Thursday, April 2, 2020

Comblang Syar'i 04

👩‍🏫 COMBLANG SYAR'I 👩‍🏫
                    PART 4

Plak..............! delapan … 
Plak...............! Sembilan, 
Gumam Ainun seraya menepuk nyamuk yang terus menganggu tidurnya. 
Ya Allah bagaimana aku bisa tidur. 
Keluh Ainun. 
Wanita itu kini bersandar di balik meja kasir beralaskan kardus buku yang ia bentangkan. 
Ia hanya bisa duduk, rasa takut juga resah menguasai pikirannya.  

Ainun terjaga hingga tengah malam. 
Ia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut toko buku, langit-langit yang sudah berjamur, lantai keramik putih yang warnanya sudah sedikit coklat, rak-rak  buku yang sudah hampir lapuk membuatnya berfikir, sebenarnya Pak Madi pun mungkin juga sedang kesulitan uang, toko bukunya selalu mengalami penyusutan. 

Ainun iba, tak seharusnya ia meminjam uang padanya, bisa berteduh di ruangan ini saja Ainun sudah sangat bersyukur. 

Ainun menangis, ia melipat kedua tangan, dan wajahnya berpangku diatasnya. 
Ainun tak kuasa menahan sulitnya hidup di Jakarta, ingin rasanya ia menyerah, kembali pulang tanpa membawa ijazah, atau apapun. 
Namun perjuangannya sudah sampai tengah jalan. 
Ia harus bertahan hingga semua ini berakhir.

Ainun terlelap, udara malam yang masuk melalui sela-sela rolling door akhirnya menghantarkannya untuk tidur. 
Malaikat-malaikat mungkin iba dengannya, wanita itu terlelap tanpa satupun serangga yang mendekati, udara malam mendadak menjadi temannya, ia begitu pulas hingga ia merasa sedang terlelap di kamar kos-kosannya yang baru, atau terlelap di ranjang milik Kakak Pampodeur.

Sementara jauh darinya, Bimo terus memikirkannya. 
Dalam hidupnya ia belum pernah berjumpa dengan wanita setegar Ainun, semangatnya, cerianya, membuat hatinya terenyuh. 

Sedang apa kau, Nun......! 
Gumamnya dalam hati. 
Bimo merebahkan tubuhnya di atas ranjang, ia melihat ke langit-langit, membayangkan langit-langit toko yang sudah hampir roboh karena lapuk. 
Semoga hari ini tidak hujan....! 
Gumamnya lagi. 
Laki-laki itu menutup wajahnya dengan bantal, dan mencoba untuk tidak memikirkan wanita yang ia bayar untuk menjodohkannya dengan wanita impiannya. 

Syahira, wanita yang ia sukai dua bulan terakhir ini. 
Bimo begitu tertarik dengannya, kecantikkannya, hijabnya yang rapih meskipun tak serapih Ainun, cara ia berbicara dan banyak lagi. 
Laki-laki itu menaruh hati dan merasa minder dengannya. 
Bimo adalah anak fakultas seni, yang asik dengan dunianya. 
Laki-laki itu bahkan tak bisa membaca quran, ia pun tak pernah sholat seperti yang di ketahui Ainun. 
Beberapa hari ini ia terus mencari perhatian Syahira, bahkan tak segan berpura-pura menjadi imam sholat saat mereka rapat organisasi bersama hanya waktu Dzuhur dan Ashar, pemuda itu berani menampakkan diri. 

Ainun adalah kutu baginya, sangat menganggu, Ainun tahu bahwa Bimo tak bisa sholat, ia khawatir kutu itu akan meracuni pikiran Syahira, namun kini kutu itu semakin membuatnya resah. 
Harusnya sudah ia buang jauh-jauh, dan kini kutu itu menjalar ke pikirannya.

@@@@@@@@@@@@

Gemuruh kendaraan terdengar jelas di telinga Ainun. 
Buru-buru Ainun bangkit dan melihat jam di telepon genggam miliknya 4.30 pagi, pada jam itu semua warga Jakarta sudah bangun untuk berebut lenggangnya kota Jakarta, semakin pagi mereka berangkat kerja semakin lenggang pula jalanan yang akan mereka dapatkan. 

OK Ainun, berhenti bersedih.....! 
Semangat Ainun.............! 
Teriak wanita yang kini berusia 20 tahun itu.  
Ainun bergegas mandi lalu sholat. 
Wanita itu lalu membuka toko buku miliknya, ia tinggalkan semua barang-barangnya di toko dan berlari kecil menuju warung Bu Ecih.

Ooh Garlic, Im Coming....!!! 
Teriaknya seraya berlari.
Ainun tak rapuh, ia bukan wanita ringkih yang mudah menangis, semua kesedihan ia simpan di hati, ia akan menangis jika tiada satupun tahu akan kesulitannya. 
Baginya dikasihani lebih menyedihkan dari pada berjuang. 

“Assalamualaikum, Bu ecih....!”

“Nun.............................! 
Kamu kemana aja......?”

“Pindah Bu.”

“Ibu banyak pesanan, Nun. 
20 kg sanggup nggak....?”

20 kg............................? 
Kemarin 10 kg jari-jari panas dan terkelupas, gumamnya dalam hati. 

“InsyaaAllah BISA..........!” 
Jawabnya seraya tersenyum lebar. 

“Ya sudah kamu bawa ya, besok kamu antar lagi.”

Dimana aku taruh, bawang ini....? 
Gumam Ainun.

“Bu...., apa tidak bisa Ainun mengerjakan di rumah Ibu....?”

“Saya mau pergi, Nun!”

“20kg, berat juga ya bu … hehe, saya bingung bawanya.”

“Saya tambahkan biaya ongkos nanti Nun, kamu tinggal dimana ....?”

“Depan jalan bu.”

Bu Ecih memandangnya, ia tampak iba dan kasihan. 
“Nun, ibu tidak bisa antar karena harus buru-buru antar catering, 150rb jika kamu mau ambil dan antar besok.”

“150 ribu.......................!”

“Ya Nun, gimana..........?”

“Ya, boleh bu................!” 
Jawab Ainun tanpa berfikir dua kali. 

“Itu ya, Nun karungnya...., 
Terimakasih ya Nun.” 
Jawab Bu ecih buru-buru.

Ainun diam, di pekarangan rumah Bu Eci yang penuh dengan sampah bahan-bahan masakan bekas ia memasak semalam, dan beberapa karung bawang putih. 
Ainun menarik salah satu karung. 
Ya Allah, aku bisa tidak....? 
Tanyanya dalam hati. 
Matanya mulai berkaca-kaca, ia membayangkan harus memikul 20 kg bawang dan berjalan ke depan sejauh 1 kilometer. 

InsyaaAllah bisa.............! 
Ucap Ainun seraya membawa karung bawang di pelukan, ia berjalan pelan. 
Pertama terasa enteng dan biasa, pelan semakin lama karung yang ia pikul semakin berat, keringat mengucur deras di wajah juga tubuhnya. 
Ainun mulai merasa kehausan, ia istirahat sebentar lalu bangkit dan meneruskan perjuangannya. 

“SINI.............................!” 
Seseorang baru saja merampas karung bawang dari tangannya.

Pampodeur.....................! 
Bisik Ainun. 
“Kakak...........................!”

“Dimana kos-kosan kamu....?”

“Ooh … disana ..uuu disebelah sana...!” 
Hawabnya berusaha menutupi karena malu.

“Biar saya saja, Kak.....!” 

“Udah saya aja.............!” 
Bimo berjalan meninggalkan Ainun di belakang, laki-laki jangkung itu memikul karung bawang seberat 20 kg di pundaknya. 

“Ayo, Nun.....................!” 

Ainun berjalan mengikutinya.

“Kakak, darimana............? 
Kok bisa ketemu saya...?”

“Lari pagi......................!”

“Ooo …..........................”

“Kak disini, aja. 
Kos-kosan saya sudah dekat.” 

Bimo tahu wanita ini sedang berbohong, Ainun tak ingin di kasihani, ia juga tak mau merepotkan orang lain.  
Toko bukunya tinggal 100 meter lagi didepan.

“Sudaah, kakak pulang....!”

“Kamu yakin, Nun.........?”

“Yakin...., informasi Syahira.
Nanti sore ya Kak.”

“Kos-kosan mu deket toko buku, Nun....?”

“Iya, deket banget, udah kakak pergi ya.”

Bimo mengalah, ia mengikuti permintaannya. 
Ia berbalik arah, membiarkan Ainun memikul karung itu sendiri di pelukan. 
Wanita itu terus berjalan, tanpa ada rasa malu ataupun kesedihan yang tampak di wajahnya.

Bimo kembali. 
Perasaan bersalah mendadak hinggap di pikirannya.

Ainun memiliki waktu 3 jam kosong sampai jam buka toko. 
Wanita itu membuka toko dan bergegas mengambil pisau lipat yang selalu ia bawa, ia memulai pekerjannya. 
Jemariku, maafkan aku ya … hari ini kalian akan kepanasan lagi, gumamnya.

Pelan, ia mengupas bawang, seraya melafazkan ayat-ayat Allah yang hendak ia hafalkan.  
Ainun tak malu,  ia yakin Allah maha adil perjuangannya saat ini akan berbuah kebahagian kelak, orang tuanya pun akan bangga dengannya. 

Uhhh...............................! 
Desah Ainun, salah satu kulit jarinya terkelupas, dan terasa perih. 
Mengupas bawang putih lebih panas dibandingkan mengeluarkan biji cabai. 
Ia terus mengupas, ia tak patah arang. 
Ainun adalah wanita tegar juga kuat, bisiknya dalam hati.

Menjelang buka toko, Ainun bergegas ia rapihkan semua sampah kulit bawang yang hampir beterbangan, ia membersihkan toko dan menyemprotkan wewangian miliknya agar toko tidak berbau bawang putih. 
Kini ia tinggal menunggu kedatangan Pak Madi, bosnya.

Pak Madi datang, laki-laki paruh baya itu tersenyum melihat semangat Ainun. 

“Semalam kamu disini, Nun....?”

“Ya........................, Pak.”

Pak Madi iba, terlihat dari raut wajahnya. 
Maaffin Bapak Nun, kalau saja ada kamar kosong di rumah. 
Sudah bapak minta kamu tinggal di rumah. 
Gumam Pak Madi dalam hati.

“Ainun berangkat...., Pak,” 
Ucapnya. 
Ainun membawa tas ransel di pundaknya, dan sekantong bawang yang sudah ia kupas. 
Sebelum ke kampus, ia akan meletakkan bawang hasil kupasannya terlebih dahulu di pekarangan rumah Bu eci, setelahnya ia berangkan ke kampus. 

“Bu, sisanya besok........!” 
Pesan kertas yang ia tinggalkan di dalam plastik.

Ainun berangkat, ia masih ada waktu panjang hingga kelasnya di mulai. 
Pukul 11 kelasnya di mulai, dan saat ini jam menunjukkan pukul 9.30. 

“Nun.............................!” 
Teriak Syahira.

Ainun tersenyum lebar, wanita itu ternyata tidak sulit untuk didekati, Syahira juga tidak sombong seperti teman-teman lainnya yang menganggapnya hanya mahasiswa pungutan.  
Tak salah jika Bimo menginginkannya.

“Ra..............................!” 

“Kamu puasa.............?”

“Nggak........................”

“Kita ke kantin yuk......”

“Ayo............................!”

Ainun tersenyum, uang 3 juta serasa di depan mata. 
Ia hanya tinggal memberikan bubuk-bubuk kebaikkan kakak Pampodeur padanya.

“Nun, kamu yakin hanya makan itu...?” 
Tanya Syahira yang melihat isi piringnya, hanya ada nasi juga sayur dan kuah yang melimpah.

“Aku Vegetarian, Ra.......”

“Serius..........................?” 
Kilah Ainun. 
Meskipun ia begitu tertarik dengan potongan daging rendang yang Syahira pesan.

 “Ra..., kamu kenal kakak Bimo....?”

“Kenal.” 
Jawabnya seraya mengunyah makanan di mulutnya. 

“Menurut kamu, kak Bimo bagaimana....?”

“Kamu suka ya …..........” 
Ledek Syahira.

“Nggak.........................,”

“Ganteng, tinggi, orangnya baik Nun.”

“Oh ya, kamu suka........?”

“Hmm … gimana ya.......? 
Ya suka aja sih, punya pacar kayak dia ngga malu-maluin.”

“Pacar...........................?”

“Ya................?”

Ainun salah persepsi, Syahira ternyata wanita yang memilih jalur pacaran sebelum menikah.

“Kak Bimo, itu setahu aku maunya menikah loh, Ra.”

“Oh ya … bagus donk, gentle...!”

“Nah, kamu mau.........?”

“Mau apa sih, Nun.......!”

“Jadi istrinya dia.........?”

“Hahahahhaa … Nun, jangan bilang kamu lagi nyomblangin aku...?”

“Ya … anggap saja begitu.”

Syahira diam................, 
“Nun, kalau dia suka sama aku. 
Bilang langsung bicara aja, tidak usah pakai comblang...!”

Yes...............................! 
Tidak apa lah, gampang ternyata. 

“Kamu lucu, Nun........” 
Lanjut Syahira melihat ekspresinya yang begitu tertarik, kacamatanya sampai menyusut ke mulutnya.

Tak lama telepon genggam Syahira berdering, nadanya begitu bagus tak seperti telepon genggam miliknya. 

“Nun, maaf ya … aku harus duluan, ditunggu bu Marni.”

“Oh ok.” 
Ainun melanjutkan makan siangnya, nasi dan sayur. 
Ainun bersyukur setidaknya, ia masih bisa makan, ia melihat piring Syahira, rendang itu masih tersisa disana. 
Ainun menelan salivanya, rasanya ingin sekali mengambil potongan daging sisa itu danDr memindahkan ke piringnya. 

Ainun merengut, pelayan terlanjur membersihkan dan mengambil piring-piring kotor ditangannya. 
Dilihatnya, beberapa piring masih penuh dengan isi makanan. 
Ya Allah, kenapa mereka tidak habiskan, bisik Ainun dalam hati.

“Ini................................!” 
Mendadak Bimo hadir di hadapannya, ia membawakan sepotong ayam bakar di hadapannya.

“Apa ini kak..................?” 

“Ayam...........................!” 

Kemarin, Bimo sempat melihat Ainun saat makan siang di kantin Blok B, wanita didepannya hanya memesan nasi juga sayur dengan kuah melimpah, dan hari ini di warung makan padang, ia pun hanya memesan nasi dan lalap singkong juga kuah. 

“Ini Ayam bakar, buat aku....?”

“Ya ..................…”

“Kakak..., belakangan baik banget sama saya. 

Saya punya berita bagus buat kakak.”

“Oh ya....., apa.............?”

“Syahira sepertinya juga suka dengan kakak.”

“Serius...., Nun...............!”

“Iya..........”

“Oh ya Kak, kakak tidak perlu memberikan aku uang tiga juta itu. 
Pekerjaan ini ngga sesulit yang dibayangkan, dan satu juta kakak. 
InsyaaAllah akan Ainun ganti. 
Syahira bilang, kakak bilang saja langsung ke dia.” 
Ainun tidak mau menanggung dosa terlalu banyak, melihat gaya Syahira juga Bimo, ia sudah tau mereka akan berpacaran terlebih dahulu sebelum menikah, boncengan, nonton bioskop sudah pasti akan mereka lakukan. 

Dosa mereka hanya akan mengalir begitu saja kepadanya, karena telah membantu orang berbuat dosa dan melanggar agama. Jika saja, muda-mudi itu tahu, bahwa......,
“Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya.” 

Mungkin akan banyak dari mereka, akan berfikir lebih panjang untuk menjalin hubungan sebelum menikah.

“Yakin dia bakal terima , Nun....?”

“InsyaaAllah........, yakin. 
Tapi saya harap, kakak menikah saja dengan dia.”

“Dia bilang, kalo kakak berani mengajak nikah, kakak gentle.”

“Menikah.......................? 
Apa ngga terlalu dini, Nun....?”

“Justru menikah itu yang akan membawa kakak pada kebahagiaan, terlindung dari dosa.”

Bimo menarik nafas, sepertinya tak mungkin baginya untuk menikah di usianya yang kini 26 tahun, ia masih merasa muda, begitupun Syahira yang mungkin kini berusia 20 tahun. 
Baginya Ainun terlalu fanatis, menjalankah agama seperti Ainun hanya akan mempersulit hidupnya.

“Penjajakan saja dulu, Nun.”

Ainun diam, ia lanjutkan memakan potongan ayam bakar yang Bimo baru belikan. 

“Mas, Jus Alpukat satu...!” 
Pinta Bimo.

Tak lama, jus itu datang. 
“Makan yang banyak Nun, ini jus buat kamu. 
Biar kamu gemuk.”

Ainun terperangah, jus Alpukat kini di depan matanya. 
Ainun tersenyum ke arahnya, matanya menjadi sipit, kacamata membuat wajahnya tenggelam.

Menggapai Syahira ternyata tak sesulit yang ia bayangkan. 
Bimo semakin yakin gadis bertubuh sintal itu akan menjadi miliknya.

@@@@@@@@@@@@

Malam berlalu, Ainun lagi-lagi kembali ke toko buku, ia akan bermalam lagi di sana.  
Wanita itu sangat kelelahan, setelah kuliah dan menjaga toko. 
Energinya kian menipis, ia tutup toko dan kembali membentangkan kardus di balik meja kasir. 
Ia rebahkan tubuhnya dan terlelap.

Tak lama dering telepon terdengar, Ainun bangkit. 

“Haaaloo......................” 

“Kacamata...................!” 
Suara Bimo terdengar nyaring di ujung telepon.

“Kakak, mau apa.........?”

“Nun, kamu udah tidur....?” 

“Hampir.........................”

“Nun …...........................”

“Hmmp..........................”

“Nun, saya mau minta no telepon Syahira.”

“Besok saja apa tak bisa Kak....?”

“Yah, Nun … maunya sekarang.”

“Sebentar … HAAAAA....!”

“Nun, kamu kenapa........! 
Nun...............................!” 

Bimo bangkit, ia keluar dari rumahnya dan naik ke atas motor. 
Bimo panik, ia khawatir terjadi sesuatu pada Ainun, laki-laki itu bergegas menuju toko buku Ainun dengan kecepatan tinggi. 
Malam itu sudah pukul 11 malam, jalanan begitu lengang. 

“AINUN......! BUKA …......!” 
Teriak Bimo seraya menggedor-gedor rolling door toko buku Pak Madi. 

Tak lama rolling door terbuka, Ainun terperangah dengan kehadirannya. 
Bimo masuk................., 
”mana malingnya Nun...?!”

“Maling.........................?” 
Tanya Ainun heran.

“KAMU TADI KENAPA....!” 
Rutuk Bimo kesal. 

Ainun melihat wajah Bimo yang khawatir dan cemas akannya, rambut Pampodeurnya berantakan tak seperti biasanya.

“Kakak, tau saya disini dari mana....?” 
Tanya Ainun gugup.

Bimo menarik nafas, wajahnya berkeringat, ia usap rambutnya berulang kali. 
Tak tahu dari mana datangnya perasaan cemas itu. 
Ia hanya takut terjadi apa-apa pada wanita polos ini. 
Ainun begitu polos, dan baik. 
Bimo yakin ia hanya merasa kasihan padanya, perasaannya tidak lebih dari itu.

“Sudahlah, lupakan........!” 
Bimo keluar dari toko, ia langkahkan kaki menuju motornya. 

“Tikus kak......................!” 
Teriak Ainun. 
Ainun terenyuh, perhatian Pampodeur malam itu menyuntuh hatinya. 

Bimo masih diam, ia perlu menata hatinya. 
Ia tak ingin salah, baru saja ia ingin mengirimkan pesan ke Syahira, kini si Ainun mengusik relung hatinya. 
Cemas, jengkel bercampur menjadi satu. 
Laki-laki itu kembali tanpa berkata apapun, Bimo tak ingin Ainun salah paham dengan sikapnya barusan. 
Ainun berdiri dari jauh melihatnya.

Bimo pergi. 
Wanita itu kembali ke dalam, ia mencoba mengusir tikus yang baru saja melintas dekat tubuhnya. 

“Ayoo donk … huz … huz …” 

Rolling door masih terbuka, Ainun tak sanggup jika ia harus bermalam dengan si Mickey mouse. 
Ya Allah, bagaimana ini … 
Aku geli...........................! 
Lirih Ainun.

Pelan Ainun yang sudah sangat lelah itu menangis. 
Ia memang sangat benci dengan tikus, namun air matanya bukan untuk tikus, debar hati mendadak menyeruak saat Bimo berteriak menanyakan keadaannya, perlahan hati seperti tersayat, ada rasa di dalam yang tak tahu apa artinya. 
Ainun menangis.

“KELUAR..., TIKUS AKU MOHON....!” 
Tangisnya semakin menjadi, tiada satupun yang datang membantu. 
Kenapa Bimo datang  lalu pergi, menyisakan luka di hatinya. 

Ainun pasrah, tikus itu masih bersembunyi entah dimana. 
Hari semakin gelap, Ainun menarik rolling doornya, dan duduk di sudut meja kasir. 
Ia menangis, keadaannya begitu sulit. 
Tak lama angin malam kembali berembus menyapu air mata Ainun, Ainun menarik nafas. 
Udara itu begitu segar hingga masuk ke dalam hatinya. 
Pelan ia pejamkan mata dan terlelap, Ainun nyenyak dalam kondisi duduk bersandar.

......BERSAMBUNG.......

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER