LINDU YOGYA (3)
Goeltomo
Setelah aku sampai dibawah, si India itu lanjutin logikanya. Dia bilang, kalau toh pun ada tsunami tak mungkin itu sampai ke kota Yogya. Jaraknya aja kurang lebih 30 Km, mana mungkin bisa sejauh itu.
Masih sambil malu dan bingung2, logikanya aku amini. Memang kalau lagi panik, otak jadi gak jalan dengan baik.
Suasana masih kacau. Tamu hotel masih ada yang dievakuasi. Di jalan raya masih banyak orang yang bergegas kebingungan ke arah barat, dan pasien2 RS. Bethesda sudah hampir semua di jalan raya. Tapi mereka bingung sambil putus asa. Gak mungkin mendorong tempat tidur mereka ke arah Kaliurang.
Ditengah situasi itu, tiba2 dari arah jalan Solo ada suara pakai Toa untuk menenangkan. Sepertinya dari Kepolisian atau aparat Pemda, meneriakkan bahwa tidak ada tsunami, jadi jangan panik. Kata itu di ulang2 sepanjang jalan.
Jadi ternyata rombongan sepeda motor peneriak tsunami itu bohong. Tidak tau apa tujuannya. Kalau jaman sekarang itu sudah disebut "live hoax". Kurang ajar sekali.
Evakuasi tamu sudah selesai, kepanikan mulai berkurang. Tapi kebingungan masih jelas di muka orang2.
Tiba2 kudengar aba2 dari security bahwa yang mau masuk ke hotel untuk mengambil barang2nya sudah diperbolehkan.
Aku bergegas maju, tetapi security meneriakkan supaya antri, lantai 8 yang teratas didahulukan. Terpaksa aku surut menunggu giliranku.
Disitu kudengar lantai 4 diteriakkan, aku menghabur masuk menuju pintu darurat tempat aku turun tadi.
Sesampai di kamarku, aku terkejut. Debu masih ada yang menggantung, tapi sebagian besar telah menutupi semua permukaan lantai dan tempat tidur, bersama dengan puing2 dan serpihan plafond yang rontok.
Kusibak debu dan serpihan, akhirnya HP ku terlihat. Kupungut cepat2, dan aku berlari kembali ke bawah. Di lobby kuselesaikan pembayaran secara manual, setelah itu aku berjalan ke depan hotel.
Kutelpon anakku, suara yang keluar tulalit. Kutelpon istriku, tulalit juga. Kutelpon kawanku yang bareng dari Makassar, juga tulalit. Berarti jaringan telpon semua mati.
Aku berpikir keras. Aku beranjak ke tepi jalan mencari kendaraan, apapun, untuk ke tempat kost anakku. Tapi tidak ada satupun. Baik beca, taksi, andong, angkot, semua tak ada. Jalan raya masih penuh manusia, baik yang balik arah, juga pasien2 di tempat tidur yang didorong masuk lagi ke halaman Rumah Sakit.
Tak disangka-sangka, sebuah taksi keluar dari pintu parkir bawah tanah hotel. Langsung kucegat dan kuminta tolong bawa aku. Sopirnya masih tampak bingung, dia bilang mau pulang ke rumahnya.
Aku bujuk2, mau carter taksinya tidak pakai argometer. Akhirnya dia mau.
Sampai sekarang aku masih gak habis pikir, "siapa" yang "mengirim" taksi itu untuk kupakai. Sebab yang kulihat di jalan dan di hotel, dialah satu2nya taksi yang ada, dan mau pula membawaku. Tuhan maha baik.
Sepanjang perjalanan ke tempat anakku, suasana kelihatan kacau. Toko2 di Jl. Solo pada tutup, dan orang2 penuh di jalan raya. Ada yang bergegas, banyak juga yang bergerombol di luar, mewanti-wanti gempa susulan.
Sesampai di tempat anakku, rupanya dia sudah diluar, di depan rumah kostnya, sambil menangis-nangis. Aku langsung berlari dan memeluknya, sambil kutenangkan.
Katanya dia tinggal sendiri bersama mbak penjaga kost putri itu. Teman2 kostnya sudah pada pergi semua, pulang ke rumah mereka yang kebetulan banyak dari Solo, Semarang, dan kota lain yang bisa ditempuh naik sepeda motor. Memang mereka ada yang mengajak anakku, tapi karena aku di Yogya dia takut kehilangan kontak dan takut aku gak bisa mencari dia.
Segera kusuruh putriku mengambil barang2 yang penting dan pakaian seperlunya. Dia masuk dengan takut2, karena kusen dan atap kostnya itu ada yang sudah miring2 mau roboh, sementara pecahan genting berserakan dilantai. Kerusakannya cukup parah.
Setelah pamitan dengan mbak penjaga kost itu, kami bergegas ke taksi yang menunggu. Aku minta supaya diantar ke bandara Adi Sucipto.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment