar.
Sejak tadi di rumah Tuan besar ia hanya diberikan dua potong kue dan teh manis hangat.
Ainun biarkan, ia menuju kamar mandi.
Perasaan juga kondisi tubuhnya kini lebih segar, tinggal perutnya saja yang belum bisa ia ajak kompromi.
Ainun keluar, aroma nasi goreng tercium di rongga hidungnya.
Ainun mengendus, hidungnya bergerak mencari sumber bau pelan ia ikuti, sebungkus nasi goreng telah terbuka dengan satu telur dadar diatas meja makan.
Ainun melihatnya, pelan ia tersenyum.
Bimo Pompadour sudah tidak ada di posisinya semula.
Ainun menjilat mulutnya dan menelan saliva, nasi goreng itu begitu menggoda.
Gengsinya kalah dengan rasa lapar perutnya.
Ia menarik kursinya, dan menarik nasi goreng yang telah disajikan Bimo.
Tak jauh disana sebuah pesan tergeletak dekat dengan piringnya.
“Maafkan saya ya Nun, maaf …
Selamat makan.............!”
Ainun tersenyum, ia pun teringat dengan kebaikan Bimo.
Tak adil rasanya, jika ia marah hanya karena satu masalah.
Ainun mulai menyantap makan malamnya, hari ini adalah hari pertamanya datang bulan.
Rasa lapar bisa lebih hebat dari biasanya.
Bimo mengintip dari kamarnya, senyumnya merekah melihat ainun melahap nasi goreng yang telah ia hidangkan.
Bimo tenang, ia rebahkan tubuhnya ia mengambil gawainya dan membuka google.
‘Bipolar’ gumamnya seraya mengetik.
"Gangguan bipolar adalah gangguan mental yang menyerang kondisi psikis seseorang yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat ekstrem berupa mania dan depresi, karena itu istilah medis sebelumnya disebut dengan manic depressive."
“Apa iya aku Bipolar......?
Ah nggak ah.
Masa iya.......................!”
Gumamnya.
“Tok …tok.”
Bimo bangkit, seseorang baru saja mengetuk pintu kamarnya.
“Ainun.........................!”
Bangkitnya.
Buru-buru ia buka pintunya, tak ada Ainun disana, di meja makanpun sudah tidak ada orang.
Bimo menoleh, ia lihat di bawah dekat kakinya sebotol alkohol dan lima buah plester luka bermotif warna warni.
Bimo tersenyum lebar, hati gadis itu memang lembut.
Ia masuk ke dalam kamar, Bimo begitu senang.
Senyum di wajahnya tak kendur, ia memakaikan plester pemberian Ainun di jemarinya yang luka.
Lalu kembali tidur.
“Aku tahu hatimu … Nun...!”
Bisiknya.
Fajar menyingsing, masjid di Jakarta cukup banyak jumlahnya.
Hingga suara adzan terdengar bersahutan.
Ainun bangkit, ia harus kembali menepati janjinya pada Bimo.
Membersihkan rumah dan mencuci pakaiannya.
Buru-buru ia keluar dari kamar.
Ainun mulai dengan membersihkan diri lalu membereskan rumah.
Kenop pintu kamar Bimo berputar.
Ainun panik, buru-buru ia menyapu.
Bimo keluar, laki-laki itu menguap seraya meregangkan kedua tangannya, jemari ia lentikkan di hadapan Ainun, keempat jarinya seperti memakai cincin, dengan warna yang sangat girly; pink, kuning, biru muda dan hijau muda ada yang bermotif bunga, ada yang berbentuk smile dan love.
Ainun memicingkan mata melihat gayanya.
‘Stress..........................!
Gumam Ainun dalam hati.
Ainun melanjutkan dengan mencuci piring.
Bimo mengekor...........,
“Nun, pakaianku sudah aku laundry,”
Ucap Bimo yang sudah mulai membiasakan menyebut dirinya aku.
“Alhamdulillah … Oh ya, Kak.
InsyaaAllah saya mau pindah.”
“Pindah......................?
Kemana.....................?”
“Kemana aja, mahal juga tidak apa.”
“Kamu yakin, Nun.
Kamu nggak bisa buat keripik lagi nanti.”
“Saya nggak akan jual keripik lagi.”
Bimo diam, tubuhnya lemas.
‘Apa karena ucapanku’
Bisik Bimo.
“Nun......, jika karena ucapanku, aku …”
“Bukan.................., Kak.
Kakak benar, saya harusnya bisa tau mana yang mengasihani dan mana yang tulus membeli karena suka.
Hari ini saya belajar, saya tidak bisa terus menerus dikasihani kakak.
Saya harus pergi, kak dan lagian tak baik untuk kita tinggal bersama lama-lama, yang ada akan timbul fitnah, atau mungkin hal lainnya.”
“Aku tidak mengasihani kamu, Nun.”
“Lalu kenapa kakak baik sama saya...?”
Bimo diam, ia menelan salivanya.
Pertanyaan Ainun cukup membuatnya gugup ada perasaan aneh yang mendadak timbul di dada, perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, perasaan yang membuat tubuh mendadak berkeluh.
Saat pertama kali pun laki-laki ini tak mengasihaninya, Bimo sangat menyukai semangat Ainun, saat melihat Ainun ia teringat kenangan akan adik perempuannya yang telah wafat.
Bimo berdiri, ia belum bisa menjawab pertanyaan Ainun.
“Kakak tidak sholat.....?”
Lagi-lagi Bimo bergeming, pertanyaan Ainun selanjutnya membuat ia semakin malu.
Laki-laki itu hampir tidak pernah mengerjakan sholat subuh.
Bimo tak bisa sholat sendiri, hari-hari ia hanya menjadi makmum sholat, ia hafal surat namun ia tak hafal bacaan ruku, tahiyat, iftitah dan lainnya.
“Oh...................., ya Nun.
Kamu katanya ada tugas....?”
Tanya Bimo mengalihkan pertanyaan Ainun.
Ainun diam.
Ia memang ada tugas yang harus ia kumpulkan minggu depan.
Ainun menarik nafas.
Bimo pasti tahu dari Syahira, pikirnya.
“Sudah dapat kelompok....?”
Tanya Bimo.
Ainun menggeleng.
“Aku bantu Nun, kamu mau bikin apa.....?”
Ainun menatap Bimo, saat ini tak ada teman sebaik Bimo.
Hanya Pompadour yang bisa memahami kesulitannya.
“Saya diminta untuk membuat manekin/ gambaran kak.”
“Kamu bertemu orang yang tepat, Nun....!”
Ainun diam.
“Serahkan sama anak seni ini, kamu mau buat apa aku bantu,”
Lanjutnya.
“Terimakasih........., Kak.”
Senyum Ainun kembali lebar, matanya hilang saat tersenyum.
Lagi-lagi Pompadour membantunya hilang sudah satu masalah di pundaknya.
@@@@@@@@@@@@
Ainun, Bimo berselisih jalan.
Keduanya memiliki rencana masing-masing di hari Jumat ini.
Sesuai perjanjian dengan Ainun, ia tak akan bermalam di rumahnya saat malam sabtu hingga senin malam, Ainun punya waktu lebih lama untuk mencari kos-kosan baru.
Selepas kuliah, Ainun berangkat menuju tempatnya bekerja.
Segudang harapan juga rencana sudah ia persiapkan untuk Radit, anak asuhnya.
Ia yakin, kali ini anak itu akan menyambut kehadirannya.
Sebelumnya ia sudah membaca banyak tentang Autism, gejalanya, pantangan, maupun cara penanganan.
Ia pun tak ragu untuk menemui Dosen favoritnya Bu Lilis Suryani, untuk meminta nasihat juga saran beliau akan Radit.
Ainun begitu bersemangat, meskipun ia bukan mahasiswa dari jurusan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
Rumah Radit kini tinggal selangkah dihadapan.
Ainun tersenyum, ia kuatkan tekat untuk masuk kedalam.
Rumah tanpa pintu gerbang, Ainun melenggang dengan semangat.
“Assalamualaikum …”
Teriaknya.
Tak satupun menjawab, pintu terbuka lebar.
Ainun celingukan melihat seisi ruang.
“Assalamualaikum ….”
Ulangnya.
Ainun diam, suara tangisan Radit terdengar begitu keras.
Radit mengamuk, mendadak Ainun cemas.
Pelan ia langkahkan kakinya ke dalam, Ainun celingukan.
Tak satupun di lantai bawah, sumber suara Radit terdengar jelas di kamarnya.
Perlahan ia pijakkan kakinya ke atas.
Pintu kamar Radit terbuka lebar, Ainun Terperangah.
Radit kembali mendapat hukuman dari Ayahnya.
Laki-laki tak berperasaan itu mengguyur kepala Radit berulang-ulang dengan air.
Radit mengamuk, ia bahkan bersimpuh di kaki Ayahnya, Raiyan tak terpengaruh.
Ainun menoleh, si Mbok tengah berdiri, tubuhnya gemetar, kantung mata menahan air yang hendak jatuh.
Ainun menangis, refleks ia berlari ke arah Radit dan memeluknya.
Ainun basah, wanita itu melindungi tubuh Radit yang mulai kedinginan.
“Ngapain Kamu............!”
Teriak Raiyan.
“Cukup, Pak..................!”
Rutuk Ainun, wanita itu tak terbiasa melihat kekerasan pada anak.
“Minggir, anak itu harus diberikan hukuman.....!”
“Hukuman apa.............?”
Tanyanya.
Raiyan melotot tajam, nafasnya tersengal-sengal.
Ia membanting gayung di hadapannya, dan berlalu meninggalkan Ainun dan Radit.
Radit terus berontak, anak itu kuyup.
Bau menyengat tercium di tubuh Ainun dan tubuh Radit.
Rupanya Radit baru saja mencirit di celananya.
Ainun menangis, bagaimana bisa seorang Ayah marah hanya karena hal kecil seperti ini.
Ainun membuka tasnya, tasnya basah .
Ia membuka pakaian Radit seraya tersenyum memberikan semangat.
“Biar Mbok saja............,
Nun.”
“Nggak apa-apa Mbok, saya juga sudah basah.
Sekalian saja..............,”
Lirih Ainun.
Ainun melepaskan pakaian Radit satu persatu, beberapa bagian tubuhnya terlihat memar.
Entah karena apa, hatinya tersayat melihatnya.
Ainun membersihkan kotorannya dan memandikan Radit seraya bernyanyi menghiburnya.
“Aku anak sehat tubuhku kuat, karena ibuku rajin dan cermat semasa aku bayi selalu diberi ASI, makanan bergizi dan imunisasi …”
Lirih Ainun bersenandung, air matanya masuk ke mulut membuat suara menjadi parau.
“Radit anak sehat kan....?”
Tanya Ainun seraya membuka mata lebar dan tersenyum.
Ekspresi wajah Ainun membuat Radit tertawa, anak itu berhenti menangis.
Ia lupa, bahwa hatinya telah disakiti, Radit lupa akan kejadian yang menimpanya baru saja.
‘Ya Allah, Radit, hatimu baik namun Ia tak melihatnya, wajahmu tampan Ia pun tak melihatnya, mengapa Ia menyalahkanmu, Nak.
Apa salahmu...............?
Radit … janji kakak padamu Nak, kakak akan membuat mereka paham betapa uniknya kamu.”
bisik Ainun, pelan ia peluk Radit dan menangis.
Ainun menggantikan Radit pakaian, tubuh anak itu tak lagi kecil.
Tubuhnya tumbuh normal, hanya kemampuan berbicara, kognitif, sosial yang sangat kurang.
Radit kembali memainkan bola matanya, ia menarik tubuh Ainun yang masih berbau karena kotoran yang menempel.
Radit tak terganggu akannya, sebuah trampoline kecil dekat dengan kamarnya.
Ia naik ke atasnya dan melompat kegirangan, mobil-mobilan di tangan ia peluk erat.
Ainun menoleh, lantai satu terlihat jelas di pandangan.
Tuan Raiyan terlihat sibuk memberi makan Rania adik Radit, begitu lembut ia mengusap Rania, ia mencium Rania dan meninabobokan.
Telepon berdering, telepon dengan suara monophonic milik Ainun.
“Assalamualaikum …”
“Waalaikumsalam......,
Nun kamu dimana........?”
Ainun menarik nafas.......
“Aku lagi kerja Kak, ada apa....?”
“Kamu kenapa nangis, Nun....?”
Buru-buru Ainun menutup teleponnya.
Pompadour lagi-lagi bersikap aneh, ia mulai sering menelepon dan mengkhawatirkannya.
Teleponnya kembali terdengar, Pompadour tipe laki-laki yang tak suka dibuat penasaran.
Ainun mematikan teleponnya.
“Nun …..........................”
“ya Mbok......................,”
“Ganti pakaian dulu ya,”
Ucap si Mbok seraya membawakan beberapa lembar pakaian untuknya.
“Nggak usah, Mbok.”
“Nanti kamu sakit Nun.”
Ainun mengangguk, ia tak tergangu dengan air yang melekap di tubuhnya, ia terganggu dengan aroma kotoran yang begitu menusuk hidungnya.
Sebuah gaun lengan panjang berwarna merah muda lengkap dengan hijab bermotif, bahannya begitu lembut dan tebal.
Ukurannya sedikit lebih besar dari tubuhnya.
Ainun belum pernah memiliki pakaian sebagus itu.
“Mbok, ini punya siapa....?”
“Punya..................., Ibu.”
“Ibunya Radit...............?”
Mbok mengangguk.
“Nggak................, Mbok,”
Ucap Ainun takut membayangkan amarah Ayah Radit.
“Ini yang nyuruh, Tuan.
Pakai saja Nun.”
Ainun mengganti pakaiannya.
Wanita itu tampak berbeda kini, dress berwarna merah muda membuat kulitnya terlihat cerah, hijab segi empat bercorak membuat wajahnya bersinar.
Ainun kembali menuju Radit, anak itu masih sibuk dengan trampolinnya.
“Radit ayoo turun, radit...!”
Radit bergeming.
“Radit, ayoo turun Nak, mainnya selesai.”
Ia tak menghiraukan suara Ainun.
“Radit...........................!”
Ainun sedikit menekan suaranya.
Radit berhenti, ia turun dengan sendirinya.
Anak itu menuju kayu pembatas lantai 2, ia melihat Ayahnya.
Ayahnya terlelap di sofa dengan Rania di pelukan.
Tak lama ia pukul-pukulkan tangannya ke tiang.
“Radit … cukup Nak.......!”
Ainun menarik tubuhnya dan memeluk erat.
“HAAAA.........................!”
Teriak Radit, anak itu kembali mengamuk.
Raiyan terperangah.
Ainun rapatkan ke dua tangannya lalu memeluknya erat.
“Radit.........!” lirih Ainun.
Anak itu kembali meronta, ia pukul Ainun, ia tendang dengan sekuat tenaga.
Bola matanya berputar tak karuan.
“Sini..............................!”
Rutuk Raiyan seraya merampas lengan anak tak bersalah itu.
Ainun diam, ia ingin lihat apa yang akan dilakukan Ayahnya.
“Diam..............................!
Atau Ayah pukul............!”
“HAAAA.........................!”
Ainun melotot, tubuhnya lemas, di hadapannya Raiyan menampar keras wajah Radit.
“CUKUP.........................!”
Teriak Ainun menangis.
Wanita itu berlari dan memeluk tubuh Radit yang tersentak ke lantai.
Wajahnya memerah.
“Saya akan laporkan, Bapak....!
Saya akan laporkan........!
Saya serius dengan ucapan saya, jika saya tau Bapak memukulnya lagi.
Saya akan laporkan.......!”
Rutuk Ainun, wajahnya berubah bengis, air mata sudah tak dapat ia bendung.
Raiyan diam, ia menatap telapak tangannya.
Tubuhnya lemas, ia jalan terseok-seok turun.
Hatinya pun menyesal, tak lama ia menangis.
Kini ia berharap, agar Ainun segera melaporkannya.
......BERSAMBUNG......
No comments:
Post a Comment