👩🏫 COMBLANG SYAR'I 👩🏫
PART 9
Bimo termenung, kursi empuk Bioskop, dingin suhu ruangan tak mampu membuat hatinya nyaman.
Pelan ia perhatikan wajah Syahira di sebelah, lagi-lagi senyuman Ainun yang hadir di bayangan.
Film yang sudah ia tonton selama 1 jam pun tak dapat ia simpulkan, siapa pemainnya, bagaimana ceritanya semua nihil.
Tangisan Ainun cukup menganggu batin juga emosinya.
Lelaki berambut Pompadour itu terus menerus melirik jam tangan, ia ingin tahu dimana Ainun bekerja dan dengan siapa ia bekerja.
Berulang kali ia menggeser posisi duduknya karena gusar.
“Kakak, nggak apa-apa....?”
“Filmnya nggak rame....!”
Bisiknya.
“Rame kok..........., Kak.”
“Aku tunggu di luar ya.”
Bisiknya seraya bangkit dari tempat ia duduk tanpa meminta persetujuan kekasihnya.
Bimo masuk ke dalam toilet, ia menatap wajahnya di cermin.
Rasa cemas menghantui pikirannya.
Berulang kali ia mencoba menghubungi Ainun, lagi-lagi mailbox.
Tak ada sinyal atau memang sengaja dimatikan Ainun, atau mungkin Ainun sedang dalam kondisi berbahaya.
Bimo terus menerus mengusap wajahnya dengan air.
Berharap pikiran akan Ainun segera hilang.
“Nun, kamu kenapa.......?
Gumamnya seraya mencium jemari yang terluka karena perbuatan Ainun.
Tak lama film yang Syahira tonton telah usai.
Wanita itu celingukan mencari sang kekasih.
Bimo hadir di pelupuk mata.
Senyum Syahira melebar.
Bimo membalas senyumnya begitu berat.
“Kita makan.................?”
Tanya Syahira.
Bimo mengangguk, ia ikuti keinginan Syahira.
Sebuah restoran ramen menjadi tempat pilihan mereka.
Syahira duduk di sebelah Bimo tanpa ia minta.
Wanita itu begitu agressif bertolak belakang dengan Ainun.
“Kak … ada yang ingin ku tanyakan...?”
“Tanya saja.”
“Kemarin … tak sengaja aku mengikuti kakak.”
Bimo diam dan menghentikan makannya “Mengikuti....?”
Syahira mengangguk .....,
Wajahnya mendadak pucat melihat wajah Bimo mendadak berubah.
“Maksud kamu apa.......?”
Rutuk Bimo.
“Kak, katakan apa Ainun tinggal di rumah kakak....?”
“Apa..............................?”
“Kak, aku mohon jawab.
Aku diberitahu temanku, jadi kemarin aku terpaksa mengikuti kakak untuk bisa menjawab semua rasa penasaranku.”
Bimo diam, ia merasa tak nyaman dengan yang dilakukan Syahira.
“Katakan.............., Kak.”
“Ya..............!”
Jawab Bimo datar sedikit meninggi.
“Kenapa.......?”
“Aku rasa kamu lebih tau dari aku, Ainun bertarung sendiri di Jakarta, tidak seperti kita yang hidup dari belas asih orang tua.
Kamu temannya bukan....?
Kenapa bukan kamu yang tau akan keadaannya.”
“Maksud Kakak, apa.....?”
“Kamu tau Syahira.
Seharusnya kamu peka.
Temanmu itu tidak punya tempat tinggal, ia bahkan tak ada uang.
Lalu apa aku diam........?”
“Ainun tidak pernah bercerita padaku, Kak.”
“Membantu tidak harus bertanya Syahira.
Seharusnya kamu bisa melihat”
“Kakak kenapa marah sama aku....?”
Bimo menarik nafas, mendadak ia muak melihat mie ramen lengkap dengan potongan daging dan telur setengah matang.
Bimo bangkit, ia meletakkan sumpit di meja.
“Kakak, mau kemana....?”
Tanya Syahira heran, wajahnya pucat, hatinya sakit melihat sikap Bimo yang selalu memikirkan Ainun.
Bimo kembali duduk, kedua mata kini saling berhadapan.
“Syahira ini tidak adil untuk kamu, maafkan aku.
Dari awal apa kamu tak pernah memperhatikan betapa cuekknya aku sama kamu.....?”
Syahira diam, perkataan Bimo mulai melukai hatinya.
“Apa kamu nyaman dengan sikapku seperti ini.....?”
Lanjutnya
“Maksud Kakak, Apa.....?”
“Syahira................, Maaf.
Ini kesalahanku, sepertinya kita tidak bisa meneruskan hubungan ini.”
Syahira diam, ia melengos air matanya meleleh.
“Karena Ainun.............?”
Rutuknya.
“Bukan.”
“Lalu...........................?”
“Karena aku tidak akan pacaran lagi, percayalah Syahira jika kita jodoh, kita akan bertemu.
Maafkan aku Syahira.”
“Aku hanya menanyakan apa benar Ainun tinggal di rumah Kakak, lalu kenapa Kakak meminta putus.”
“Ainun benar tinggal di rumahku, dia tidak punya tempat tinggal.
Namun alasanku memutuskan mu bukan karena Ainun.
Aku ingin berubah Syahira, mengertilah.”
Syahira bangkit, ia tinggalkan Bimo.
Ia menangis tak menerima dengan keputusan Bimo yang terlihat sepihak.
Selama ini pun ia mencoba memahami sikap Bimo yang selalu bersikap dingin padanya.
Tak henti-henti Syahira menangis, hari ini adalah kencan pertamanya dan hari ini juga hubungannya berakhir.
Bimo lega, setidaknya apa yang ia lakukan membuatnya nyaman.
Meskipun sedikit ada rasa perih saat melihat syahira menangis di hadapan, Bimo tak terbiasa melihat wanita menangis dihadapan.
Ia langkahkan kakinya pulang, alasan putus dengan Syahira bukan karena Ainun adalah sebuah kebohongan.
Pun Bimo tahu, Ainun tak akan mau menjadi kekasihnya.
Ainun adalah muslimah yang taat, yang selalu menjaga izzahnya.
Bimo hanya tak ingin membohongi perasaannya dan menyakiti Syahira lebih jauh, ia ambil kembali gawai di saku celana.
Diam ia perhatikan nomor Ainun, ia kembali hubungi. Mailbox.
@@@@@@@@@@@@
Radit lelap di pangkuan Ainun.
Anak itu mulai menyayangi Ainun, bahkan mungkin sayangnya melebihi rasa sayang pada Ayahnya.
Tangan Ainun erat, Radit peluk.
Anak itu tak ingin Ainun pergi.
Pelan Ainun bangkit.
Hari ini adalah hari yang menegangkan dalam hidup Ainun, ia bersiteru dengan Raiyan, Bosnya.
Ainun begitu takut melangkahkan kakinya keluar.
Ia takut berjumpa dengan laki-laki tak berperasaan itu.
Pelan, ia pijakkan kakinya menuju lantai bawah.
Laki-laki bertubuh tinggi itu terlihat termenung di kursi depan, kedua tangan merengkuh wajahnya.
“Saya pulang........., Pak.”
Raiyan bangkit, ia melihat Ainun.
Sorot matanya begitu teduh, tak seperti sebelumnya.
“Bisa kita bicara sebentar, Nun.”
Ainun mengangguk.
Pun sebenarnya Ainun berencana meminjam uang padanya.
Minggu depan ia harus membayar uang semester dan kebutuhan lainnya, hanya Raiyan satu-satunya orang yang bisa Ainun andalkan.
Namun kejadian sore ini, membuat Ainun mengurungkan niatnya.
“Duduk.”
Ucapnya di ruang kerja.
Raiyan diam, ia menarik nafas.
Permasalahan Radit sejujurnya sudah membuat dia pada puncak kesedihan.
Ia selalu saja merasa bersalah, saat tangan itu melukai putra sulungnya.
Tak pernah terbesit di hati untuk melukai, Raiyan hanya ingin anaknya tumbuh normal seperti laki-laki lain.
Radit, anak laki-lakinya yang pastinya akan meneruskan perusahaan juga usaha miliknya.
“Nun...., saya ingin menambah jam kerja kamu...?”
“Maksud Bapak............?”
“Terima kasih........., Nun.
Hanya kamu satu-satunya orang yang bertahan menjaga Radit.
Tak ada satupun yang mampu merawatnya, termasuk saya sekalipun.
Jadi saya ingin kamu bisa menambah jam kerjamu.”
“Saya tidak bisa Pak, saya ada kuliah jika pagi.”
“Jam berapa kamu kuliah....?”
“Tak menentu Pak, kadang ada kelas pagi, kadang kelas siang.”
“Kalau begitu, tinggallah disini dan saya akan hitung sebagai jam kerja.”
Raiyan adalah seorang pengusaha, semua selalu ia perhitungkan dengan uang..
“Maksud Bapak............?”
“Saya ingin waktumu lebih banyak untuk Radit, sepertinya anak itu mulai menyukaimu.”
Ainun diam, ia pun merasakan hal yang sama.
Rasa Iba yang menumpuk di batin mendadak berubah menjadi sayang.
Ainun sudah menganggapnya seperti adiknya sendiri.
Lagi-lagi ia mendapat tawaran di kediaman seseorang.
Ainun menarik nafas, ini adalah pilihan terbaik untuknya.
Setidaknya ia tidak tinggal berdua seperti dengan Bimo.
Di rumah ini ia bisa bermain dan mendidik Radit seperti keinginannya, juga ada Mbok yang bisa menjadi tempat bercerita.
“Boleh saya mengajukan syarat, Pak.....?”
“Katakan......................?”
“Selama saya mendidik Radit, Bapak tidak boleh ikut campur, dan saya berhak meminta sesuatu pada Bapak demi kebaikan Radit.
Saya hanya seorang mahasiswa Pak, namun saya suka membaca.
Saya rasa, apa yang Bapak lakukan pada Radit sangat berlebihan, apa Bapak tak bisa melihat air mata Radit, luka ditubuhnya, luka dihatinya.....?
Ucap Ainun perlahan terisak.
Raiyan menatap wajah Ainun yang perlahan mulai menyeka air mata di pipinya yang gembil.
Ainun begitu tulus, hati Raiyan terenyuh.
Raiyan menarik nafas, ia pun teringat dua tahun ini masa sulit baginya.
Ia memiliki segalanya, namun ia tak mampu menyembuhkan Radit.
Tiga tahun lalu, tanpa sepengetahuannya istri Raiyan bernama Malika menderita kanker hati.
Malika begitu tahu, bagaimana ia akan terbaring lemah dan akhirnya akan mati.
Ia memilih untuk tidak memberitahu Raiyan tentang penyakitnya dan lebih memilih untuk mendidik Radit, ia ingin Radit tumbuh normal saat kepergiannya.
Radit adalah harapan Raiyan, anak laki-laki yang selalu ia inginkan dari Malika dulu, istrinya merasa bersalah karena Radit tumbuh tak seperti anak normal lainnya.
Hingga akhirnya, Istrinya hanya bisa bertahan hidup untuk satu tahun sejak ia divonis kanker.
Dua tahun lalu, Malika meninggal, meninggalkan luka di hati Raiyan juga Radit.
Raiyan selalu berfikir karena Raditlah istrinya meninggal.
Radit yang saat itu berusia 6 tahun, mengingat betul bagaimana Ambulans membawa jasad ibunya menuju pemakaman.
Anak itu meronta, berulang kali ia meminta masuk ke dalam pusara Malika, hati Raiyan hancur karena kehilangan istrinya semakin rapuh melihat sikap Radit.
Radit hilang dari rumah.
Segala upaya ia lakukan untuk menemukannya, Radit tak beralaskan kaki, dan mengenakan piyama berlari sejauh 10 kilometer hanya untuk menemukan ibunya.
Hal yang sangat menyakitkan bagi Raiyan, saat dinas sosial menemukan Radit di pusara Ibunya, anak itu menangis dan mengeruk tanah di pusara, ia ingin Ibunya kembali.
Raiyan terus gusar memikirkan semua kesalahannya.
Kejadian itu terus terjadi saat Raiyan bekerja, dan membuat luka di hati Raiyan.
Radit gagal dalam toilet training, ia juga sering tantrum dan melukai orang lain, Radit pernah memukul Rania hingga mata anak perempuannya itu bengkak, Radit selalu lari dari rumah dan kembali ke makam ibunya.
Raiyan mengira, semua hal yang dilakukan istrinya dulu sia-sia.
Kekerasan adalah jalan Raiyan terakhir agar Radit berubah, sejak Raiyan berlaku kasar padanya beberapa perubahan dari Radit pun ia lihat, Radit enggan turun ke bawah, Radit enggan bermain dengan Rania, Radit sulit makan dan banyak hal.
“Terserah, kapan kamu bisa mulai...?”
“Hmm … bisa saya meminta satu syarat lagi Pak....?”
“Katakan......................?”
“Apa saya bisa mendapatkan gaji saya di depan...?
Saya harus membayar biaya semester minggu ini...?”
Tanya Ainun menunduk malu.
“Biaya kuliahmu akan saya tanggung, selama kamu bekerja disini.
Kamu tidak perlu khawatir.”
Senyum Ainun merekah, matanya menjadi sipit karenanya.
Harapan juga nasib baik terbuka lebar di depan mata.
Radit adalah pembuka rezeki untuknya.
Ainun bersyukur.
Ainun kembali pulang, lagi-lagi ia diantar Pak Arief sampai depan jalan.
Sepanjang perjalanan ia terus memikirkan nasib Radit yang tak aman di tangan Ayah kandungnya.
Ainun menarik nafas, nasib Radit ternyata lebih menderita ketimbangnya.
Ayahnya bersikuku untuk mendidik secara otoriter seperti anak laki-laki normal lainnya, Ainun menangis.
Terakhir ia meninggalkan Radit, tangan Radit mencekram erat tubuhnya, dan Ainun masih merasakannya hingga kini.
Ainun turun di depan jalan Swadaya.
Ia menghapus air matanya, hatinya masih shock dengan kejadian yang ia alami.
Syukurnya Radit tidur lebih awal, hingga ia bisa pulang lebih cepat.
“Nun............................”
Ainun diam, suara Pompadour terdengar ditelinga.
Laki-laki itu tengah menunggunya di depan jalan.
“Kakak, kenapa disini....?
Bukannya ini jadwal kakak pulang....?”
“Kamu nangis kenapa, Nun.....?”
Ainun bergeming, mendengar Bimo menanyakan alasan ia menangis.
Rasanya ingin mencurahkan hati di depannya.
Namun apalah Ainun, ia berusaha untuk menghilangkan perasaan aneh padanya.
Ainun mulai merasakan, Bimo adalah cobaan berat untuknya yang harus ia hindari.
Ia lanjutkan langkah kakinya.
“Nun.............................!”
“Kenapa, Kak...............?”
Bimo diam.
“Kamu kerja dimana......?
Pakaianmu baru............?
Siapa orang yang mengantarmu...?
Kenapa kamu pulang larut...?”
Ainun meringis.
“Pertanyaan Kakak.”
Rutuknya, kesal lagi-lagi ia merasa direndahkan.
“Nun jawab Nun...........!”
Ainun bergeming, ia berlari menuju rumah.
Bimo menarik nafas, ia memenuhi janjinya untuk tidak bermalam.
Bimo tak mengikutinya pulang, ia pergi menuju tempat temannya.
Bimo tahu, pekerjaan apapun yang dikerjakan Ainun adalah pekerjaan halal, wanita itu tak mungkin menjual harga dirinya hanya demi uang.
“Aku tak tahu, perasaan apa ini.
Perasaan ini tak pernah ada di hatiku, mengapa sakit saat melihat Ainun membelakangiku, sakit saat Ainun tak mengangkat teleponku, sakit saat ia tak pernah mengeluh sulit padaku.”
Bimo Ainun lagi-lagi berselisih jalan, ia menuju ke rumah sahabat yang tak jauh dengan rumah miliknya.
Semalaman ia menunggu pagi, agar bisa berjumpa dengan Ainun.
Menanyakan semua keraguan di hatinya.
@@@@@@@@@@@@
Fajar menyingsing, Ainun masih diam di atas ranjang.
Pikirannya terus tertuju pada Radit juga Bimo yang belakangan bersikap aneh dengannya.
Ia bangkit, ia rapikan semua barang dan memasukkan ke dalam koper.
Perasaan aneh seperti rindu pada ibunya pun ia rasakan pada Bimo.
Entah bermalam dimana, Pompadour.
Ainun resah memikirkannya.
Ainun bangkit, ia menuliskan beberapa hal untuk Bimo.
Hal yang menurutnya sangat penting dan dibutuhkan Bimo.
“Kakak......, Terima kasih.
Ainun sudah dapat tempat baru.
Semoga Allah membalas semua kebaikan kakak, dan semoga Allah selalu menuntun kakak pada jalan hidayahnya.
Maafkan Ainun.
Ainun belum bisa membayar semua hutang-hutang Ainun.
InsyaaAllah bulan depan akan Ainun lunasi semua.
Terimakasih Kak.
Ainun tinggalkan tuntunan Sholat yang sudah Ainun buatkan khusus untuk kakak.
Semoga bermanfaat, sholat itu adalah tiket kakak untuk menuju surga.
Tanpa tiket No way.......!
Kakak tidak akan bisa masuk surga, atau bertemu dengan orang-orang terkasih.
Kak..., semua orang akan mati.
Cuma ada dua tempat yang kakak bisa pilih....,
Surga atau Neraka.”
Ainun keluar ia letakkan di atas ranjang, kini ia tinggal menunggu Pak Arif datang untuk menjemputnya.
Ainun berjanji pada Tuan Raiyan ia akan datang pagi, Raiyan ingin Ainun ada saat Radit terbangun dari tidurnya.
Sambil menunggu Ainun buka mushafnya, dan membaca surat Ar-Rahman dengan alunan begitu lembut.
Pelan Ainun langkahkan kakinya keluar rumah.
Udara sejuk masih menyelimuti ibukota.
Cahaya mentari masih sebatas awan, perasaan aneh mendadak menyeruak.
Ainun rindu, Ainun resah, nama Bimo berulang kali muncul di dada.
“Nun.............................!”
Suara yang begitu akrab di telinga memanggilnya dari belakang.
‘Pak Arif’bisik Ainun.
Ainun mengharap Bimo datang dan menemuinya, ia ingin pamit dengan laki-laki yang banyak membantunya.
“Saya bantu.........., Nun.”
Ucap Pak Arif seraya mengangkat koper ke dalam mobil.
“AINUN.........................!”
Deg...............................!
Harapan Ainun terkabul, suara Bimo begitu tebal terdengar.
Ainun mencoba menata hatinya, lalu menoleh.
Bimo tampak lusuh, pakaian semalam belum ia ganti.
Kantung matanya gelap dan wajahnya sedikit pucat.
“Kakak, Ainun pamit ya.”
Ucapnya tersenyum lebar berusaha menutupi perasaannya.
“Apa maksud kamu, Nun....?”
“Ainun sudah dapat pekerjaan, juga tempat tinggal baru.”
“Siapa dia....................?”
Tanya Bimo pada Pak Arif yang membantunya mengangkat koper.
“Supirnya...., Bos Ainun.”
“Maafin Ainun jika ada salah ya Kak, insyaaAllah semua urusan Ainun dengan Kakak secepatnya akan Ainun urus.”
Ainun menahan tangis, ada perasaan yang tak sanggup Ainun bendung.
“Nun tunggu..................,”
Ucapnya seraya menahan pintu Mobil.
Keduanya kini saling dekat, Bimo menelan saliva dengan susah payah.
Membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba saja terasa kering.
Air mata Ainun mulai menetes perlahan.
Ainun sungguh tak tega melihat keadaan Bimo.
Seharusnya, Ainun bisa lebih banyak membantu Bimo untuk berubah menjadi orang yang dikasihi Allah.
Ainun menyesal, ia bisa menjadi papan jika ia mau untuk Bimo agar bisa meraih rahmat Allah.
“Kamu menangis, Nun.....?”
Mata Bimo pun berkaca-kaca.
Ainun hanya pergi dari rumahnya, namun ia seperti merasa Ainun akan pergi selamanya, mulut begitu berat dan kering untuk mencegahnya, ada hal yang ingin Bimo sampaikan namun ia tak tahu harus memulai dari mana.
“Kak … Ainun pergi..........,
Terimakasih.”
Ainun menyeka air matanya dengan kasar.
Namun air mata itu masih terus mengalir.
Ainun masuk, pintu itu kini tertutup.
Bimo terpaku dengan air mata Ainun, air mata yang seharusnya mengalir tak sederas itu.
Air mata yang seharusnya tidak begitu menyakitkan, toh mereka masih bisa berjumpa di kampus ataupun tempat lain.
Pelan mobil yang dikendarai Pak Arif jalan, air mata Bimo pun ikut menetes, ia terus memendangi Ainun yang menjauh darinya.
Ia tahu, ada masalah yang sedang ditimpa Ainun, atau mungkin Ainun memiliki perasaan yang sama dengannya.
.......BERSAMBUNG.......
No comments:
Post a Comment