*Cerbung Hikmah Disela Ramadan*
_Suamiku Jadul_
_#part Part 49_
Kemalangan di desa ini membuat aku benar-benar salut dan angkat jempol. Begitu Jenazah Almarhum Ayah mertua sampai di desa. Langsung diumumkan di Masjid, yang suaranya terdengar sampai ke seluruh desa. Sesaat kemudian, datang bapak-bapak muda dan beberapa pemuda. Tampa dikomando mereka sudah pergi ambil perlengkapan tenda dari rumah kepala desa.
Ibu-ibu mulai berdatangan, setiap Ibu-ibu yang datang membawa beras. Beras itu dikumpulkan di goni yang diletakkan dekat pintu. Baru dua jam, sudah hampir satu goni penuh. Malam harinya pelayat terus saja berdatangan.
"Siapa di antara kalian yang pegang uang?" tanya seorang pria tua.
"Aku, Pak," kataku seraya tunjuk tangan.
Pria itu tersenyum, "bukan kamu, Nak, di antara empat orang ini, siapa yang jadi bendaharanya, soalnya kami mau berikan uang STM satu desa," katanya.
Oh, begitu, langsung kutunjuk Bang Nyatan, dia yang paling tua. Pria itu lalu menyalami Bang Nyatan dan bicara dalam bahasa Batak. Lalu memberikan sejumlah uang.
Besok paginya beberapa anak mudah datang minta ukuran tubuh almarhum, ternyata mereka mau gali kubur. Semua warga desa gotong-royong. Mulai menguras minum sampai makan para tamu, semua diurus tetangga dan saudara. Kami keluarga inti hanya menerima tamu.
Orang meninggal di sini seperti pesta besar, ada kerbau yang dipotong, ibu-ibu masak besar-besaran. Hampir seluruh desa hari itu makan di rumah kami. Aku sempat berpikir dari mana dana semua ini, apakah selalu begini bila ada orang meninggal, bagaimana kalau yang meninggal itu orang miskin?
Ternyata uangnya dan seluruh dananya juga dari warga desa. Uang kemalaman STM itu cukup untuk beli kerbau seekor. Berasnya beras yang dibawa pelayat. Yang masak juga warga desa. Setelah Almarhum Ayah mertua dikuburkan, kembali makan besar di rumah. Lauknya daging kerbau.
Malam harinya tahlilan hari pertama, tak ada makanan disuguhkan, akan tetapi orang tetap ramai. Malam keduanya juga ramai, tak ada makanan atau minuman disuguhkan. Baru malam ketiga kami pesan kue. Hanya kue serta minuman air mineral kemasan.
Setelah tiga hari, kami berkumpul.
"Uang kemalangan dan uang STM segini, harga kerbau dan lauk selama tiga hari segini, jadi bersisa segini," kata Bang Nyatan seraya menumpukkan uang.
Ternyata masih tersisa, sudah potong kerbau, memberi makan orang sekampung, ternyata masih tersisa.
"Sisanya akan kita sedekahkan ke masjid," kata Bang Nyatan lagi.
Semua setuju.
Bang Nyatan pulang duluan, baru Dame, terakhir kami kembali ke Medan bersama Bang Parta sekeluarga. Mereka mau kembali ke Kalimantan. Tinggal rumah Ayah mertua tak berpenghuni.
"Kalau bisa minimal sekali setahun kita kumpul," kata Bang Parta sebelum mereka berangkat.
"Iya, Bang," jawabku.
"Kalau kami bisa saja, kaliannya yang jauh itu," kata Bang Parlin.
"Kami usahakan," kata Kak sofie.
Seminggu kemudian aku dapat telepon dari Fatimah, perawat yang belakangan ini merawat almarhum Ayah mertua.
"Bagaimana denganku, Kak, jadi guru aku sudah berhenti, perawat pun terpaksa berhenti, lalu aku kerja apa lagi?" katanya setelah basa-basi. Ingin juga kujawab bukan urusanku, akan tetapi betul juga, dia berhenti jadi guru karena kami ajak. Akan tetapi dia mau kerja apa kubuat?
"Tunggu dulu, kubicarakan dengan Bang Parlin," kataku Akhirnya.
Bang Parlin yang kutanya justru melempar kembali padaku, untuk pertama kali Bang Parlin tak punya solusi. Biasanya dia selalu punya solusi jitu.
Akhirnya tanpa sepengetahuan Bang Parlin, kusuruh Fatimah datang ke Medan. Istri si Rapi kebetulan tahu ada lowongan pekerjaan. Fatimah sangat berterima kasih padaku, karena ternyata impiannya adalah tinggal di kota. Kini dia bekerja di super market.
Usaha Bang Parlin jual beli tanah masih jalan, mulai ada keuntungan. Suami sudah mulai bisa menyesuaikan diri tinggal di kota, tak lagi bawa uang di tas kresek. Sudah lancar berurusan dengan bank.
Sementara itu kehamilanku sudah memasuki sembilan bulan, tinggal menunggu hari persalinan. Aku masih berharap bisa bersalin secara normal.
"Bang, apa namanya api yang di baskom hari itu?" tanyaku pada suami di suatu sore.
"Oh, itu, Parsiduduan," jawab suami.
"Aku mau pake itu nanti, Bang,"
"Gak usah, Dek, kuno, ketinggalan jaman," kata suami.
"Adek udah lihat di google, memang bagus pengobatan yang begitu, Bang,"
"Yang, Benar, Dek,"
"Iya, Bang,"
"Okelah, Dek, besok kucari, jadi teringat Abang karyawan kita dulu, Dek,".
" Memang kenapa, Bang?"
"Kan ada istri karyawan melahirkan, dia buat parsiduduan, istrinya marsidudu pula di luar, sementara dia kerja. datang angin, api yang seharusnya hanya bara jadi api, terbakar pula kain sarung yang dipake istrinya. Karena terbakar dia buka sarung itu, dia lemparkan, dia lupa hanya sarung itu yang menutup badannya. Sementara suaminya kerja, hanya abang yang di situ, gak tau lagi macam mana, Dek, mau Abang tolong, dia telanjang, mau dibiarkan, kasihan."
"Hahaha, berarti Abang lihat semua,"
"Iya, Dek, Abang jadi panik, Abang lari panggil suaminya,"
"Hahahaha."
"Bang, anak kita nanti jangan kasih nama Nunung ya,"
"Gak lah, Dek, mana ada nama orang Batak si Nunung,"
"Jangan Rara,"
"Nggak, Dek,"
"Jadi siapa, Bang?"
"Naduma Sari Oloan,"
"Nama apaan itu,"
"Nama putri raja jaman dulu,"
"Ohh,"
Tiba-tiba aku merasa perut mulas, mungkin sudah saatnya, segera kuberitahu suami. Dia panik juga, akan tetapi tak sepanik waktu Ucok lahir. Aku dituntun naik ke mobil. Si Ucok dititip ke ART kami. Suami langsung bawa aku ke klinik bersalin. Bukan ke rumah sakit. Ini permintaanku, aku ingin didampingi suami ketika melahirkan. Di rumah sakit tidak boleh.
Begitu kami sampai, bidan langsung memeriksa, pintunya masih buka dua," kata bidan tersebut, seraya memasang infus.
"Memangnya pintunya ada berapa, Bu?" tanya Bang Parlin, membuat Bu Bidan tertawa.
Beberapa jam kemudian, Bu bidan periksa lagi. "Sudah waktunya," kata Bu Bidan seraya menyuntikku.
Suami terus berdiri di sampingku. Sesekali dia lap keringat di dahiku.
"Huh, tarik napas, keluarkan, tarik lagi, mulai," kata Bu Bidan.
"Uuuuuuukk,".
"Akkkk," suami malah ikut menjerit, bersamaan dengan itu akhirnya brojol juga.
Ternyata aku tak sadar meremas selangkangan suami ketika melahirkan itu, kupikir tangannya yang kuremas, pantasan suamiku ikut menjerit. Bu bidan sampai tertawa terpingkal-pingkal. Suami tidak berusaha melepaskan remasanku, dia justru menahan sakitnya.
Aku melahirkan anak perempuan.
"Sakit juga yang melahirkan itu, Ya, Dek?" kata suami.
"Iyalah, Bang,"
"Segitu banyak pegangan, kok inilah kau pegang, Dek," kata suami seraya memegang selangkangannya.
"Hahaha," aku tertawa.
"Tapi sakitku karena kau remas tak sebanding dengan sakitmu yang lahiran itu," kata suami.
"Iya, Bang, maaf,"
"Gak apa-apa, Dek, memang pantas dia diremas, gara-gara dia adek begini," kata suami lagi.
"Hahaha, hahaha,"
Duh, di saat seperti ini suamiku ini masih bisa melucu.
*hebatnya parlin*
No comments:
Post a Comment