LASTRI 07
(Tien Kumalasari)
Bayu menoleh kebelakang, sebuah mobil berhenti, mobil pick up dengan jok terbuka.
"Itu kan mas Timan ?" kata Lastri sambil melongok keluar melalui kaca.
"Siapa ?"
"Mas Timan, yang jual buah."
"Ngapain dia kemari?"
"Entahlah," kata Lastri yang melongok lagi melalui kaca, dan sa'at itu Timan sedang turun dari mobilnya.
"Mas Timan !!" teriak Lastri.
Timan menoleh, heran melihat Lastri ternata ada didalam mobil didepannya. Ia melangkah mendekati.
"Lastri? Kok ada disini ?" Lalu Timan menoleh kearah laki-laki tampan yang duduk didepan kemudi. Timan mengangguk, dibalas dengan anggukan oleh Bayu.
"Ini mas Bayu, majikanku, kata Lastri memperkenalkan."
Timan mengitari mobil Bayu, mendekat kearah jendela disamping kemudi. Bayu membuka pintunya. Dengan santun Timan menyalami Bayu.
"Saya Timan mas, penjual buah dipasar dekat rumah keluarga mas."
"Saya Bayu, kakaknya Lastri."
Timan heran mendengarnya. Majikan Lastri mengatakan bahwa dia kakaknya. Lastri tersenyum dan menggoyang-goyangkan tangannya, maksudnya tak setuju dengan kata-kata Bayu. Tapi Timan maklum, ia tau bahwa keluarga Bayu menganggap Lastri seperti keluarga.
"Ini mau kemana, kok berhenti disini?"
"Hanya mencari tempat teduh," jawab Bayu seekenanya.
"Mas Timan kok sampai disini?" tanya Lastri.
"Lha itu rumahku," jawab Timan sambil menunjuk kearah rumah sederhana yang ada disebelah kiri dimana tadi Timan menghentikan mobilnya. Mobil Timan tak bisa belok masuk kehalaman rumahnya karena Bayu menghentikan mobilnya sedikit menutupi pintu pagar.
"Oh, ma'af, saya membuat mas Timan nggak bisa masuk ya?"
"Nggak apa-apa, mari singgah kegubug saya," katanya ramah.
"Trimakasih , saya mau kekantor juga. Ini tadi barusan mengantar Lastri melihat pengumuman ujian."
"Oh ya, gimana Tri, lulus kan?"
"Atas do'amu mas.."
"Syukurlah, aku ikut senang. Jadi nggak mau mampir nih mas?"
"Lain kali saja, terimakasih," kata Bayu sambil menstarter mobilnya.
"Kalau mau balik muter dari rumah saya saja mas, biar saya undurkan gerobag saya," kata Timan yang kemudian mengundurkan mobilnya sehingga mobil Bayu bisa berputar arah.
Ada pertanyaan dibatin Timan, mengapa tadi Bayu membawa Lastri kegang kecil yang dekat dengan rumahnya.
***
"Lastri, kamu kelihatan akrab sekali sama Timan," kata Bayu dalam perjalanan menuju pulang.
"Iya mas, sudah sejak Lastri baru saja menginjak pasar, sudah kenal sama dia. Waktu itu Lastri belum sekolah dan belum bisa membaca."
"Dia mengajari kamu membaca? Makanya kamu cepat bisa?"
"Bukan mas, ketika itu ibu memberi saya catatan belanjaan, padahal saya tidak bisa membaca. Ketika saya kebingungan, mas Timan membantu membacakan catatan belanjaan itu. "
"O, jadi itu sebabnya kalian sangat akrab."
"Begitulah mas."
"Kemarin juga dia bela-belain mengantar kamu dan mengirimi kamu pisang ambon yang segede aku."
Lastri menatap laki-laki ganteng disebelahnya. Ia menangkap nada kurang suka ketika ia bercerita tentang Timan.
Ketika hampir sampai dirumah, Lastri mengangsurkan ponsel yang tadi diberikan Bayu.
"Ini mas, Lastri nggak berani menerimanya. Ini kan mahal. Lebih mahal dari baju yang dulu juga mas berikan pada Lastri."
"Lastri, kalau kamu menolak, aku akan sangat marah, dan sedih. Itu pemberian aku sebagai hadiah kelulusan kamu. Pasti kamu membutuhkannya."
Lastri tercengang. Ponsel itu ditariknya kembali dan diletakkannya dalam pangkuannya.
"Disitu sudah ada nomor aku, dan aku sudah mencatat nomor kamu. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungi aku."
Lastri hanya terdiam. Bingung mau mengatakan apa. sementara mobilnya sudah sampai didepan gerbang rumahnya.
"Simpan ponsel itu di tas kamu, dan turunlah, aku mau ke kantor dulu."
Lastri mengangguk, kemudian segera turun dari mobil. Sebelum berlalu, Bayu melambaikan tangannya kearah Lastri, dan tersenyum manis. Tiba-tiba Lastri merasa, setiap senyuman Bayu selalu membuat hatinya bergetar. Perasaan apa ini? tanyanya dalam hati.
Diteras, dilihatnya bu Marsudi telah menunggu.
"Gimana Tri?"
"Atas do'a ibu, Lastri lulus bu," kata Lastri sambil mencium tangan bu Marsudi.
"Syukurlah Tri, aku ikut senang. Tidak sia-sia aku menyekolahkan kamu."
"Terimakasih banyak bu, mulai hari ini Lastri tidak akan memikirkan pelajaran sekolah lagi, sepenuhnya akan mengabdi pada keluarga ini," kata Lastri yang kemudian melangkah ke belakang, menuju kekamarnya untuk mengganti baju.
Bu Masudi sudah selesai masak, ia mau menata meja makan ketika Lastri sudah mengganti bajunya dengan baju rumahan.
"Biar saya saja bu," kata Lastri.
"Baiklah, saya akan menuang sayurnya kedalam basi."
"Tadi ibu kepasar sendiri?"
"Nggak kepasar, tadi masak sayur yang bahannya ada di kulkas saja. Kemarin kan kamu sudah belanja. Ini ca kangkung, ayam goreng sama sup."
"Baunya sedap sekali."
"Apa kamu sudah lapar? Makan dulu saja nggak apa-apa."
"Oh, nggak bu, tadi kan saya sudah sarapan, jadi masih kenyang."
"Ya sudah, kita menunggu bapak pulang makan saja."
***
Ketika masuk kekamarnya, didengarnya ponselnya berdering. Lastri menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Diangkatnya ponselnya. Beruntung disekolah dia sering melihat temannya cara mempergunakan ponsel, dan belajar dari mereka, sehingga ia tak perlu meminta tolong Bayu untuk mengajarinya.
"Hallo," suara Bayu dari seberang, karena Lastri tak segera menjawabnya.
"Ya, ada apa?"
"Nggak apa-apa, cuma mencoba menelpon kamu saja. Kamu lagi ngapain?"
"Baru saja selesai membantu ibu menata meja untuk makan siang. Mas Bayu pulang kan?"
"Ya, aku mau pulang."
"Kalau mau pulang mengapa harus menelpon dulu?"
"Ya nggak apa-apa ta Tri, aku ingin mendengar suara kamu."
Lastri berdebar. Mengapa Bayu selalu bersikap seolah mengobrak abrik perasaannya? Dari tidak punya perasaan apa-apa, sampai kemudian merasa berdebar setiap kali dipandang, diberinya senyum, apalagi disentuh, dan sekarang mendengar suaranya. Aduhai..
"Lastri ! Kamu masih disitu?"
"Ya, ada apa lagi?"
"Kok diam, aku kira kamu ketiduran."
Lastri tertawa.
"Ya sudah, ini aku siap-siap mau pulang."
Ketika Lastri menutup pembicaraan itu, tiba-tiba bu Marsudi mengetuk pintunya.
"Lastri.."
Lastri buru-buru membuka pintu kamarnya.
"Aku mendengar kamu bicara, benarkah?"
Lastri terkejut. Tadi dia tidak bilang bahwa Bayu memberinya hadiah ponsel.
"Ini bu.." kata Lastri sambil menunjukkan ponsel yang masih digenggamnya.
"Kamu punya ponsel?"
"Ma'af, saya belum memberitahu ibu, tadi mas Bayu memberi saya ini, saya sudah menolaknya tapi dipaksa juga, katanya hadiah kelulusan saya." kata Lastri sedikit khawatir, kalau-kalau bu Marsudi marah.
"Oh, baguslah, jaman sekarang memang ponsel itu sangat perlu, untuk memudahkan komunikasi. Jadi kalau kamu misalnya sedang dipasar, lalu aku lupa memesan sesuatu, bisa langsung memesan melalui ponsel kamu."
Lastri merasa lega, rupanya bu Marsudi tidak marah.
"Ibu memerlukan sesuatu ?"
"Nggak, aku lewat, lalu mendengar kamu seperti bicara. Masak sih bicara sendiri.. lalu aku ketuk pintu kamu. Ya sudah nggak apa-apa. Tadi ngomong sama siapa?"
"Mas Bayu mencoba menelpon saya, mungkin dikiranya saya belum bisa mengoperasikan ponsel ini."
"Nyatanya kamu sudah bisa. Bayu mengajari kamu?"
"Nggak bu, sudah lama Lastri belajar, dari teman-teman sekolah yang punya ponsel."
"Syukurlah. Ya sudah, istrahatlah dulu, nanti aku panggil kalau bapak sama Bayu sudah pulang untuk makan."
Lastri mengangguk. Ia kembali masuk kekamarnya, sementara bu Marsudi pergi keteras depan menunggu suaminya pulang. Ada rasa aneh juga ketika tau bahwa Bayu memberi ponsel untuk Lastri. Rasanya agak berlebihan. Benarkah perkiraan pak Marsudi bahwa Bayu suka pada Lastri? Tapi bu Marsudi berjanji tak akan menceritakan perihal ponsel itu kepada suaminya. Ia khawatir suaminya akan marah-marah seperti ketika ia mengatakan perihal baju pemberian Bayu untuk Lastri, Ia lebih berfikir, kalau benar Bayu suka sama Lastri, bagaimana ia harus bersikap? Lastri memang cantik, ia tak kelihatan seperti anak desa ketika pertama kali ditemukannya. Bahkan banyak orang mengira Lastri adalah anaknya. Tapi menjadikannya menantu? Suaminya saja sudah mencak-mencak tidak karuan begitu mendengar kedekatan Bayu dan Lastri.
***
Tapi malam itu pak Marsudi kembali berbicara tentang Lastri.
"Ibu merasa lega, Lastri sudah lulus," kata bu Marsudi.
"Kamu kan tidak menjanjikannya untuk melanjutkan kuliah?"
"Enggak pak, Lastri sendiri tidak mau. Sudah banyak membebani kita, katanya. Dia memang gadis yang baik."
"Memang dia baik tapi tak seharusnya Bayu terlalu dekat dengan dia. Sekali-sekali ibu harus mengingatkan Bayu tentang hal itu."
"Mengingatkan bagaimana, ibu bingung caranya. Orang nggak ngapain-ngapain kok disurung mengingatkan."
"Ibu itu kalau dikasih tau kok ngeyel ya. Ya sudah kalau begitu suruh saja Lastri pergi dari sini."
Bu Marsudi terkejut.
"Kok disuruh pergi bagaimana ta pak? Orang nggak punya salah apa-apa kok disuruh pergi. Dia itu sudah seperti keluarga kita sendiri, puluhan tahun kita merawatnya, menyekolahkannya. Memang dia itu pintar, dan juga rajin. Kalau Bayu dekat ya biarkan saja, kan seperti saudara?"
"Bohong itu. Pasti bukan sekedar saudara. Itu yang membuat bapak khawatir. Dengar, apakah ibu kenal dengan si tukang buah itu?"
"Nggak kenal, memangnya kenapa?"
"Dekati dia, suruh dia menikah sama Lastri."
"Bapak ?"
"Atau temannya Bayu itu, kok lama nggak kesini ya?"
"Bapak ini kok seperti memelihara kambing atau sapi saja, dikawinkan sama sini.. sama sana. Lastri itu manusia, mana mau dia diatur tentang siapa yang harus menjadi suaminya."
"Bapak khawatir bu, sungguh."
"Nggak usah khawatir pak, jodoh itu Tuhan yang menentukan."
"Jadi ibu setuu?"
"Setuju apanya, itu kan baru perkiraan bapak saja, belum-belum sudah berfikir yang enggak-enggak."
"Ibu ini kalau diajak bicara kok nggak pernah kompak sama bapak."
"Bapak aneh sih. Sudah, ibu sudah mengantuk."
***
"Bapak, ini kopinya," kata Lastri sambil meletakkan secangkir kopi dimeja dimana pak Marsudi sedang duduk sambil membaca koran.
"Ya, taruh disitu saja," jawab pak Marudi tanpa melepaskan keasyikannya membaca.
Akhir-akhir ini Lastri merasa bahwa sikap pak Marsudi sedikit berbeda. Lebh dingin, dan tak pernah mengajaknya bicara kalau bukan Lastri yang memulainya. Mungkin menanyakan sesuatu, atau membutuhkan sesuatu. Lastri kemudian sibuk mencari-cari, apakah dia pernah melakukan kesalahan. Tidak, rasanya tidak.
Seperti kemarin siang, ketika keluarga itu sedang makan, lalu Bayu mengajaknya makan bersama dimeja itu, pak Marsudi menatap Bayu dengan pandangan tak suka.
"Sudahlah, biarkan saja Lastri makan didapur atau dimana dia suka, jangan dipaksa untuk makan bersama kita," tegur pak Marssudi.
Kadang-kadang Lastri memang ikut makan bersama mereka, itupun karena bu Marsudi ikut memaksanya. Tapi kali itu sebenarnya Lastri ingin menolak karena terngat sikap pak Marsudi yang berubah. Mendengar kata-kata pak Marsudi Lastri kemudian membalikkan tubuhnya dan masuk kedalam dapur. Ada rasa sedih yang mengiris hatinya. Dicarinya lagi apa kesalahannya, tapi tak juga ditemukannya.
"Lastri, nanti kamu ke pasar ya," kata bu Marsudi membuyarkan lamunannya.
"Oh, ya bu.. saya sudah siap, sekarang saja."
"Baiklah, beli ayam kampung ya, pilih yang muda, nanti kita akan memasak opor."
"Baik bu."
"Lihat perlengkapan atau bumbu didapur, mana yang habis dan harus dibeli."
"Baiklah."
Sekarang setiap kali belanja bu Marsudi tak harus mendekte apa yang harus dibeli. Bu Marsudi hanya mengatakan ingin memasak apa, lalu Lastri sudah tau apa yang harus dibelinya.
***
"Mas Timan, kok masih pagi sudah mau tutup?" sapa Lastri ketika melihat Timan membenahi dagangannya seperti mau pergi.
"Bukan tutup, mau nganter pesanan buah, dimintanya pagi-pagi, ya sudah dagangan pasar terpaksa ditinggal dulu."
"Wah, seneng ngedengarnya, laris ya mas."
"Lumayan Tri, bisa nabung untuk sangu kawin, eh.. nikah," kata Timan sambil tertawa.
"Lho, mas Timan mau menikah?"
"Ya mau lah, tapi bukan sekarang, belum ada yang mau."
"Masa sih mas."
"Ya sudah, aku pergi dulu, kamu butuh buah apa?"
"Besok saja mas, kemarin ibu sudah beli anggur sama apel."
"Ya sudah."
"Eh mas, aku boleh minta nomor kontakmu kan?"
"Haa.. ada, kamu sudah punya ponsel?"
"Punya, beberapa hari yang lalu mas Bayu memberi ini, hadiah ketika aku lulus," kata Lastri sambil menunjukkan ponselnya."
"Baguslah, sini, biar aku catatkan nomorku," kata Timan yang terpaksa berhenti untuk mencatatkan nomor kontaknya di ponsel Lastri.
"Sudah nih, sebenarnya aku mau menanyakan sesuatu, tapi karena lagi terburu-buru, besok saja kalau kamu ke pasar lagi," kata Timan sambil berlalu, meninggalkan Lastri yang memandangi punggungnya penuh tanda tanya.
Lastri sudah selesai belanja. Tak begitu banyak belanjaannya kali ini, karena bumbu-bumbu didapur masih cukup.
Namun ketika dia keluar dari pasar itu, dilihatnya pak Marsudi sedang berdiri didepan pasar, seperti menunggu sesuatu. Lastri membalikkan tubuhnya. Ia tak ingin berpapasan dengan pak Marsudi. Ia keluar dengan melewati pintu pasar yang lain.
Ada apa pak Marsudi berdiri didepan pasar?
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment