*Suamiku Jadul*
Part 13
"Dek, rambutku hilang, Dek," kata suami lagi, dia tampak panik. Badannya masih bersabun ketika membangunkan aku.
"Mungkin digigit tikus, Bang," kataku sekenanya.
"Mana mungkin, Dek."
"Mungkin si Rara sudah ikhlas, Bang," kataku lagi.
"Ini sudah dua puluh tahun, Dek, selalu kujaga tetap seperti ini," kata suami seraya memegang belakang kepalanya.
"Baik, Bang, aku ngaku aja, aku yang gunting, cemburu aku, Bang, ternyata Abang berambut seperti itu karena orang, cewek pula," kataku akhirnya.
"Adek kok gitu, sih, egois kamu, Dek." kata suami seraya kembali ke kamar mandi.
Wah, dia marah, baru kali ini kulihat suamiku marah. Secinta itukah dia sama Rara? Kudatangi Bang Parlin ke kamar mandi, dia masih menatap wajahnya di cermin.
"Maafkan Adek, Bang, Abang sih buat adek cemburu saja," kataku seraya memeluknya dari belakang.
"Perlu dua tahun biar tumbuh lagi ini," kata suami.
"Apa sih istimewanya rambut begitu? seandainya dikumpulkan orang satu dunia ini hanya Abang yang berambut begitu?" aku jadi kesal juga, kulepaskan pelukanku.
"Aku orang yang setia, Dek, orang yang tepati janji, aku janji pada seseorang akan memanjangkan rambut belakang sampai kami bertemu lagi, ini soal janji, Dek, janji itu harus ditepati, bukan soal cinta," kata Bang Parlin.
"Abang lebay jadi orang,"
"Lebay itu apa, Dek?"
"Gak tau," kataku seraya balik badan meninggalkan kamar mandi. Aku justru makin penasaran dengan sosok Rara ini, sampai suami setia menunggu begitu lama. Adakah pria begini, setia berambut kuno demi janjinya? Ah, suamiku memang langka, segala yang ada pada dirinya langka.
Sampai siang harinya, Bang Parlin masih juga memegang belakang kepalanya, aku jadi merasa bersalah juga. Aku akan minta maaf untuk yang kedua kalinya.
"Bang!"
"Abang minta maaf ya, Dek," kata suami sebelum sempat aku minta maaf.
"Iya, Bang, adek juga minta maaf, ada kok obat penumbuh rambut biar cepat tumbuh," kataku kemudian.
"Udah, Dek, gak usah, biarlah, si Nunung juga udah dijual, kok, semua tak harus sama,"
"Si Nunung, apa hubungannya dengan si Nunung?" Tanyaku heran.
"Nunung itu sapinya si Rara, Dek, dia suruh Abang jaga."
"Oh ..."
"Dulu dia titipkan tiga hal, satu sapi, satu kucing, satu lagi ya, rambut ini, kucing sudah lama mati, Nunung terpaksa dijual karena sudah tua, rambut pun sudah dimakan cemburu," kata suami.
"Hahaha ... " tawaku lepas juga mendengar Bang Parlin bilang dimakan cemburu.
"Udah, Bang, aku bantu cari Rara," kataku akhirnya.
"Bagaimana caranya?"
"Ini, lewat HP, kalau dia masih hidup pasti ketemu," kataku lagi.
Lalu kuambil foto kami berdua, sengaja kubuat terlihat mesra. Kuposting di Facebook dengan caption:
(Bagi yang kenal Rara, tolong sampaikan, ini Bang Parlindungan mau tepati janji)
Kubagikan ke beberapa grup Facebook, berharap dibaca si Rara ini, kasihan suami terus-terusan merasa berhutang.
Rumah orang tua yang sudah kami beli harus ditempati, tak mungkin dibiarkan kosong begitu. Kami sepakat pindah saja. Ketika sedang mengangkat barang tetangga datang.
"Mau pindah, Mbak Nia?" tanya tetangga ini.
"Iya, Bu,"
"Memang kontraknya sudah habis? kalian kan baru empat bulan di sini?" kata tetangga kepo ini lagi.
"Mau pindah ke rumah orang tua aja, Bu," jawabku lagi.
"Oh, iya, ya, orang tuanya baru meninggal ya,"
"Iya, Bu, mari, Bu," pamitku kemudian.
Setelah semua kami angkat dan ketika kami menyusun barang, adik laki-lakiku yang paling bungsu datang.
"Kak, isi rumah ini juga harus dibagi?" katanya setelah basa-basi sedikit.
"Isinya?"
"Iya, kak, tempat tidur dua, sofa ini asli Jepara ini, vespa ayah lagi," kata adikku.
"Bagaimana membaginya, kita enam orang?" tanyaku lagi.
"Ya, belilah, Kak, uangnya kita bagi," kata adikku lagi.
"Iya nanti kita bicarakan, besok kita kumpul di sini," kataku akhirnya.
"Kasih saja mereka bagi semua, Dek, kita beli yang baru,' kata suami setelah adikku pergi.
Sebenarnya aku malu dengan sifat saudaraku ini, bahkan sofa pun minta dibagi, padahal rumah ini sudah kami hargai lebih, kami tambah dua puluh juta. Akan tetapi dari pada membuat pertengkaran kuiyakan saja permintaan mereka.
Besok harinya kami berkumpul lagi, kakak yang nomor dua tidak bisa hadir karena sudah pindah ke desa. Seperti biasa abangku yang tertua duluan yang bicara.
"Permintaan si Bungsu kita harus bagi isi rumah ini, jadi mari kita hitung bersama, baru dibeli Nia," kata Abangku.
"Boleh bicara?" suami yang angkat tangan.
"Boleh silakan,"
"Silakan kalian ambil saja semua, kosongkan dari sini, kami tak mau bayar," kata suami.
"Kok gitu, sombong sekali kau, Parlin," kata kakak ipar.
Aku juga heran, kenapa tiba-tiba suami perhitungan begini, bagaimana mereka bisa angkat semua, tentu butuh waktu menjualnya.
"Iya, perhitungan sekali kau?" sambung abangku.
"Yang perhitungan itu kalian, masa belum tiga hari sudah bicara warisan, sama tempat tidur pun kalian hitung, padahal sudah kami tambah harganya kemarin," kata suami.
Para saudaraku terdiam semua.
"Ingat pesan Ayah sebelum pergi hari itu, beliau bilang kita harus rukun, jangan saling iri," kata Bang Parlin lagi.
"Kita kan rukun, yang iri juga siapa? Orang kampung seperti kau mau diiriin?" kata kakak ipar.
"Udah, terserah kalian," kata Bang Parlin seraya pergi menjauhkan diri.
Ada apa dengan suamiku ini? Apakah karena rambutnya? aku lalu mendekati suami.
"Ada apa sih, Bang? gak biasanya sensi gini?"
"Maaf, Dek, entah kenapa pikiran Abang jadi begini, geram lihat mereka,"
"Biasanya kan Abang sabar,"
"Gak tau juga, Dek," jawab suami seraya memegang belakang kepalanya.
Duh, apakah karena rambut yang kupotong itu? sebentar sebentar dia memegang kepalanya bagian belakang. Dia seperti kehilangan, seperti bukan dirinya sendiri. Begitu berpengaruhkah rambut gobel itu.
Saudaraku akhirnya melelang semua barang di rumah itu, semua kosong, bahkan kompor gas pun ikut dijual, luar biasa, aku malu pada diri sendiri, malu punya saudara seperti mereka.
Seminggu kemudian Ayah mertua datang, aku cukup terkejut juga, beliau datang bersama saudaranya yang Bang Parlin panggil "Bou" itu.
"Terima kasih, Maen, hebat kau, si Parlin akhirnya mau potong kuncir kuda itu," kata Ayah mertua begitu melihat rambut Bang Parlin.
"Hehe," aku hanya terseyum simpul, Ayah mertua malah memujiku, padahal butuh drama panjang rambutnya itu akhirnya terpotong.
"Kami datang mau antar hasil panen sawit, sekalian mau raun-raun," kata Ayah mertua lagi.
Ayah mertua lalu mengeluarkan uang tunai yang sangat banyak, tempatnya justru di tas kresek hitam. Aku terpana melihat uang yang banyak itu.
"Ini, Maen, setelah dipotong upah pekerja dan pupuk semua, ini hasilnya," kata Ayah mertua lagi.
"Kok samaku, Pak," kataku seraya melihat Bang Parlin dan Bou-nya.
"Dalam rumah tangga itu, istri menteri keuangannya, bendaharanya, sekaligus banknya," kata Ayah mertua.
Tanganku gemetar menerima uang yang banyak itu. Tak tahu harus bicara apa lagi.
"Udah, simpan, Dek," perintah suami. Dengan tangan masih gemetar, kuangkat tas kresek hitam berisi uang tersebut, kusimpan di bawah tempat tidur.
"Ini uang kontrakan rumah," kata Bou itu lagi, seraya memberikan uang.
Lah, aku bendahara, aku menteri keuangan.
*BERSAMBUNG*
No comments:
Post a Comment