Monday, March 23, 2020

Lastri 08

LASTRI  08

(Tien Kumalasari)

Lastri bergegas pulang, ia heran mengapa pak Marsudi ada dipasar itu. Sesampai dirumah ia menanyakannya pada bu Marsudi.

"Bu, apakah bapak baru saja pulang kerumah?"

"Nggak tuh, dari pagi sudah berangkat ke kantor, memangnya kenapa?"

"Tadi saya melihat bapak didepan pasar, seperti mencari sesuatu."

"Didepan pasar? Kamu ketemu?"

"Nggak ketemu bu, hanya melihatnya. Saya keluar dari pintu yang lain."

"Mau ngapain bapak ke pasar. Apa mau beli sesuatu? Mengapa nggak bilang saja sama ibu ya."

"Mungkin tadi lupa bilang sama ibu, lalu beli senndiri,"kata Lastri sambil menata belanjaannya di meja.

Tapi bu Marsudi berfikir lain. Kemarin suaminya bilang mau mnjodohkan Lastri dengan penjual buah, mungkinkah tadi dia ingin menemui penjual buah itu? Bagaimana bisa menemukan seorang penjual buah dipasar sebegitu besar?
Ah, entahlah, keluh bu Marsudi dalam hati. Ia tak ingin membahasnya. Bagi dia yang terbaik adalah kebahagiaan anaknya, bukan menuruti kemauannya.

"Ibu, saya cuci ayamnya dulu, ibu buat bumbunya ya?"

"Ya, ayamnya di presto saja Tri, bapak itu maunya kan yang empuk-empuk. Kalau direbus biasa masih kurang empuk katanya."

"Baiklah bu."

"Kamu masih ingat nggak, bumbu opor itu apa?"

"Ingat bu, bawang merah bawang putih, jahe, kunyit, salam laos, sereh, daun jeruk, kemiri, tumbar sedikit merica.. lalu apa lagi bu?"

"Kamu memang pintar. Kali lain kamu yang harus bikin bumbunya ya."

"Baik bu."

Bu Marsudi selalu baik terhadap Lastri. Semua perilakunya tak ada yang mengecewakan. Kalau dianggap pembantu, dia pembantu yang sempurna. Kalau diangap anak dia anak yang sangat berbakti, kalau... menantu...? Bagus sih... tapi itu kan tidak mungkin, suaminya pasti akan menentangnya sembilanratus persen. Bu Marsudi menghela nafas, kemudian menyiapkan bumbu-bumbu yang akan ditumisnya.

***

Pak Marsudi memasuki pasar itu. Agak menarik perhatian para penjual karena seorang laki-laki berpakaian perlente memasuki sebuah pasar. Ia melihat kesana kemari. Lalu seorang penjual sayur bertanya karena tampak laki-laki asing itu sedang men cari-cari.

"Mau beli apa pak?"

"Oh.. mm.. dimana ya letak kios penjual buah?"

"Oh, itu pak, sudah dekat, yang jual alat-alat rumah tangga dari kayu itu, belok kekiri. Mau cari buah apa sih pak?"

"Saya cuma mencari penjual buah bernama Timan."

"Lhooh, Timan? Itu kiosnya paling ujung, bapak kenal ?"

"Ya, saya ingin bicara sama dia."

"Tadi saya lihat dia keluar, biasanya mengirim buah ke warung-warung atau rumah makan. Tapi agak siang sih. Coba bapak kesana, barangkali penjual yang berdekatan tau tentang dia."

"Terimakasih banyak ya," kata pak Marsudi sambil berlalu. Ia merogoh saputangan disaku celananya dan menutup mulut serta hidungnya dengan sapu tangan itu. Bau sayuran busuk, berbaur dengan aroma ikan asin, membuat perutnya mual. Tapi dia terus melangkah, kearah yang ditunjuk tukang sayur tadi. Didepannya berderet penjual buah, katanya kios Timan ada di ujung, berarti dia sudah sampai. Ada kios yang setengah tertutup. Pak Marsudi berdiri disitu. Seorang penjual buah bertanya karena pak Marsudi hanya berdiri sambil menoleh kekiri dan kekanan.

"Bapak mau beli apa?"

"Saya mencari tukang buah yang namanya Timan."

"Oh, Timan lagi keluar pak, ada pesanan buah yang harus diantar pagi."

"Oh, keluar ya?"

Pak Marsudi terdiam. Kalau menunggu entah akan berapa lama, kalau harus kembali nanti atau besok, dia harus siap dengan bau-bau tak sedap yang menyengat.

"Kalau menunggu mungkin lama, dia belum lama perginya," lanjut penjual buah yang seorang perempuan setengah baya.

"Mau tanya bu, Timan itu apa sudah punya isteri?"

"Belum pak, masih bujang. Nggak tau itu, susah amat disuruh cari isteri, padahal dia itu kan ganteng, tabungannya sudah lumayan. Dulu saya juga ingin mengambilnya sebagai menantu pak, tapi dia nggak mau, padahal anak saya cantik lho," kata penjual buah lagi.

"Oh, begitu ya?"

"Ma'af pak, apa Timan punya hutang sama bapak?" tanya ibu penjual buah itu curiga.

"Oh, nggak.. nggak.. saya cuma ingin ketemu saja."

"Apa ada masalah yang membuat bapak marah sama dia?"

Pak Marsudi menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Nggak... nggak ada masalah apapun."

"Oh, syukurlah."

"Begini saja bu, sebentar, saya akan mencatatkan nomor tilpun saya," kata pak Marsudi sambil mengambil secarik kertas entah dari catatan apa, yang kemudian ditulisnya disitu nomor kontaknya.

"Ini bu, saya mohon titip, nanti kalau Timan datang, suruh dia menghubungi nomor tilpun saya ini ya,"kata pak Marsudi sambil mengangsurkan secarik kertas berisi catatan nomor kontaknya.

"Oh, ya pak, nanti akan saya sampaikan." 

"Apa ibu punya nomor kontaknya dia?"

"Waduh, nggak punya tuh pak, nggak pernah kontak-kontakan."

"Ya sudah bu, berikan saja nomor saya itu, biar dia menghubungi saya."

"Baiklah pak."

"Terimakasih ya bu, kata pak Marsudi sambbil membalikkan badannya.

Pak Marsudi keluar dari pasar itu, sambil terus menutupi hidungnya dengan sapu tangan.

***

Timan heran ketika tetangga kiosnya memberikan secarik kertas berisi nomor kontak seseorang.

"Dari siapa ini yu?"

"Nggak tau namanya Man, aku nggak nanya. Kayaknya orang kaya. Pakaiannya bagus, pakai dasi, baunya wangi."

"Masih muda?" 

"Sudah setengah tua, tapi masih guanteng lho Man..." kata ibu penjual buah itu sambil tersenyum genit.

"Siapa ya?"

"Ya  sudah nomornya itu saja kamu hubungi, nanti kan kamu tau siapa dia."

"Iya yu, tapi nanti saja, aku mau beresin barang-barang yang mau aku kirim siang ini dulu."

"Nanti kalau penting bagaimana?"

"Gak apa-apa... cuma beberapa jam saja," jawab Timan sambil menata lagi barang-barang yang akan dikirim siang itu. 

Tapi karena penasaran, setelah mengepak barangnya, sebelum berangkat mengantar Timan mencoba memutar nomor yang tadi diterimanya.

"Hallo, jawaban dari seberang sana.

"Hallo selamat siang," sapa Timan.

"Ini siapa ya?"

"Ma'af, saya yang harus bertanya, bapak ini siapa? Tadi bapak memberikan nomor kontak melalui tetangga saya."

"Oo... ya, kamu penjual buah yang bernama Timan?"

"Benar sekali, bapak siapa ya?"

"Begini, saya ingin ketemu dengan kamu, disebuah rumah makan saja, supaya enak ngomongnya."

"Rumah makan?"

"Ya, didekat pasar itu agak keutara kan ada rumah makan. Yang jual  Timlo, tau kan? Nah, ketemuan disana sekarang ya, ada yang ingin aku bicarakan."

"Tidak bisa sekarang pak, saya mau mengirim pesanan terlebih dulu."

"Waduh, tadi kan sudah?"

"Ada beberapa tempat pak."

"Hm. jadi bisanya jam berapa ya?"

"Kira-kira jam dua atau tiga pak.."

"Waduh, salah satu saja, dua atau tiga, gitu."

"Tiga pak, supaya saya bisa menyelesaikan tugas saya tanpa terburu-buru."

"Biklah, di rumah makan Timlo itu, jam tiga. Oke."

"Nanti dulu pak, sudah bicara banyak tapi saya belum tau siapa bapak."

"Oh ya, aku pak Marsudi. Kita pernah ketemu ketika kamu mengantarkan Lastri pulang, dan membawakan selirang pisang ambon."

Timan tertegun. Itu majikannya Lastri? Ada apa ya?

"Oke, jam tiga ya."

Pak Marsudi langsung menutup ponselnya, membiarkan Timan termangu sambil memegangi ponselnya. Ada apa ya? Baiklah, jawabannya adalah nanti jam tiga. Tapi sepanjang mengantarkan barang pesanan itu hati Timan terasa tidak tenang.

***

"Bapak tadi ke pasar?"  tanya bu Marsudi setelah makan siang.

"Nggak, kata siapa?"

"Lastri tadi melihat bapak."

"Ah, masa sih, salah lihat barangkali."

"Katanya benar-benar melihat bapak kok. Mau beli apa kepasar?"

"Aku nggak ke pasar, ngapain aku ke pasar. Mungkin ada orang yang mirip aku, lalu dikira aku. Ada-ada saja."

Bu Mrsudi diam, tapi dia kurang percaya pada apa yang dikatakan suaminya. 

"Aku mau balik ke kantor, sudah jam dua."

"Lha bapak pulang makan juga sudah siang sih. Lagian tadi makannya juga cuma sedikit. Sudah makan di kantor ya?"

"Lagi nggak selera aku, perutku sedikit mual, tapi sudah minum obat," kata pak Marsudi berbohong.

"Bapak kecapean barangkali."

"Iya, lagi banyak kerjaan, tapi nggak apa-apa kok," kata pak Marsudi sambil berdiri dan langsung menghampiri mobilnya.

Bu Marsudi merasa aneh dengan sikap suaminya. Ia lebih percaya pada laporan Lastri pagi tadi, bahwa suaminya ke pasar. Mungkinkah mencari tukang buah itu? Begitu nekatnya dia, hanya untuk memisahkan Bayu dan Lastri? Semuanya belum jelas. Harusnya Bayu ditanya dulu, benarkah dia suka pada Lastri, atau hanya perkiraan pak Marsudi, atau bahkan juga perkiraan dirinya. Tapi kalau 'iya' bagaimana? Dia bingung harus bersikap apa, tapi kalau harus membenci Lastri, bu Marsudi benar-benar tak sanggup. Bocah baik dan polos, siapa mampu membencinya?

Siang itu hanya pak Marsudi saja yang pulang makan, walau hanya sedikit seperti tak berselera,sedangkan Bayu tidak . Lastri bilang, Bayu sudah mengatakan tak akan makan siang karena ada meeting dengan para stafnya siang itu. 

"Sekarang selalu pada Lastri Bayu mengabarkan pulang atau tidaknya sa'at makan siang," gumam bu Marsudi pelan. Banyak tanda-tanda mengarah kesana bukan? Bu Marsudi menghela nafas.Ia ingin beristirahat siang itu, kalau bisa tidur, supaya terlepas semua beban tentang keadaan keluarganya yang membuatnya pusing.

***

Jam belum menunjukkan pukul tiga, tapi Timan sudah duduk dirumah makan itu. Dia baru memesan minuman, segelas teh lemon, makanan baru akan dipesannya ketika pak Marsudi datang.

Tiba-tiba telephone berdering. Dari Lastri? Timan buru-buru mengangkatnya.

"Hallo, Lastri?"

"Ini mas Timan ya?"

"Iya, ada apa?"

"Nggak, cuma nyobain ponselku saja, kan mas Timan baru menuliskan nomor kontaknya dulu itu, dan aku belum mencobanya."

"Oh, iya, syukurlah kalau nggak ada apa-apa."

"Mas Timan masih di pasar atau sudah pulang?"

"Sudah mau pulang .. ini sedang....."

Timan menghentikan kata-katanya. Ia ingin mengatakan bahwa sedang janji ketemuan dengan pak Marsudi, tapi diurungkannya. Ia belum tau maksud pak Marsudi, jadi lebih baik ia tak usah mengatakan apa-apa.

"Ini sedang apa? Kok nggak dilanjutin ngomongnya?"

"Sedang siap-siap mau pulang, kan hampir jam tiga, biasanya sudah tadi-tadi aku pulang."

"Laris ya mas, syukurlah."

Tiba-tiba Timan melihat pak Marsudi baru memasuki rumah makan.

"Sudah dulu ya, pasar sudah sepi nih."

"Ya mas, aku juga mau istirahat."

Ponsel ditutup, persis ketika pak Marsudi sampai didepannya.

"Timan ya? Agak pangling aku."

"Ya pak, saya Timan, silahkan duduk, saya sudah memesan minum duluan," kata Timan.

"Nggak apa-apa, kita pesan makan saja sekalian." 

Pak Marsudi memesan makanan dan minum. Timan diam menunggu.

"Kamu heran ya, saya ingin menemui kamu?"

"Sangat heran pak, saya tidak mengerti apa maksud bapak."

"Ini tentang Lastri."

Timan terkejut. Ditatapnya pak Marsudi tanpa berkedip. Apakah pak Marsudi akan melarang dirinya mendekati Lastri? Pikirnya.

"Apa saya membuat kesalahan?" akhirnya Timan bertanya.

"Oh, tidak.. tidak. Begini, Lastri itu kan sudah puluhan tahun ikut saja. Sejak belum mengenal huruf, sampai sekarang lulus SMA."

Timan mengangguk. Lastri sudah pernah menceritakan semuanya, semua kebaikan majikannya, dan yang menganggapnya seperti keluarga sendiri.

"Sekarang Lastri sudah dewasa, sudah sa'atnya punya suami, ya kan?"

"Lhoh, kok ngomongnya sama saya? Bisik batin Timan yang semula ingin diucapkannya.

"Aku melihat kamu sudah lama mengenalnya,"

Timan diam terpaku, apa yang dikatakan pak Marsudi terasa aneh.

"Terus terang aku suka sama kamu."

Makan dan minuman yang dipesan pak Marsudi telah dihidangkan dimeja.

"Ayo sambil makan," kata pak Marsudi sambil menghirup teh panas yang dipesannya.

Masudi juga menghirup sisa lemon tea nya, lalu mendekatkan mangkok berisi nasi timlo yang masih panas mengebul. Ia belum menyuapnya ketika pak Marsudi melanjutkan kata-katanya.

"Bagaimana kalau saya minta kamu menikahi Lastri?"

Timan berhenti mengaduk-aduk makanannya. Seperti mimpi ia mendengar kata-kata pak Marsudi. Timan bukan anak kecil lagi, dia lebih berfikir bahwa sikap pak Marsudi ini sangat aneh. Susah-susah mencarinya hanya untuk menyuruhnya menikahi pembantunya? Begitu sayangkah pak Marsudi terhadap Lastri, atau sebaliknya? Timan yakin, pasti ada sesuatu dibalik semua ini. 

"Aku bersungguh-sungguh. Bukankah Lastri itu cantik? Aneh kalau kamu menolaknya."

Yang aneh adalah karena pak Marsudi seperti memaksanya. Tidak, Timan bukan orang bodoh. Ia memang hanya seorang penjual buah, tapi dia sudah lebih dari dewasa. Segala sesuatu yang akan dilakukannya, adalah yang sudah difikirkannya masak-masak. Memang benar Lastri cantik, memang benar dirinya tertarik, siapa yang nggak mau punya isteri cantik? Tapi kalau harus disuruh-suruh, sangat menggebu-gebu pula, Timan yakin ia tak harus menerimanya. 

"Bagaimana Timan?" tanya pak Marsudi yang sudah memasukkan beberapa kali suapan ke mulutnya. Timan belum menyentuhnya. Ia memainkan sendok didalam mangkok, seperti menunggu dingin, tapi pikirannya bukan ke arah semangkok timlo dihadapannya.

"Ayo sambil dimakan Man, keburu dingin."

"Sebetulnya saya tidak lapar, dan sedang terburu-buru."

"Tapi bagaimana dengan tawaranku tadi?"

"Ma'af pak, bukan saya menolak kebaikan bapak, tapi terus terang saja saya mengatakan bahwa saya tidak bersedia."

Pak Marsudi tersedak lalu terbatuk-batuk  dengan keras

***

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER