Friday, April 10, 2020

Comblang Syar'i 20

👩‍🏫 COMBLANG SYAR'I 👩‍🏫
                    PART 20

Sepanjang perjalanan Radit terus menempel di tubuh Ainun, begitu besar penyesalan atas apa yang Ainun putuskan. 
Mendadak hati terasa perih, tersayat, memikirkan perasaannya akan Bimo perlahan terbang. 

Ainun menangis, hatinya pun sakit ia tak tahu berapa lama ia bisa bertahan menahan perihnya hati membuat sebuah keputusan hanya demi memikirkan kebahagiaan orang lain tanpa memikirkan kebahagiaan diri sendiri. 
Lelaki bernama Raiyan terus fokus menyetir tiada rasa iba di wajahnya, ia hanya fokus menjalani hidup dan membahagiakan anak-anaknya.  
Deras air mata mengalir, namun Raiyan tak terenyuh.

“Nun............................!” 
Sapa Marni kaget saat melihat Ainun kembali ke kediaman Raiyan.

“Mbok ….........................., 
Antar Ainun kekamarnya....!” 
Ucap  Raiyan seraya naik lantai atas tanpa menoleh ke arah Ainun dan Radit.

Ainun diam, ia mengantar Radit ke kamar. 
Rania gadis kecil sudah terlelap, Ainun usap lembut peluh di wajah dan kepala mereka. 
Ainun ciumi wajah mereka. 
“Kakak disini sayang ….”

“Nun … sejak kamu pergi, Tuan jadi pemarah lagi. 
Radit selalu kena sasaran amarahnya. 
Nun..............................., 
Kasihanilah Radit, menikah saja dengan Tuan.”

Ainun diam, kelopak mata Radit sama besar dengan kelopak matanya, gelap dan hitam entah sudah berapa lama putra Raiyan ini menangis atau bahkan tak tidur.

Ainun diam, ia pun pasrah atas kehendak Allah. 
Allah yang menggiring hati Ainun, entah kemana Allah akan sandarkan dirinya. 
Ainun yakin....................., 
Bimo adalah lekaki yang kuat, ia pasti mampu menjalani hidup tanpa Ainun. 
Ainun turun,  semua pintu tertutup rapat tiada satupun orang yang bisa mengantarkannya untuk kembali pulang. 
Raiyan seperti tak mengizinkannya untuk kembali pulang. 
Ainun beranjak menuju kamarnya di belakang.

“Nun … bukan disitu........” 
Ucap Marni membuat Ainun semakin heran.

Marni membawa Ainun menuju kamar tamu di lantai bawah bersebelahan dengan ruang keluarga, sebuah kamar yang tak pernah Ainun tahu. 

“Kenapa kesini, Mbok...?” 
Lirih Ainun. 

“Tuan sudah minta sama si Mbok, untuk merapikan kamar ini. 
Masuk Nun....................!”

Ainun edarkan pandangan, sebuah kamar yang lima kali lebih besar dari kamar dia sebelumnya, ranjang ala Itali berada persis di tengah ruangan dua buah nakas dengan vas bunga diatasnya menghiasi isi ruang, setiap dinding dipenuhi dengan hiasan wallpaper bunga berwarna merah, TV LED, lemari pakaian penuh dengan pakaian dan gaun peninggalan Malika dan sebuah kamar mandi di dalam. 

“Istirahat ya, Nun...........,” 
Ucap Marni seraya meninggalkan Ainun. 

Pelan Ainun melangkah menuju ranjang, ia duduk di bawah dan bersandar pada ranjang, kedua lutut bertemu dengan dada, Ainun menangis. 
Ia membayangkan betapa kecewanya Bimo dengan keputusannya. 
Hati pun sakit, memikirkan Bimo namun lebih sakit saat melihat Radit menagisi kepergiannya.    

Dering ponsel terdengar, Ainun diam ia tak sanggup mengangkat panggilan telepon dari Bimo. 
Ia hanya terpaku memandangi layar ponsel dan menangis. 
“Maafkan Ainun, Kak …”

Setelah beberapa menit Ainun mengangkat teleponnya, tak ada suara hanya embusan napas Bimo dari ujung telepon, hal sama yang Ainun lakukan Ainun menangis, tak sanggup ia berkata hati begitu berat, Ainun mulai menyadari betapa dirinya mencintai Bimo.  
Ainun biarkan telepon itu terangkat tanpa suara hanya embusan napas dan suara hati yang terdengar. 
Bimo diam begitu pun dirinya, hanya hampa dan perasaan sakit terasa.

“Maafkan ainun Kak … maaf, 
Ainun sayang Kakak. 
Tapi maaf Ainun memang bodoh, 
Ainun tak tahu mana yang benar atau salah untuk Ainun. 
Sungguh dalam hati Ainun, 
Ainun sayang Kakak,” 
Gumam Ainun. 

Pelan suara tangisan Ainun semakin kencang, isak tangis berubah menjadi suara. 
Buru-buru Ainun menutup teleponnya, ia menangis. 
Ia tak sanggup mendengar embusan napas Bimo yang semakin melemah dan berubah menjadi isak tangis. 
Ainun hanya bisa berharap, Bimo tak goyah. 
Entah hati ini ingin rasa berlari dan merengkuh sang pemilik, namun tak bisa. 
Jawaban Istikhoroh Ainun membawa Ainun kepada Raiyan, lelaki yang tak pernah hadir di hati. 
Hanya karena seorang anak lelaki bernama Radit.

*************************

“Aku akan memperjuangkanmu, Nun....! 
Aku yakin kamu mencintaiku Nun....!” 
Gumam Bimo dalam hening, ia terisak di ujung telepon. 
Bimo tahu benar bagaimana sifat Ainun. 
Gadis yang selama ini mengisi ruang di hatinya adalah gadis yang selalu memikirkan nasib orang lain. 
Bahagia melihat orang lain adalah kebahagiaan tersendiri untuk Ainun.  

Di kamarnya Bimo termenung, lelaki itu tetap yakin bahwa Ainun adalah jodohnya. 
Perkataan Ainun akan waktu sepertiga malam seperti membuka mata batin Bimo, bahwa untuk mendapatkan Ainun usaha saja tak cukup, ia perlu berdoa dan bermunajat. 
Hati seseorang hanyalah milik Allah, dan bagi Bimo keputusan Ainun belum final.

“Kamu permata Nun, aku akan perjuangkan sampai kapanpun. 
Manjamu, tangisanmu, sentuhanmu, senyummu hanya untuk aku seorang, lelaki pertama dan terakhir. 

Bodoh kamu Nun...., semakin kamu menghindar dariku justru semakin menarikku ke arahmu. 
Aku tahu kamu tak bahagia....! 
Aku yakin itu.................!” 
Gumamnya. 

Bimo berjalan menuju masjid, hari sudah malam. 
Namun malam ini ia ingin bermalam di sana, Seseorang pernah berkata hanya kepada Allah ia bisa meminta pertolongan, hati Bimo sakit dan hanya Allah yang mampu menyembuhkannya. 

Bimo tahu Ainun pun tertekan, ia tak tahu bagaimana perasaan Ainun kepadanya. 
Jika Ainun mengatakan isi hatinya mungkin malam itu Bimo sudah menarik paksa lengannya. 
Ainun bodoh, ia hanya terus mengatakan takdir, takdir dan takdir.

“Nak Bimo....................!” 
Sapa Yunus, seorang mubaligh yang selalu setia mengajari Bimo bagaimana cara beribadah yang baik dan benar.

“Pak...., saya ingin belajar tahajud, saya ingin berdoa di sepertiga malamnya, saya mohon ajari saya Pak,” 
Ujar Bimo sungguh-sungguh dengan ucapannya.

“MasyaAllah …................, 
Ada apa Nak, apa yang ingin kamu munajatkan....?”

“Pak seumur hidup belum pernah saya mencintai seorang gadis..., 
Baru kali ini saya menemukan gadis yang terlihat tak acuh, ia adalah muslimah yang taat, yang begitu baik menjaga kehormatannya. 

Malam ini saya mendengar dia sudah menerima lamaran dari seorang pria, hati saya sakit Pak. 
Saya ingin Allah merubah jalan takdirnya.”

“Nak Bimo ...................… 
Meskipun jodoh sudah ada yang mengatur, namun tak ada salahnya untuk meminta. 
Allah adalah dzat maha adil, ia tahu mana yang terbaik untuk umatnya. 

Apa yang Nak Bimo inginkan dari Allah silahkan munajatkan, tapi jangan pernah menyalahkan Allah atas kehendak yang tak kita sukai. 
Karena Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk Nak Bimo dan untuk gadis yang mas Bimo kehendaki.”

“Apa kita hanya bisa pasrah....? 
Menerima keadaan orang yang kita cintai menikah dengan orang lain...? 
Apa Allah tak akan mempertimbangkan usaha kita....?”

“Nak … Allah maha tahu, mana yang baik dan tidak. 
Tak semua yang kita anggap benar itu benar, berdoalah Nak … 
Terus berdoa karena doa pada dasarnya menghasilkan kebaikan.”

“Allah pasti akan mengabulkan doa setiap hambanya kan...?”

“Setiap doa akan Allah dengar Nak.., 
Namun beda cara Allah menjawabnya. 
Ada yang diganti, ada yang ditunda dan ada yang dikabulkan langsung.”

Bimo diam, ia berusaha ikhlas namun hati menolak. 
Bimo yakin tiada hasil tanpa sebuah usaha. 
Usaha ia selama ini meyakinkan Ainun sepertinya salah, seharusnya ia lebih berusaha mendekati hati Allah lalu meminta Ainun padaNya.  

Bimo terlambat, hati mulai terkikis, tersayat membayangkan Allah akan mentakdirkan hidup Ainun dengan lelaki bernama Raiyan. 
Ia mencoba untuk bersabar dan mencoba berusaha di waktu yang kian sempit.

“Wahai Dzat pemilik hati … 
HambaMu ini mungkin hina, mungkin kotor, hambaMu ini tak pantas mendapatkan gadis sesuci Ainun Safa. 
Namun gadis itulah yang membuat hamba mengenalMu ya Allah, rasa cinta ini pun datang hanya karenaMu bukan...? 
Selesaikanlah niat baik hamba untuk meminangNya, niat hamba tulus ya Allah. 
Buatlah hatinya hanya tertuju pada hamba hingga ia kembali kepada hamba. 
Hati ini sesak ya Allah … namun hamba tetap berpasrah , hamba akan ikhlas atas semua yang menjadi kehendakMu”

*************************

Di malam yang sama Ainun duduk bersandar seraya menunduk ke arah lantai, air menggenang di lantai karena tetesan air mata Ainun yang tak henti-henti sejak kedatangannya di rumah Raiyan. 
Ainun bergerak ia bermunajat hanya kepada Allah ia meminta kepastian akan nasibnya.

Ia menyadari bahwa apa yang ia putuskan hanya akan menyiksa batin dan raganya, namun hati ibanya lagi-lagi bermain. 
Napas Radit, teriakan Radit, rintihan tangisan Radit sungguh menyiksa Ainun. 

Dalam diam, Ainun melapangkan sajadah. 
Ia bertahajud di waktu sepertiga malam. 

“Wahai Dzat pemilik hati. 
Kenapa rasa dan mulutku beradu. 
Apa yang sejujurnya diriMu kehendaki. 
Hati ini begitu dalam hanya untuk lelaki bernama Bimo Dharaya, namun kenapa mulut ini dengan mudah melepaskan janjinya. 

Ya Allah …......................, 
Tak bisakah kau berikan kebahagiaan kepada Raiyan bukan melalui diri ini, tak bisakah hidupku hanya untuk Bimo....? 
Hati ini sesak ya Allah … 
Namun hamba tetap berpasrah, hamba akan ikhlas atas semua yang menjadi kehendakMu.”

Malam berlalu, sinar mentari pagi masuk melalui jendela kamar Ainun yang baru. 
Ainun masih tersadar, ia belum lelap dari semalam. 
Doa terus ia panjatkan untuk Bimo agar hatinya ikhlas, juga untuk kesiapan hati Ainun yang ternyata perasaannya semakin besar terhadap Bimo. 
Lelaki itu semalam berusaha untuk menghubunginya tanpa getar suara, suara isak tangis Bimo membuat hati Ainun terluka.

"Terakhir kali Nun .........., 
Setelah ini aku tak akan datang lagi.”

"Katakan.......................?" 
Berat Bimo mengucapkan namun harus terucap, karena gairah hampir memudar hanya satu kata yang bisa membuatnya bangkit.

"Katakan padaku apa aku bagimu....?"

Ainun diam, ia pejamkan mata menahan air yang hendak keluar.

"Ha-hanya teman ..........," 
Jawab Ainun bersebrangan dengan lubuk hatinya yang terdalam namun baginya terbaik.

"Ok..................................! 
Selamat tinggal.............!"

“Kakak...! Kakak...! Kakak.….!”

Ainun menangis dalam tidurnya ia mengigau berulang kali memanggil nama Bimo.

“Nun ...........................…,” 
Ucap Marni, membangunkan Ainun yang tertidur pulas di lantai, semalaman Ainun bersandar di ranjang. 

“MasyaAllah........… Nun, 
Kamu tidak tidur...........?”

Ainun memandang Marni, tak lama air matanya kembali menetes. 

 “Apa yang harus Ainun katakan dengan Bimo, Mbok … 
Ainun pun sama.
Harusnya perasaan ini tak pernah ada, Ainun salah tapi bukankah perasaan ini datangnya dari Allah....?” 
Lirih Ainun, wajahnya basah, kelopak matanya membesar. 
Semalaman Ainun menangis dan bermunajat pada Allah atas masa depannya yang lebih baik.

“Nun …............................” 
Marni memeluk iba pada Ainun, gadis muda ini berhak bahagia, berhak mengisi masa mudanya. 
Permintaan  Raiyan memang sedikit memaksa, namun begitulah Raiyan, lelaki itu tak akan pernah berhenti dan puas sampai mendapatkan apa yang ia inginkan.

“Kamu yang sabar ya......, 
Nun … sekarang Tuan mau kamu sarapan bersama dengan anak-anak, pakai ini Nun......” 
Sebuah pakaian diberikan padanya, lagi-lagi gaun berwarna pastel dengan hijab motif.

Ainun mengusap kasar pada wajahnya, ia bangkit dan mengganti pakaian yang Raiyan berikan. 
Pakaian yang tak pernah ia pakai, warna-warna pastel selalu menjadi pilihan Raiyan untuknya, hampir mirip dengan warna kesukaan Malika.

Ainun keluar, gaun berwarna hijau pastel dengan hijab turki bercorak membuat lelaki bernama Raiyan memperhatikan Ainun dari atas hingga ujung kaki. 

Ainun semakin mirip dengan Malika jika saja ia melepas kaca matanya. 
Raiyan semakin kembali pada kenangan-kenangannya akan Malika.

Keseriusan Raiyan semakin menebal, lelaki itu terihat lebih serius dari sebelumnya. 
Ia meminta Marni untuk menyediakan semua kebutuhan Ainun, lelaki itu juga meminta pada Arif untuk mengawasi Ainun...., 
Ainun harus pulang setelah selesai kuliah..., 
Ainun tak boleh bertemu dengan lelaki yang ia pernah lihat dulu. 

“Duduk..., Nun...............!” 
Titahnya seraya menarik kursi untuknya. 
Raiyan tersenyum lebar menyambut Ainun.

“Tidak usah, Pak … Ainun mau ke anak-anak dulu....!” 
Ucap Ainun dengan sorot mata kosong, seraya menoleh dan naik ke kamar anak-anak. 

Di kamar Radit, Ainun termenung. 
Ia pandangi wajah anak-anak Raiyan yang terlihat lucu dan manis. 
Ainun cium, aroma sabun Ainun merasuk hingga ke hidung mereka. 
Ainun tersenyum............, 
“Inoon....! Heheheh........!” 
Teriak Rania, anak gadis itu bangkit lalu memeluk Ainun  erat.  
Tak lama Marni datang, ia membawakan handuk juga perlengkapan anak-anak. 

“Nun … biar si Mbok saja...!”

“Nggak usah......, Mbok. 
Ainun yang akan mandikan anak-anak.”

“Nun...., Tuan sudah menunggu, 
Kasian Tuan mau sarapan dia mau berangkat kerja.”

“Mbok...........................! 
Ainun ini belum resmi jadi istrinya...!” 
Dengus Ainun kesal.

“Maafkan Mbok......, Nun. 
Mbok hanya menjalankan permintaan Tuan..., 
Tuan minta Mbok yang urus anak-anak.”

“Bilang sama Tuan Raiyan....! 
Ainun mau menikahinya karena anak-anak...!” 
Ucap Ainun kembali ketus. 

Ainun tak indahkan permintaan Raiyan, ia sibuk mengurus anak-anak, memandikan, bersenda gurau, pakaiannya basah karena air. 
Ainun begitu menyukai kebersamaannya dengan Radit juga Rania. 

“Inooon..........................!” 
Ainun menoleh ia melihat Radit, anak itu berulang kali mengotak-atik beberapa rubik di tangan. 

Ainun mendekat, ia perhatikan Radit. 
Anak ini terlihat semakin cerdas..., 
Ainun lupa bahwa Radit adalah salah satu alasan ...
Ainun mengambil judul sebuah skripsi.

 “Penyebab dan Reaksi dari Emosi Marah pada Anak Autism.” 
Ainun menarik napas, ia berfikir baik untuk sejenak, melupakan kesedihan yang menyayat hati, mencoba untuk memulihkan sakitnya batin. 
Mungkin Allah membawa Ainun kembali agar Allah memberikan kemudahan padanya untuk menyelesaikan studinya. 

Ainun tegar, ia tahu apa yang harus ia lakukan. 
Membuat Radit menjadi anak baik adalah impian Raiyan, 
Ainun sangat yakin Raiyan adalah manusia baik, ia tak sungguh-sungguh dengan ucapannya untuk menikah.

Beberapa jam kemudian, Ainun turun ia menggendong Rania, juga menggandeng tangan Radit di tangan kanan. 
Pakaiannya sudah tak rapi lagi, Raiyan diam ia tersenyum melihat apa yang Ainun lakukan. 

Ainun rebahkan Rania di kursi, begitu pun juga Radit. 
Raiyan sengaja menunggu agar bisa makan bersama Ainun untuk berbicara banyak dengannya, namun sepertinya Ainun berusaha untuk menghindar.

“Nun … saya ingin bicara.”

Ainun diam, ia terus sibuk dengan Rania. 
Ia suapi Rania, juga membantu Radit makan. 
Hati kecil kesal, hati kecil gusar dan tak nyaman. 
Raiyan menunggu, ia duduk seraya melipat tangan di dada. 
Semakin Ainun menolak, Raiyan semakin tertarik dengannya. 
Raiyan menunggu gadis itu hingga ia tak punya alasan untuk menolak, setelah anak-anak makan. 
Ainun bergegas, ia harus menuju kampus. 

“Tunggu...., Nun.............!” 

Ainun berhenti, hatinya merasa takut dengan sikap Raiyan yang sedikit posesif. 

“Ikut saya sebentar.......!” 
Ucap Raiyan memintanya untuk masuk ke ruangan kerja. 

Ainun duduk ditempat biasa mereka berbicara. 

“Terima kasih Nun, kamu sudah mau memikirkan Radit.”

Ainun bergeming, berhadapan dengan Raiyan hanya membuat ia teringat dengan Bimo Dharaya, lelaki yang terus menerus membuat hatinya kian perih dan mendalam.

“Nun.............................!”

“Untuk Radit Pak ….......,” 
Jawab Ainun datar.

“Maafkan saya Nun, saya berjanji saya akan membahagiakan kamu.”

Ainun diam, memikirkan hati yang hanya bisa bahagia dan tersenyum jika hanya bersama Bimo.

“Nun …........................., 
Saya tahu ini berat untuk kamu, tapi saya tulus. 
Saya ingin menikahimu, saya akan membahagiakanmu Nun, semua yang kamu ….”

“Pak...., apa bisa kita tidak membicarakan pernikahan....?” 
Ucap Ainun memutus perkataan Raiyan.

“Kenapa......................?”

“Ainun belum siap Pak..., 
Banyak hal yang ingin Ainun capai.”

Raiyan menarik napas, ia tak ingin Ainun pergi lagi dari rumahnya. 
Sudah banyak masalah yang ia alami sehari setelah kepergian Ainun. 

“Jalani Nun...., saya tidak akan memaksa,” 
Jawab Raiyan datar ia pun ingin menarik simpati gadis yang usianya berbeda 16 tahun dengannya.

“Ainun tidak menyukai Bapak..., 
Apa Bapak tidak masalah ...?

Raiyan terpaku mendengar perkataan Ainun. 
Ia pun pernah mengalami masa-masa seperti Ainun. 
Masa di mana ia harus dipisahkan dengan gadis yang ia cintai. 
Masa di mana ia harus menikah dengan orang yang tak bernaung di hati.

“Nun …......................., 
Saat menikah dengan istri saya. 
Saya pun tidak mencintainya, perlahan saya mulai mencintainya ….”

“Apa Bapak bahagia....?”

Raiyan terdiam Ainun mulai menyerang ranah pribadi seorang Raiyan. 

“Saya bahagia Nun ...…,” 
Jawab Raiyan datar. 

“Ainun tahu Pak............, 
Kebahagian itu pasti datang. 
Bahkan Nabi Muhammad pun mencintai istri-istrinya setelah ia menikah..., 
Ainun paham semua itu. 

Tapi kenapa rasa ini sesak sekali, 
Ainun … Ainun takut, tidak bisa …,” 
Ucap Ainun polos ia hanya menganggap Raiyan tak lebih dari seorang Paman, Kakak yang bisa dimintai nasihat.

“Saya paham Nun..........., 
Saya tidak akan memaksakan kehendak. 
Beri saya kesempatan untuk membuktikan ke kamu bahwa saya pantas.”

“Ainun yang tidak pantas untuk Bapak..., 
Ainun hanya seorang anak petani, tidak cantik, tidak kaya. 
Apa yang Bapak lihat dari Ainun …?”

“Ketulusan hatimu Nun....”

Air mata Ainun semakin deras..., 
Apa yang diucapkan Raiyan akan berbeda jika Bimo yang mengatakan. 
Hati Ainun sama sekali tak berdesir saat Raiyan mengungkapkan perasaan padanya, detak jantung pun tak meningkat, Ainun merasakan hampa dan datar. 

Berbeda jika Bimo yang mengatakan bumi terasa bergetar.

 “Nun ….........................., 
Apa saya bisa meminta nomor telepon orang tuamu...?”

Ainun diam, Raiyan terlihat terburu-buru dan posesif.

“Ma-maaf Pak................, 
Ainun belum siap.”

“Belum siap..................? 
Maksud kamu..............?”

“Izinkan Ainun yang akan memberitahu orang tua Ainun. 
Saat Ainun siap............., 
Ainun berjanji akan menghubungi orang tua Ainun. 
Ainun mohon maaf Pak..., setidaknya sampai Ainun lulus. 
Apa bisa bapak bersifat sewajarnya saja....?”

Raiyan menarik napas, ia tak ingin salah langkah. 
Ia ingin mengawali hubungan baik dengan gadis mungil di hadapan, ia tak ingin hubungannya kembali memburuk.

 “Oh ya Nun..................., 
Selama kamu menyelesaikan studi kamu, kamu bisa tinggal disini dan selama kamu pergi, kamu akan diantar Pak Arif, begitu selesai kuliah kamu langsung pulang. 

Jika kamu perlu apa-apa, kamu kabari saya dan satu lagi, saya akan segera menghubungi orang tuamu.”

Ainun melengos ia kesal dengan perkataan Raiyan yang terdengar memaksa. 
“Pak....., saya belum menjadi istri Bapak....! 
Kenapa Bapak …...........?”

“Mengatur.....................?”

Ainun mengangguk, matanya memerah tak henti menangis.

“Karena saya ingin kamu merasa nyaman sampai kamu siap....!”

“Ainun akan tinggal di kos-kosan saja Pak.”

“Disini saja..........., Nun. 
Saya berjanji tidak akan mengahalangi apapun kegiatanmu. 
Saya khawatir Radit mengulangi kejadian semalam, saya mohon ….”

Ainun diam, berat ia menahan sakit di dada, bayangan Radit menangis di tengah malam mendadak kembali menyayat hati. 
Bulir bening menetes hingga terasa di pipi, Ainun sesak. 

*************************

Langit nampak kebiruan memberikan sentuhan cerah bagi setiap mata memandang..., 
Namun tidak untuk mata Ainun langit terasa mendung dan gelap sama dengan hatinya...., 

Awan pekat putih terlihat gelap bagi Bimo yang gusar menunggunya sejak tadi, berulang kali Sastro menghubungi ponsel Bimo agar tak datang telat ke bandara namun Bimo masih menunggu kehadiran Ainun, ia duduk berhadapan persis dengan lukisan yang ia buat dengan tangannya, untuk Ainun. 

Ainun turun dari mobil hitam fortuner, terlihat mewah dan elegan gadis yang dulu terlihat sangat sederhana. 
Ainun tak masuk dari pintu utara, ia masuk lewat pintu selatan tempat mobil biasa terparkir. 
Bimo pasti resah menunggunya, biasanya gadis itu selalu melintasi jalan ini melewati pintu utara. 
Ainun perhatikan Arif......., 
Lelaki itu sibuk mengawasinya. 

“Pak ...........................… 
Ainun mau ke perpus ya....!”

Ainun berlari, ia tahu dimana dia akan berjumpa dengan Bimo. 
Angin menerpa wajah Ainun, hijab turki terbang bergelayut mengikuti arah angin terbang bersama air mata yang tak henti-henti sejak semalam. 

Lelaki itu berdiri, kemeja hitam, celana abu-abu terlihat pas di tubuh Bimo, tas selempang yang biasa ia gunakan membuatnya terlihat seperti pria metrosexual. 
Ia lihat jam....................., 
Bimo bangkit dari duduk dan pergi. 

“Kakak...........................!” 
Teriak Ainun

Bimo menoleh ia tersenyum lebar dan menarik napas lega. 
Lelaki di hadapan Ainun berusaha menutupi perihnya hati.

“Nun..............................! 
Kamu cantik sekali.......!” 
Ucap Bimo seraya menatap Ainun dari bawah hingga atas, Raiyan tahu bagaimana cara mempercantik gadis di hadapan. 

“Kak ...........................…,” 
Ucap Ainun terisak.

“Kak … ada yang ingin Ainun bicarakan...?” 
Jawab Ainun ragu napasnya tersengal-sengal, kelopak mata memerah dan membesar. 
Matanya berkaca-kaca.

Bimo sepertinya tahu apa yang ingin ia bicarakan, hatinya pun sakit terlihat dari kelopak matanya yang sama besarnya dengan Ainun, mata Bimo memerah. 

“Katakan …....................?” 
Tanya Bimo lembut. 
Seperti tidak ada masalah apapun, Ainun menerka lelaki ini mungkin tak tahu apa yang sudah terjadi semalam.

“Maafkan Ainun Kak … 
Maafkan Ainun.............! 
Ainun … tidak bisa, Ainun tidak bisa memenuhi janji Ainun.”

Bimo menarik napas dan menangis. 
Ia seperti tahu Ainun akan mengatakan hal itu, gadis itu sesegukan di hadapannya, Ainun menangis, kaca mata basah karena air yang begitu deras keluar dari matanya. 
Ainun rapuh, gadis itu menunduk dan menahan dadanya yang terlihat lebih sesak dari  lelaki di hadapan.

“Kenapa kamu menangis....?” 
Tanya Bimo, hatinya sesak melihat Ainun. 

“Ainun hanya menyesal, takdir tak bisa membawa Ainun bersama kakak. 
Ainun menyesal ….”

“Percuma menuntut takdir jika tidak ada usaha Nun.....! 
Aku yakin dan akan terus yakin....! 
Kamu hanya perlu menunggu dan berdoa..., 
Apa itu sulit bagimu.......? 

JAWAB..........................!!" 
Tatapan nanar kebencian dan kekecewaan begitu terlihat, belum pernah Ainun melihat sorot mata tajam Bimo.

Hati Ainun terguncang, ia tahu Bimo akan marah. 
Lelaki itu gugup, ia usap wajah dan rambutnya. 
Bimo terlihat tak karuan, tak lama lelaki itu menarik napas ia sejajarkan tubuhnya dengan Ainun. 

“Nun … dengarkan aku.”

Ainun melepas kaca matanya, dan mengusap air mata yang tak henti-henti terjatuh. 
Bimo tak seperti di dalam mimpinya, lelaki itu pagi ini terlihat lebih dewasa dan lebih ikhlas. 

“Dengarkan aku, Nun … 
Kamu tak harus memenuhi janjimu, tapi biar Allah yang mengabulkan doa-doaku.
Katakan padaku Nun.....? 
Aku tak bisa membaca isi hatimu, katakan apakah doa kita sama....? 
Apakah doaku untuk meminangmu dan menjadikanmu istriku sama dengan harapanmu...?”

Ainun diam, ia menatap wajah Bimo. 
Pompadour terlihat lebih dewasa dari sebelumnya.

Wajahnya begitu teduh. 
Belum pernah Ainun melihat wajah Bimo seteduh ini, lelaki di hadapan pun terlihat lebih ikhlas dari biasanya. 
Ainun pikirkan, ia tak ingin membohongi hati lalu mengangguk.

“Alhamdulillah …...........,” 
Jawabnya penuh harap.

“Aku senang Nun............, 
Terima kasih Nun...........” 
Jawab Bimo setetes air mendadak terlihat di kedua ujung mata. 
Bimo Dharaya menangis.

“Dengar..........................! 
Sebelum Allah mengetuk palu, Ainun hanya milik Dharaya ingat itu....! 
Dharaya akan terus berusaha, tapi bukan dengan tanganku Nun..., 

Biar Allah yang memberikan tanganmu untukku. 
Aku akan terus berusaha..., 
Nun …............................, 
Kamu pernah katakan bukan...? 
Bahwa doa di sepertiga malam adalah waktu doa yang paling baik....? 
Aku akan Berdoa terus, memohon padaNya. 
Suatu saat aku yakin, Allah akan membawamu hanya untukku. ”

“Ainun hanya bisa pasrah dengan Allah Kak..., 
Maafkan Ainun … maafkan,” 
Jawab Ainun, air mata semakin deras nafas mulai tersengal-sengal.

 “Hei Nun … jangan menangis...! 
Aku tahu kamu sayang dengan Radit perasaanmu sama dengan perasaan aku dengan almarhumah adik aku. 
Aku bangga dengan kamu Nun, itu alasan aku memilih kamu, aku bisa lihat di matamu, boleh aku minta sesuatu darimu....?”

“Apa..............................?”

“Berdoalah terus … 
Entah berapa lama aku bisa berdoa untukmu. 
Selama harapanmu tertuju padaku, hatiku tenang Nun. 
Kamu bisa kan mendoakanku...? 
Berdoa agar hanya aku yang jadi milikmu...?”

Air mata Ainun semakin deras. 
Bimo sudah siap dengan tas dan koper di tangan. 
Ingin hati meninggalkan Raiyan dan berlari ke arahnya. 
Mendukung dirinya, menunggu hingga langit memberikan restu untuknya. 
Ainun mengusap kasar pada wajahnya, Bimo diam dan terus memperhatikan wajahnya. 

“Aku harus pergi Nun......, 
Mungkin untuk satu bulan atau mungkin untuk satu tahun. 
Aku tidak tahu, tapi kapanpun itu aku akan terus mendoakanmu, 
Mendoakan agar kita berjodoh. 
Meskipun aku berharap kamu mau menunggu aku, tapi aku ikhlas. 

Jika ….........................” 
Bimo diam, ia menarik napas dan mencoba menata hati yang tak karuan, bulir bening menetes di sudut mata. 
Bimo tak sanggup melepas Ainun. 

“Jika ............................,” 
Lirih Ainun.

“Aku mencoba untuk ikhlas Nun, tapi aku tak bisa. 
Tapi aku akan belajar, jika kamu memilih untuk menikahinya aku tak bisa berbuat apa-apa...!”

Tangisan Ainun semakin deras. 
Pilihan sulit ada di tangan Ainun.

“Nun ….........................!”

“Hmmm.......................,” 
Jawab Ainun terisak.

“Kamu hanya perlu tahu Nun....., 
Tidak ada di dunia ini yang dilakukan tanpa usaha. 
Aku tak akan lelah berusaha mendapatkanmu. 

Manusia tidak hanya bisa berharap dari garis takdir, semua perlu diusahakan. 
Rezeki tidak akan turun dari langit  begitu saja, begitupun jodoh … 
Aku sudah berusaha untuk mendapatkanmu Nun, 
Bisakah sedikit saja kamu berusaha....?”

“Ainun jatuh cinta sama Kakak..., 
Sungguh-sungguh Ainun mencintai Kakak. 
Ainun tak pernah ragu dengan kakak,” 
Gumam Ainun dalam hati yang kian terasa sesak.

“Sudahlah lupakan saja, yang perlu kamu ingat....!
Bahwa aku akan selalu berdiri di belakangmu. 
Kapanpun, dimanapun … 
Aku akan menunggumu Nun.”

“Bagaimana jika Ainun  menikah dengan orang lain...?”

“Saat itulah aku akan berhenti … 
Aku pergi Nun...............!”

Ainun roboh, hatinya sakit mendengar ucapan Bimo. 
Ainun pun tak ingin menikah dengan Raiyan, yang dilakukan Bimo kepadanya sudah terlalu banyak. 
Tak adil bagi Bimo jika Ainun harus memutuskan berpisah dengannya. 
Lelaki di hadapan sudah berubah, ia bukan lagi Bimo yang dulu. 
Bimo tinggalkan Ainun dengan kesedihannya. 

Lelaki itu berjalan mengusap air mata dengan membawa koper di tangan. 
Ia pergi meninggalkan Ainun menuju halte depan kampus, Ainun masih diam. 
Hatinya sesak. 
Nalarnya berkecamuk dengan hati, Ainun tak bisa membohongi hati ia pun tak kuasa melawan pikiran yang hampir rusak karena anak lelaki bernama Radit. 
Ainun bangkit, ia pejamkan mata. 

“Bismillah.....................!” 
Ainun berbalik, ia mengejar Bimo yang sudah jauh meninggalkannya. 

“Kakak.........................! 
Ainun janji akan berjuang...! 
Ainun janji akan berusaha...!”  
Teriak Ainun sekuat tenaga agar Bimo menerima pesannya. 
Lelaki itu sudah jauh pergi meninggalkannya ia berdiri di anak tangga Bus, hanya senyuman yang terbaca dari raut wajah dengan air mata yang terbang bersama angin. 
Entah Bimo mendengar atau tidak, lelaki itu hanya melambaikan tangan ke arah Ainun. 

Ainun sesak, wanita itu diam duduk menekuk lututnya dan menunduk membiarkan lelaki yang selalu memberikan kekuatan, lelaki yang pernah memberi rasa pergi menjauh.

“Ainun sayang … Ainun cinta,” 
Gumamnya memandang bumi. 

Ainun mematung cukup lama, jarak kini memisahkan keduanya, Ainun tak lagi pasrah. 
Benar yang Bimo ucapkan bahwa manusia tidak bisa diam untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. 

Setidaknya ada usaha untuk memperjuangkan, selama ini Bimo sudah banyak berusaha untuk mendapatkan hati Ainun, dan kini giliran dirinya untuk berusaha agar berjodoh dengannya. 
Lamaran Raiyan baru saja ia terima, namun hak penuh atas dirinya ada di atas Ayahnya. 

Ainun bertekad mencoba untuk berikhtiar seperti yang Bimo lakukan dulu terhadap dirinya, Allah yang mengatur semua rencana. 

Lelaki yang baru saja melemparkan semangat padanya adalah lelaki yang mengisi hati Ainun...,
Bimo tak pernah ragu akan dirinya, ia pun sungguh-sungguh mencintai Ainun. 

Jodoh hanya Allah yang tahu. 
Ainun biarkan takdir mengalir sebagaimana mestinya, toh Allah adalah sang maha pencipta, sutradara terbaik yang mengetahui mana yang terbaik untuk Ainun. 

Ia terus mencoba untuk menata hati, menarik napas saat perlahan wajah Bimo semakin menjauh dari pandangan.

Kini Bimo jauh dari Ainun, ada yang hilang dari hati Ainun. 
Bimo pergi bukan meninggalkan hati, 
Bimo pergi demi menuntut ketegasan hati seorang Ainun. 

Hati Ainun yang terombang ambing antara keegoisan dan kebahagiaan orang lain.

Bukan Ainun tak ingin mencinta, namun ia takut untuk menyakiti hati orang lain. 
Ainun polos, Ainun lugu ia tak tahu bahwa cinta bisa menusuk jantung.

........Bersambung.......

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER