Wednesday, April 1, 2020

Comblang Syar'i 02

👩‍🏫 COMBLANG SYAR'I 👩‍🏫
                     PART 2

Ainun si muka kacamata itu, berjalan melewati lorong-lorong jalan untuk menuju kamar kos yang ia sewa. 
Ia kembali dari toko pukul 9 malam, jarak antara toko dengan kamar kosnya hanya 300 meter. 
Langkah kakinya yang begitu tenang berbanding terbalik, dengan yupikirannya akan uang yang ia miliki. 

Pikirannya terus berputar, seratus rupiah hingga ratusan ribu rupiah, ia terus menghitung pendapatannya. 
Setidaknya Ainun harus bertahan hidup, sampai ia lulus dan mendapat gelar yang orang tuanya harapkan. 
Biaya kos-kosan, biaya makan, dan biaya kuliah yang terkadang harus ia tambahkan dari hasil tabungan ke dua orang tuanya. 

15 ribu ditambah 28 ribu, uuuh masih kurang gumamnya.
Tabungannya kini baru berjumlah 385 ribu rupiah. 
Ainun sampai di kamar kosnya, kos-kosan berlantai dua yang berada di lorong jalan sekitar Pramuka Rawamangun. 
Dengan kamar yang begitu sempit hanya berukuran 2 kali 3 meter, setiap kamar hanya dibatasi pembatas kayu, ada sebuah kasur lipat dan lemari bahan milik ibu kos. 

“Ainun … kamu sudah beberes....?”

“Beberes......................?” 
Tanyanya heran, pada salah satu teman kosnya bernama Miftah.

“Iya......, memangnya kamu belum dengar....?”

“Belum...., kenapa.......?”

“Rumah ini sudah dijual oleh Bu septi, Suaminya terlibat hutang dengan rentenir. 
Kita diminta pindah besok.”

Degg.............................., 
Ya Allah cobaan apa lagi ini.....! 
Bisik Ainun dalam hati. 
Padahal Bu septi adalah ibu kos terbaik yang pernah ia temui, bahkan Ainun masih berhutang padanya, untuk biaya sewa bulan lalu. 

Ainun masuk ke dalam kamar. 
Ia duduk diam di sudut kamar. 
Ainun berfikir keras, kemana besok ia akan mencari tempat, sedangkan uang 385 ribu sudah pasti akan ia berikan ke Bu septi untuk meringankan bebannya. 
Bu septi adalah orang baik, ia sangat memahami kondisi keuangan Ainun yang tak menentu, bahkan Ibu itu pun tak sungkan jika ia meminjam dapurnya untuk membuat keripik. 

Kacamatanya Ainun lepas, kedua jarinya ia apitkan ke hidung, Ainun resah, ia bingun. 
Harus kemana lagi ia mencari tempat kos, senyaman di tempat Bu Septi. 

Ainun memakai lagi kaca matanya, ia mengambil Mushaf yang ia selalu bawa di tasnya. 
Ainun bermunajat, surat Yasin ia baca. 
Surat Yasin ia baca, karena menurut hadistnya surat yasin adalah doa untuk memohon pada Allah atas sebuah kepasrahan, saat ia lapar akan diberi makanan, saat ia dingin akan diberikan pakain, saat ia miskin akan diberi kaya,dan saat ia sakit akan diberi putusan yang baik.

“Shadaqallahul Adzim,” 
(Maha benar Allah Yang Maha Agung) 
Ucapnya terakhir seraya mencium mushaf bersampul hitam yang ada digenggamannya .

Duuh........., lapar.............! 
Gumamnya dalam hati, suara perut sampai terdengar di telinganya, stok mi instantnya tinggal 1 buah, Ainun bergegas memasak mie instant dengan mini magiccom bekas, pemberian sahabatnya dulu. 
Ainun makan dengan lahap, tak lama air matanya menetes, ia hampir lemah, meratapi nasibnya. 
Setelahnya ainun merapikan barang bawaannya.  
Buku-buku dan beberapa helai pakaian. 
Ainun menangis, hanya Allah kini yang bisa membantunya besok. 

“Tok … tok” … “Nun........!” 
Suara Bu Septi, wanita itu kini berada di depan pintu kamarnya.

“Bu … maaf, agak lama.”

“Tidak apa-apa Nun......., 
Kamu pasti kelelahan.”

“Bu...., maaf Ainun baru dengar dari Miftah barusan.”

“Ibu yang minta maaf, Nun. 
Ibu sudah tidak bisa membantumu lagi, hutang suami ibu sudah menumpuk, apa lagi saat ini suami ibu sakit-sakitan. 
Ibu tidak mau, hutang membebani hidupnya, Ibu terpaksa menjual rumah ini. 
Kamu sudah dapat tempat belum...?”

“Belum, bu. 
Tapi insyaa Allah besok Nun pasti dapat. 
Oh ya bu sebentar.”

“Ini uang 300 ribu bu, untuk biaya sewa bulan lalu, besok Insyaa Allah Ainun lunasi untuk sewa bulan ini.”

“Ya Allah............, Ainun. 
Kamu ada uang tidak Nak....?”

“Insyaa Allah ada bu.”

85 ribu insyaAllah cukup. Batinnya.

“Kekurangan bulan ini, tidak usah kamu ganti Nun.”

“Jangan begitu, bu. 
Ainun insyaa Allah akan bayar.”

“Terima kasih ya Nun, semoga kelak kamu jadi anak sukses ya Nun, Ibu salut sama kamu.”

Aamiin....., gumam nya mengamini doa Bu Septi.

85 ribu, insyaa Allah cukup untuk makan dan lainnya, tapi … dari mana aku dapat uang untuk biaya kos baru.
Insyaa Allah Pak Madi mau bantu, pikir Ainun optimis. 

Ainun pejamkan mata, namun pikirannya terus menerus mencari kos-kosan terdekat dengan biaya yang terjangkau.

Ya Allah semoga Pak Madi besok mau meminjamkan uang. 
Doanya dalam hati.

@@@@@@@@@@@@

Ainun bergegas, ia bangun kesiangan. 
Suara iqomah di masjid sudah terdengar, ia mempercepat langkahnya untuk sholat.
Dilihatnya beberapa teman sudah ada yang pindah dari kemarin, tersisa hanya dia juga Miftah yang mungkin teman kos nya itu sudah dapat kos baru.

Selepas sholat, Ainun bergegas. 
Ia pergi ke warung bu ecih yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kosnya. 
Bu ecih adalah penjaga warung yang juga memproduksi bumbu dari bawang, kadang ia suka meminta anak-anak yang ingin mendapat penghasilan tambahan untuk mengupas bawang. 
Ainun harus bergegas sebelum rezeki itu jatuh ke tangan orang lain. 

“Assalamualaikum, bu.....”

“Nun.......! Alhamdulillah kamu datang, 10 kilo sanggup ngga Nun....?” 

tiga ribu rupiah perkilonya untuk bawang yang ia kupas. 

“Sanggup..., insyaa Allah bu.”

Lumayan, 30 ribu. 
Bisiknya. 
Ainun mebawa bawang putih kotor itu kerumahnya. 
Wanita itu berjalan, seraya memanggul karung bawang di pundaknya, jika berat ia angkat di depan. 
Ainun tak malu, ia justru bangga akan dirinya sendiri.

“Kupas bawang lagi......?” 
Tanya Miftah yang terlihat sedang memotong kuku di bibir pintu kamarnya.

“Sini, aku bantu.............,” 
Lanjutnya.

“Kamu sudah dapat Kos-kosan baru Mif.....?”

“Sudah Alhamdulillah....., 
Edo yang carikan.”

Edo adalah pacarnya, 10 tahun menjalin hubungan dengan laki-laki yang belum menjadi mahromnya. 

“Lebih baik, kamu menikah Mif, lama banget sama Edo....!”

“Sabar lah Nun, yang jalanin aku. 
Kok kamu yang sewot.”

“Bukan sewot........., Mif. 
Hanya berpesan, menjaga hubungan selama 10 tahun lamanya. 
Bagaimana kalo tidak berjodoh.”

“Hih … Doakan donk Nun.”

“Aku doakan terus, supaya kamu cepat menikah.”

Miftah tersenyum “Amiin … 
Eh ya Nun, kamu gimana....? 
Sudah dapat...................?

“Belum Mif..................,” 
Jawabnya menelan saliva.

Aku belum dapat kos-kosan Miftah, uangku belum cukup untuk biaya sewa, ucap Ainun dalam hati. 
Rasanya ingin menjerit, Mif aku pinjam uang kamu atau Mif nanti malam boleh aku menginap. 
Namun ia tak berani, Miftah adalah teman yang paling sering ia mintai bantuan,  wajahnya sedikit seperti orang cina, matanya sipit rambutnya panjang terurai sebahu. 
Salah satu yang  paling ia benci adalah ketika seseorang menginap di tempatnya, dulu ia sering cerita pada Ainun saat teman SMPnya menumpang di kamarnya untuk 1 minggu, begitu besar rasa jengkelnya. 

“Tiin..............................!” 
Suara Klakson mobil terdengar, Edo sudah datang menjemputnya. 

“Edo sudah datang, Nun. 
Aku pergi ya.................…”

Ya Allah sedih sekali, bagaimana ini aku sendirian. 
Lirihnya. 

“Aku bantu, Mif.............!” 
Ainun membantunya membawa barang bawaannya, Edo datang membantu, mobil Honda Jazz yang akan mengantar Miftah ke tempat yang baru. 

Ainun kembali ke dalam, ia lanjutkan lagi mengupas bawang, hingga selesai. 

Harus selesai sebelum jam 10, bisiknya. 
Jam 11 ia ada kuliah.

Ainun bergerak cepat, 10 kilo bawang putih ia kupas dalam waktu 3 jam, ia kerjakan tanpa henti dari pukul 6 pagi. 
Jemarinya terasa lengket dan panas.  
Ia kembali ke warung bu Ecih.

“Cepat, Nun..................!”

“Iya Bu..., Alhamdulillah. “

“Ini........., Nun................!” 

“Alhamdulillah................, 
Terimakasih bu.”

85 ribu tambah 30 ribu Alhamdulillah, 115 ribu. 
Cukup untuk bayar DP.

Ainun bergegas, ia mengangkut koper barang bawaannya menuju Kampus dengan berjalan kaki. 
Begitu aneh dan lucunya Ainun, ia ke kampus dengan koper di tangannya. 
Jarak dari tempat ia kos menuju kampus sekitar 1 kilometer, disitu ia harus melewati jembatan penyebrangan yang lumayan menguras keringat juga tenaga. 

“Kruuuk …kruk.........” 

Uhh … lapar, harusnya aku Puasa, 
Rintih Ainun. 
Tahan sampai siang ya, ucapnya pada perut seraya mengelusnya. 
Ainun tiba di kampusnya, Gedung Daksinapati tepatnya. 
Fakultas Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. 

Beberapa pohon beringin membuat tuduh sekitar gedung. 
Ainun mencintai kampusnya. 
Hanya di kampus ini ia bisa merasakan udara segar, juga teduh. 
Pepohonan lebat, ada beberapa ruang terbuka, masjid yang megah, dan jalan-jalan yang sepi dengan kendaraan. 
Di setiap sudut, beberapa mahasiswa berkumpul, sebagian berada di bawah pohon, teras lobby, hingga ke dalam semua penuh dengan Mahasiswa, mereka berdiskusi ada juga yang sekedar berbincang-bincang.

Ainun naik ke lantai dua, kelas 208 tempat mata kuliahnya berlangsung. 
Tidak Ada lift di bangunan tua ini.  
Setiap anak tangga menghasilkan banyak keringat di wajah. 
Koper yang ia bawa lumayan berat. 
Beberapa teman memandangnya aneh, ada juga yang iba. 
Koper besar ia bawa kemana-mana. 

“Nun, itu apa..............?”

“KOPER......................!” 
Jawabnya jengkel.

“Memang, kamu mau kemana Nun...?” 
Tanyanya sambil tertawa.

Ya Allah...., sabaar mereka bercanda disaat yang tak tepat. 
Kenapa hati ini sakit mendengar pertanyaannya. 
Yang mungkin jika aku jujur mereka pasti akan menangis. 
Bisik Ainun. 

Ainun bergeming, ia tak menjawab semua tanya yang hampir masuk ketelinganya. 
Perutnya semakin lapar, ia belum makan. 
Sejak tadi ia hanya minum air putih, dan sudah 4 kali ia izin ke toilet. 

Kelas selesai. 

“Nun, kamu bawa keripik ngga....?”

“Ngga...................., Vir.”

“Ok, kamu mau kemana Nun....?” 
Tanyanya menyinyir.

“Cari makan..................” 
Rutuk Ainun kesal. 

BLOK B, adalah tempat dimana, kantin dengan warteg termurah. 
Jaraknya cukup jauh dari Gedung Daksinapati, untuk menuju kesana, ia perlu melewati dua 2 buah fakultas, Seni dan Sosial. 

Ya Allah … mereka memandangiku kok aneh ya, ini koper aku titipkan kemana, banyak barang penting di dalam, harta satu-satunya. 
Aku takut hilang ya Allah..., 
Lirihnya pada Tuhan.

Tiba di Kantin, Ainun langsung menuju warung nasi bu Menul. 
Harga makanan disini terbilang murah, nasi dengan sayur seharga 8 ribu rupiah, aman untuk kantongnya. 

“Bu … bu, saya … saya...!” 
Ainun harus berebut, untuk bisa makan. 

“Nun, kamu apa............? 
Tanya bu Menul yang sudah akrab dengannya.”

“Biasa bu, Nasi campur tumisan kasih kuah …” 
jawabnya seraya tersenyum.

Alhamdulillah ya Allah kuahnya banyak. 
Selamat makan Ainun. 
Bismillah...., seru Ainun. 
Ia begitu bersemangat, ia sudah menahan lapar sejak pagi. 

Ainun menyelesaikan makannya dan mengakhiri dengan minum air putih juga berdoa.  
Tak lama ia kembali, lagi-lagi ia harus membawa koper besar di tangan. 

Seorang laki-laki mengamatinya dari jauh, ia bangkit. 
Lalu membayar makanan pada Bu menul. 
Rasa iba mendadak merasuk jiwanya, laki-laki berkepala pampoduer itu mengikuti Ainun dari belakang, wanita itu tampak kepayahan dengan barang bawaannya. 
Kacamata besarnya terus ia perbaiki, keringat ditubuhnya mengucur deras, sebagian pakainnya sudah basa karena keringat. 

Setelah makan siang, ia mampir menuju surau gedung perkuliahannya. 
Ainun terlambat, barisan shaft sholat sudah berjejer rapih di sisi kanannya, ada 6 orang perempuan dan 2 orang laki-laki, salah satunya ditunjuk akan menjadi imam sholat. 
Ainun bersiap.

Hah..........! tunggu..........! 
Ainun terperangah, laki-laki yang menjadi Imam, nampak ia kenal. 
Ainun maju, Ia bisa melihat Imam itu dari sisi kanan depan.

“PAMPODEUR................!” 
Celetuk Ainun kaget. 
Bagaimana bisa, laki-laki yang baru saja kemarin menanyakan buku tuntunan sholat, dan hari ini akan menjadi imam sholat. 
Ainun resah, mentang-mentang Dzuhur tak bersuara, ia bisa mengkibuli makmumnya. 

“TUNGGU...................!” 
Teriak Ainun, sesaat setelah laki-laki ingin bertakbir. 

“Kenapa, Nun................?” 
Tanya Syahira. 
Wanita cantik , bertubuh tinggi mata bulat, bibir tipis merona yang selalu mengkilap karena hiasan lipglow, Syahira cukup terkenal di kampusnya karena kepintaran juga kecantikkannya, hijab yang ia kenakan tidak sepanjang Ainun, syahira hanya memakai hijab sebatas menutupi dada, celana jeans ketat kadang pun sering ia pakai. 

Laki-laki yang baru saja akan menjadi Imam sholat menoleh, ia lihat Ainun seperti ingin memberi tahu mereka akan, dirinya yang tak bisa sholat. 
Laki-laki itu melotot ke arahnya. 

“Ehh … bukan, maksud saya. 
Bagaimana jika Kak, Abizar yang memimpin, kan lebih senior.”

“Kak...., Bimo lebih senior Nun.”

“Oh ya bener itu, Abizar aja.....!” 
Teriak laki-laki yang belakangan ia tahu namanya Bimo. 

Bimo mempersilahkan Abizar, untuk mengimami mereka sholat.
Setelahnya, Mereka berkumpul. 
Ainun pergi dari kumpulan mahasiswa organisasi itu. 

Senja tiba, udara di kampus berembus hingga masuk ke sela-sela hijab Ainun, Ainun bingung tak tahu lagi kemana ia harus pergi dengan uang 100 ribu di tangan. 
Hatinya perih, ia merasa iba dengan dirinya sendiri. 
Beberapa teman, sahabat sudah mulai kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing, sedangkan Ainun masih belum beranjak. 
Ainun berjalan, ia menuju Masjid Nurul Irfan, masjid besar yang dulunya bernama Masjid Alumni, masjid yang di kelilingi dengan tiang-tiang penyangga. 
Setiap lorong biasa diisi dengan kegiatan mahasiwa atau tak’lim.

Masjid berlantai dua dengan architektur yang begitu modern, akhwat lantai  satu dan ikhwan di lantai dua, ada satu led TV yang tertempel di bawah, di gunakan untuk kegiatan sholat berjamaah atau kajian. 
Ainun duduk di dalam, menunggu maghrib hingga waktu Isa. 
Diantara waktu keduanya, Ainun sempatkan diri membaca Mushaf. 
Masjid ini tampak sepi, saat malam. 
Tidak ada, Mahasiswa yang saling berebut tempat wudu, semua sudah pulang.

Sempat terfikir untuk menginap di Masjid ini, namun larangan tertulis jelas di dinding, ‘DILARANG TIDUR DALAM MASJID’ 
Ainun memelas. 
Ia terpaksa harus menuju Toko buku Pak Madi, tempat Ia bekerja. 
Semoga Pak Madi mengizinkannya untuk bermalam di tokonya.

@@@@@@@@@@@@

Suara benda terseret, terdengar nyaring di telinga Bimo. 
Bimo Dhananjaya, adalah nama laki-laki berkepala Pampodeur yang tadi siang berjumpa dengan Ainun di kantin.  
Mahasiswa fakultas seni, yang sering menghabiskan malamnya di kampus bersama teman-temannya. 
Mahasiswa yang belum juga menyelesaikan studinya, 5 tahun sudah ia menempuh pendidikan, dan belum lulus dari waktu yang sudah ditentukan. 
Tubuhnya tinggi, wajahnya sedikit putih, rambut Pampodeur membuatnya terlihat lebih tampan dan modern, dua anting hitam yang menempel di telinga menunjukkan selera seni dalam tubuhnya. 

Ainun melintas di depannya,  wajahnya nampak sedih. 
Koper di tangannya terus ia geret. 

Sudah malam, mau kemana dia...? 
Tanya Bimo dalam hati. 
Laki-laki itu pamit dengan teman-temannya, ia ikuti Ainun dari belakang. 
Wanita itu berjalan hingga ke luar jalan raya, ia terus perhatikan. 
Kini ia naik ke jembatan penyebrangan, tenaganya hampir habis mengangkat koper. 
Bimo berlari, ia raih koper itu dan ia pindahkan ke tangannya. 

“MALING........................!” 
Teriak Ainun. 

“HUZZ............................!” 
Jawab Bimo.

“Kamu lagi....................?”

“Kamu mau kemana.....? 
Kamu ngga malu apa....? 
Sejak siang geret-geret koper.”

Mata Ainun mulai berkaca-kaca, pertanyaan yang tak perlu ia jawab. 
Wajahnya memerah, ingin menangis namun bukan di hadapannya. 

“Sini...............................!” 
Ainun menarik tas nya, ia tak mempedulikannya. 
Ainun dengan semangat melangkahkan kakinya lagi. 

Bimo kembali, ia mengambil motor CBR nya yang terparkir di dalam kampus. 
Entah apa yang ia rasakan, melihatnya hatinya terenyuh dan iba, dan memang ia sedang mencari seseorang yang kenal juga akrab dengan Sahira, wanita yang tadi siang sempat menegur Ainun. 
Wanita yang kini berada di urutan paling atas di hati Bimo. 
Bimo jalan, ia kendarai motornya dengan kecepatan tinggi, Ainun terlihat masih berada di atas jembatan, mudah baginya untuk mengejar wanita itu. 
Pelan ia ikuti Ainun dari belakang, wanita itu menuju toko buku tempat ia bekerja.

Tak lama, Ainun menyerah. 
Toko buku tempat ia bekerja sudah tutup. 
Hari ini ia memang libur, seharusnya ia sudah kesini sejak tadi, jika menelpon pak Madi, itu hanya akan merepotkannya.  
Ainun duduk dua lututnya menempel di dada dan berpangku  wajah di atasnya. 
Wanita itu menangis, nafasnya sesak, ia sakit, berharap Allah memberikannya tempat tinggal hanya untuk malam ini.

Bimo terenyuh, ia turut sedih melihat pemandangan di hadapannya. 
Pelan ia mendekat, kaca mata besarnya ia lepas, dan tergantung di jemari yang lentik.  
Pelan ia duduk di sebelahnya. 
“Heh....., kacamata........!”

Ainun bangkit, ia terperangah, lagi-lagi laki-laki itu berada di dekatnya. 
Ainun mengelap pipinya yang basah, ia tak ingin orang lain tahu ia sedang menangis. 
Bimo menatap Ainun, wajahnya pun mungil lagi cantik, bahkan mulus dan bersih dari polesan bedak atau apapun. 
Kacamata yang ia kenakan, hanya membuat hidung mancungnya terlihat kecil. 
Bibirnya mungil, dan ada lesung pipit saat ia menyatukan dua bingkai di wajahnya.

“Kakak mau apa...........?” 
Tanya Ainun heran.

“Bimo...........................!” 
Ucapnya memperkenalkan diri seraya menyodorkan tangan ke arah Ainun.

“Ainun.” 
Ainun tak membalas salaman darinya, ia menyatukan dua telapak tangannya.

“Tadi, kenapa kamu melarang aku jadi Imam Sholat...!” 

“Aku bukan melarang, tapi memang kakak harus tau diri. 
Seorang imam, baiknya seseorang yang tau bagaimana cara sholat, bacaannya juga harus bagus. 
Tanggung jawab ada di pundak, jika kakak salah kakak berdosa. 
Kemarin baru tanya buku tuntunan sholat, malah mau jadi Imam....!”

“Heh........, kamu. 
Aku serius lagi belajar tau.....!”

“Kamu kenal Sahira......?” 
Lanjutnya bertanya.

Ainun mengangguk.

“Deket........................?” 
Tanyanya lagi.

“Lumayan…...................”

“Mau uang nggak.......?”

“Uang.........................?” 
Tanya Ainun bergairah.

“Ya.., mau nggak.........?”

Ainun mengangguk. 

“3 juta buat kamu, kalo aku jadian sama Sahira.”

“Nggak......!” tolak Ainun, seraya memalingkan wajah. 

“Belagu..., lumayan itu buat biaya kuliah sama kos-kosan.”

“Terus, kalo sudah jadian, saya akan terus kecipratan dosa. 
Kakak boncengan saya kena dosa, kakak pegangan saya kena dosa, hiih. 
Kalo mau nikah saya deal...!”

“Sahira, mana mau nikah buru-buru.”
Ucap Bimo seraya mengeluarkan dompetnya. 

“Nih, 1 juta … uang muka, kalo jadi beneran utang dianggap lunas, kalo nggak, utang....!”

Ainun menatap pada uang yang baru saja Bimo keluarkan.
Keadaan sulit tak memungkinkannya untuk menolak. 
Dengan uang itu, dia lebih mudah mencari kos-kosan dengan harga sesuai. 
Pekerjannya juga mudah, hanya membuat hati Syahira terpikat padanya.
Pengalaman berdagangnya cukup banyak, rasanya akan mudah meyakinkan hati Syahira untuk mau bersama laki-laki pampoduer ini. 

“Mau, nggak.................?” 

Ainun diam. 
Ia masih ragu dengan pekerjaannya. 

Ainun mengangguk......

“YES..........! Gitu doonk.”

“Saya tidak janji, hutang ini tetep akan saya bayar, ada pun Syahira akan saya usahakan.”

“Ok, Deal........................! 
Sekarang kamu mau kemana....? 
Udah malem................!” 

“cari kos-kosan.”

“ya ampun, ini sudah malem.” 
Tak lama Bimo mengambil kunci motornya, tumpukan kunci yang berkumpul menjadi satu, ia mengambil salah satunya dan memberikannya pada Ainun. 

“Ini...............................!”  
Sebuah kunci ia sodorkan pada Ainun.

“Kunci kos-kosan.........!” 

“Kakak, juragan............?” 

“Itu kos-kosan saya, nggak pernah saya tempati. 
Kalo boleh menginap semalam disana.”

“Nggak......................!” 
Ainun menolak.

Dia mau apa ya Allah, jangan-jangan mau berbuat jahat, bisik Ainun dalam hati. 

“Saya nggak serendah itu Nun...., 
Wanita kayak kamu bukan tipe saya...!”

Hiiih … Siapa yang mau dengan laki-laki kayak gini, nggak waras ini orang..., 
Gumam Ainun dalam hati.

“Udah ambil...., kos-kosannya di jalan swadaya, tidak jauh dari sini. 
Itu kunci satu-satunya, saya mau pulang.”

“Rumah kakak dimana memangnya....?”

“Cilandak......................!” 

“Ooh…....., Itu kos-kosan anak laki-laki ya....?”

“Udah dateng aja............, 
Tidak ada orang disana.”

Tak lama....,  Bimo pergi. 
Ainun, bergerak ia menuju ke tempat yang Bimo katakan. 
Jalan Swadaya no 20, tidak terlalu jauh. 
Ainun tiba, Ini bukan lah kos-kosan, tapi rumah kontrakan yang di dalamnya ada dua buah kamar, ada dapur di luar, garasi mobil juga perabotan lengkap. 
Kamar utama terkunci rapat, kamar kedua terbuka dan ada kunci yang menempel di dalam.  
Sebuah ranjang empuk, juga lemari jati tersusun rapih.  
Ainun bersyukur, malam ini ia bisa tidur nyenyak, menghapus semua peluh di keningnya. 

Alhamdulillah ya Allah. 
Maafkan hambamu ini, jika hamba salah mengambil pekerjaan. 
Hamba usahakan mereka akan menikah, agar tidak ada dosa diantara mereka juga saya. 
Tak lama Ainun berbalik, ia menangisi nasibnya di atas bantal.

 BERSAMBUNG...............*

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER