*Suamiku Jadul*
Part 11
Kulirik Bang Parlin, dia terlihat masih berusaha menahan tawa. Tak disangka suamiku yang pendiam ini bisa juga bercanda, candaannya juga tidak tanggung-tanggung, Ngepet. Apa yang akan kukatakan lagi? Abang ipar ini sepertinya serius, kasihan juga Abang iparku, kakakku memang terkenal tukang ngutang, bahkan sama almarhum ayah kami pun sudah sering utang. Semua demi gaya hidup. Mereka mencicil rumah di kawasan tergolong elit, akhirnya mereka jadi terlilit utang. Suaminya bekerja sebagai security, sedangkan kakakku dulunya guru honorer, akan tetapi sekarang tak mau mengajar lagi karena tak kunjung naik jadi ASN. *"Aku sudah putus asa, Parlin, tak tahu mau bagaimana lagi, sekiranya dapat pun warisan itu masih kurang untuk bayar utang. Mulai dari koperasi, sampai pinjol,"* kata Abang iparku lagi. Terus kutatap Bang Parlin, menunggu apa yang akan dia katakan, dia justru menatap aku balik, kuangkat kedua bahu dan membuka kedua tangan tanda terserah. Apakah Bang Parlin akan jujur? Atau dia teruskan candaannya? *"Sebenarnya bukan ngepet, Bang, tapi pedet,"* kata suami. *"Pedet? maksudnya anak sapi gitu?" "Iya, Bang, sapi pedet bisa menghasilkan uang yang banyak," jawab suami. Sementara aku terus menyimak pembicaraan mereka, baru ini kutahu pedet itu anak sapi. *"Bagaimana caranya?"* tanya Abang ipar. *"Iya, mudah saja, pelihara sapi pedet sepuluh, dalam setahun utang kalian bisa lunas,"* kata suami. *"Kok bisa gitu?" *"Iya, bisalah, modal pedet hanya sekitar lima juta satu ekor, Abang besarkan selama setahun lebih, sudah bisa dijual enam belas juta. Untung sebelas juta satu sapi, kali sepuluh sudah seratus sepuluh juta, utangnya gak sampe segitu kan?"* kata suami. Abang iparku menganggukkan kepala, dalam hati aku memuji suamiku ini. Ternyata bisa juga dia cari solusi. Ngepet dia pelesetkan jadi pedet. *"Tapi aku kerja, Parlin, lagian mana ada modal,"* kata Abang iparku lagi. *"Bukan maksud menghina ya, Bang, tapi kerja satpam itu susah meningkatnya, sepuluh tahun Abang kerja paling jadi kepala satpam, tetap makan gaji, kalau pedet dalam sepuluh tahun Abang sudah bisa menggaji orang, terus sesuaikan pendapatan dengan keinginan serta kebutuhan, misalnya gaji hanya empat juta, ngicil rumah dua juta setengah, itu sama dengan mengikatkan tali ke leher kita,"* kata suami lagi. Aku kembali manggut-manggut, tak kusangka pria jadul ini bisa bicara seperti ini. Orang desa yang biasa bergelut dengan rumput tiba-tiba jadi penasehat. *"Tapi sudah terlanjur dikredit, tujuh tahun lagi lunas,"* kata Abang ipar. *"Jual saja, uangnya bayar utang semua, sisanya untuk pedet, soal lahannya aku bisa cari,"* kata suami. *"Dalam tujuh tahun Abang bisa beli rumah lebih dari itu, tak pusing mikirin utang,"* sambung suami lagi. *"Terima kasih, Parlin, sungguh pembicaraan ini membuka mataku, jujur, aku sudah tersiksa kerja satpam ini, mikirin utang yang menggunung,"* kata Abang ipar seraya menyalami suamiku. Setelah Abang itu pulang, kutatap suami dengan pandangan penuh selidik, entah kerasukannya suamiku ini, tiba-tiba bisa jadi motivator hebat. *"Apa tengok-tengok, Dek?"* *"Ini masih Bang Parlindungan Siregar kan?"* kataku seraya mendekatkan wajah ke wajahnya. *"Bukan, ini Ardi Bakrie suaminya Nia Ramadani,"* kata suami seraya menaik-turunkan alisnya. *"Abang bikin adek gemas aja,"* kataku seraya mencubit kedua pipinya. Kami habiskan malam dengan canda dan tawa, aku jadi lupa akan kesedihanku yang baru ditinggal Ayah. Teringat pesan terakhir almarhum ayah, beliau bilang supaya kami rukun, jan saling iri. Akan tetapi tampaknya ini berat. Saudara tentu saja akan iri bila tahu suamiku seorang milyarder. Dari semua saudara, aku hanya cocok dengan Ria, adik perempuanku. Hanya dia yang mau bela aku bila dopojokkan saudara yang lain. Keesokan harinya kami ke rumah orang tua, setelah sebelumnya mencairkan uang tiga ratus juta, untuk membayar rumah tersebut. ada acara tahlilan ketiga malam harinya, tentu saja kami akan masak. Ketika kami sedang sibuk di dapur, kakakku datang, suaminya tidak ikut, dia terlambat mungkin, akan tetapi begitu datang, bukannya membantu, malah marah-marah pada Bang Parlin. *"Hei, Parlin, kau apakan suamiku, kau yang nganggur kau ajak orang nganggur, gara-gara kau gak mau dia kerja lagi, dia sudah mengajukan surat pengunduran diri,"* kata kakakku. *"Gak ada kuapain, Kak, dia minta diajari pedet,"* jawab suami. *"Pedet? apaan itu,"* kakak Ipar--istri dari Abang tertua ikut bicara. *"Sodaranya ngepet, cara jitu dapat uang,"* aku yang menjawab. Para saudaraku tampak bingung, kakakku menarik tanganku menjauh dari orang ramai. *"Nia, abangmu seketika berubah, dia tak mau kerja, rumah pun mau dia jual over kredit, mau pindah ke kampung katanya, padahal kusuruh dia ke rumah kalian belajar ngepet, malah berhenti kerja,"*
*"Turuti saja apa kata Abang, bila dia jual rumah, biarkan, dari pada hidup tak tenang,"* kataku. *'Aku akan jadi orang kampung,"* kata kakak, raut wajahnya tampak sedih. *"Orang kampung itu bukan sesuatu yang memalukan, Kak, aku sudah ke sana, pekerjaan paling mulia itu petani,"* kataku lagi. *'Entahlah, Nia, abangmu ancam menceraikan aku bila aku tak menurut,"* kata Kakak lagi. Dih, ternyata sampai segitu seriusnya Abang iparku itu. Perkataan Bang Parlin ternyata benar-benar membuka matanya. Malam harinya ketika tahlilan diadakan, hujan gerimis turun, entah karena apa, orang yang biasa membaca doa tidak datang. Ada empat orang yang biasa bawa doa, akan tetapi kebetulan tak ada yang datang. Para tamu saling suruh, tak ada yang baca doa lalu seorang pria berkata. *"Ustaz kita tak ada yang datang, jadi untuk baca doa sebaiknya tuan rumah saja,"* kata pria itu. Semua mata lalu mengarah ke abangku, sebagai yang lebih tua dia kami harap bisa bawa doa, akan tetapi dia malah menyruh adikku, adikku menyuruh adiknya lagi. Tak ada ternyata keluargaku yang bisa baca doa, malunya kami. Akan tetapi suami menyelamatkan muka kami, dia raih mikropon, lalu mulai baca doa. Ya, Allah, ternyata suamiku bisa, suaranya juga merdu. Tak kusangka, sungguh tak kuduga, ternyata dibalik rambut gobelnya dia menyimpan otak yang cemerlang. Aku sampai menangis ketika suami menyebut nama ayah di dalam doanya. Abang Gobel, kau selalu membuat aku meleleh.
*BERSAMBUNG*
No comments:
Post a Comment