Suamiku Jadul
Part 21
Perjalanan dari Rokan Hilir menuju Jambi lama juga, akan tetapi lebih santai karena jalan yang cukup bagus. Tujuan kami adalah kabupaten Tanjung Jabung Barat. Di sinilah Bang Nyatan berkebun sawit dan beternak sapi. Setelah lima belas jam perjalanan darat, kami akhirnya sampai juga. Perkebunan Bang Nyatan mirip punya Bang Parlin, kebun sawit dan ternak sapi.
Bang Nyatan sudah punya anak tiga, istrinya orang dari kampung juga yang dibawanya ke Jambi. Di sini kami benar-benar dijamu bak raja dan ratu. Kambing Bang Nyatan disembelih, kami makan kambing guling di bawah pokok sawit.
"Tak disangka kalian mau juga datang kemari," kata Bang Nyatan.
"Ini yang punya ide, Bang," kataku seraya menunjuk Bang Parlin.
"Iya, dia memang selalu jadi panutan, aku yang abangnya merasa seperti adik, pada dia aku banyak belajar tentang kehidupan," kata Bang Nyatan.
Kami hanya dua hari di tempat itu, kembali melakukan perjalanan darat pulang ke tanah kelahiran suami. Rina dan Dame justru terus ikut, padahal rencananya mereka hanya mengantar kami sampai Jambi. Dari Jambi ke kampung halaman suami memakan waktu sampai satu hari satu malam, karena banyak istirahat.
Kebetulan Bapak--ayahnya Bang Parlin ada di rumah, beliau tak di kebun seperti biasa. Desa yang terletak jauh dari jalan lintas Sumatra. Di sini juga banyak ternak sapi dan kerbau.
"Sehat, Pak?" kataku seraya salim pada Ayah mertua.
"Kalau di sini jangan panggil Bapak, Maen, ditertawai orang nanti, panggil saja, Amang Boru," kata Ayah mertua.
"Oh, iya, Pak, eh, Amang Boru," jawabku.
Dua hari di kampung, kami lanjutkan perjalanan lagi menuju kebun Bang Parlin, Ayah mertua juga ikut serta. Sampai di sana lanjut panen sawit, kembali ke Medan bawa hasil panen, sedangkan Dame kembali ke Rokan Hilir.
Di desa kami juga sempat berkunjung ke tempat kakakku, mereka benar-benar jadi petani. Sapi mereka ada tiga puluh ekor, untuk biaya sehari-hari Abang iparku bekerja sebagai penjaga kebun sawit.
"Terima kasih, Parlin, sungguh kami merasa tenang di sini," kata Abang ipar. Akan tetapi kakakku tampak tak suka, dia lebih banyak diam.
"Entah apa hebatnya sapi ini, Nia, tiap hari kotoran sapi lah yang kuurus," kata kakakku ketika aku menemaninya membersihkan kandang sapi.
"Udah besar nanti baru terlihat hasilnya, Kak," jawabku.
"Entahlah, Nia, lihat wajahku jadi terbakar matahari seperti ini, lihat tangankuu jadi kasar, dulu kuejek si Parlin cabut rumput, akhirnya itu pekerjaanku," kata kakakku.
"Bersukurlah, Kak."
"Bersyukur apanya? gara-gara si Parlin kami jadi begini, lihat ini, aku muak," kata kakakku.
"Setidaknya kakak gak punya hutang lagi," kataku menghibur kakak kandungku tersebut.
"Iya juga sih, tapi ginilah ha," kata kakaku seraya menunjukkan tangannya yang kotor.
Ketika aku hendak mengambil fotonya, kakak melarang keras.
"Jangan, Nia, aku malu," kata kakakku.
"Lebih malu lagi berfoto hasil hutang, Kak," tiba-tiba Bang Parlin sudah datang.
"Iyalah, kau mudah saja bilang begitu, karena kau kaya," kata kakakku.
"Aku dulu seperti ini juga, Kak, bahkan jauh lebih parah, pernah setahun aku tak melihat jalan besar, berkutat dengan sapi terus, tapi alhamdulillah bila sabar ada hasilnya." kata Bang Parlin.
"Bagi dulu kami hasil panennya sedikit," kata kakakku lagi.
Bang Parlin mengeluarkan dompetnya, member uang merah sepuluh lembar, ah, mudah kali rasa Bang Parlin memberikan uang tersebut.
Kami sampai di Medan setelah berkeliling tiga pulau besar, pulangnya bawa duit hasil panen. Sebelum ke Medan kami singgah di pesantren Mustafawiah Purba Baru. Pondok kecil tempat tinggal santri laki-laki jadi ciri khasnya.
"Mau ngapain kita ke sini, Bang?" tanyaku.
"Nostalgia, Dek, sekalian mau lihat anakku," kata Bang Parlin.
"Anak?"
"Iya, Abang punya anak angkat di sini, semenjak kita kawin, belum pernah bertemu," kata Bang Parlin.
Aku semakin takjub dengan suamiku ini, ternyata di pesantren ini, ada tujuh anak yang dia biayai sekolahnya. Ayah mertua rutin mengirim belanja ketujuh orang tersebut.
Begitu kami bertemu anak-anak remaja tersebut, mereka langsung salim penuh hormat pada suami.
"Abang dulu putus sekolah karena ketiadaan biaya, Abang tak ingin itu terjadi pada anak-anak ini," kata Bang Parlin.
"Yang ini dulu kudapat karena mencuri sawit di kebun kita, ternyata dia mencuri karena butuh biaya mondok, ya, sekalian Abang biayai sekolahnya." kata Bang Parlin seraya menunjuk anak yang paling besar.
Ya, Allah, mencuri demi biaya menuntut ilmu agama?
"Kurasa kita akan punya anak, Bang?" kataku ketika kami dalam perjalanan menuju Medan.
Bang Parlin menatapku, saat itu kami di dalam bus ALS.
"Maksudnya?"
"Aku terlambat, Bang,"
"Alhamdulillah, akhirnya aku akan jadi Ayah juga," kata Bang Parlin seraya mengecup keningku.
"Tapi belum periksa, Bang, belum pasti," Kataku lagi.
"Iya, Dek, Adek hamil, aku akan jadi ayah pantas saja aku bermimpil semalam."
"Mimpi apa, Bang?"
"Abang mimpi gendong anak, ternyata istriku hamil, hey, semua penumpang bus ini, aku traktir makan semuanya nanti di rumah makan," kata Bang Parlin.
Aku memang bulan lalu tak datang bulan, aku tak katakan pada suami karena belum pasti, akan tetapi bulan ini tak jua tamu bulanan datang, aku sudah yakin sekali hamil.
Suami tak main-main, dia traktir satu bus tersebut makan ketika bus singgah di rumah makan.
Begitu kami sampai di Medan, aku langsung dibawa suami periksa ke dokter kandungan, takut kenapa-kenapa karena melakukan perjalanan jauh ketika hamil.
Entah kebetulan atau apa, nama dokter yang memeriksaku sama dengan suami, hanya beda marga saja, kata suami, dokter tersebut teman sekampungnya..
"Boleh aku panggil Bang Parlin?" tanyaku pada dokter tersebut, aku merasa risih dengan dokter laki-laki.
"Oh, gak usah, Bu, panggil dokter saja," kata dokter tersebut.
Oalahh, dia salah paham, padahal maksudku bertanya bolehkah kupanggil suami ke ruangan tersebut. Karena dari tadi suami berada di luar. Kubiarkan saja kesalah pahamam tersebut, akan tetapi dokter tersebut sadar dengan kesalahpahaman tersebut.
"Hahaha, saya baru ingat nama suami Ibu juga si Parlindungan, silakan panggil, Bu, boleh,"
Ketika Bang Parlin kupanggil mereka justru bicara dalam bahasa yang tidak kumengerti. Entah kenapa dengan orang Batak ini, kalau bertemu selalu memakai bahasa mereka padahal ada orang yang ingin tahu apa yang mereka bicarakan.
"Aku akan jadi Ayah," kata Bang Parlin ketika kami sudah di rumah.
"Iya, Bang, kata dokter sudah tiga bulan,"
"Adek ini gak bilang-bilang, untung juga Parlin junior kuat, dibawa keliling Indonesia dia tetap bertahan,"
"Kita kasih siapa namanya nanti, Bang?" kataku seraya mengelus perut yang masih rata.
"Kalau laki-laki kita kasih nama Pardomuan Siregar," jawab suami.
"Itu kan nama Bapak, Bang?"
"Iya, Dek, orang batak itu ambil nama anak pertama dari kakeknya."
"Ah, gak setuju, Bang, cukup Abang yang jadul, anak kita gak usah." jawabku sewot.
"Kalau perempuan kita kasih nama Rani Ramilah, disingkat Rara."
"Gak sudi, gak mau," tiba-tiba aku kesal sekali, menghentakkan kaki dan masuk kamar, kebanting pintu kamar dan menguncinya. Aku benar-benar cemburu, dia mau kasih nama anaknya dengan nama mantan?
"Dek, buka pintu lah, Dek," kata suami seraya mengetuk pintu kamar.
"Gak mau," jawabku.
"Dek, bukalah, Abang minta maaf, Dek," kata suami lagi.
Tak kujawab lagi, aku benar-benar kesal, bisa-bisanya dia masih terus ingat Rara.
"Begini, Dek, kata orang bila kita ingin melupakan seseorang itu, harus dicari gantinya, mana tau nanti anak kita bernama Rara Abang bisa lupa sampe si Rara." kata suami lagi. Kuintip dari lubang kunci dia masih berdiri di pintu kamar. Akan tetapi aku tetap diam.
Hening, suami tak lagi memanggil, coba kuintip apa yang dia lakukan di luar, akan tetapi dia tak terlihat. Mana suamiku? Lalu kudengar getaran HP, aku baru inget HP-ku terletak di atas TV.
"Dek, HP-mu bunyi, ada telepon dari Rara, abang terima ya," kata suami. Seketika aku buka pintu berlari seraya berteriak "Jangan, Bang,"
Kuraih HP itu dari tangannya, aku tak ingin dia bicara dengan Rara, segera kugeser layar HP, dan ...
"Kak Rara, tolong, Kak, bukan maksud mau putuskan silaturahmi, tapi tolong jangan hubungi kami," kataku setelah telepon ketempelkan di telinga.
"Aku bukan Kak Rara, aku Rina, gimana sih?" spontan kulihat layar HP, ternyata nama Rina yang ada. Ya, Tuhan, malunya.
Kulihat suami, dia tertawa cekikikan.
"Cemburu bisa membutakan mata, Rina pun jadi Rara," kata suami seraya tertawa.
*BERSAMBUNG*
No comments:
Post a Comment