Thursday, March 19, 2020

Lelaki Es

*LELAKI ES*

7


Riko yang kemarin malam beberapa kali mengetuk pintu, kali ini adem ayem. Sementara itu, Han belum kembali. Saat aku berselancar di dunia maya, sebuah pesan masuk dari akun yang tidak kukenal. Tapi melihat isinya aku tahu ini dari Riko.
“Ini bukti yang kujanjikan!” tulisnya. Lalu foto-foto menyusul setelahnya.
Aku mencoba tenang dan memerhatikan dengan saksama. Siapa yang di foto itu ... dan ternyata itu Han bersama seorang wanita. Fotonya tidak hanya di club tapi juga di lobi hotel. Aku berdiri menyugar rambut. Jantung ini berdentum keras bagai hendak keluar dari tempatnya.
“Ini alamatnya kalau kamu nggak percaya!” sebuah tulisan yang dikirim oleh Riko muncul di layar.
Segera kuteleponi suamiku. Satu dua kali tidak diangkat, aku lalu menghubungi teman-teman. Ini genting dan aku tidak bisa diam. Bukan Ririn namanya kalau hanya menunggu dan menangis meratapi nasib. Aku akan memperjuangkan suamiku sampai titik darah penghabisan!
Risa, Tina, dan Yeoni mendukung keputusanku, saat kukirim foto-foto itu kepada mereka.
“Besok pagi kita meluncur ke rumahmu, Rin! Kita labrak bareng-bareng perempuan murahan perebut suamimu!”
“Ya, kamu jangan risau, kita selalu ada buat kamu!” ujar Risa berapi-api.
“Aku tau perasaanmu, Rin, biar semuanya jelas, kita hadapi bareng-bareng, Beib!” pungkas Yeoni.
“Hidup istri sah!”
“Hidup!” balasku dengan mata berkaca-kaca.
Aku menggigit bibir, mengempaskan tubuh ke sofa dan menatap langit-langit dengan nanar. Kenapa? Han, kenapa kamu nggak pernah cerita apa pun tentang kesibukanmu di luar sana? Kukira, aku baru saja berhasil menyiram bibit cinta dihatimu, tapi kau sendiri tidak ingin ia tumbuh. Lalu, untuk apa kamu melamarku? Kenapa menciumku?
Bulir hangat menetes lewat celah mata, dan membasahi pipiku. Cepat kuseka. Aku tidak boleh lemah. Besok pagi, akan jelas semuanya.
Pagi-pagi sekali sebuah Honda CRV mendarat di pelataran rumahku. Risa, Tina dan Yeoni tidak turun lagi dari mobil dan langsung menyuruhku naik. Ya ampun, entah berangkat jam berapa mereka dari rumah. Kediaman mereka cukup jauh jaraknya.
“Ya ampun, Risa, kamu sampai bawa bayimu, aku ngerepotin banget, ya?” Sungguh tidak enak rasanya melibatkan bayi imut enam bulan itu dalam masalah penggerebekan emak-emak squad ini.
“Nggak apa-apa, Rin, demi persahabatan kita!” Risa mengepalkan tinjunya, sepertinya ia sangat bersemangat.
Sepanjang perjalanan sobat-sobatku ini tak henti-hentinya bertanya tentang keanehan Han akhir-akhir ini dan aku jawab bahwa semua baik-baik saja. Mereka saling berpandangan, lalu sibuk menerka-nerka sampai akhirnya kami tiba di hotel yang dituju.
“Coba kamu telepon suamimu, Rin, siapa tau dia ngaku lagi ada di hotel ini,” saran Yeoni yang ada di balik kemudi.
Risa dan Tina duduk di bangku tengah, untunglah si bayi tenang. Aku segera menelepon Han.
Cukup lama aku menunggu sampai lelaki cuek itu mengangkatnya. Apa mungkin dia sedang sibuk dengan wanita yang ada di foto? Menyebalkan sekali!
“Ada apa, Rin? Maaf semalam teleponnya nggak keangkat,” ucap Han di seberang sana.
“Kamu lagi ada di hotel, ‘kan?” Aku langsung menohoknya dengan pertanyaan itu. Maaf aku nggak bisa basa basi orangnya.
“I ... iya, kok kamu tau?”
“Sama siapa kamu?” Berdentum-dentum rasanya jantung ini. Napasku memburu disertai bahu yang turun naik dengan cepat.
“Sama temen,” jawab Han terdengar seperti orang bingung.
“Temen mana yang ketemuan di hotel? Aku mau ketemu kamu sekarang juga! Aku udah di lobi! Cepetan ke sini!” sahutku ketus.
Aku, Tina, Yeoni, dan Risa dengan bayi bulat usia enam bulan dalam gendongan kain batik turun dari mobil dengan gaya ‘Charlie’s Angel.’ Mata menatap tajam ke arah depan, kaki melangkah mantap dengan rambut ditiup angin. Kami merasa gagah.
Lima menit ....
Sepuluh menit ....
Kami menunggu tapi Han tak juga turun.
“Ayo kita cari di atas!” ajak Risa bersemangat walau tampak kepayahan dengan bayi yang tengah tertidur di gendongan.
Kami mengangguk cepat, lalu menuju lift.
“Kira-kira mau nyari ke mana, ya?” tanyaku sedikit berkecil hati.
“Kita sisir di tiap lantai, hotel ini nggak terlalu banyak kok lantainya,” ujar Yeoni. Tina mengangguk setuju.
Sampai lantai tujuh, kasihan Risa mulai ngos-ngosan, sementara yang lain masih bersemangat. Langkah kami melambat sebab melihat banyak orang yang berseragam sama seperti yang sering dikenakan Han. Beberapa orang yang juga berseragam sedang berdiri di depan sebuah pintu. Yeoni memberanikan diri bertanya.
“Maaf, Pak, Bapak kenal Pak Han, nggak?”
Belum sempat bapak itu menjawab, sebuah suara mengagetkan kami berempat.
“Ririn!”
Itu suara Han! Ia berjalan tergesa dari arah lorong. Ia juga mengenakan seragam, aku berpikir keras sedang apa dia sebenarnya?
“Aku menyusul kamu ke bawah ternyata di sini?” Napasnya terdengar memburu. Ia memandangi teman-temanku dengan dahi mengernyit. “Ada apa ini?” tanyanya.
“Ririn mau minta penjelasan!” celetuk Risa.
“Oke, oke, ayo menjauh sedikit dari ruangan ini,” jawab Han. Tubuh tingginya mendahului kami lalu berhenti di tempat yang agak sepi.
Aku langsung menunjukkan foto-foto Han yang tersimpan di gawai. “Ini! Apa ini?” Aku berdiri di depan teman-temanku, mereka sudah berjanji akan selalu mendukung setiap keputusanku.
Han mengusap wajahnya. “Sebentar,” katanya. Ia lalu terlihat menelepon seseorang dan menyuruhnya kemari.
Tidak lama kemudian datang dengan tergopoh-gopoh seorang wanita yang berseragam sama dengan Han. Tubuhnya tinggi dan sangat proporsional. Aku langsung melihat diriku sendiri yang tingginya rata-rata wanita Indonesia. Saat dia berdiri di samping Han, mereka terlihat serasi, Mande! Aku minder.
“I ... ini cewek yang ada di foto!” Risa menunjuk cewek itu.
Sementara yang ditunjuk melambaikan tangan dengan ramah. “Halo, dedek bayi yang imut?” Sini tante gendong!” dengan ramah ia meraih si kecil dari Risa. Entah kenapa Risa seperti terhipnotis keramahan cewek ini. Aku mendelik menatap Risa.
Han memperlihatkan gawaiku pada cewek itu. Lalu dia tersenyum sambil menimang anak Risa.
“Bukan sekali ini saya dilabrak ibu-ibu,” ucapnya sambil tersenyum. “Itu foto waktu saya dan Pak Han menyamar jadi pembeli narkoba! Ini rahasia, ya!” Ia berbisik dan mengedipkan sebelah matanya. “Kalau foto di hotel ini, ya nggak sengaja aja kita pas lagi sebelahan, Mba, kami sedang ada pertemuan. Mungkin orang yang nyebar foto ini pengen rumah tangga Mbak berantakan, kalau saya hanya menjalankan tugas, Mbak, saya juga sudah bersuami,” pungkasnya.
Aku, Risa, Tina, dan Yeoni berpandangan. Lalu, aku menatap Han yang tengah menampakkan wajah datar.
Aku bergeming, menunduk. Jadi ... ini semua kerjaan Riko? Aku mengepalkan kedua tangan, marah. Tapi keadaan di sini membuatku malu. Entah bagaimana warna mukaku saat ini.
“Tenang aja, Mbak, Pak Han ini laki-laki setia, kok!” Cewek itu menunduk sedikit agar bisa melihat wajahku, lalu ia meninggalkan kami.
Saat aku menoleh, sahabat-sahabatku tadi tidak ada satu pun. Ke mana mereka? Katanya akan selalu mendukungku, kenapa saat aku malu, aku sendiri yang menanggungnya? Menyebalkan sekali mereka! Lalu, di mana harus kusembunyikan wajah ini? Sungguh, aku tak berani menatap Han dengan semua yang telah kutuduhkan padanya, menelepon dengan kata-kata kasar, membentak, menuduh. Agh ... memalukan!
Aku tak sanggup bicara padanya saat ini, rasanya ... aku mau kabur saja! Lift ... mana lift? Dengan langkah tergesa aku menuju lift, langkah kaki bersepatu menyusulku dari belakang.
“Rin,” panggil Han.
Tidak, jangan susul aku dulu, biarkan aku sendiri, aku malu. Saat melihat pintu lift terbuka, aku langsung masuk, Han menyusul. Tapi keadaan di dalam sedang padat, ia tak bisa menjangkauku. Aku ikut keluar saat orang-orang dari lift itu keluar. Sebisanya menghilang dari pandangan Han.
Tapi, ini di mana? Bukan lantai dasar? Hanya ada beberapa ruangan dan tangga. Mungkin aku bisa bersembunyi dari Han dengan menaiki tangga itu. Baiklah.
Kunaiki anak tangga hingga keluar di tempat yang luas dan terbuka. Ini ... rooftop hotel ini? Anginnya kencang sekali, kenapa aku bisa ada di sini? Apa Han sudah tidak menyusulku? Oh ... aku lupa kakinya sangat panjang, mana mungkin langkahku bisa lebih cepat darinya.
Kudengar ketukan langkah kaki mendekati. Sepertinya aku sudah tidak bisa mengelak. Sudah, apa yang akan terjadi, terjadilah, bahkan kalau pun Han akan marah, aku terima. Hanya saja aku ... tak berani menatapnya.
Tiba-tiba tubuh itu sudah berada di belakangku, aku hafal aroma parfumnya, ia menghapus jarak, melingkarkan kedua tangannya yang kuat ke pundakku. Jemarinya menyatu di depan dadaku. Lalu, kepala Han tepat bersandar di bahu ini.
“Maaf,” katanya. “Maafkan aku.” Wajah Han sangat dekat, bahkan pipi kami saling bersentuhan, aku bisa merasakan embusan napasnya.
Kurasakan waktu berhenti. Dunia berputar menyisakan hanya kami berdua. Aku ... menarik napas dalam. Mau berkata-kata, tapi rasanya lidahku kelu. Mau menangis, air mataku sedang tak hendak keluar. Sulit melukiskan perasaan ini. Semua kecewa, malu, kesepian, dan seribu tanya dalam hati telah dibungkam dengan satu kata maaf darinya. Lalu, aku harus apa?
Han mengurai pelukannya, memutar tubuhku dengan pelan agar bisa berhadap-hadapan dengannya. Kini, kedua manik mata cokelat itu menatapku lekat. Kedua lengannya merengkuh bahu ini dengan kuat.
“Maaf nggak pernah cerita kesibukanku di luar, sampai-sampai kamu repot ke sini menyusulku.”
Aku hanya menunduk.
“Tugasku, kadang berbahaya dan penuh rahasia, aku nggak mau kamu khawatir apalagi sampai terlibat kayak gini.” Ia masih menatapku.
“Ini semua bukan salah kamu, ini salahku, aku sendiri yang menyebabkan kamu nggak punya rasa percaya padaku. Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri.”
Han menarikku ke dalam pelukannya. Rasanya sungguh hangat. Ia mengecup pipiku dan membelai rambut ini perlahan. Entah kenapa, walau bibirnya belum pernah sekali pun mengucapkan kata sayang, tapi perlakuannya sangat membuatku nyaman. Sepertinya aku ingin waktu berhenti berputar, agar lebih lama merasakan kehangatan ini.
“Bicaralah,” ucapnya. “Kamu marah?” Han mengurai pelukannya.
Aku menggeleng.
“Kamu nggak percaya sama aku pasti karena sampai sekarang aku belum menyentuhmu, bukan begitu?”
Aku mengernyitkan dahi.
“Kamu menyalahkanku karena aku terlalu sibuk?”
Aku menunduk sambil mengangguk. Han menjentikkan jarinya di keningku.
“Enak aja, itu salah kamu juga, tau!” Ia tersenyum.
“Salahku?”
“Kamu kalau tidur nyenyak banget sih, nggak bisa diganggu. Aku takut kalau aku nekad terus kamu bangun ... kaget ... ngeluarin jurus karate sambil teriak, kan gawat,” ucapnya sambil sedikit terkekeh.
Aku memukul dadanya.
“Nah, kan, ngomong kayak gini aja aku udah mau dihajar?” candanya. “Ayo sini hadapi aku!” Han mundur dengan kuda-kuda tangan terbuka, lebih mirip menungguku untuk memeluknya. Tentu saja tidak kusia-siakan kesempatan itu dan menghambur dalam pelukannya sekali lagi. Ia tertawa sambil mengacak rambutku. Ya Tuhan, aku benar-benar ingin waktu berhenti sejenak, tidak bergerak.
Beberapa menit kemudian kami berjalan turun.
“Aku akan ambil cuti dan mengajakmu honeymoon, kamu juga belum pernah izin ngajar, kan? Mungkin kepala sekolah akan kasih izin,” ucap Han sambil menuruni anak tangga.
Aku tak menjawab hanya menunduk sambil mengulum senyum. Bayangan indah menari-nari di kepala. Han menggenggam tanganku erat. Kami berjalan menuju lif.
“Kamu pulang duluan, bareng temen-temen kamu, nanti aku nyusul.” Aku mengangguk.
“Satu lagi,” ucapnya sambil menatapku di dalam lift yang hanya ada kami berdua.
“Jangan semua urusan rumah tangga kita kamu ceritakan dengan teman, oke!” ucapnya sambil menyentuh hidungku dengan ujung jari.
“Mulai sekarang jadikan aku sebagai sahabatmu, tempat pertama kali kamu menceritakan isi hatimu, ya!”
Aku mengangguk.
Kami tiba di area parkir. Teman-temanku sudah berada di dekat mobil. Setelah aku tiba mereka cepat-cepat masuk. Lalu, aku melakukan hal yang sama saat Han membukakan pintu mobil untukku.
Han menunduk ke arah jendela dan berkata pada Yeoni, Risa, dan Tina.
“Titip Ririn, ya!”
Yeoni memberikan jempolnya. Lalu, kami melaju dalam diam. Tak ada yang berani berkata-kata. Mungkin takut aku marah pada mereka atau apa, entahlah.
Bersambung.
Bonus
Pov Han
Gadis kecil itu masih menangis di pusara ibunya saat kami tiba. Pelayat satu per satu mulai meninggalkan area pekuburan, tapi gadis itu masih menarik-narik baju ayahnya. Mereka, tidak punya banyak keluarga.
Aku mendekati adik kecil itu dan menyapanya.
“Halo ... kamu sedih, ya, mamamu meninggal?”
Sepasang mata bulatnya memandangku, lucu.
“Meninggal itu apa?” tanyanya.
“Ya, seperti mamamu sekarang, tidur di dalam tanah itu,” jawabku.
Gadis kecil itu memandangiku dan gundukan tanah berlapis bunga segar secara bergantian.
“Iya ... mamaku tidur di sana! Hua!” Ia menangis kencang, lalu berhenti sambil terisak. Ayahnya masih tergugu memegangi pusara.
“Ayo kita pulang,” ajakku, sementara mama papaku sedang membujuk ayah gadis ini.
Gadis itu diam dengan sepasang mata bulat menatapku.
“Ayo, nanti kakak belikan es krim,” bujukku sambil memberinya senyum termanis.
Ia mau, lalu aku menggandeng tangannya pulang.
Di dekat rumahnya yang masih ramai pelayat, kami makan es krim berdua.
“Siapa namamu?” Aku bertanya.
“Ririn,” jawabnya sambil menyesap es krim.
“Aku Han.”
“Kakak Han?” tanyanya.
“Begitu juga boleh,” jawabku sambil tersenyum.
“Kamu masih sedih mamamu pergi?”
Ririn menggeleng. “Kalau ada kakak, Ririn nggak sedih lagi!” jawabnya riang.
“Baiklah kalau begitu kakak akan temani Ririn di sini.”
“Sampai kapan?”
“Mungkin sampai besok, mama kakak bilang kami akan menginap semalam di sini.”
“Yah ... kakak bakal ninggalin Ririn juga dong ....” Gadis kecil itu menunduk sedih.
“Memangnya kamu ingin kakak menemanimu sampai kapan?”
“Sampai selamanya,” jawabnya.
“Kalau kakak temani selamanya, Ririn nggak akan sedih lagi?” tanyaku.
“Iya!” Wajahnya kembali ceria.
Aku tersenyum sambil berpikir suatu saat akan kembali ke sini.
“Kakak janji nanti akan ke sini lagi.”
“Janji, ya?”
“Iya!”
“Asiiik!” Ririn terlonjak bahagia.
Dua adikku mendekati kami. Lalu di belakangnya ada papa yang mengeluarkan kamera dari dalam tas.
“Sini mumpung lagi ngumpul, papa foto kalian, senyum ya!”
Cekrek!


_Bersambung lagi ...._

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER