👩🏫 COMBLANG SYAR'I 👩🏫
PART 21
Musim hujan datang membuat suasana semakin dingin, sedingin hati Ainun.
Gadis itu termenung di bawah pendopo seraya merasakan rintik air hujan dengan jemarinya.
Ia rindu dengan lelaki yang pernah memberikan secercah harapan di bawah pendopo ini.
Lelaki bernama Bimo Dharaya adalah lelaki yang selalu membantunya dikala ia sulit, dikala ia lelah, dikala ia menangis.
Bimo selalu datang, entah apa yang menjadikan Bimo begitu mencintai Ainun.
*Sadar.*
Gadis mungil itu mulai menyadari arti cinta setelah ia kehilangan Bimo.
Satu bulan sudah Ainun menjalani hidup sendiri.
*Sepi.*
Bagai duri yang menusuk di hati, rasa sakit selalu datang begitu saja jika kenangan mendadak tiba di bayangan.
Bayangan Bimo selalu hadir dimanapun dan kapanpun seperti embusan angin yang tak henti-henti mengirimkan rindu berwujud luka.
*Pedih.*
Ainun duduk hingga hujan habis mengguyur Universitas Negeri Jakarta.
Bau tanah semilir lembut tercium begitu nyaman merasuk hingga ke hati.
Tetesan air terakhir Ainun rasakan di jemari.
Ainun melangkah kembali.
Arif, supir Raiyan sudah menunggu di muka lobby.
Lelaki bernama Raiyan pun setia menunggu hati Ainun siap untuknya.
Ainun hanya bisa bersabar Allah menentukan arah hatinya.
Namun nyatanya arah hati tak seperti kompas yang selalu berubah-ubah...,
Hati Ainun tetap pada satu arah Bimo Dharaya.
Selama dua bulan Bimo tak pernah menghubunginya.
Ainun berusaha menyembunyikan hati, namun terasa sulit.
Selama itu Ainun terus menjaga jarak dari sikap Raiyan yang berlebihan, ia pun berusaha agar Raiyan bisa berpaling dari dirinya.
Ainun mencoba untuk menunjukkan pada Raiyan betapa ia hanya mencintai lelaki bernama Bimo.
Raiyan tahu itu.
“Nun............................!”
Sapa Raiyan menyambutnya di muka rumah.
Wajahnya tersenyum lebar, lelaki itu menggendong Rania.
Ainun membalas senyumannya, tak lama Rania berlari ke arahnya.
“Bun … da.....................!”
Ucap Rania membuat kedua mata Ainun terbelalak.
Ainun melengos, ia tatap wajah Raiyan, hatinya begitu tak nyaman mendengar Rania memanggilnya Bunda, meski hati menyayangi Rania.
Namun hati Ainun belum siap.
“Bunda.........................?”
Tanya Ainun pada gadis mungil di hadapan.
“Nda.............................!”
Ucapnya lagi.
Ainun bangkit ia bopong Rania dan masuk ke dalam, wajahnya datar.
Ia menatap nanar penuh kebencian ke arah Raiyan.
Lelaki itu mungkin mengajarkan anak-anaknya untuk menyapa dirinya dengan Bunda.
Ainun sibuk menyelesaikan tugas skripsinya.
Di kamar yang Raiyan siapkan untuknya, dengan komputer jinjing pemberian Bimo dengan password yang masih sama.
Ainun pandangi wajah Bimo di layar desktop.
Ainun ingin mengganti fotonya, ia tak tahu bagaimana cara mengganti foto pada layar desktop, Ainun begitu lugu foto Bimo justru membuat rasa cinta semakin parah.
Fokus..........................,
Ia tepis rasa rindu dan sedih.
Banyak ilmu yang ia dapatkan dari penelitian skripsinya.
Ia bisa menyimpulkan dari penelitiannya terhadap Radit.
Bahwa anak Autis..........;
Akan marah jika benda yang ia sukai diambil...,
Akan marah jika ada trauma...,
Akan marah jika aktivitasnya diganggu...,
Akan marah jika orang terdekat hilang...,
Akan marah jika mendapatkan kekerasan fisik.
Sering kali Radit mengalami tantrum dan sebagian besar penyebabnya adalah Raiyan.
Raiyan terlalu mengekang anaknya, hingga Radit menjadi trauma dan karena trauma itulah perkembangan kognitif, linguistik Radit tak berkembang.
Selama satu bulan Ainun berada di rumah Raiyan ia subuk meningkatkan dua kemampuan dalam diri Radit diantaranya linguistik.
Kemampuan Linguistik, Radit masih sulit berbicara.
Ainun membantu dengan menunjukkan benda-benda di sekitar rumah dengan menyebutkan nama bendanya dengan jelas.
Ia meminta Radit untuk mengikuti Ainun, lalu ia lanjutkan dengan memberikan reward rubik pada Radit.
Selanjutnya Ainun lakukan kegiatan itu berulang-ulang.
“Awah …........................”
“Bukan Awah.., Ayah.....!”
Ucap Ainun seraya menunjukkan foto Raiyan.
“Awah...........................!”
“Ayah .........................…!”
“Nda.............................!”
“Bukan Nda … Bunda....,”
Lanjut Ainun seraya menunjukkan foto Malika.
“Ayah … Bunda............!”
Ainun membantu mengarahkan jemari Radit pada foto yang terpajang di kamar Radit.
Makan malam yang selalu menjadi aktivitas rutin keluarga Raiyan sejak hadirnya Ainun.
Raiyan semakin menaruh harapan pada gadis di sisi, Ainun merawat anak-anaknya dengan baik.
Raiyan diam dengan makanan di depan, dengan sengaja Ainun meletakkan rubik di dekat Raiyan.
Lelaki itu menatap heran, Ainun pasti ingin menunjukkan sesuatu padanya.
“Ayyyah.......................!”
Ucap Radit.
Alat makan di tangan Raiyan mendadak terjatuh, hati Raiyan bergema dan tubuhnya bergetar.
Bulir bening menetes di ujung mata.
“Apa Nak....................?”
“Ayyah........................!”
Raiyan menangis, ia turun dan sejajarkan tubuhnya dengan Radit.
Pertama kali dalam hidup Raiyan sejak kepergian istrinya, Radit kembali menyapanya.
Raiyan memeluk erat tubuh Radit, ia menangis.
Nafasnya tersengal-sengal, ia ciumi putranya dengan rasa syukur teramat dalam.
“Terima kasih, Nun.......!”
Ainun mengangguk, ia merasa berhasil membantu Raiyan.
Meskipun kadang hati membencinya namun Ainun tahu Raiyan adalah lelaki yang baik.
Perjanjian dia dengan Raiyan hingga skripsinya selesai, ia tak tahu saat itu apakah Raiyan akan mengikhlaskan hatinya atau tetap kekeh untuk menikahinya.
*************************
“Ainun ingin kakak tahu, Ainun menunggu kakak disini.
Meski kakak tak tahu, tapi Ainun akan terus berjuang.
Berjuang seperti kata Kakak,
Berjuang agar Allah menyatukan Ainun dengan Kakak.
Kak......, kakak benar rindu dan cinta adalah penyakit mematikan dan Ainun rasakan itu sekarang,”
Gumam Ainun seraya menerbangkan pesawat kertas dari jendela kelasnya di lantai dua gedung daksinapati.
Ainun mulai merasakan beratnya kehilangan.
Hidupnya terasa datar dan tak berwarna.
Hati merasa, Bimo sudah berubah dan kecewa dengan keputusannya.
Ainun merasa, Bimo sudah menyerah dan pergi meninggalkannya.
Saat terindah hanya ia lalui bersama Bimo.
Begitu senangnya Ainun hingga ia terbuai bahwa ia akan menjadi milik Bimo seutuhnya.
Ainun hanya berharap jodohnya adalah lelaki yang kini tak pernah muncul di pelupuk mata, lelaki yang suaranya hampir tak pernah ia dengar.
Ainun tetap bertahan, setidaknya hingga takdir menuliskan akan kemana Ainun melangkah.
“Nun.........! Ainun.........!”
“Hah...., ya Kak.............!”
“Kakak..........................?
Kamu mau panggil saya kakak...?”
"Maaf Pak ... bukan, Ainun salah,"
Jawab Ainun menunduk.
Dada sakit menahan rindu yang tak kunjung usai.
"Ainun rindu kakak.........,"
Gumamnya dalam hati.
Ainun terperangah, Raiyan menjemputnya di kampus.
Berat Ainun menata hati.
Lelaki di hadapan adalah lelaki yang sudah meminangnya.
Ainun tak bisa memaksakan cintanya, namun melihat Raiyan hanya terus membuat Ainun merasa berdosa.
Ainun lebih baik tidak mencinta, ia lebih baik hidup dengan dirinya sendiri.
Demi lelaki bernama Bimo Dharaya, Ainun dengan sengaja mengulur waktu akan jodohnya yang sudah di depan mata.
Jika Ainun mau, ia bisa saja menikah dengan Raiyan secepat mungkin agar tiada dosa yang mendera di hati,
Ainun ingin berjuang setidaknya hingga ia lulus.
Semoga Allah memberikan jalan padanya untuk bisa bersama Bimo,
Namun jika hari itu ia tetap bersama Raiyan.
Maka berakhirlah kisah dirinya dengan Bimo dan Ainun berjanji tak akan menangisinya.
“Kita pulang..................!”
Ainun mengangguk, ia mengekor mengikuti tubuh Raiyan yang jangkung.
Semua mata tertuju pada Ainun, wajah Raiyan yang tak biasa membuat Ainun menjadi bahan pembicaraan.
Sore itu selepas kembali kerja Raiyan sempatkan menjemput Ainun.
Ainun tak ia lepas, ia akan terus berusaha menyakinkan hati Ainun agar mau menikah dengannya.
Sore itu kemeja putih yang Raiyan pakai membuat warna kulitnya terlihat lebih cerah.
Mereka bilang Ainun sangat beruntung memiliki Raiyan.
*************************
Tiga bulan sudah Bimo tak hadir di pelupuk mata Ainun, suaranya pun menghilang di makan keheningan.
Ainun terus bersabar dan bertahan.
Ainun hanya bisa berjanji bahwa ia akan menjaga hatinya selama ia masih sendiri hanya untuk Bimo Dharaya.
Ainun tampak tegar ia tak terpesona dengan kebaikan Raiyan juga ketampanannya.
Tiga bulan Ainun mengisi kekosongannya dengan menghabiskan waktu bersama Radit.
Kecerdasaan Radit harus terus menerus di stimulasi semakin di pancing, anak lelaki ini semakin pintar.
Sudah banyak kosa kata yang Ainun berikan kepada Radit, sedikit demi sedikit Radit sudah mulai terbiasa untuk bicara.
Saat ia lapar ia akan bersuara, saat ia membutuhkan sesuatu ia akan bersuara.
Sebuah perkembangan yang signifikan.
Ainun memberikan aneka macam bentuk rubik padanya.
Ia juga mengenalkan Radit pada alat-alat perkakas yang berhubungan dengan kunci atau mencari jalan keluar.
Obeng, mur dan baut adalah perkakas pertama yang Ainun kenalkan.
Ainun mengajarkan bagaimana cara radit menggunakan ketiga benda tersebut.
Sempurna.
Radit mampu menerima dengan baik, dengan mudah ia bisa menggunakannya dan kini bertambah macam-macam benda yang ia sukai.
Malam ini Radit dan Rania sibuk bermain dengan Ainun di kamarnya, Radit yang sedang asik dengan mainan barunya sama sekali tak menganggu pekerjaan Ainun.
Raiyan, lelaki ini semakin kagum dan mulai mengembangkan rasa di hati.
Sudah tiga bulan ini Raiyan memperlakukan Ainun dengan baik, lembut dan mengikuti semua kemauan Ainun.
Lelaki itu berdiri di muka pintu kamar Ainun,
Ainun tengah sibuk bermain dengan Rania dan Radit berpangku di pahanya.
“Yuk...., anak Ayah bobo...!”
Ucapnya seraya masuk dan mengambil Rania.
“Nun … kamu kerjakan skripsimu ya, biar anak-anak saya yang jaga.”
“Terima kasih Pak..........,”
Jawabnya.
Raiyan terlihat lebih dewasa dan bijaksana, keegoisan dan amarah tak pernah Ainun lihat selama tiga bulan terakhir.
Apapun yang Ainun pinta Raiyan menurutinya.
Lelaki itu tak menolak, ia bahkan tak meminta Ainun untuk mengikuti semua yang ia inginkan.
Malam yang melelahkan bagi Ainun, wanita itu terlelap.
Ponsel di dekapan.
Rindu.
Gadis ini rindu akan suara Bimo Dharaya, hampir setiap malam Ainun menantikan panggilan telepon dari lelaki yang sudah lama membuatnya menangis.
“Hah.............................!”
Ainun melindur, telinganya menangkap suara di kamar.
Ainun buka mata perlahan, rabun ia lihat putra Raiyan sedang duduk di meja belajarnya, di tangan kanan sebuah obeng.
Radit terlihat fokus, matanya sama sekali tak bergerak ia fokus menatap pada sebuah benda.
Ainun bangkit.
“Radit ........................…,”
Ucapnya lemas seraya mengusap matanya yang rabun.
“MasyaAllah..................!”
Teriak Ainun.
Buru-buru Ainun mendekati Radit,
Ainun terkejut komputer jinjing pemberian Bimo telah terlepas setiap bagian-bagiannya.
Radit melepaskan semua mur yang menempel pada dinding laptop.
Ainun mendadak meringis, ia bangga namun ia khawatir semua file di dalam komputer akan hilang.
“Radiiit...........................!
Skripsi Kakak................!”
Lirih Ainun seraya memeluk Radit.
Wanita ini tak marah, rasa khawatir ia pendam dalam-dalam.
Membentak Radit hanya akan membuat anak lelaki ini terluka.
“Nun............................!”
Sapa Raiyan mendekati kamar Ainun, pintu kamar setengah terbuka lelaki itu pun dengan mudah masuk.
“Ada apa Nun...............?”
“Tidak apa-apa Pak.......,”
Jawab Ainun datar ia masih memeluk Radit.
Raiyan mendekat.
“Radit............................!!”
Seru Raiyan dengan nada sedikit membentak.
Ainun menggeleng.
“Pak...., Bapak lihat apa yang dilakukan Radit....?”
“Kita akan selamatkan skripsimu Nun, tenang saja.”
“Bukan skripsi Ainun Pak...!
Lihat apa yang Radit lakukan...?”
Tanya Ainun penuh harap dan senyuman meski hati was-was akan file yang mungkin saja hilang atau rusak.
Raiyan perhatikan setiap bagian laptop yang terlepas.
Hardisk, batrai, memory ram, layar semua sudah terlepas, anak lelaki Raiyan membukanya dengan sungguh-sungguh karena rasa ingin tahu yang amat dalam.
“Dari mana kamu belajar Nak....?”
Tanya Raiyan seraya mensejajarkan tubuhnya.
“Radit sudah pintar Pak...,
Kita bisa masukkan Radit ke sekolah Tekhnik.
Radit pasti jadi orang hebat, kita bisa ikut sertakan Radit ke lomba rubik internasional, anak ini pasti juara.....!”
Seru Ainun begitu senangnya.
“Kita … kita Nun...........!”
Ucap Raiyan pelan.
Membuat Ainun diam, Ainun melengos.
Ainun tahu maksud Raiyan, akan lebih indah jika Ainun dan Raiyan bersama-sama menjaga Radit.
Namun Ainun masih tetap menjaga hati hanya untuk Bimo Dharaya.
“Anak pintar …
Saya benarkan dulu ya Nun, kamu bawa Radit ke kamarnya.”
*************************
Raiyan melihat kekosongan di mata Ainun.
Gadis itu tampak lemah duduk bersandar di pendopo kampusnya.
Tak menangis, namun kosong di tangan terkepal sebuah surat kabar yang terlihat menyakitkan baginya.
Kesedihan yang Ainun rasakan mendadak menimbulkan perih di hati Raiyan.
Lelaki yang tengah berdiri mematung menatap Ainun pun tak suka melihat kesedihan di wajah Ainun yang tak habis-habis.
Raiyan menarik napas, ia melangkah mendekati Ainun.
Suara langkah Raiyan pun tak mengusik Ainun dari lamunannya.
Laporan skripsi menumpuk di samping, dan air mata mendadak menetes di pipi Ainun.
Raiyan perhatikan anak muda di hadapannya.
Ainun seperti merasakan kehilangan yang teramat dalam.
“Apa ini, Nun.................!”
Ucapnya seraya menarik surat kabar yang ia kepal.
“Bapak.........................!”
Jawab Ainun ketus.
Sebuah surat kabar bertuliskan kesuksesan Bimo Dharaya anak dari pengusaha terkenal dalam meningkatkan penjualan kosmetik terbaru.
Bimo sukses membuat kosmetik ini dikenal di masyarakat dan penjualanpun meningkat drastis.
Hari ini adalah hari dimana pengangkatan Bimo menjadi direktur muda di perusahaan.
Satu minggu sudah Bimo di Jakarta, namun tak kunjung menemui Ainun.
Ainun bergeming tak lama hatinya semakin sesak, Raiyan terdiam mengamati Ainun.
Gadis di hadapan sudah bukan lagi seperti kekasih, melainkan seorang adik.
Hati Raiyan teriris melihat Ainun menahan sesak di dada.
“Selamatkan Ainun Pak...,
Ainun sakit...................!”
Ucapnya mengeluh berderai air mata Ainun, hingga membuat hati Raiyan sakit memikirkan luka yang dulu pun pernah ia rasa.
“Bangun Nun................!”
“Sampai kapan kamu mau bertahan Nun...?”
Tanya Raiyan seraya melengos dan meninggalkannya.
Ainun mengekor mengikuti Raiyan.
Raiyan semakin sulit, hatinya terenyuh.
Tak sanggup ia melihat kesedihan yang terus menerus mendatangi gadis yang sebelumnya ceria, kecerian Ainun pudar semenjak perpisahannya dengan Bimo Dharaya.
Perih.
Tak ada lagi canda tawa yang tulus, semua hanya keterpaksaan.
Aku bukan penjahat Nun...,
Aku hanya ingin kebahagiaan untuk anak-anakku...!
Itu saja.
Gumam Raiyan
*************************
Ainun terus berusaha untuk melupakan Bimo.
Janji Ainun kini bukan lagi untuk Bimo melainkan untuk Raiyan.
Gadis itu berjanji akan bersedia menikahi Raiyan setelah ia lulus, Ainun seperti orang bodoh yang tak mampu memperjuangkan hati.
Mestinya sudah lama AInun sadari, hatinya begitu perih tanpa kehadiran Bimo, memaksakan hati hanya membuatnya semakin terluka.
Perlahan hati Ainun mulai tergerus dengan waktu, Ainun tak sanggup bertahan.
Perih...., luka terus menerus ia dera hanya untuk nama Bimo.
Ainun hanya berharap suatu hari Bimo akan kembali, Ainun hanya ingin Bimo tahu bahwa Ainun tulus mencintainya.
Perasaanya sama dengan Bimo.
Betapa Ainun menyesali disaat akhir perjumpaannya, ia tak mengatakan sedikitpun harapan pada lelaki bernama Bimo.
Sakit, luka, perih hanya itu yang Ainun rasakan Kak....,
Kakak tidak perlu tahu itu.
Gumamnya.
“Nun …...........................,
Tuan minta kamu segera siap-siap.”
“Siap-siap.....................?
Kemana Mbok..............?”
Tanya Ainun heran.
“Mbok tidak tahu Nun.”
Ainun keluar, ia lihat Raiyan sudah rapih dengan setelan jas berwarna hitam dan kemeja putih di dalamnya, lelaki itu terlihat gagah setelan jas begitu pas di tubuh.
“Kita … mau kemana Pak...?”
“Kamu rindu dengan lelaki bernama Bimo kan...?”
Ainun terkejut, mendadak hatinya sesak bulir bening menetes.
Kedua rahang terangkat dan begitu senangnya ia mendengar pertanyaan Raiyan.
Ainun kembali ke kamar secepat kilat.
Pakain Ainun sudah disiapkan si Mbok.
Gaun yang begitu mewah bagi Ainun, gaun berwarna cream pastel dengan hijab berwarna pink yang senada.
Keceriaan mendadak kembali di wajah, tak terasa air mata terus menerus menetes.
Ainun berdiri di depan cermin, ia pantaskan diri di depan cermin.
Ainun hanya menggunakan bedak bayi tipis di wajahnya, sesekali ia mengulum bibirnya agar memerah.
Ainun siap.
Cukup lama ia merindukan Bimo, malam ini doanya seperti dikabulkan Allah.
Raiyan mendadak luluh ingin membantunya bertemu Bimo.
“Pak … Bapak serius.....?”
Tanya Ainun begitu senangnya, tanpa memikirkan perasaan Raiyan.
Raiyan mengangguk.
Entah kemana Raiyan akan membawa Ainun, pakaian yang mereka kenakan terlihat formal.
Sebuah acara pasti sedang berlangsung di tempat yang juga ada Bimo di sana.
Raiyan sudah lelah, ia ingin melihat pertemuan dua insan yang sedang dimabuk rindu.
Bagi raiyan ini adalah keputusannya terakhir, jika Bimo dan Ainun bersatu malam ini maka ia akan pergi perlahan meninggalkan Ainun.
Sebuah acara pesta perusahaan di bilangan selatan Jakarta.
Raiyan mendapatkan informasi dari kerabatnya yang juga pengacara di perusahaan Bimo.
Lelaki itu sengaja datang demi Ainun.
Hatinya cukup sedih melihat derai air mata Ainun yang tak kunjung henti.
Wanita itu tersenyum lebar seraya memandangi kota Jakarta yang penuh dengan lampu hias.
Ainun buka kaca mobil ia rasakan kesejukan yang teramat dalam, bulan bersinar cerah begitupun bintang-bintang yang menghiasinya.
Ainun safa begitu senang, sebentar lagi ia akan melihat dan melepaskan rindunya pada lelaki yang sudah lama pergi dalam hidupnya.
Raiyan menatap senang meski sakit di hati, Ainun tersenyum lebar.
Senyuman yang sudah lama Raiyan tak lihat.
Senyuman itu terlihat begitu nyata hingga ke dua pipi Ainun terlihat merona.
Mobil Raiyan berhenti di sebuah lobby hotel.
Ainun terheran di buat Raiyan.
Lelaki itu turun dengan begitu gagah lalu membukakan pintu mobil untuk Ainun.
Ainun tersenyum lebar pada lelaki yang mulai mencinta padanya.
Hotel di pancoran Jakarta selatan, tiang pancang berjejer sepanjang 10 meter, bangunannya begitu tinggi dan megah lantai granit bersinar berkilauan karena lampu Kristal besar persis di atasnya.
Untuk pertama kali Ainun menginjakkan kaki di sebuah hotel megah bintang lima.
“Kita mau kemana Pak....?”
Tanya Ainun heran.
Menerka di mana ia bisa berjumpa dengan Bimo Dharaya.
“Ikut saja Nun...............,”
Jawab Raiyan datar.
Sebuah ballroom dengan beberapa balon aneka warna yang menghiasi pintu utama terlihat di mata Ainun.
Beberapa orang masuk mengenakan gaun pesta juga setelan jas.
Dada Ainun berdegup kencang, mendadak ia merasa tak pantas di acara yang biasa dihadiri orang-orang bertahta.
Ainun menghentikan langkahnya,
“kenapa Nun................?”
Tanya Raiyan.
Berat Ainun menelan saliva,
“Ainun malu........., Pak.
Kita pulang saja.........!”
“Ada saya Nun.............”
“Ayo …...........................,
Bimo ada di dalam.”
Desiran hati kian memuncak, bulir bening kembali menetes.
Ainun usap lembut air mata ya terus-menerus menetes.
Ia tak sabar, hatinya bergelayut bagai ombak semilir peluh menetes di permukaan kulit.
Hati Ainun begitu tak tenang, apa Bimo masih ingin berjumpa dengannya...?
Segudang pertanyaan mendadak lahir di dada, Ainun senyap ia hening mengikuti Raiyan yang kini bak pelindung baginya.
“Duduk Nun...................”
Raiyan menarik sebuah kursi untuknya.
Puluhan meja bundar berjajar rapih di dalam ballroom.
Gelas Kristal berkaki tersusun rapi dengan sebuah piring dan peralatan makan di atas meja.
Sebuah panggung besar berada di depan.
Ainun diam, ia merasa tak pantas di tempat yang tak seharusnya.
Tak lama, riuh gemeruh tepuk tangan membuat kekhawatiran Ainun memudar.
Sastro Dharaya membuka acara, lelaki yang Ainun ingat pernah melayangkan sebuah pukulan keras ke wajah Bimo.
Hati Ainun semakin kacau, tak pantas, tak cocok Ainun bersanding dengan Bimo.
Dia tak pantas untuk Bimo.
Lelaki itu lebih pantas mendapatkan wanita seperti Syahira atau mungkin lebih dari itu.
Deg................................!
Jantung Ainun berdegup kencang, lelaki yang ia rindukan memasuki ruangan.
Ainun tersenyum, bangga, juga malu atas statusnya.
Bagai mimpi lelaki yang terlihat gagah di hadapan pernah menyatakan cinta padanya.
Bimo berjalan persis di depannya namun tak merasakan kehadiran Ainun.
Bimo mengenakan setelan jas berwarna biru elektrik, kemeja dalam berwarna biru muda begitu cocok di tubuhnya.
Potongan rambutnya rapih dan bukan lagi model pompadour.
Bimo melangkah tegap membusungkan dada maju ke arah panggung tanpa melihat sisi kanan kirinya.
Bulir bening menetes, sakit rasanya jika Bimo sudah melupakannya.
“Kakak hebat sekarang...,
Ainun tak pantas untuk Kakak,”
Gumam Ainun.
Rasa rindu kian memuncak dan sudah terbayar meski sedikit.
Keinginan untuk memanggil nama Bimo pun surut,
Ainun merendah ia tak pantas jika harus bersanding dengan laki-laki yang kini terlihat angkuh.
“Ainun mau pulang...., Pak,”
Bisik Ainun di tengah keramaian.
Sambutan tepuk tangan membuat suara Ainun tak jelas.
“Loh kenapa..................?
Bukannya kamu ingin bertemu dengannya....?”
“Ainun sudah bertemu, Pak.
Sudah cukup.................,
Ainun tidak pantas di tempat ini.”
Raiyan menghela napas.
Gadis berkacamata ini diam menunduk, air mata deras membasahi pipi.
“Ada saya Nun..............!”
Ucap Raiyan.
Ainun tak sanggup menahan rasa yang bertahan di hati, rasa cinta yang sulit memudar.
Gadis ini mengusap wajahnya.
Ia kembali duduk, ia perhatikan Bimo dari kejauhan.
Lelaki itu naik ke atas panggung setelah Sastro Dharaya mengumumkan keberhasilannya sebagai Direktur Muda Mestika Coorporate.
Begitu percaya diri Bimo memberikan kata sambutan.
Suaranya lantang dan bersih, tiada yang berubah.
Hanya perasaan saja yang mungkin hilang di hati untuk Ainun.
Lelaki itu berbicara seraya mengedarkan mata ke meja para undangan.
Ainun dan Raiyan duduk di meja paling belakang.
Tak berapa lama riuh suara tepuk tangan mengakhiri pidato dari seorang direktur muda bernama Bimo setiap orang berdiri menyambut Bimo Dharaya.
Lelaki itu turun dari panggung, lalu mendekati setiap tamu undangan dan berjabat tangan.
Tak lama Bimo menuju sebuah meja, satu orang pria yang Ainun sangka Ayahnya dan tiga orang perempuan.
Bimo duduk tertawa bersama mereka.
“Bukankah seseorang yang mencinta akan memberikan signal kuat jika terasa dekat...?”
Gumam Ainun merasa malu.
“Raiyan........................!”
Sapa seorang kerabat Raiyan yang mendadak duduk bersama dengan Ainun.
“Akhirnya, bawa pasangan...!”
Ucap lelaki bertubuh tambun yang memakai pakaian berwarna senada dengan Raiyan.
Setelan jas berwarna hitam.
Raiyan berbincang-bincang dan Ainun dibiarkan sepi.
Kondisi yang amat tak menyenangkan, berulang kali Ainun mencoba merayu Raiyan untuk kembali.
Namun sepertinya lelaki itu tetap berusaha ingin mempertemukan Ainun dengan Bimo.
Jauh dari sana, Ainun melihat Bimo.
Nanar kerinduan teramat dalam terlihat di mata Ainun yang berkaca-kaca.
Bimo dan semua yang duduk bersamanya ikut berdiri.
Lelaki itu lalu berjalan bergandengan tangan dengan wanita yang duduk di sebelahnya.
Air mata Ainun mendadak deras, hati sakit, Ainun terdiam mematung melihat Bimo berjalan dengan wanita yang terlihat muda dan cantik, rambutnya ikal, matanya bundar dan berwarna hitam, tubuhnya tinggi, pakaian semi sutra berwarna merah muda terlihat bagus di kulitnya.
Sesekali wanita itu bersandar di dada Bimo, membuat keyakinan Ainun pada lelaki di hadapan semakin rapuh..
Tak terasa tangan Ainun terkepal, air mata menetes.
Ainun menangis.
“Pak Ainun mau pulang...!”
Seru Ainun ketus memotong perbincangan Raiyan dengan lelaki yang ia kira sahabatnya.
“Nun, kenapa kamu menangis....!”
Ucap Raiyan seraya mencari keberadaan Bimo.
Netranya berhenti ke arah depan, Bimo Dharaya sedang bercakap-cakap, tertawa begitu senangnya dan di sisinya seorang perempuan yang erat memeluknya.
“Ainun mau pulang, Pak...!”
Rutuk Ainun.
Air mata sudah tak terbendung, ia memohon agar Bimo tak menjumpainya.
“Ok............................!”
Raiyan bangkit, begitupun Ainun.
Ainun ingin segera menghilang, melihat Bimo malam ini hanya membuat hatinya kian sakit.
Keduanya melangkahkan kaki ke luar ballroom hotel.
Raiyan menghubungi Arif untuk menjemputnya di depan lobby.
Beberapa saat langkah Raiyan terhenti,
“Kamu tunggu di mobil Nun, saya segera kembali....!”
Ucapnya setelah mengantar Ainun ke mobilnya.
Raiyan emosi, lelaki ini tak senang melihat Ainun menangis dan melihat pengorbanan hatinya sia-sia.
Tekad Raiyan bulat, setelah ini ia akan segera menemui orang tua Ainun dan menikahinya.
Keadaan apapun hatinya, Raiyan tak peduli.
Raiyan kembali ke ballroom, dilihatnya Bimo masih berdiri bercakap-cakap dengan beberapa pengusaha yang hadir di dalamnya.
“Bimo..........................!”
Sapa Raiyan.
Bimo terperangah akan kehadiran Raiyan, sudah lama lelaki ini tak bertemu.
Bimo mendekat.
“Kamu..........................?”
Tanya Bimo heran.
Wajahnya mendadak datar, dahinya mengernyit terlihat kesal.
“Dengar..........................!
Saya akan segera menikahi Ainun.
Saya hanya ingin beritahu itu, jangan pernah hadir di kehidupan Ainun.....!”
Rutuk Raiyan.
..........TAMAT............
No comments:
Post a Comment