Friday, April 10, 2020

Comblang Syar'i 19

👩‍🏫 COMBLANG SYAR'I 👩‍🏫
                    PART 19

Hari ini adalah hari terakhir Bimo menjadi Sales kosmetik, sejak Ainun membantunya lelaki yang tak tahu banyak ilmu dagang ini menjadi lebih bersemangat, Bimo tak malu untuk masuk ke dalam salon dan menawarkan beberapa produk perusahaannya. 
Ia pun semakin bergairah untuk membuktikkan pada Sastro bahwa la sanggup dan telah berubah. 

Terik mentari begitu terasa menyinari tubuh Bimo, peluh menetes di setiap langkah. 
Lelaki itu berusaha mengikis malu demi sebuah harapan. 
Anak lelaki Sastro Dharaya itu sudah berubah dan semakin dewasa, ia belajar bagaimana bertahan dengan uang seadanya. Iagf juga belajar bagaimana cara menjaga waktu salat. 
Belajar bagaimana menyikapi tatapan sinis orang-orang yang memandang rendah akan pekerjannya. 

Bimo duduk diam, di bawah atap masjid tengah kota. 
Seusai Salat dzuhur ia rebahkan tubuhnya, letih begitu terasa setelah seharian berjalan menawarkan barang. 
Ia ambil ponsel di genggaman, suara Ainun mendadak melipir di telinga hingga ke hati. 
Rindu akan cerianya membuat perutnya terasa lapar. 
Saat lapar yang ia ingat hanya gadis berkacamata yang kini bertengger di hati. 
Ainun Safa, wanita unik yang senantiasa mengisi ruang hatinya yang sepi. 

“Assalamualaikum..., Nun ….”

“Waalaikumsalam.........!”

“Nun … kamu sudah makan....?”

“Sudah Kak.................,” 
Jawab Ainun datar.

“Nun .........................…”

“Hmm, Oh ya … Kak sudah dulu ya. 
Ainun ada kelas.”

“Tunggu Nun..............,” 
Sergah Bimo.

“Nun … hari ini aku bekerja sendiri, aku bisa menjual semua barang dagangan aku.”

“Selamat Kak................! 
Sudah ya Kak................,” 
Jawab Ainun seraya menutup teleponnya. 
Ainun bukanlah wanita yang mudah mengumbar kata-kata manja seperti gadis kebanyakan. 
Ia begitu menjaga diri dari serangan desiran hati.

“Aku cuma mau bilang kangen Nun …,” 
Gumam Bimo.

“Bimo Dharaya............!” 
Sapa seorang lelaki bertubuh tegap menghampirinya. 
Lelaki yang tak lain adalah suruhan orang tuanya. 

“Ya Saya …..................,” 
Jawabnya. 

“Ikut kami...................!” 

Bimo ikuti kemana lelaki itu akan membawanya, kini ia tiba di perusahaan milik Ayahnya, anak muda itu duduk seraya memeluk tas kerjanya. 
Ia tahu benar bagaimana kekecewaan Sastro. 
Lelaki itu pasti akan membuat sebuah aturan baru untuknya. 
Bimo hanya bisa bersiap dan menunggu perintah darinya. 

Tak lama lelaki itu masuk ke ruangan, lelaki paruh baya, sebagian rambutnya sudah bewarna putih namun tubuhnya masih tegap dan terlihat kuat. 
Sorot matanya tajam tak berbeda dengannya.

“Bagaimana pekerjaan kamu....?” 
Tanyanya seraya mengambil secangkir kopi di atas meja kerjanya.

“Baik …........................,” 
Jawab Bimo ragu.

“Papah dengar kamu sudah behasil menjual semua produk kemarin....!”

“Ya...............................!”

“Bagaimana bisa.........? 
Bantuan teman............? 
Atau pinjam uang dari teman...?” 

Bimo geram, Ayahnya tak pernah mempercayainya. 

“Saya berjualan di pasar dan berkeliling salon...!” 
Jawab Bimo seraya mendongakkan kepala.

“Oh ya … lalu apa yang kamu temukan di lapangan....?”

“Produk ini kalah saing dengan produk lain, Iklan yang di berikan juga kurang sehingga banyak yang tak tahu produk ini....!”

“Oh ya … lalu kenapa bisa laku....?”

“Karena saya menawarkan potongan harga dan jaminan...!”

“Oke Bimo...................! 
Papah sudah lihat bagaimana kamu bekerja, mulai besok kamu berhenti menjadi sales....!”

“Maksudnya.................?” 
Tanya Bimo heran.

“Kamu akan mengisi tempat menjadi Manager pemasaran....!”

Tak terasa kedua rahang Bimo terangkat lelaki itu tersenyum lebar. 
“Serius Pah...................!” 
Tanya Bimo antusias.

“Ya.................................”

“Alhamdulillah..............!” 
Ucap Bimo seraya mengusap wajahnya. 

“Siapkan semuanya ... besok kamu berangkat.....!”

“Berangkat....................? 
Kemana.......................?”

“Surabaya....................!”

Mendadak tubuh Bimo lemas, ia tak bisa jika harus berpisah dengan Ainun. 
Wanita itu bagai candu untuknya kini tak melihat sehari bagai orang kelaparan. 
Bimo tak sanggup jika Ainun jatuh ke tangan lelaki lain. 

“Kenapa harus surabaya....?”

“Karena posisi yang kosong, disana.”

“Tapi Pah …...................”

“Kenapa......................?”

“Apa Bimo bisa untuk ….”

“Untuk apa..................?”

“Menikah dulu …..........,” 
Jawabnya ragu.

Sastro geram ia menggebrak meja kerja membuat suasana hening dan mencekam 
“Tidak ada kata menikah....! 
Kamu buktikkan dulu siapa kamu...! 
Kamu masih tak berguna....!” 
Sesak mendengar Sastro. 
Lelaki itu memang terus menerus menempa Bimo agar menjadi lelaki kuat. 

Tak berguna, Sampah selalu itu yang ia katakan pada anak lelaki satu-satunya. 
Bimo menarik napas ia mencoba menyeimbangkan antara keinginan juga akal, bahwa ikhtiar tidak harus mendekati Ainun. 
Ikhtiar pun bisa dilakukan dengan cara bermunajat.

*************************

Hari pertama tanpa senyuman Radit dan Rania meninggalkan setumpuk rindu di hati Ainun. 
Bertanya, sedang apa mereka, bermain apa, terus bergerumul di pikiran Ainun. 
Ia menarik napas dan mencoba untuk melupakan semua kenangan manis bersama anak-anak Raiyan. 
Bimo membantu Ainun untuk melepaskan kerinduan akan Radit, lelaki itu terus menjaga hubungannya dengan Ainun. 
Seperti takut akan kehilangan Ainun, setiap detik setiap menit setiap jam Bimo selalu hadir menemaninya. 

“Nun..., proposal kamu sudah di approve...! 
Kamu di panggil Bu Lilis,” 
Ucap Sarah.

“Serius....! Alhamdulillah …! 
Teriak Ainun, wanita itu melompat-lompat kegirangan. 

Ainun semakin bersemangat untuk menyelesaikan studinya. 
Saat ini ia sudah masuk semester enam, jumlah sks yang ia tempuh sudah hampir memenuhi syarat tinggal beberapa mata kuliah lagi yang harus ia akhiri. 
Ainun yakin, ia akan sukses, bisa membahagiakan keluarganya dan membuktikkan pada dunia bahwa anak seorang petani karet bisa mengangkat derajat kedua orang tuanya. 

Seharian Ainun menghabiskan waktunya di perpustakaan, ia tak ingin membuang waktu. 
Target lulus lebih awal adalah menjadi impiannya, dengan begitu ia bisa bekerja dan merubah semua nasibnya. 

“Huh...........................! 
Semangat Ainun........!” 
Ucapnya setelah membaca skripsi kelima dari judul yang hampir sama dengannya. 
Ainun mengutip, mengambil beberapa kasus dan melihat bagaimana penyelesaiannya. 

Hari semakin sore, Ainun melihat jam pada dinding perpustakaan, waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. 
Tubuh Ainun sudah tak sanggup, mata sudah terkantuk-kantuk, badan pun mulai letih. 
Ia mencoba meregangkan otot dan berjalan kecil namun tetap saja, tubuhnya sudah kepayahan. 
Ainun kembali. 

Bimo Dharaya. 
Lelaki betubuh tegap itu terlihat lesu berdiri di depan lobby perpustakaan menunggu Ainun gadis pujaan hati. 
Sorot matanya teduh, peluh terlihat di kening, senyumnya lebar menyambut kedatangan Ainun. 

“Kakak.........................!”

“Kita makan ya Nun.....”

Ainun mengangguk membiarkan lelaki itu melepaskan penatnya. 
Ainun sadar bahwa apa yang ia lakukan salah, ia seperti masuk ke sebuah hubungan dengan ikatan yang sah. 
Meskipun tak bersentuhan, atau bahkan berusaha membicarakan perkataan yang bisa membuat hati bagai ombak. 
Ainun tahu bagaimana Bimo berjuang untuk mendapatkan hatinya, lelaki di hadapannya adalah secret angel yang selama ini membantunya dikala sulit, sulit bagi Ainun untuk menolak permintaannya. 

Kafe Take a Rest, sebuah kantin yang tak jauh dari kampus. 
Kafe tempat di mana Bimo dan Ainun pernah bertengkar karena soal harga diri. 

“Kak....! kita ke Blok B aja.....!” 
Pinta Ainun. 

Bimo tahu, Ainun tak akan suka jika ia membawanya ke tempat romantis, ke sebuah tempat yang akan hanya membuat hati semakin tergerus akan perasaan suka.

“Disini saja, Nun … Ya...!” 
Jawab Bimo datar, lelaki ini terlihat tak bergairah. 

Ainun ikuti lelaki itu, Bimo tampak diam. 
Ia pesankan makanan ke dalam dan membiarkan Ainun menunggunya. Bimo ingin mengungkapkan sebuah rasa. 
Kafe ini selalu sepi saat sore hari, dan Bimo tahu itu. 

Dua insan kini telah duduk saling berhadapan. 
Ainun bingung dengan sikap Bimo yang terlihat berbeda. 

“Nun …........................”

“Kakak cepetan, Kakak mau apa sih....? 
Kakak sakit..................?” 
Tanya Ainun berusaha menghancurkan hening dan deburan ombak di hati. 

“Aku ingin melamar kamu, Nun.” 
Gumam Bimo dalam hati.

 “Ini.............................!” 
Lanjut Bimo seraya memberikan sebuah tas padanya.

“Ini apa.........................?”

“Kamu butuh buat nyusun skripsi, itu punya aku, buat kamu.”

Ainun batuk, ia buka isi tas. 
Sebuah komputer jinjing, gawai yang selama ini ia harapkan kini berada di pelukan. 

“Tidak usah, Kak.........! 
Ainun masih bisa ke Rental.”

“Udah pake aja, kamu akan lebih nyaman....!”

“Tidak usah, Kak. 
Ainun masih sanggup ke rental.”

“Pakai...........................! 
Besok aku sudah tidak disini Nun....! 
Kamu harus lebih sering di rumah, jangan keliaran...!” 
Rutuk Bimo memaksa.

Ainun diam dan merasa aneh, Bimo menganggapnya seperti anak kecil.

“Maksud Kakak............?”

“Nun … Besok aku akan ke Surabaya, tak tahu untuk berapa lama. 
Tapi aku janji aku akan melamarmu Nun …,”

Ainun diam, ia melengos dan berat menelan salivanya. 

“Kamu mau tunggu aku kan Nun....! 
Kamu harus ingat sama semua janji kamu...!” 
Ucap Bimo, matanya berkaca-kaca tak biasa Bimo mengucapkan kata seserius ini. 

“Kakak … sepertinya.....!”

“Nun.....! Aku serius......!”

Tak bisa Ainun melihat Bimo lemah, lelaki di hadapan terlihat kacau. 
Ainun pun pasti akan menunggunya tanpa perlu ia ucapkan, namun takdir hanya Allah yang tahu. 

“Jawab Nun .............…,”

“Kak … kakak tahu waktu sepertiga malam adalah waktu yang pas untuk kita meminta.....? 
Ainun tak sanggup menahan janji ini, manusia tidak sepantasnya berjanji hanya Allah yang memiliki kuasa. 
Apa kakak bisa meminta padaNya....?”

Bimo mengangguk,”
Bisa Nun … bisa.........!”

Ainun mengangguk dan tersenyum tak menyangka lelaki di hadapan begitu serius mencintainya. 

Pertemuan Bimo dan Ainun pun berakhir, keduanya kembali ke tempat mereka.
Memikirkan nasib mereka ke depan. 
Sebuah hubungan yang mudah terlihat namun sulit untuk dijalani. 
Bimo yang terus berikhtiar dan Ainun yang hanya bisa pasrah. 

Dalam kamar , Ainun buru-buru membuka laptop pemberian Bimo.
Lelaki itu begitu baik, apapun ia lakukan untuk membantu Ainun. 
Sebuah kertas kecil tertempel pada layar, “Passwordnya : ingatjanjimu.” 

Ainun tersenyum, ia mulai mengisi password yang Bimo tuliskan, layar laptop terbuka, foto Bimo dengan lukisan mural Ainun terpampang di layar desktop. 
Dalam foto Bimo tersenyum lebar, Ainun perhatikan wajah Bimo. 
Sungguh beruntung Ainun lelaki seperti Bimo bisa mencintainya. 
Wajah Bimo terlihat tampan dan gagah, hidungnya mancung, sorot mata tajam, alisnya tebal, rambut pompadour membuatnya semakin terlihat manis. 

Tubuhnya tinggi dan tegap. 
“Astaghfirullah …,” 
Ucap Ainun dalam hati, dan menutup layar laptop. 

Melihat Bimo semakin membuat napas sesak. 
Ainun semakin takut dengan janji yang ia buat, khawatir ia tak mampu menjalankannya. 
Bimo begitu yakin dengan hubungannya yang akan berhasil menuju pelaminan. 
Ainun hanya bisa pasrah, doa-doa sudah ia panjatkan. 
Ia hanya tinggal menunggu Allah menjatuhkan pilihan untuknya. 

Hari semakin malam, Ainun merebahkan diri menghilangkan kepenatan yang menumpuk di hati. 
Sedikit rindu terbesit di hati, ia rindu dengan canda juga tawa Radit dan Rania. 
Ainun mengambil foto mereka yang sempat ia ambil di kamar Radit. 
Ia pandangi, tak lama bulir bening dari mata Ainun kembali menetes.  
Ainun terperangah, suara dering telepon jelas terdengar. 
Ainun mengambil teleponnya yang sedang ia isi batrainya.

 “Assaamualaikum, Nun......!”

“Mbok Marni.................?” 
Tanya Ainun, suara Mbok terdengar panik.

“Kenapa Mbok..............?”

“Radit hilang, Nun..........!”

Deg................................! 
Mendadak air mata  menetes, Ainun menatap jam dinding waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan Radit menghilang.

“Dimana Mbok..........?”

“Nggak tau, Nun. 
Tuan juga sedang cari....!” 

Ainun panik, wanita itu melepas tali sambungan batrai ponsel dan berlari keluar. 
Ainun  panik  berlari keluar tak tentu arah. 

“Ya Allah......................! 
Radit kamu dimana...?” 
Ucap Ainun, shalawat dan dzikir terus mengalir di lidah Ainun tanpa henti. 
Wanita itu berlari ke arah rumah Raiyan, hanya membawa sedikit uang di kantong bajunya. 
Ia menelusuri setiap jalan yang ada. 

“Radit........................!!!!” 
Teriak Ainun di persimpangan jalan. 
Sesekali ia menanyakan si Mbok dirumah, namun tetap belum ada kabar akan penemuan Radit. 

“Radit dimana …............!” 
Teriaknya seraya menangis.

Raiyan terus mencari menggunakan mobilnya, lelaki itu panik tak karuan. 
Wajahnya penuh dengan peluh, anak lelakinya sudah lama tak keluar dari rumah. 
Air mata menetes, mengiringi pencariannya. 

Ainun diam, waktu sudah semakin larut. 
Ia tak sanggup harus mencari kemana Radit. 
Suara telepon berdering, buru-buru Ainun mengangkatnya. 

“Halo Mbok, sudah ketemu....?”

“Nun … ini aku..............!”

“Kak.....! Radit hilang.....!”

“Apa..............................?” 
Bimo terkejut, mendengar tangisan Ainun di ujung telepon. 

“Kamu dimana............?” 

“Aku di jalan …..............”

“Nun … Nun..................!”

Sambungan terputus, Ainun tahu dan yakin dimana Radit berada. 
Wanita itu berlari menuju kampus, ia yakin Radit berada di sana, entah ilham dari mana yang meyakinkan hati Ainun. 
Kampus adalah hari terakhir tempat bermainnya dengan Radit, bersama di ruang laboratorium, tempat yang menjadi kenangan antara Radit dengan Ainun sebelum Raiyan mengusirnya. 

Lemah Ainun melangkah, kedua kaki sudah lelah namun Ainun terus bersemangat. 
Jemari kaki terluka Ainun tak peduli, ia terus berlari. 
Suasana kampus sudah gelap gulita, tak satupun orang di dalam. 
Ainun mencoba masuk, beberapa security terlihat lengang mereka mungkin memiliki tugas lain. 
Ainun bergegas menuju gedung Daksinapati. 

Langkah Ainun terhenti, air mata mengalir deras, anak lelaki yang ia sayangi tersungkur menghadap pintu Daksinapati yang sudah tertutup, tanpa jaket hanya mengenakan piyama. 
Ainun sesak, anak itu terus menerus menggedor pintu Daksinapati, tiada satu pun orang yang melihatnya. 

“Inooon … Inooon...........” 
Teriak Radit seraya memukul-mukul pintu.

“Radiiiit.......................!” 
Lirih Ainun memanggilnya. 

“Inoon … Inoon...........!” 

Ainun berlari, ia memeluk dan menciumi Radit bagai putranya sendiri, 
“Inoon …ain....................!” 
Ucap radit seraya menunjuk ke dalam ruangan yang tertutup rapat.

“Radiit ya Allah … Radit...!” 
Ia peluk erat tubuh anak berusia delapan tahun itu. 
Ia usap peluh di kening Radit. 

Ainun mengangguk....., 
“main … sama Kakak, iya.....?” 
Jawab Ainun lirih. 

“Inoon … Inoon.............!”

Ainun memeluknya kembali erat tak ingin Ainun lepas.  
Beberapa security datang, mereka mensyukuri kehadiran Ainun, sejak tadi menurut mereka Radit sudah datang dan memaksa masuk. 
Berat Ainun mencoba menghubungi Raiyan, namun tetap ia harus lakukan. 

Selama menunggu Ainun biarkan Radit bersenang-senang dengannya, ia pun rindu dengan putra Raiyan. 

Air mata terus berderai membayangkan anak ini berjalan sendiri menuju kampusnya hanya demi dirinya. 

Tak lama lelaki itu datang dengan mobil fortuner yang biasa ia kendarai. 
Raiyan turun dan berlari ia memeluk putranya. 
Raiyan menangis dan menciumi Radit. 
Sesuatu yang tak pernah Ainun lihat dari Raiyan, sesuatu yang begitu menyayat hati. 
Ainun pasrah dengan semua yang Allah kehendaki atas hatinya. 
Mendadak Ainun iba, tak ingin rasanya berpisah dari Radit. 

“Terima kasih, Nun.......!” 
Lirih Raiyan. 

Ainun mengangguk, menangis. 
Tangan Radit tak lepas dari pakaian Ainun, anak itu terus menerus menarik Ainun untuk pulang bersamanya.

“Lepas Radit..................!” 
Rutuk Raiyan.

Semakin keras cengkraman tangan Radit menarik pakaian Ainun. 
Ainun semakin tak sanggup, ia sejajarkan tubuhnya dengan Radit lalu memeluk Radit erat. 

“Ainun lepas Nun..........!” 
Teriak Raiyan pada wanita yang bersimpuh seraya memeluk putranya. 

“Inoon........................!” Teriak Radit, setelah Raiyan menarik tubuhnya.

“Inooon … Inooon.......!”

“Pak lepas, Pak..........!”

“DIAM.........................!” 
Teriak Raiyan membentak putranya, seketika Radit diam begitu pun Ainun. 

Lidah Ainun kelu tak sanggup melihat mata Raiyan yang penuh nanar kebencian juga kekecewaan.

“Inooon................!” 
Teriak Radit merengek.  
Raiyan membopong paksa Radit menuju mobilnya.

“Inooon!” teriakan Radit semakin kencang namun Raiyan masih bergeming. 

Ainun diam, hati bergemuruh tak tahu apa yang harus ia lakukan.

“Inooon!” 

“Pak!” Ainun menggedor pintu mobil Raiyan, pintu terbuka Radit berlari ke arah Ainun dan memeluknya kembali. Ainun memeluk dan menangis. 

“Inooon …! ucap Radit.

“Maafkan Kakak …!”

“Lepasin, Nun!” teriak Raiyan.

“Ainun mohon, Pak!” 

“Lepasin anak saya!” rutuk Raiyan seraya menarik paksa tubuh Radit dari pelukan Ainun, Ainun tersungkur karena tertarik tangan Radit yang erat memegang pakaiannya. 

Raiyan tak peduli anaknya menangis, menjerit ia hanya tahu bahwa Ainun sudah membuat sebuah pilihan.

“Ainun menerima lamaran Bapak, tolong jangan seperti ini Pak …!” 
Jawab Ainun lirih ia menangis terisak, napasnya sesak  Ainun sudah melupakan janjinya pada Bimo, melupakan lelaki yang tengah bersemangat mencari jalan agar bisa menikahinya. 

Jauh di sana, jaraknya tak jauh dari tempat mereka berdiri. 
Laki-laki bernama Bimo terkejut, napasnya masih tersengal-sengal, peluh mengalir di tubuh karena berlari sepanjang malam mencari Ainun. 

Malam ini ia menyaksikan bagaimana Ainun mengucapkan kata yang menyayat hati, air mata Bimo pecah. 
Ainun baru saja memilih jalan hidupnya. 
Tubuhnya gemetar, di depan mata Ainun memeluk Radit erat, Bimo tahu Raiyan memaksa Ainun untuk bisa menikahinya. 
Benar apa yang ia pikirkan.  
Bimo menarik napas,  dan memejamkan mata sesaat. 

Lelaki itu menangis, menyaksikan Raiyan membawa Ainun masuk ke dalam mobilnya. 
Sesak. 
Hatinya sesak, Bimo mematung menatap Ainun. 
Besok adalah hari terakhir dirinya berjumpa dengan Ainun, ia ingin mengucapkan kata perpisahan dan malam ini Allah memberikan jawaban atas keraguan dan kekhawatirannya. 
Ainun telah memilih jalan hidup dan bukan untuk dirinya. 
  
.....BERSAMBUNG.....

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER