👩🏫COMBLANG SYAR'I 👩🏫
PART 5
Bimo langkahkan kakinya mengikuti Ainun, wanita itu terlihat mencoba untuk kuat.
Ainun berjalan menundukkan kepala, sesekali ia menendang kerikil yang menghalangi jalannya.
Jakarta sudah nampak sepi, hanya satu dua kendaraan saja yang melintas di hadapan, mereka menyusuri beberapa rumah yang rata-rata memiliki dua lantai bahkan tiga lantai, wilayah ini adalah pusatnya kos-kosan mahasiswa.
Hampir semua rumah berlomba-lomba meninggikan rumahnya, untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Bimo terus memperhatikan langkah Ainun, wanita itu terlihat limbung.
Pelan, Ainun berhenti ia diam, lalu duduk ia sandarkan kepalanya pada koper yang ia bawa.
Hati Bimo semakin terenyuh, ingin rasanya memeluk gadis mungil itu, membiarkannya menangis di pundaknya.
Bimo diam, ia terus memperhatikan Ainun.
Bimo tahu, Ainun akan marah jika ia menghampiri.
‘Satu … dua, bangkit.......!’
Gumam Bimo.
Laki-laki ini mulai resah melihat keadaannya.
Ainun bangkit, ia kembali melangkah, Ainun limbung, tubuhnya seperti tak seimbang.
Tak tahan, laki-laki itu akhirnya berlari mendekatinya.
“Sini..............................!”
Ucap Bimo seraya merampas koper dari tangannya.
Ainun limbung, tubuhnya bergemetar, wajahnya pucat dan berkeringat.
“Nun............................!”
Ainun oleng.
“Nun............................!”
Bimo spontan menangkap tubuhnya yang oleng dan hampir terjatuh ke aspal.
“AHH............................!”
Teriak Ainun seraya menghempaskan tubuh Bimo, Ainun tak suka dengan apa yang baru saja menimpanya.
“Jangan mentang-mentang saya susah, kakak bisa berbuat seenaknya saja dengan saya....!
Hijab saya ini bukan pajangan...!
Ainun akan ganti uang kakak secepatnya....!"
Rutuk Ainun sesaat setelah Pampodeur merangkulnya.
Mata Ainun memerah, nafasnya tersengal-sengal, Ainun nampak lemah seperti orang kelaparan.
Sekujur tubuhnya mengeluarkan keringat dingin, dan matanya …
‘Ainun akhirnya kamu berani menangis di depanku’ bisik Bimo.
“Nun.............................!
Saya tidak akan menyentuhmu, jika saja tubuhmu ini tidak oleng....!”
Rutuk Bimo jengkel.
“Sini...............................!”
Rampas Ainun.
Ainun, perasaannya sedang berapi-api.
Emosinya tak terkontrol, wanita itu memiliki harga diri yang tinggi, ia tak ingin siapapun meremehkannya.
Permasalahan yang begitu banyak menimpanya, tak mampu mengeluarkan keceriaan yang selalu hadir di wajahnya.
Malam ini, Ainun kalah, ia kalah dengan emosi yang mencengkram hati juga pikirannya.
Bimo begitu terkejut melihat keteguhannya, wanita di hadapannya begitu menjaga diri akan sentuhan laki-laki yang bukan mahramnya.
Ainun terus melangkah menuju rumahnya yang jaraknya hanya tinggal 100 meter di depan.
Bimo mengikutinya dari belakang, tak lama ia sudah tiba.
Pelan Bimo mendekat, ia bukakan pintu untuknya.
“Assalamualaikum........!”
Ucap Ainun lemah, buru-buru wanita itu menuju kamar belakang.
Tak lama ia berhenti, ia diam di depan kamar.
“Terimakasih, Kak........,”
Ucapnya pelan.
Bimo diam, ia menarik nafas lega.
Tak lama ia pun masuk ke dalam kamarnya.
Hari ini adalah hari pertamanya jadian dengan Syahira, sudah seharusnya hanya Syahira yang ada dipikirannya.
Tapi lagi-lagi si Kacamata Ainun memenuhi isi otak juga hatinya.
Bimo terenyuh, ia merasa iba dengan Ainun.
‘Nun, kamu sudah makan belum....?
Sejak kapan kamu tidak makan....?
Kenapa wajahmu berubah menjadi biru seperti itu....?’
Gumam Bimo.
Laki-laki itu termenung, ia rebahkan tubuhnya di atas kasur dan menghadap ke langit-langit.
"Ahhhh............................"
Rintih Ainun.
Wanita itu menahan sakit pada perutnya.
Air mata terus menetes, mendadak nyeri di perutnya semakin terasa.
"Ambuuu........................!"
Rintihnya kembali.
Ainun tak sanggup, nyeri di perutnya semakin hebat.
Bimo, laki-laki itu keluar dari kamarnya.
Suara rintihan sakit terdengar dari kamar Ainun.
Bimo panik, kini Ainun tak hanya mengganggu isi pikirannya, namun juga rasa khawatir kini mulai menyambangi isi hatinya.
Pelan Bimo dekatkan telinganya ke pintu.
Ia ingin meyakinkan apa yang baru saja ia dengar dan benar, Ainun si gadis kacamata itu tengah merintih kesakitan.
“Nun.............................!”
Sapa Bimo seraya mengetuk pintunya.
“Nun.............................!
Kamu kenapa..............?”
Tanyanya kembali.
“Ya, Tuhan..... Nun.........!
Jawab............................!”
Bimo semakin panik, berulang kali ia memanggilnya namun tak ada jawaban dari kamarnya.
‘Jika aku buka, Ainun pasti semakin marah....!’
Gumamnya.
“NUN.......! BUKA...........!”
Teriak Bimo dari luar.
Tak lama pintu itu terbuka, Ainun membuka dalam keadaan tertunduk, wajahnya pucat dan kedua tangan memegang perutnya.
“Ya Tuhan.... Nun, kamu kenapa....?!”
“Kak .........................…”
“Kenapa................., Nun,
Katakan........................!”
“Tolong .......................…”
Ucapnya semakin lemas, nafas Ainun tersengal-sengal, wajahnya basah karena air mata yang mengalir sejak tadi.
“Tolong, apa Nun...........!
Katakan.........................!”
Ainun menarik nafas, tak lama ia tersungkur.
Bimo melangkah maju, ia hendak menolongnya.
Mendadak langkahnya terhenti, Ainun mengulurkan tangan dan membuka telapak tangannya lebar-lebar.
Wanita itu tetap tak ingin Bimo menyentuhnya.
“Nun................., katakan.
Kamu kenapa................?
Apa yang harus saya lakukan...!”
Bimo semakin panik.
Ainun menelan salivanya.
Ia ragu untuk mengatakan pada Bimo, namun laki-laki itu hanya satu-satunya orang yang bisa membantunya.
“KATAKAN, NUN...........!”
‘’Belikan aku …”
“Belikan apa, obat........?!”
Tanya Bimo cemas.
“Belikan aku … Kiranti, kak....!”
“Kiranti....? apa itu........?”
“Sekarang, Kak...............!
Saya sudah tidak kuat …”
Bimo bergegas.
Ia ambil kunci motornya, dan buru-buru pergi ke sebuah apotik terdekat.
Bimo tak pernah tau apa itu kiranti, ia hanya tau saat ini Ainun merintih kesakitan.
Laki-laki itu dibuat bodoh akan perasaannya yang tak menentu.
Hari sudah begitu larut, tak satupun apotik yang buka malam hari.
Hanya sebuah minimarket 24 jam yang terbuka di salah satu Pom Bensin di jalan utama.
Bimo mempercepat laju motornya, dan ia menepi persis di depan mini market.
Bimo panik, buru-buru ia masuk ke dalam.
Dua orang kasir berseragam menyambut kedatangannya, dan hanya dia satu-satunya pengunjung malam itu.
“Mas, jual kiranti..........?!”
Tanyanya panik.
“Ada......................., mas.
Disebelah sana.............,”
Jawab pramuniaga seraya menunjukkan arah raknya.
Bimo bergegas, ia masih bingung.
Bentuk, dan jenis apa itu kiranti.
“Mas, dimana...............!”
Teriaknya panik.
Tak lama pramuniaga menghampirinya, dan mengambilkan minuman pereda nyeri haid itu padanya.
“Berapa mas.................?”
Tanya pramuniaga.
Bimo masih bingung, ia lihat kemasannya hanya bergambar seorang wanita dengan menahan nyeri di perutnya.
“Dua, mas....................!”
“Pembalutnya nggak sekalian...?
“APA.............................?!”
Tak lama pramuniaga itu tersenyum melihat ekspresinya.
Bimo begitu panik saat menanyakan obat minum itu, sepertinya ia tak tahu banyak tentangnya.
“Ini saja dua................!”
Jawabnya, malu.
‘Ainun...........! brengsek.
Sialan kau Nun............!’
Rutuknya dalam hati.
Seumur hidupnya inilah kali pertama menolong seorang perempuan untuk membelikan obat haid, dan entah kenapa ia begitu malu, saat pramuniaga menyebutkan kata pembalut.
Bimo edarkan pandangannya pada sisi-sisi rak, ia mengambil roti manis, mie instant dan beberapa botol minuman.
Laki-laki itu jengkel, namun tak menyurutkan rasa ibanya pada Ainun.
“Ini, saja Kak................?”
Tanya kasir padanya.
“Pembalutnya tidak sekalian...?”
Tanya kasir mengulangi pertanyaan pramuniaga.
“Heh...............................!
Ngomong pembalut lagi....,
Tutup mulut lo....!”
“Maaf, kak.....................!”
Jawabnya menunduk malu.
Sejujurnya, Bimo ingin membelikan Ainun pembalut seperti yang mereka katakan.
Namun harga dirinya seperti hancur, baginya ia hanya akan melakukan sesuatu hal yang sensitif itu hanya untuk wanita yang ia cintai, wanita yang kelak yang akan menjadi istrinya.
Bimo naik ke motornya, buru-buru ia kembali pulang.
Bimo kembali, suara motornya cukup membuat hati Ainun tenang.
Ainun sudah tak tahan menahan rasa nyeri yang selalu ia alami setiap bulannya.
Wajahnya semakin membiru, ia gigit bibir bagian bawahnya karena tak sanggup menahan sakitnya.
‘Tok ... tok.....................!
Ketukan pintu terdengar.
“Buka, Nun....................!”
Ucap Bimo dari luar terdengar kesal.
Pelan Ainun membuka pintu.
Ainun mencoba tersenyum untuk mengucapkan rasa terimakasihnya.
Wajahnya masih pucat, badannya menunduk menahan nyeri.
“Apa sesakit itu...........?
Atau kamu hanya mempermainkan saya....?!”
Ainun menarik nafas, ia begitu jengkel mendengar pertanyaannya.
“Nih.............................!”
Ucapnya seraya memberikan kantong berisi barang yang baru saja ia beli.
Bimo menoleh, tak lama ia masuk ke dalam kamarnya.
Sementara Ainun, ia bergegas membuka obat minum yang ia pesan.
Ia tak sempat melihat apa saja yang Bimo berikan untuknya.
Obat yang ia minum setidaknya mampu meredakan rasa nyerinya.
Pelan Ainun rebahkan tubuhnya di atas ranjang, ia luruskan kakinya.
Wanita itu menarik nafas.
Pelan, Ainun memejamkan mata dan terlelap.
@@@@@@@@@@@@
Suara adzan terdengar nyaring di telinga Ainun.
Ainun membuka matanya pelan, rasa nyeri di perutnya sudah menghilang.
Wanita itu sadar, ini adalah hari pertamanya datang bulan.
Ainun berusaha mengingat kejadian semalam, hatinya merasa jengkel saat Bimo menangkap tubuhnya yang sedang limbung.
"Ya Allah … kenapa pake mau jatuh segala sih....!"
Gumamnya malu akan diri sendiri.
Ainun bangkit, ia duduk di atas ranjang.
Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan saat bertemu nanti dengan Pompadeur.
Ia pasti akan sangat malu, jika terus mengingatnya.
Kedua tangan bimo telah menyentuh kedua pundak Ainun yang lemah.
Ainun bangkit, ia mengusap-usap pundaknya, yang ia ingat telah disentuh Pompadeur.
‘Hiiii............................!
Ya Allah … ampuun....!’
Pelan ia langkahkan kakinya menuju tasnya, ia harus bergegas membeli pembalut, sebelum bertambah parah.
Tak jauh dari tasnya, ia lihat kantong plastik belanjaan yang Bimo berikan padanya semalam, kenapa kantong itu terlihat gemuk....?
Ainun tak begitu memperhatikan semalam.
Perutnya begitu sakit, ia hanya fokus akan minuman pereda nyeri.
"Apa ini......................?"
Gumamnya seraya membuka kantong belanjaan.
"Ya, Allah … baik sekali dia... !"
Ainun terenyuh, dilihatnya sebuah roti manis, beberapa buah mie instant, satu botol kiranti yang belum ia minum, minyak kayu putih, dan … satu buah pembalut yang dibungkus kantong plastik hitam.
Semalam setelah keluar dari mini market, Bimo begitu resah.
Ia takut Ainun akan mengotori rumahnya dengan kotoran datang bulannya.
Laki-laki itu lantas mampir ke sebuah warung kecil yang tak jauh dari rumahnya, syukurnya jaket hoodie yang Bimo gunakan semalam mampu menutupi wajahnya.
Ainun diam, bagaimana laki-laki itu begitu memperhatikannya.
‘Siapa dia , ya Allah.......?’
Tanya Ainun bingung heran.
Ainun bangkit, Ia keluar dari kamarnya.
Sebuah motor CBR sudah terparkir di dalam.
Bimo menginap malam ini, ia tidur di kamar depan.
Buru-buru Ainun membersihkan diri, Ia tak ingin berpapasan muka dengan Bimo, kejadian semalam cukup membuatnya malu.
Ainun tidak hanya malu karena Bimo sudah menyentuh pundaknya, namun ia juga malu karena Bimo telah membantunya membelikan obat pereda nyeri haid dan pembalut yang tak semestinya ia lakukan.
Ainun bergegas, setelah membersihkan diri.
Ia keluar.
Waktu masih menunjukkan pukul 4 lewat 30 menit, Ainun bebas bergerak.
‘Cassava …Cassava...... !’
Gumamnya seraya mengusap-usap kedua telapak tangannya.
‘Berangkat......................!’
Seru Ainun.
Wanita itu memasang kuda-kuda kemudian berlari.
Jakarta masih gelap, namun setiap rumah sudah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Beberapa dari mereka sudah keluar dari rumah untuk pergi beraktivitas.
Warung sayur langganannya adalah milik Bu Atun, Bu Atun menjual keripik singkong mentah yang siap goreng.
Ainun tak perlu repot-repot lagi mengupas, mengiris dan merendam semua itu sudah dilakukan Bu Atun.
Ainun hanya perlu menggoreng dan menambahkan sedikit perisa rasa atau sambal pada keripiknya.
Modalnya tak banyak, ia hanya perlu menyiapkan minyak sayur, keripik singkong siap goreng, dan perisai rasa juga cabai bawang .
“Bu............!” sapa Ainun.
“Nun, ya Allah kemana aja kamu...?”
Tanya bu Atun rindu.
“Hehe..., kangen ya bu.”
“Berapa kilo, Nun.........?”
“1 kilo aja dulu bu, soalnya baru jualan lagi.”
“Ok...............................!”
Ainun edarkan pandangannya pada beberapa dagangan bu Atun, disana ada beberapa sayuran juga beberapa ikan untuk lauk pauk, di setiap dinding warung Bu Atun, ada beberapa sembako seperti minyak, gula dan banyak lagi.
Terlintas di pikiran Ainun, kebaikan Bimo padanya.
Refleks Ainun mengambil beberapa bahan untuk ia jadikan nasi goreng.
“Bu, beras pera ya .. ½ liter,”
Ucap Ainun ia ingat rice cooker mini miliknya yang sudah lama tak ia gunakan.
“Apa lagi, Nun..............?”
“Telor dua butir, mentega yang bungkus kecil ya bu.”
Ainun tahu bagaimana cara membuat nasi goreng lezat ala abang pinggiran.
Hidup di Jakarta tak membuatnya sungkan bertanya pada setiap orang akan ilmu yang mereka miliki.
Ainun, sahabatnya bukanlah mereka yang sering nongkrong di mall selepas kuliah, atau diskusi di sebuah kafe hanya untuk membahas tugas.
Ainun tak pernah memiliki waktu untuk melakukan semua itu, semenit dua menit adalah waktu berharga baginya.
Bu Atun, Bu septi, Bu Ecih adalah sahabat-sahabat setianya yang selalu mendukung dan mensupport pekerjaan juga kuliahnya di Jakarta.
Bagi mereka Ainun adalah anak muda yang perlu dicontoh generasi muda lainnya.
Mereka sangat tahu, bagaimana Ainun memiliki masalah keuangan, kadang mereka iba dan menawarkan bantuan namun Ainun selalu menolak.
“Daun bawang … bu, baksonya tiga butir aja.
Boleh nggak...............?”
Ucap Ainun malu.
“Boleh.................., Nun.
Kamu mau makan enak kayaknya, Nun.”
“Ahhh …” Ainun melotot.
Ia tak boleh memberitahu siapapun jika ia saat ini tinggal bersama Pompadeur.
“Iya …..........................!”
Jawabnya sedikit ragu.
Ainun kembali, ia sudah dapatkan beberapa bahan yang akan ia buat untuk keripik juga nasi goreng.
Ia pun membawa sebuah wajan sedikit agak besar yang ia pinjam dari Bu Atun.
Beberapa plastik kemasan sisa masih ia simpan rapih di dalam koper.
Ainun bergegas, ia memulai pekerjaannya.
@@@@@@@@@@@@
Hari semakin siang, Bimo si kepala Pompadeur membuka matanya dan sedikit terkantuk-kantuk.
Bimo selalu bangun siang, subuh hampir tak pernah ia temui.
Laki-laki itu terlalu bebas dengan dunianya sendiri.
Ia mengambil blackberrynya yang ia letakkan di atas nakas sebelah ranjangnya persis.
Ia membuka, satu pesan bbm dari Syahira penuh di kolomnya.
‘Kak … bangun, sholat subuh...!’
‘Kakak, belum bangun ya...?’
‘Kak....., hari ini kita ketemuan di kampus kan...?’
Tanya syahira beruntun setiap jamnya.
Bimo bangkit, ia biarkan pesan Syahira menggantung.
Ia lihat jam di sudut kamarnya, waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi.
Bimo bangkit, ia regangkan setiap sendi di tubuhnya.
“AHH............................!”
Bimo menguap.
Tak lama ia mengambil handuk juga peralatan mandinya dan pergi keluar.
Ia perhatikan rumahnya, rumahnya bersih dan wangi.
Lantai yang sudah lama tak ia pel, kini mengkilat dan harum, setiap debu pada meja, sofa juga lemari bersih.
Ainun si semut kacamata itu sudah memulai kerjasama dengan baik.
Bimo melangkah menuju dapur, sebuah meja makan kecil dengan dua kursi yang menempel di sisi kanan kirinya terlihat menonjol tak seperti biasanya.
Ada sebuah piring diatasnya, yang ditutupi sebuah kertas.
Bimo penasaran, ia berjalan pelan seraya menggaruk-garuk kepalanya.
Tak lama ia buka, kertasnya.
Bimo terkejut, sepiring nasi goreng bakso lengkap dengan telur ceplok diatasnya dan dua potong irisan tomat dan timun dan di sisi piring ada sebungkus keripik singkong, berlambang semut kacamata.
Bimo tersenyum ia tertawa kecil melihat gambar semut kacamata yang hampir mirip dengan Ainun, ia edarkan pandangannya mencari gadis yang berhasil membuatnya malu semalam.
Ainun tak ada, ruangan kamarnya pun terdengar sunyi.
“OK...............................!
Kita makan dulu...........!”
Ucap Bimo seraya menarik kursi meja makannya, tak lama ia menarik piringnya.
Sebuah surat terselip di bawahnya.
‘Terimakasih, Kakak …....,
Terimakasih...................!
Maaf, Maaf untuk kejadian semalam.....!’
“Hii.....! sadar juga dia.......!
Banyak salah sama saya....!”
Ucapnya seraya menyuap sendok pertama nasi goreng buatan Ainun.
“Hmmm … enak.............!”
Ucapnya.
Bimo begitu menikmati, nasi goreng Ainun.
Ainun begitu rajin, wanita itu bangun pagi memasak lalu membersihkan rumah.
Setelahnya, ia membungkus semua keripiknya ke dalam plastik yang ia miliki dan menutupnya menggunakan alat press mini yang ia beli dulu saat ia memulai bisnis keripiknya.
Bimo bangkit, nasi goreng Ainun cukup membuat perutnya terisi.
Laki-laki itu bergegas membersihkan diri lalu ke kampus.
.....bersambung........
No comments:
Post a Comment