Friday, March 27, 2020

Lastri 18

LASTRI  18
(Tien Kumalasari)
 
Malam semakin larut, Lastri terkulai lemas. Bayu masih terduduk dikursi dekat ranjang, Tak beranjak sejak dia memaksa masuk kekamar Lastri. Ia tak menyangka Bayu senekat itu. Hampir saja kesucian itu terkoyak. Gelora yang menggelegak dan darah muda yang mendidih nyaris terlampiaskan. Lastri menatap Bayu dengan getar yang tak kunjung padam. Itu sebabnya tubuhnya lunglai. Susah payah mereka mendinginkan kawah yang nyaris memuntahkan lahar. Beruntung ada iman yang masih tergenggam erat. Beruntung setan-setan keparat berhasil terusir minggat.
"Aku mencintai kamu Lastri," bisik itu terdengar berulang kali. Lastri tenggelam dalam derita yang menyengat. Apakah ia menyesal terlahir dari rahim seorang perempuan dari kasta rendahan? Menyesal terlahir dilingkungan kumuh tak bersinar, dan dibesarkan diantara kerak kemiskinan? 
"Tidak.." bisik Lastri lemah.
"Mengapa tidak?"
"Mas Bayu tersesat dalam cinta yang salah."
"Cinta tak pernh salah. Ia datang mengisi jiwa manusia setiap dia inginkan. Cintaku berlabuh dihati seorang perempuan dusun yang sederhana, tapi cantik bagai bidadari. Cantik wajahnya, cantik hatinya. Karena kamulah perempuan itu, maka dosa yang seharusnya menoreh kehidupan yang mulia ini tersingkirkan. Aku semakin mencintai kamu Lastri."
Lastri menghela nafas. Ia tak ingin mengatakan bahwa dia juga mencintai Bayu. Ia selalu merasa tak pantas memiliki perasaan itu.
"Lastri,"
"Saya mohon, keluarlah mas.. ini tidak pantas. Ini kamar seorang gadis.. dan mas Bayu sudah menguakkan pintu dengan paksa."\
"Tapi aku tidak menguakkan kesucian kamu, karena kamulah perempuan yang aku impikan."
"Saya mohon, keluarlah.." suara Lastri bergetar, menahan isak.
"Aku hanya mau keluar setelah kamu mengatakan isi hati kamu."
"Saya sudah mengatakannya."
"Tidak, ini tentang cinta seorang Bayu. Jawabanmu akan menguatkan aku."
"Mas, saya mohon."
"Jawab dulu, kamu belum pernah menjawabnya, apakah kamu mencintai aku?"
"Tidak mas..." bisik Lastri yang kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Kamu bohong Lastri..."
"Sunggguh, sekarang keluarlah, jangan menunggu setan-setan mengipasi hati mas lagi."
"Jangan membohongi hati kamu Lastri. Tak ada yang melarang orang jatuh cinta."
"Tidak mas, ini lebih baik."
"Tidak, ini buruk, aku akan memintamu agar menjadi isteriku."
Lastri terguguk dalam tangis yang mengharu biru. Bayu merasa trenyuh, ia berdiri dan mendekati Lastri yang masih duduk ditepi ranjang. Ia merangkulnya erat. Lastri gemetar dalam rangkulan orang yang dicintainya, tapi kemudian dia mendorongnya perlahan.
"Keluarlah mas, saya mohon, ini tidak baik," pinta Lastri sambil merangkapkan kedua telapak tangan.
Bayu surut kebelakang, membalikkan tubuh, tapi sebelum keluar dari pintu, dipandanginya lagi Lastri yang masih berlinangan air mata.
"Yang penting aku sudah mengucapkan kata hatiku, dan aku sudah yakin bahwa kamu juga mencintai aku."
Lalu ditutupnya pintu itu, meninggalkan Lastri yang masih tenggelam dalam tangis. Bahagiakah Lastri? Tidak, dia seperti tenggelam kedalam lautan yang dia tak mampu muncul kepermukaan, terombang ambing oleh deru ombak yang menghantam jiwanya.
***
Lastri tak bia tidur semalaman, ketika ayam berkokok terdengar dikejauhan, dia keluar dari kamarnya. Melakukan tugasnya, menjerang air, kemudian bersih-bersih rumah. Setelah itu membuat roti bakar kesukaan Bayu lalu menyiapkan teh hangat dan roti itu ditempat biasanya. Ketika ia berbalik kebelakang, dilihatnya Bayu sudah keluar dari kamarnya, Matanya sembab. Pasti sama dengan dirinya, tak bisa tidur semalaman. Tapi kemudian dia duduk dan menghirup teh hangat buatan Lastri. Pikirannya melayang kearah peristiwa semalam, dimana di hampir saja merobek masa gadis Lastri dengan perbuatan nekatnya. Ia bersyukur, perempuan itu adalah Lastri, yang teguh memegang kedudukannya sebagai wanita. Wanita dusun sederhana yang memiliki hati bersih seputih melati. Cinta dihati Bayu semakin membara.
"Minumlah disini Tri, temani aku," pinta Bayu.
"Saya sudah minum dibelakang mas. Mas minumlah dulu dan nikmati roti bakarnya, saya mau mandi lalu kepasar. Mas Bayu mau dimasakin apa?"
"Tidak, nggak usah kepasar Tri, kita akan mengembalikan mobilnya mas Timan, lalu kita sarapan diluar."
"Saya harus ikut?"
"Ikut saja Tri, daripada dirumah sendirian."
Lastri mengangguk, kemudian meneruskan langkahnya kebelakang.
Bayu menikmati roti bakar buatan Lastri, meneguk teh hangat yang juga buatan Lastri. Itu seperti biasa dialaminya setiap pagi, namun pagi itu terasa lain. Ia seperti menjadi seorang tuan rumah dan Lastri adalah isterinya. Bahagianya bangun pagi sudah dilayani isteri. Bayu melamun kemana-mana. Akankah hal itu bisa terjadi? Bayu juga memiliki mimpi, yang harus diraihnya. Ia tersenyum sendiri, kemudian menghabiskan sepotong roti yang sudah digigitnya, lalu berdiri dan bersiap untuk mandi. 
***
Hari itu Minggu, tapi Sapto belum ingin mandi. Ia duduk diteras rumah dan menyandarkan kepalanya dengan lesu. Kejadian semalam membuatnya seperti terjatuh dari ketinggian, meluluh lantakkan semua angan dan keinginannya. Ada yang mengherankan, seorang perempuan desa, pembantu, memiliki hati yang kokoh, mampu membuatnya surut, lalu menyadari semua sepak terjangnya yang tak terkendali. Sapto menyadari bahwa masa mudanya direguk sia-sia. Tak ada yang didapatkan. Kesenangan yang dilaluinya hanyalah kepuasan semu yang tak membuatnya bahagia. Ia terpuruk dalam kegelapan yang meliputi nuraninya. Bagaimana bangkit dari semua ini? Sapto memejamkan matanya, dan mata itu masih juga terpejam ketika didengarnya langkah-langkah mendekat. Dibukanya matanya lalu dilihatnya dua orang yang dikenalnya, menatapnya dengan pandangan gusar. Sapto berdiri.
"Bayu, Lastri, silahkan masuk," sapanya kaku. Ia tau Bayu akan sangat marah, mungkin akan menghajarnya, membuatnya jatuh bangun penuh luka. Tapi Sapto berjanji tak akan melawannya.
"Silahkan masuk.." ulangnya.
Tapi Bayu tak bergeming. Ia berdiri didepan tangga teras, Lastri disampingnya, agak kebelakang.
"Aku disini saja dan hanya sebentar."
Sapto melihat sosok laki-laki sahabatnya itu tidak sedang bersiap mengayunkan bogemnya. 
"Bayu, aku minta ma'af. Aku khilaf, dan aku siap menerima hukumannya. Kau boleh menghajarku, bahkan membunuhku."
"Aku tak mengira kau memiliki niat busuk. Kau lupa bahwa aku adalah temanmu, sahabatmu."
"Aku khilaf, aku menyesal. Ma'af Bayu, ma'af Lastri."
"Aku berharap kau akan menjadi baik,"
"Aku berjanji, aku akan berubah."
Mata nyalang itu tak tampak lagi, Sapto tampak lesu tak bersemangat. Diam-diam Lastri merasa iba. Ia harus mema'afkannya, karena dia berjanji akan berubah. Tapi Lastri tak mengucapkan apapun. Ketika memasuki halaman rumah Sapto, Lstri sudah bersiap menghalangi seandainya Bayu akan mengamuk dan menghajar Sapto, tapi Lastri merasa lega karena Bayu tidak melakukannya.
"Aku akan memegang janjimu. Ingat persahabatan kita Sapto, jangan sampai ternoda oleh kelakuan burukmu. Kamu harus tau, aku mencintai Lastri."
Sapto mengangguk, dia sudah menduga. Dilihatnya Lastri yang kemudian menundukkan kepalanya. Tampaknya ia malu, atau entah apa yang difikirkannya.
"Sekali lagi ma'afkanlah aku."
Lastri menggamit lengan Bayu, mengajaknya segera pergi.
"Baiklah, aku permisi," kata Bayu yang kemudian menggandeng Lastri untuk pergi.
"Mengapa bilang begitu dihadapan mas Sapto?" protes Lastri sambil berjalan keluar.
"Nggak apa-apa, biar Sapto tau, kalau enggak, dia juga bisa jatuh cinta beneran sama kamu."
Lastri mencibir, dan Bayu ingin mencubit bibir itu. 
Sapto berdiri diteras, memandangi kepergian sahabatnya. Agak heran ketika melihat Bayu mengendarai colt terbuka. Dalam hati dia bertanya, bukankah itu colt yang aku lihat ketika aku pergi dari rumah keluarga Marsudi?. Sapto tak mau tau apa yang terjadi, ia merasa lebih lega, lalu memasuki rumah dan mandi. Ia harus mengguyur tubuhnya agar merasa segar, sesegar perasannya ketika kedatangan Bayu bukan untuk menghajarnya. Tapi sungguh ia berjanji pada dirinya, bahwa langkah yang dilaluinya akan berubah. Dan langkah pertama yang akaan dilakukannya adalah mengganti nomor kontaknya. Banyak gadis-gadis menelponnya hampir setiap hari, mungkin merindukaan dirinya, mungkin mengajaknya kencan atau makan disebuah restoran. Sekarang tak ada lagi. Hari ini juga langkah itu akan dilakukannya.
*** 
Ketika sampai dirumah Timan, dilihatnya Timan sudah duduk dikursi depan. Rumah kuna yang ditinggalinya adalah peninggalan kedua orang tuanya. Timan hanya membenahi apa yang sudah aus, tapi tak merubah bentuknya. Teras depan yang terbuka, lalu ruangan dalam yang luas, dipenuhi perabot-perabot tua yang masih terawat rapi.Tak ada kesan mewah, tapi nyaman untuk ditinggali. Menyenangkan duduk-duduk diteras yang sejuk oleh semilir angin yang menyentuh dedaunan.  Kebunnya yang luas, dipenuhi pohon-pohon buah. Ada mangga dan jambu. Ah ya, Lastri pernah ditawari buah jambu itu. Ketika melihat kearah pohon itu Lastri tak melihat lagi ada buah disana.
"Jambunya sudah habis ya mas?" tanya Lastri.
"Ya, sudah habis."
"Kita pernah memakannya kan mas?"
"Iya, enak dan segar," jawab Bayu sambil tersenyum.  Ia lebih mengamati wajah Timan yang masih tampak sembab. Bayu merasa sangat bersalah.
"Bagaimana perasaan mas Timan? Mana yang masih terasa sakit?"
"Sudah baik, kan sudah dikasih obat?"
"Masih nyeri ?"
"Nggak juga. Bibir yang terluka sudah diberi salep. Ini sudah nggak terasa perih. Mungkin sehari dua hari akan pulih."
"Saya minta ma'af ya mas?"
"Lupakanlah, saya bisa mengerti, sebentar, saya ambilkan jeruk ya... sama mau minum apa?"
"Sudah, jangan repot-repot mas, duduk saja, kami hanya mau mengantarkan mobil mas Timan," kata Bayu.
"Terimakasih banyak mas, sebenarnya saya bisa mengambilnya sendiri."
"Ya nggak boleh begitu, saya berkewajiban mengantarkan mobil itu. Kan saya sudah berjanji tadi malam?" 
"Kalau begitu saya bawakan jeruk saja. Saya sudah bilang sama Lastri, jeruknya masih segar dan manis," kata Timan sambil beranjak kebelakang. Timan  tersenyum sendiri. Kemarin sore dia mengatakan bahwa jeruknya manis kayak Lastri. Tapi tadi ia sungkan mengucapkannya. Timan merasa seperti ada apa-apa antara Bayu dan Lastri. Patah hati deh aku, kalau itu benar, bisik batin Timan. Oh ya, rupanya Timan juga jatuh hati sama Lastri. Tapi rasa itu surut. Timan tak mau terjerumus dalam cinta yang bertepuk sebelah  tangan. Bukankah jodoh itu ditangan Tuhan? Cukuplah Lastri akan tetap menjadi sahabat baginya. Betapa mulia hati Timan.
Bayu dan Lastri saling pandang begitu Timan keluar dan membawa sebungkus buah jeruk.
 "Ya ampun mas, banyak sekaliiiii... sedikit saja," teriak Bayu.
"Iya mas Timan tuh, saya sisakan disini separo ya."
"Jangan, biar saja. Nggak bagus lho menolak rejeki."
"Padahal kami mau pulang lho," kata Lastri.
"Iya, supaya mas Timan bisa istirahat lebih banyak."
"Lha nanti pulang naik apa? Biar saya antar, kata Timan sambil berdiri.
"Jangan mas, kami mau naik taksi saja, kami masih mau mampir-mampir." kata Bayu yang kemudian menggamit lengan Lastri mengajaknya segera berpamit.
"Lha kalau begitu panggil taksi saja dulu dan ditunggu disini."
"Nggak usah mas, kami bisa sambil jalan.
"Terimakasih jeruknya lho mas," kata Lastri.
"Oh ya, ponselmu bagaimana ?" tanya Timan.
"Belum sempat diperbaiki mas, ini kami bawa, kalau sudah nggak bisa diperbaiki lebih baik beli saja, nanti gampang, jawab Bayu. 
Lalu keduanya melangkah keluar dari halaman rumah Bayu.
Timan memandangi kedua sejoli itu dengan perasaan lega.
"Baguslah kalau Lastri mendapatkan suami seperti mas Bayu. Sepertinya dia baik, dan bisa melindunginya. Aku akan bahagia kalau kamu bahagia Lastri," bisik Timan yang kemudian masuk kedalam rumah.
*** 
Hari itu Bayu mengajak Lastri berkeliling kota. Tak apa walau naik taksi. Mereka sarapaan disebuah warung pecel, yang terletak dipinggiran kota, lalu ketoko ponsel dan membeli yang baru untuk Lastri. Lastri sudah melarangnya, tapi Bayu nekat. Terpaksa Lastri menyerah. Setelah itu mereka duduk-duduk ditaman, seperti sepasang sejoli yang sedang dimabuk cinta. Tapi Lastri tetap tak mau berbicara tentang cinta.
"Baiklah, cukup aku mengatakan bahwa aku cinta kamu, dan aku juga tau bagaimana perasaanmu terhadapku," kata Bayu mengulang kata-katanya semalam. Bayu yakin, Lastri hanya merasa tak sepadan dengan dirinya, tapi Bayu tak perduli. 
Lastri tak menjawabnya, walau itu benar.
Ketika lelah berputar-putar, mereka makan siang disebuah restoran, dan sore hari baru beranjak pulang.
Namun mereka terkejut melihat pintu rumah terbuka. Bayu melangkah cepat kerumah, diikuti Lastri yang setengah berlari tersaruk-saruk.
Bayu berendap-endap begitu sampai dipintu masuk, perkiraannya adalah ada penjahat memasuki rumahnya. Tapi Bayu tak melihat pintu itu rusak. Berarti sang penjahat masuk dengan memiliki kunci yang sama. Ya Tuhan, apakah itu Sapto? Bukankah dia memiliki kunci duplikat yang katanya diberi sama ayahnya? Pikir Bayu. Ia menoleh kearah Lastri dan berbisik: " Sapto lah yang memiliki kunci duplikat bukan?"
Tapi Lastri menggeleng.
"Kunci itu sudaah diberikan sama saya," katanya.
Bayu masuk dengan hati-hati.
"Kamu diluar saja,"kata Bayu pelan. Ia khawatir penjahat itu akan menyerangnya dan itu adalah bahaya bagi Lastri yang seorang gadis.
"Hati-hati mas," bisik Lastri khawatir.
Bayu mengangguk dan terus melangkah kedalam. Ia belum menemukan siapa-siapa. Tapi ketika ia tiba diruang tengah, didengarnya suara orang bercakap, dan suara itu amat dikenalnya. Bayu langsung masuk dan melihat ayah ibunya sedang berdebat, dan juga menyebut-nyebut namanya.
***

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER