LASTRI 13
(Tien Kumalasari)
"Surat apa itu pak?" tanya bu Marsudi sambil menyuapkan suapan terakhirnya. Bayu sudah lebih dulu selesai, lalu meneguk minumannya. Ia ingin berdiri ketika tiba-tiba pak Marsudi menghentikannya.
"Tunggu Yu, ini undangan dari Tante Sasongko di Surabaya."
Bayu urung berdiri. Sasongko adalah saudara sepupu ayahnya.
"Undangan apa pak? Mantu lagi dia?" tanya bu Marsudi.
"Ini anaknya yang bungsu. Menikah Minggu depan. Kita harus datang bu, juga kamu Yu."
"Mengapa Bayu harus ikut?" tanya Bayu, ada rasa segan ketika ayahnya mengajaknya pergi, sampai menginap lagi. Ya pastilah menginap, Surabaya kan jauh.
"Bayu, tantemu itu tinggal sendirian, suaminya sudah lama meninggal. Dia sepupu bapak satu-satunya. Jadi kita harus benar-benar memberi perhatian. Kamu harus ikut."
Bayu tak menjawab. Ada keinginan untuk mengusulkan supaya Lastri ikut, tapi diurungkannya. Bapaknya tak akan mengijinkan.
"Iya Yu, kalau ini kan demi tante kamu, kasihan kalau kita nggak datang sekeluarga. Lagian sudah lama sekali kita nggak kumpul-kumpul, ibu kok ya kangen ketemuan sama saudara2," kata bu Marsudi .
"Tuh, nanti disana kita akan bertemu banyak keluaga yang rumahnya jauh, bahkan ada yang dari luar Jawa, seperti Nastiti, Sanjoyo. Berapa tahun kita nggak ketemu ya bu?"
"Iya nanti coba Bayu pikirkan," akhirnya Bayu berkata.
"Sekarang Bayu harus segera kembali ke kantor," lanjut Bayu.
"Ya sudah Yu, hati-hati ya," kata bu Marsudi yang lalu berdiri menumpuk piring bekas makan Bayu.
"Lastri..." teriak bu Marsudi.
Lastri datang, dan tanpa disuruh dia mengambil piring-piring kotor yang kemudian dibawanya ke belakang.
" Aku juga harus kembali ke kantor."
Pak Marsudipun segera berdiri dan menuju kedepan, diiringi bu Marsudi.
"Bersiap-siap ya bu, kita akan ke Surabaya besok Sabtu."
"Ya.."
"Jangan sampai Bayu nggak mau ikut bersama kita, nggak enak sama saudara-saudara."
"Iya, ibu tau."
Ketika kembali ke belakang, dilihatnya Lastri sedang membersihkan meja makan.
"Tri, nanti bantu aku mengambil kopor yang diatas almari itu ya."
"Yang merah ?"
"Ya, minggu depan kami mau ke Surabaya."
"Ke Suabaya bu? "
"Ya, surat yang kamu terima tadi undangan dari sepupu bapak, kami akan datang. Makanya bawa kopor yang merah itu. Itu kan yang vesar, supaya muat baju-baju bapak dan Bayu sekalian."
"Baik bu, sekarang atau nanti setelah saya mencuci piring?"
"Nanti saja, kamu kan juga harus makan dulu."
"Saya makan nanti juga nggak apa-apa, gampang bu, baiklah nanti setelah mencuci piring saya ambil kopornya."
"Dan bersihkan sekalian ya Tri, aku mau memilih milih baju-baju bapak yang akan dibawa. Masih semingguan lagi sih, tapi kalau nggak disiapkan dari sekarang nanti repot, jadi terburu-buru, takutnya ada yang lupa nggak terbawa. Cuma semalam kami disana. Berangkat Sabtu, Minggu sore sudah pulang. Hampir dua harilah."
"Baik bu." Tapi ada rasa sedih dihati Lastri ketika akan tak bertemu kecintaannya selama hampir dua hari. Aku akan merindukannya, tapi nggak apa, kan cuma dua hari. Lastri menepis perasaannya, lalu menyibukkan dirinya dengan mencuci piring dan membersihkan dapur.
"Aku selalu bermimpi," gumam Lastri pelan.
"Mimpi apa Tri?" kata bu Marsudi tiba-tiba. Lastri terkejut, hampir ditamparnya sendiri mulutnya karena telah lancang menggumamkan perasaannya.
"Tri, kamu mimpi apa?"ulang bu Marsudi.
"Ini bu.. saya.. saya teringat .. mimpi saya semalam. "
"Memangnya kamu mimpi apa?"
"Itu... mimpi bertemu... bertemu nenek saya."
"Kamu kangen ya sama nenek kamu? Sudah bertahun-tahun kemu meninggalkan desa. Apa kamu ingin mengunjungi makam nenek?"
"Mm.. ya.. bu, kapan-kapan,"
"Nanti kalau ada waktu luang, aku akan mengantarkan kamu kedesa, untuk mengunjungi makam nenek dan orang tua kamu."
"Terimakasih bu," tak urung berlinang air mata Lastri, karena bu Marsudi benar-benar memperhatikannya. Ia juga urung menyesali gumamnya tadi, karena dengan itu bu Marsudi berjanji akan mengantarnya pulang demi mengunjungi makam nenek dan orang tuanya.
***
Pak Marsudi masih berada dikantor, sudah sa'atnya pulang setelah menandatangani surat yang kemudian diletakkannya dimeja. Biar sekretaris yang mengurusnya. Tapi dia tidak langsung berdiri, diambilnya ponsel lalu dicarinya nomor seseorang.
"Mana ya, apakah aku tidak mencatatnya?"
Pak Marsudi terus membuka-buka semua kontak diponselnya. Tapi sampai habis tak ada nomor yang dicarinya.
"Rupanya benar, aku tidak mencatatnya. Ah ya, aku kan juga tidak pernah menanyakannya? Padahal sekarang aku ingin menghubunginya. Apakah aku harus menghubungi Bayu dan menanyakannya? Tidak, nanti dia curiga." gumam pak Marsudi.
Ia menutup ponselnya dan menyimpannya.
"Satu-satunya jalan aku harus ke kantornya. Mudah-mudahan dia belum pulang. Tapi kalau sudah pulang, apakah aku harus kerumahnya? Tapi dimana rumahnya? Aku juuga belum pernah menanyakannya. Ah ya, nanti kan bisa bertanya pada satpam kantor, atau bagaimana sajalah nanti," pak Marsudi masih terus bergumam, sambil berdiri dan siap meninggalkan ruangannya.
Hampir saja pak Marsudi tak bisa menemui yang dicarinya. Ketika mobilnya mau masuk ke halaman kantor, dilihatnya mobil Sapto keluar dari sana.
"Nak Sapto," panggil pak Marsudi.
"Pak Marsudi mengundurkan mobilnya, lalu parkir ditepi jalan desebelah pintu masuk halaman kantor. Sapto mengikutinya, dan parkir dibelakangnya.
Pak Marsudi menunggu didalam mobil, Saptolah yang kemudian keluar dan menghampirinya.
"Ada apa pak? Untung saya pulang agak terlambat," kata Sapto yang kemudian membuka pintu depan dan duduk disamping pak Marsudi, seperti dulu ketika bertemu sa'at sama-sama mengisi bahan bakar.
"Saya mau bicara nak, untunglah masih bisa ketemu nak Sapto. Kalau nak Sapto sudah pulang saya pasti bingung mau mencari kemana karena belum tau dimana nak Sapto tinggal."
"Wah, penting sekali rupanya,"kata Sapto sambil tersenyum.
"Sangat penting kalau nak Sapto mau menerima berita ini. Tapi tunggu, saya mau mencatat dulu nomor kontak nak Sapto."
Sapto memberikan nomor kontaknya yang kemudian dicatat oleh pak Marsudi didalam ponselnya.
"Nah begini kan enak, kalau mau ngomong lebih gampang, kan perlu kontek-kontekan dulu."
"Bapak benar."
"Saya misscal nak Sapto dulu, supaya nak Sapto juga bisa menghubungi saya.."
Bertukar nomor kontak sudah selesai, kemudian keduanya terlibat dalam sebuah pembicaraan, yen kemudian Sapto menerimanya dengan sangat antusias. Ini pembicaraan yang menyenangkan bagi Sapto. Gelora dendam yang ditahannya karena kesombongan Lastri akan tumpah dihari yang sudah ditentukan.
"Tapi bagaimana kalau Lastri tak mau membukakan pintu?"
"Nak Sapto tak perlu mengetuk pintun dan minta agar pintu dibukakan. Nanti saya akan memberi kunci rumah saya, dan nak Sapto akan bisa membukanya kapan nak Sapto inginkan."
"Bagimana kalau Lastri melaporkannya pada polisi?"
"Nak Sapto lupa, Lastri itu gadis desa yang lugu, tapi kalau kemungkinan itu ada, nak Sapto jangan khawatir, serahkan saja semuanya pada saya."
"Sebentar pak, saya ingin bertanya, sesungguhnya mengapa bapak ingin melakukannya pada Lastri? Apakah... mm.. ma'af.. bapak juga pernah menginginkannya lalu ditolaknya?"
Ini pertanyaan yang kurangajar, dalam keadaan biasa pasti orang akan tersinggung karena Sapto mengucapkannya tanpa rasa hormat, seperti kepada teman mainnya. Tapi pak Marsudi bukannya marah justru tertawa ngakak.
"Nak Sapto, saya ini kan sudah tua, mana mungkin menginginkan hal-hal yang begitu, tidak nak, sama sekali tidak."
"Lalu mengapa bapak melakukan ini, yang akhirnya nanti akan mencelakakan Lastri?"
"Anak saya tertarik pada Lastri, saya harus menghalanginya," jawab pak Marsudi dengan wajah serius.
Tuh kan, itu dugaan Sapto, dan ternyata benar. Sapto mengangguk-angguk.
"Baiklah pak Marsudi, terimakasih banyak atas berita menyenangkan ini."
Dan mereka berpisah dengan harapan-harapan yang diukirnya dalam hati masing-masing. Serasa tak sabar menunggu waktu itu.
***
"Lastriii..." teriak Bayu agak keras yang langsung menuju dapur. Ia senang sore itu bapaknya belum pulang, dan ia ingin sekali bertemu Lastri.
Lastri yang sedang merapikan dapur setelah membuat teh sore hari terkejut, karena tiba-tiba Bayu sudah ada didekatnya. Selalu Bayu tersenyum menatapnya, dan selalu debar jantung menghentak dadanya.
"Dipanggil kok diam saja?" tanya Bayu sambil mendekat. Lastri mundur beberapa langkah, karena Bayu hampir menyentuh tubuhnya.
"Lastri..." ulangnya.
"Mas Bayu membuat saya... " ucapan itu tak diteruskan, karena Bayu segera merebut serbet yang dipegang Lastri.
"Membuat kamu apa?" tanya Bayu dengan pandangan menggoda.
"Membuat saya terkejut," jawab Lastri yang berusaha merebut serbet ditangan Bayu, tapi Bayu menyembunyikannya dibelakang tubuhnya.
Lastri gemetar, setidaknya hatinyalah yang bergetar. Laki-laki pijaannya itu mengganggunya, seperti anak kecil menggoda temannya. Tapi ini dengan pandangan yang aneh. Lastri menamakannya pandangan singa lapar. Aduhai.. mengapa sih sangat suka diganggu singa? Lastri benci perasaannya. Ia tau mimpinya akan buyar dan menyadarkannya dalam derai yang berkeping-keping. Lastri harus menghindarinya. Tapi menghindari sesuatu yang indah, alangkah susah.
"Lastri, kamu tuh kenapa sih, seperti orang ketakutan begitu?"
"Mas, biarkan saya menyelesaikan pekerjaan saya dulu," kata Lastri sambil memalingkan wajahnya. Tapi bukannya mundur Bayu malah mendekatinya dan memegang wajah Lastri, lembut.
"Mas..." Lastri benar-benar gemetar, merasa lumpuh.
"Mengapa memalingkan muka?"
Bayu masih memegangi kepala Lastri, menatapnya sangat dekat. Dilihatnya bibir itu gemetar. Bayu penasaran.
"Lastriii?" itu teriakan bu Marsudi dari ruangan depan. Bayu melepaskan pegangannya, Lastri surut kebelakang lalu berlari kearah suara bu Marsudi.
"Ya bu," kata Lastri, sedikit terengah-engah.
"Kenapa kamu itu, kok nafasmu seperti hampir putus begitu?"
"Ini bu, saya... lari dari dapur.."
"Walaah, ya nggak usah pake lari ta Tri, cuma dipanggil gitu saja kok lari."
"Ya bu... ada apa?"
"Ini, teh untuk bapak bawa kebelakang saja dulu, kan bapak belum datang, nanti kalau tehnya sudah dingin dia marah-marah Tri."
"Ya bu, saya kira bapak sudah datang seperti biasanya."
"Iya sih, nggak tau nih, mengapa jam segini belum sampai rumah. Tapi Bayu kan sudah datang, mana dia? Tehnya keburu dingin."
"Mas Bayu... itu.. ada.."
"Ini Bayu bu, baru ganti pakaian," kata Bayu yang tiba-tiba datang lalu duduk disamping ibunya. Lastri membawa cangkir pak Marsudi kebelakang, tak berani memandang majikan mudanya yang dianggapnya nakal.
Bayu meneguk minuman hangatnya lalu bersandar ke bahu ibunya. Banyak yang ingin dikeluhkannya, tapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya.
"Ada kue ranjang goreng dibalut telur tuh Yu, kamu suka kan?"
"Iya, masih panas."
"Mengapa kamu seperti orang bingung begitu Yu?"
"Nggak bingung bu, ngantuk.."
"Ya sudah, mandi terus tidur sana."
"Ya, tapi makan kue ranjangnya ini dulu," kata Bayu sambil mencomot kue ranjang goreng yang masih hangat.
"Mingu depan kita jadi ke Surabaya lho Yu."
"Wadhuh..."
"Kok wadhuh... kamu nggak usah cuti, kita berangkat Sabtu pagi, lalu Minggu sorenya sudah pulang dari sana."
"Iya, semoga Bayu bisa ikut."
"Jangan begitu Yu, sudah lama kita tidak kumpul-kumpul dengan saudara yang dari jauh. Itu sa'atnya kita ketemuan. Pasti rame deh."
Kettika mendengar deru mobil memasuki halaman, Bayu tau bahwa ayahnya baru datang. Ia bangkit dan berjalan kearah kamarnya.
"Bayu," panggil ibunya.\
"Bayu mau mandi dulu dan tidur bu," jawab Bayu sambil berlalu.
"Lastri... minumnya bapak ya," teriak Bu Marsudi sambil berdiri menyambut suaminya.
"Tumben baru pulang pak?"
"Iya....mm... banyak kerjaan di kantor," kata pak Marsudi berbohong.
***
Siang hari itu bu Marsudi ingin mengajak Lastri berbelanja. Banyak kebutuhan dapur yang harus ditambah.
"Lastri, kita nanti juga mau beli taplak buat meja dapur. Kayaknya sudah harus diganti."
"Baik bu,"jawab Lastri sambil membetulkan gelung rambutnya.
"Kamu cantik. Nggak ingin memotong rambutmua biar kayak gadis jaman sekarang Tri?"
"Nggak bu, sayang, susah-susah dipanjangkan kalau harus dipotong."
"Benar Tri, dan kamu cantik dengan gelung sederhana itu."
"Ah ibu, senang benar memuji-muji Lastri."
"Memang benar kok. Oh ya, kamu sudah memanggil taksi?"
"Sudah bu."
"Sambil menunggu taksi, ayo kita duduk diluar saja, kamu kunci dulu semua pintu."
"Baik," jawab Lastri sambil kembali kebelakang untuk mengambil kunci. Tapi ketika taksi sudah datang, kunci itu belum juga diketemukan.
"Gimana Tri, itu taksinya sudah datang."
"Sebentar bu, saya tidak bisa menemukan kuncinya," teriak Lastri dari dalam.
"Kan kamu yang membuka pagi tadi? Kamu letakkan dimana?"
"Ya ditempat biasa bu, saya gantungkan di tempat gantungan.Tapi kok nggak ada ya?"
Bersambung
No comments:
Post a Comment