*LELAKI ES*
6
Aku bersiap-siap berangkat kerja dan sedang mengunci pintu saat Riko menyapa dari rumah sebelah. Sebenarnya aku sedikit heran, sangat kebetulan sekali pemuda ini tiba-tiba pindah kemari. Kalau di sekolah ia tidak sering cari perhatian, mungkin aku santai saja. Tapi di tempat kami kerja Riko lumayan sering menghampiriku saat sedang sendiri. Seolah-olah hanya akulah satu-satunya orang yang bisa dijadikan teman.
“Pagi, Rin! Berangkat bareng, yuk!”
“Ah, makasih, aku udah biasa sendiri, kok,” jawabku sambil memakai helm.
“Memangnya ke mana cowok yang sama kamu kemarin?”
Hei? Dia menyebut Han cowok yang bersamaku kemarin? Itu suamiku tau? Dan asal kamu tahu ya ... dia sudah menciumku. Aku tersenyum mengingat kejadian semalam, detik selanjutnya memutar gas motor tanpa memedulikan Riko.
Sialnya dia mengekorku dan sesekali melajukan motornya di sisi motorku. Hei itu berbahaya dan tidak lucu, tahu! Wajah semringah pagi ini berubah kecut akibat ulah berondong satu ini.
Tiba di kantor guru, Riko langsung ambil posisi duduk di sebelahku. Padahal ia punya meja sendiri. Tampangnya yang dipasang serius membuatku sedikit menggeser kursi. Apalagi saat suaranya terdengar sedikit berbisik. Biasanya semakin kecil volume bicara seseorang, semakin tinggi tingkat kerahasiaan yang ingin disampaikannya.
“Han sedang nggak ada di rumah, ya, Rin?” tanya Riko. “Dia kerja apa, sih?”
“Emang kenapa?” ini cowok mulutnya kayak lambe turah, deh. Aku mengernyit.
“Semalem aku kan hang out sama temen-temen, ke ‘Silverflay’...,” ucapnya sambil menyebutkan nama sebuah club malam di kota ini. “Aku ngeliat Han lho!”
“Oh, ya?” sergahku sinis, rasanya malas melihat wajahnya yang sok serius itu. Wajarlah, kadang suamiku memang menyamar untuk menangkap penjahat. So ... what? Dasar cowok sok tahu!
“Masa malem-malem dia pergi ke sana sendiri dan nggak ngajak kamu? Ngapain?” Kali ini matanya sedikit membulat, persis presenter acara gosip.
“Aduh ... udah, deh, ya, kamu tu nggak tau apa-apa tentang suamiku. Aku lebih kenal Han dibanding kamu, mending kamu urus aja urusan kamu sendiri, oke?” Aku meninggalkannya menuju kelas.
Di sekolah hari ini sepertinya tidak berjalan mulus. Gara-gara beberapa siswa cowok yang lompat pagar alias minggat saat jam pelajaranku, aku naik pitam. Siswa boleh tidak pintar, siswa boleh tidak suka olah raga, siswa boleh ‘lola’ alias lamban menyerap pelajaran, tapi siswa tidak boleh malas! Aku paling tidak suka ada yang dengan sengaja meninggalkan kelas.
Kedua siswa itu kutarik kakinya saat tubuh mereka sudah di atas pagar. Salah satu sempat melawan tapi terdiam saat kupelintir tangannya ke belakang. Hanya wajahnya yang beringas menatapku. Apa-apaan anak ini? Dia yang salah dia yang ngotot? Lalu, bersama Pak Satpam menggiring mereka ke ruang BP/BK.
Kedua siswa itu didudukkan di hadapan dua guru BP dan aku. Rekan kerjaku itu mengatakan jika salah satu anak itu adalah putra Pak Kades desa ini.
“Bagus! Panggil saja orang tuanya ke sekolah biar kita kasih tau kelakuan anaknya. Banyak saksi kok kalau dia mengelak!” jawabku ketus sambil melotot ke arah anak itu. Kau kira aku takut, heh?
“Kabarnya bapak anak ini lumayan berperan besar memberikan lahan untuk membuka sekolah ini, Bu,” tutur guru BP lembut. “Waktu SMP bapaknya pernah datang ke sekolah karena anaknya dimarahin, Bu.”
“Justru itu, Bu. Kalau bapaknya baik, seharusnya anaknya baik juga ‘kan kelakuannya? Jangan mencoreng wajah bapaknya! Tujuan kita baik kok. Kita mau kenakalan anak ini berubah jadi baik. Bukan menyebarkan berita jelek tentang kelakuan seorang anak kepala desa!” sergahku.
“Kalian sendiri ngerasa salah nggak ninggalin pelajaran saya?” tanyaku pada dua orang siswa itu. “Minggat itu salah, nggak?” cecarku dengan nada tinggi.
Kedua siswa itu mengangguk.
“Nah! Jelas, kan? Kalau mereka masih bertingkah atau bapaknya ke sini marah-marah, panggil saya di ruangan, saya nggak takut!” ujarku pada kedua rekan guru BP.
Tiba-tiba gawaiku bergetar. Nama Han tertera di sana. Aku mengangkat telepon dan saling menyapa.
“Semuanya baik-baik saja?” tanya Han.
“Tentu saja, ini Ririn gitu, bukan ‘kaleng-kaleng’!” balasku sedikit tersenyum.
“Kalau ada masalah bilang aja, aku susul ke sana!” ujar Han.
Hmm ... ini telepati atau apa? Suamiku seperti tahu kalau istrinya di sini sedang ada masalah.
“Nggak perlu khawatir ... memang ada sedikit, sih, tapi aku bisa urus sendiri!” Aku sangat yakin dengan kemampuanku ini, seyakin aku memilih dan mencintai pekerjaan ini.
“Oke, hmm ... siang nanti kita lunch, ya! Tapi aku cuma punya waktu sedikit dan nggak bisa jemput kamu,” katanya.
“Benarkah?” Aku sedikit terlonjak, setidaknya rindu ini tak terlalu lama mengendap sampai menimbulkan jerawat.
Han menyebutkan sebuah restoran tempat kami janjian makan siang nanti.
***
Aku tiba di tempat yang disebut Han. Jauh juga ternyata dari tempatku mengajar. Untungnya Han memundurkan sedikit jadwal makan siang karena tahu pukul berapa aku pulang kerja.
Di dalam ruangan kaca tampak bapak-bapak berseragam melingkari sebuah meja besar, itu ruang VIP. Han berada di luar ruangan itu, sendiri, dan ia juga tampak mengenakan seragam.
Han tersenyum menyambut kedatanganku. Aku membalasnya dengan sedikit canggung. Sehari semalam tidak bertemu rasanya seperti 24 jam. Aku seperti bertemu seseorang yang mencuri ciuman pertamaku. Padahal sebenarnya akulah yang menggodanya.
“Apa kabar?” tanyanya.
Aku tersenyum, pertanyaan macam apa itu? Apa kau sedang mencoba ramah padaku? Kabarku tentu saja sangat tidak baik, Han, sebab terlalu merindukanmu.
Aku mengulum senyum, tentu saja itu hanya terucap di dalam hati. Sementara bibirku menjawab bahwa aku baik-baik saja, titik. Tidak pakai embel-embel.
Seseorang mengantar hidangan steak di hadapan kami.
“Maaf aku sudah pesankan duluan tanpa tanya kamu dulu,” ujar Han.
“Nggak, apa-apa,” jawabku sambil tersenyum, lalu, kami mulai menikmati hidangan dalam diam. Entahlah apa yang ada dalam pikiran Han. Kalau aku jujur saja masih malu sebab kejadian malam itu. Malu karena ... setelah dicium, ternyata aku ditinggalkan.
“Ehm, Han, apa kamu hari ini nggak ngerasa sakit kepala?” tanyaku iseng, karena dari tadi dia diam seperti biasa. Aku teringat perkataan Risa, Tina dan Yeoni. Mereka serius atau membohongiku ya tentang sakit kepala itu?
“Ehm ... enggak?” jawabnya menghentikan aktivitas makan sejenak dan menatapku sekilas.
“Benarkah? Tapi bukannya kamu sudah menciumku?” Aku menatapnya.
“Kan kamu yang minta?”
“Apa?”
“Kejadian di pasar waktu itu?”
Jadi dia menciumku karena aku yang meminta? Bukan karena inisiatif sendiri? Jadi buat apa aku berdandan habis-habisan malam itu?
Ini dia Han yang sebenarnya, dia kembali dingin dan cuek!
Lalu, kenapa daging bakar ini jadi ikut-ikutan menyebalkan karena susah dipotong? Dia tidak tahu aku sedang sangat lapar bahkan sanggup menggitnya jika ia tak mau dipotong pisau ini? Suara denting piring yang beradu garpu dan pisau terdengar nyaring akibat ulah daging bakar ini! Ia sama menyebalkannya dengan Han!
Lihat! Sekarang laki-laki itu bahkan tersenyum memperlihatkan giginya. Yang walaupun ia terlihat sangat tampan tapi aku sedang malas menikmati wajahnya. Senyum itu menyebalkan! Sungguh!
Han menarik pinggan makanku saat aku sedang menggigit daging di garpu dengan beringas. Lalu, ia meletakkan pinggan miliknya tepat di depanku sambil tak berhenti tersenyum. Lihat? Dia sedang meledek atau apa? Aku memandang piring yang di sajikannya, dan ... wow! Dadingnya sudah diiris kecil-kecil dengan sempurna. Aku hanya tinggal memakannya saja.
“Pelan-pelan makannya ...,” ujar Han sambil tersenyum menatapku.
Tahu rasanya? Wajahku sehangat daging bakar ini, dan warnanya? Silakan tebak sendiri jika pink terlalu berlebihan untuk kukatakan.
Kadang ia dingin, kadang penuh kejutan.
Bibir ini sibuk menghabiskan makanan. Aku memegang garpu seperti aku memegang pisau. Entah karena kesal, atau salah tingkah. Lalu, otakku buntu untuk mengeluarkan kalimat-kalimat pemecah kesunyian seperti biasa. Dan lelaki tinggi di depanku ini tak berhenti tersenyum melihatku bergantian dengan daging bakar di hadapannya. Mungkin sedang mencari persamaan di antara aku dan hidangan di hadapannya itu. Baiklah, terima kasih untuk senyummu, Han.
Begitu banyak yang ingin kuceritakan tapi mungkin lain kali saja.
“Aku harus segera pergi lagi,” ujar Han.
“Oke, aku juga sudah selesai.” Aku mengelap bibir. Saat itu Han melakukan hal yang sama, Onde Mande ingin sekali diri ini saja menjadi tisu dan bersentuhan dengan bibirnya yang berminyak itu. Seketika dadaku berdesir teringat kejadian semalam. Lalu menggigit bibir. Agh ... aku menggeleng cepat sambil menepuk kening sendiri.
“Maaf nggak bisa antar kamu.”
“Nggak papa.”
Kami berjalan keluar restoran, sesaat sebelum bapak-bapak berseragam sama seperti Han keluar dari ruang makan mereka.
Han mengantarkanku menuju area parkir motor. Lalu menungguku mengenakan helm dan duduk di atas jok. Ia sedikit menunduk mendekati wajahku sambil menumpukan tangan kirinya di jok motor bagian belakang tubuhku dan tangan kanannya di bagian spidometer.
Jantungku berdebar lagi. Kupikir dia akan mengatakan sesuatu yang penting seperti hati-hati di jalan, aku mencintaimu! Tapi, ternyata tidak.
“Jangan merindukanku, ya!” katanya sambil menyentuh ujung hidungku dengan telunjuknya. Lalu ia tersenyum memperlihatkan giginya.
Hohoho ... pede sekali dia ya? Yakin aku bakal merindukannya? Aku mencebik tak bisa mengatakan apa-apa, sebab hati ini tak bisa berbohong. Detik kemudian memutar gas motor pelan, sangat hati-hati takut jantungku copot dan menggelinding karena getarannya kini sudah sangat kuat. Han masih menatapku saat aku meliriknya lewat kaca spion. Dan dia ... masih tersenyum. Aku memegangi dada dengan sebelah tangan dan menarik napas dalam. Gerogi, sumpah!
***
Aku tiba di rumah saat Riko melambaikan tangannya. Kenapa dia ada di situ?
“Kamu dari mana aja?”
“Habis lunch sama suamiku.”
“Dan kamu disuruh pulang sendiri?”
“Bukan urusan kamu, ya!”
“Aku akan kasih kamu bukti tentang perkataanku tadi pagi!”
“Terserah kamu, ya, Riko ... mau cari bukti silakan ....” Aku lalu membuka pintu.
“Hei, aku boleh main ke rumahmu, nggak?”
Ini cowok ngerti tata krama nggak, sih? Udah tau aku lagi sendirian di rumah malah mau main?
“Nggak boleh!” sahutku sambil mengunci pintu.
Malam harinya Riko terdengar mengetuk pintu. Tapi tak kuhiraukan. Pagi-pagi waktu mau berangkat ke kantor, dia keukeuh ngajakin bareng. Ini berondong maunya apa, sih? Dan aku menolak seperti biasa.
Lalu, seperti kemarin, ia mengekoriku sepanjang jalan bahkan sering bersisian. Di sebuah jalanan yang sepi tiba-tiba aku kehilangan dirinya. Segera ku-gas motor agar ia tak mampu mengejar lagi.
Saat tiba di kantor, suasana masih sepi. Riko belum juga tiba. Hingga jam pelajaran keempat aku berpapasan dengannya saat akan memasuki kelas sebelas IPA1. Aku terkesiap memandangi wajahnya.
“Hei! Muka kamu kenapa?”
Riko menutupi wajahnya yang bengkak. “Tadi jatoh dari motor!”
“Masa? Tapi aku nggak denger suara motor jatoh, tadi?” selidikku. Lebam di wajahnya lebih mirip bekas dipukuli orang.
“Mukamu bukan tergores, tapi benjut, Rik!” Aku menelisik wajahnya yang ia sembunyikan di balik buku.
“Tunggu aja, akan aku kasih liat bukti sama kamu, Rin!” Riko berlalu.
“Bukti apa?”
Dia menjauh dan beberapa kali menoleh padaku seperti sedang ketakutan. Ah, kenapa dia? Bukti apa maksudnya?
_Bersambung....._
No comments:
Post a Comment