*Suamiku Jadul*
Part 12
Setelah semua selesai, nasi berkat sudah dibagikan. Para undangan pun sudah berpulangan, tinggal kami sekeluarga di rumah. Bang Julham-abangku yang tertua kembali mengajak mufakat. 'Seperti kita tahu, rumah ini akan dibayar oleh Nia, harganya tiga ratus dua puluh juta. Kita bagi yang laki-laki dapat masing-masing tujuh puluh lima juta, yang perempuan sisanya. Karena kami lagi butuh uang, saya minta supaya Nia memberikan uangnya, biar kita bagi," kata Abangku yang tertua. "Uangnya sudah ada, tapi aku minta suratnya beres dulu baru kami bayar," kata Bang Parlin. "Berapa lama pula itu, kami lagi butuh uang ini," kata kakakku. "Masa sih sama saudara sendiri gak percaya?" sambung adikku. "Biarpun saudara, kalau jual beli tetap seperti itu," kata Bang Parlin. "Udah, kami minjam dulu sebelum suratnya beres," kata Abangku. "Boleh, tapi harus ada hitam di atas putih," kata suami. Kenapa tiba-tiba suami jadi perhitungan begini? "Kau memang aneh, Parlin, kasih Ayah dua puluh juta gak minta hitam putih kau," kata kakak iparku. "Beda, itu memberikan, sedangkan ini jual beli," kata Bang Parlin. "Oke, pergi beli kertas sama meterai," perintah Bang Julham pada adik bungsuku. Begitulah akhirnya, kami berikan uang tersebut, ada surat perjanjian bermaterai. Ternyata kalau soal jual beli Bang Parlin sangat hati-hati, tidak percaya walau pada saudaraku sendiri. Sementara itu abang iparku betul-betul berhenti kerja, dia datang lagi setelah rumah mereka di-overkreditkan. "Parlin, aku ikuti saranmu, kami mau pindah ke desa, mana lahan yang kau janjikan," kata Abang ipar. "Oh, sebentar ya," kata suami seraya mengambil kertas dan menulis sesuatu. "Temui ayahku, namanya Pardomuan Siregar, kasih surat ini, ini alamatnya," kata suami sambil menyerahkan surat tersebut. Abang iparku pulang, kakak mengirim pesan perpisahan di grup WA keluarga. "Abang akan ketahuan," kataku pada suami, saat itu kami lagi tiduran di depan TV, aku main HP, sedangkan Bang Parlin nonton TV.
"Kakakku pasti nanti cerita kalau sudah di kampung, Abang ketahuan punya sapi banyak," kataku lagi. "Memang Abang gak pernah pura-pura, kok, cuma gak pamer aja," kata suami. "Bang, Abang pande nyanyi ya, pande main seruling, pande baca doa," kataku seraya membaringkan kepalaku di pangkuannya. "Iya, Dek, kalau lagi menggembalakan sapi hanya itu hiburan." "Abang pande ngaji," 'Ya, pande lah, Dek, abang pernah lima tahun di pesantren." "Pesantren mana?" "Purba baru," 'Oh, itu, aku pernah dengar, terus kenapa gak sampe tamat," "Orang tua gak sanggup biayai lagi, Dek, aku terpaksa putus sekolah," "Terus, bagaimana ceritanya biar bisa punya sawit luas," "Pertama sistem bapak angkat, ada pemodal yang biayai Abang buka kebun sawit, setelah panen dibagi dua, Abang buka sepuluh hektar, setelah panen, pemodalnya malah berikan semua ke Abang, mereka pindah ke jawa, gak pernah kontak lagi setelah itu." Bang Parlin mulai cerita. "Baik kali dia." "Iya, Dek, sangat baik, Bapak itu dokter yang bertugas di puskesmas desa kami. Bapak itu sangat berjasa pada kami, putrinya juga baik, dia suka kasih Abang uang," lanjut suami. "Putrinya?" "Iya, Dek, Rara namanya, dia suka nonton film India, adek tau Sanjay Dut, itu aktor kesukaannya. Hanya di rumahnya yang ada video di desa kami, jadi kami selalu nonton video di rumahnya." "Oh, sekarang udah di mana si Rara itu?" kataku seraya ketik Sanjay Dut di google, penasaran juga aku siapa aktor Sanjay Dut ini. "Itulah, setelah mereka pindah, tak pernah lagi bertemu, bertahun-tahun kutunggu, masih ada utangku sama si Rara, dia gak pernah pulang lagi," kata suami. Entah kenapa ada rasa cemburuku sedikit ketika dia sebut Rara, apakah Rara ini orang dari masa lalunya? Pencarian Sanjay Dut dapat, aku terkejut dengan aktor tersebut, model rambutnya persis model rambut suami. Gobel. Inikah penyebab suami selalu berambut gobel? Kuketik Rara di kolam pencarian FB, ada ratusan bernama Rara, entah kenapa aku cemburu pada Rara ini, begitu kuat pengaruhnya sampai suami setia dengan rambut gobel. "Rambut ini permintaan Rara ya?" tanyaku pada suami. 'Iya, kok tau, Dek?" "Abang lama nikah karena tunggu dia ya?" Tanyaku lagi. Suami diam, tak menjawab pertanyaanku lagi. Ternyata selama ini ada Rara di hati suamiku. "Seperti apa wajah si Rara ini, Bang?" tanyaku lagi. "Dia putih, matanya sipit, rambutnya panjang, kalau senyum ada lesung pipinya pokoknya cantik," Ah, aku jadi panas suami menyebut Rara ini cantik. "Ini Rara?" Tanyaku pada suami seraya menunjukkan foto dari Facebook. "Bukan," "Ini?" "Tidak," "Pasti ini, yang ini ada lesung pipinya," "Bukan, Dek," "Baik Bang berarti si Rara ini sudah tak ada dia tak lihat lagi rambut Abang sekarang yang ada Nia aku gak mau Abang rambut begitu lagi potong itu"
Baik, Bang, berarti si Rara ini sudah tak ada, dia tak lihat lagi rambut Abang, sekarang yang ada Nia, aku gak mau Abang rambut begitu lagi, potong itu. "Jangan, Dek, jangan," kata suami seraya memegang rambutnya. "Potong, Bang," "Jangan," "Masa lalu biarlah berlalu, Bang, biarpun dia baik, akulah jodohmu, Bang, bukan si Rara, si Rara ingin rambut gobel, tapi aku tidak. Kalau bicara masalah mantan, aku juga punya, Bang, bahkan banyak lagi, tapi kulupakan semua, hanya Abang yang ada dalam hatiku, Bang lupakan Rara ya, Bang," kataku dengan sedikit emosi. "Jujur aku cemburu pada Rara, Bang, begitu setianya abang berambut gobel karena dia, padahal dia mungkin tak peduli lagi sama abang, buktnya dia tak pernah pulang, apakah abang yakin si Rara itu kenal lagi sama abang, aku yakin dia sudah lupa, di Jawa banyak cowok, dia putri dokter, pasti berpendidikan juga," kataku lagi seraya melihat suami, ternyata aku bicara sendiri. Pria jadul itu sudah tertidur. Sebel! Pikiran jahat tiba-tiba muncul di kepalaku, akan kepotong rambut gobel itu, aku cemburu, ternyata dia berambut seperti itu karena permintaan cewek, dua puluh tahun dia setia berambut seperti itu. Wah, kesetiaan yang luar biasa. Aku berdiri dengan perlahan, kuambil gunting dan .... Sreekkk ...! Rambut gobel itu kepotong habis, Bang Parlin tidak terbangun sampai rambut bagian belakangnya habis. Aku pun tertidur. "Dekkk ...!" terdengar suara keras suami ketika subuh tiba. Saat itu dia masih di kamar mandi. Aku tahu apa yang akan terjadi, takut juga aku mendengar suara suami memanggil, akhirnya aku pura-pura tidur. "Dek, rambutku hilang," kata suami seraya mengguncang bahuku. Aku tetap diam. "Dek, rambutku, Dek." Ya, Allah, sesayang itukah dia pada rambutnya, atau sayang pada orang yang menyuruhnya berambut begitu?
*BERSAMBUNG*
No comments:
Post a Comment