Suamiku Jadul
Part 20.
Bang Parlin terus saja melirik HP-ku, mungkin dia ingin melihat komentar juga. Kutunjukkan padanya komentar para temanku.
(Cieee, ciee yang Sultan)
(Ini baru the real Sultan)
(Niyet dah berubah jadi Nia ramadani)
Ada juga komentar menghina tiba-tiba sudah hilang, lah, aku diblokir, salahku apa?
Semuanya kubalas dengan keterangan status tersebut bukan aku yang buat, tapi suami.
"Jadi ingin juga Abang punya Facebook," kata suami.
"Jangan, Bang, jangan," jawabku kemudian.
"Memang kenapa, Dek?"
"Facebook ini ibarat pisau dapur, Bang,"
"Kok pisau dapur?"
"Gitulah, Bang, bisa berguna untuk iris bawang tapi bisa juga nikam orang, bahkan nikam diri sendiri pun bisa."
"Tumben bicaranya kek gitu, Dek," kata suami, nada suaranya kedengeran serius.
"Itu hanya perumpaan, Bang."
"Iya, Abang tahu itu perumpamaan, tapi kenapa? Apakah Adek gak percaya sama Abang?" suami kok malah serius menanggapinya.
"Bukan gak percaya, Bang, pelakor banyak bergentayangan di Facebook,"
"Sama yang gak jelas saja Abang setia sampai belasan tahun, apalagi yang nyata ada di depan mata,".
"Siapa yang gak jelas, Rara lagi kan, Bang?"
"Iya, Abang bisa setia padahal dia gak jelas ada di mana, punya siapa, bahkan Abang gak tau masih hidup apa gak."
"Udah, Bang, adek gak suka Abang bicarakan Rara," kataku kemudian. Di saat bersamaan terdengar panggilan untuk menaiki pesawat yang akan membawa kami ke Padang.
Kami pilih ke Padang karena menurut Bang Parta perjalanan dari Padang lebih indah pemandangannya dari pada Pekanbaru. Beberapa jam kemudian kami tiba di Bandar udara Internasional Minangkabau. baru memesan travel ke daerah Rokan hilir perjalanan darat selalu melelahkan, untung juga jalannya bagus.
Kami sampai juga akhirnya, kebun sawit Dame berada di rawa-rawa. Sekeliling pohon sawit masih air semua. Rumah panggung yang cukup besar ada di tengah kebun tersebut sawitnya belum tinggi, akan tetapi sudah panen. Alat angkut sawita justru perahu.
'Aku gak tahan di sini, Nia, aku tersiksa," kata Rina begitu kami berduaan.
"Kenapa? Apakah Dame jahat?"
"Tidak, Nia, dia justru baik dan lucu, tapi aku tak gak sanggup tinggal di sini, sinyal pun payah, buka Facebook saja luar biasa lelet," kata Rina.
"Tapi kan sudah kubilangnya hari itu,"
"Iya, memang, kupikir kek kau, tinggal di Medan hanya nunggu hasil panen, ternyata tidak, diajak pun tinggal di kota, dia gak mau, aku tersiksa di sini," kata Rina lagi.
Tempat mereka ini memang sangat terpencil bahkan untuk bisa masuk rumah saja harus naik perahu. Lahannya rawa-rawa yang disulap jadi kebun sawit jadi sepenjang kebun ada parit besar, mirip bertani Cabe dalam skala yang besar.
"Tolong, Nia, aku ingin ikut pulang saja dengan kalian, aku gak tahan lagi, kemarin aku bertemu buaya, buaya asli, Nia, aku hampir pingsan," kata Rina lagi.
"Sabar dulu lah, Rina, siapa tahu nanti Dame ajak kau pindah dari sini?"
"Gak akan mau dia, dia mau bangun kota di atas rawa, kan gila itu," kata Rina lagi.
Aku jadi merasa bersalah, sudah dimahar delapan puluh juta, kerbau sudah dipotong untuk pesta mereka, baru hitungan bulan dia sudah tak tahan. Akulah yang menjodohkan mereka, jadi aku merasa bertanggungjawab.
"Tolong, Nia, berikan pengertian dulu sama Bang Dame, aku bukan buaya betina yang bisa hidup di rawa-rawa." kata Rina lagi.
Ketika makan siang bersama, kuutarakan apa yang dikatakan Rina. Bang Parlin justru yang terkejut, sedangkan Dame biasa saja, mungkin dia sudah sering mendengar keluhan istrinya.
"Aku gak bisa, dulu kutanya nya duluan, apa mau tinggal di rawa, dia bilang mau, sudah begini, dia minta pindah, padahal investasi sudah ditanam di sini, belum bisa ditinggal," kata Dame.
"Jadi bagaimana solusinya?" tanyaku serasa melihat mereka satu persatu.
"Ya, terserah Rina lah, pokoknya kalau pindah aku tak bisa,"
"Tapi dia tak tahan di sini?"
"Mau bagaimana lagi, berarti dia gak bisa jadi makmum yang baik," kata Dame.
Semua terdiam, sepertinya ini akan buntu, dua-duanya tak ada yang mau mengalah. Kulihat Bang Parlin yang sedari tadi diam saja, kuberikan kode minta pendapatnya. Akhirnya dia bicara juga.
"Maaf, Rina, si Dame memang cari wanita yang mau tinggal di rawa, itu sudah syaratnya hari itu, kamu mau, sekarang ternyata kamu tak tahan, akan tetapi aku tak bisa menyalahkanmu, jujur aku juga takut tinggal di sini, mau buang air pun takut dimakan buaya,"
"Buaya di sini tak mengganggu orang, Bang," potong Dame.
"Katamu itu, tapi tetap saja orang takut, kau pun salah, ibaratnya kau paksa ikan Mas hidup di laut, mana bisa? kau paksa orang kota tinggal di tempat seperti ini, siapa yang tahan?" kata Bang Parlin.
Niat kami kemari mau liburan justru jadi seperti ini.
"Jadi bagaimana lagi, Bang?" tanya Dame..
"Kukasih pandangan sama kau, Dame, tanggung jawab suami itu memberikan nafkah lahir batin, kau gagal untuk itu, nafkah lahir berupa tempat tinggal yang layak tak bisa kau berikan, gagal juga nafkah batin, batin istrimu tersiksa di sini. Bisa saja kan kau bangun rumah di desa sana, Bang Parta begitu, dia bangun desa baru, sawitnya orang yang jaga," kata Bang Parlin.
"Tapi Abang bisa, bahkan dua puluh tahun lagi," kata Dame.
"Beda, aku nikah sudah tak tinggal di situ lagi, kuserahkan semua pada orang pengelolaannya, kau tidak, kau paksa kucing berenang, ya, tersiksa," kata Bang Parlin lagi.
Paksa kucing berenang? Ah, suamiku ini ada saja istilahnya, entah dari mana dia dapat istilah begitu. Sementara itu Rina terus diam, dia menundukkan wajahnya. Mungkin dia merasa bersalah juga karena ingkar janji.
"Kau pikir dulu, Dame, bagaimana wanita dari kota bisa tinggal di tempat seperti ini, kau tahu wanita sekarang gak bisa hidup tanpa HP, tetangganya tak ada, kau tahu wanita itu butuh menggosip, sama siapa istrimu menggosip di sini? yang ada cuma burung bangau sama buaya, pekerja di sini laki-laki semua, pikir! jangan egois," Bang Parlin bicara seperti Cak Lontong saja.
"Iya, Bang, aku memang egois, minta sarannya, Bang," kata Dame akhirnya.
"Begini saja, ambil jalan tengah, rumah tangga itu ya kompromi, istrimu tak bisa tinggal di sini, sementara kau tak mau tinggalkan lahan ini, jadi jalan tengahnya, kontrak rumah di desa sana, kulihat tadi ada desa, istrimu tinggal di situ, kau kerja di sini, pagi berangkat, pulang sore, hanya begitu saran dari aku," kata Bang Parlin.
"Iya, Bang, ayo kita ke desa itu sekarang juga, cari rumah yang bisa dikontrak atau dibeli," kata Dame.
Mendengar itu Rina seketika tersenyum, dia dapat solusi, suamiku memang hebat. Aku juga ikut senang, tak bisa kubayangkan mereka bubar baru beberapa bulan menikah.
Liburan kami jadi berubah, kami justru membantu Dame dan Rina pindah, rumah di desa sudah dapat, di desa itu ada sinyal, sudah lumayan ramai juga.
"Kak Nia, boleh tanya?" kata Dame di suatu malam.
"Boleh, silakan," jawabku kemudian.
"Bagaimana cara kakak bisa membuat Abang Parlin mau motong rambutnya?"
"Hahaha," aku jadi tertawa, teringat kejahilanku yang terbakar cemburu.
"Pernah Bang Parta kasih hadiah motor KLX, asal mau Bang Parlin motong rambutnya, dia gak mau," kata Dame lagi.
Bang Parlin muncul dari belakang, " Apa kalian bicarakan aku," tanya Bang Parlin seraya duduk.
"Terpotong juga rambut Sanjay Duta itu, Bang," kata Dame.
"Itulah hebatnya wanita itu, Dame, mereka lemah tapi kuat, dibelakamg seorang pria sukses ada wanita hebat," kata Bang Parlin.
"Salah, gak betul itu, buktinya Bang Parlin sukses tanpa ada wanita, setelah sukses baru nikah," Rina ikut bicara.
"Siapa bilang gak ada, ada wanita hebat yang membuat Bang Parlin jadi begini sukses,"
"Wah, siapa dia?" tanya Rina
"Si Merah," jawab Dame seraya melirik Bang Parlin.
"Bilang aja si Rara, aku sudah kenal dia kok," kataku.
"Iyaa, Rara itulah si Merah,"
Saatnya kami pulang, berkali-kali Rina berterima kasih padaku dan pada Bang Parlin, dia justru menyebutku malaikat yang cari jodoh untuknya dan menyelamatkan pernikahannya. Ah, lebay juga si Rina ini.
Tujuan kami selanjutnya adalah Jambi, tempat Bang Panyahatan. Dari keempat bersaudara itu, Bang Panyahatan yang paling tua, baru Bang Partaonan, baru suamiku, terus yang paling bungsu Pardamean. Uniknya mereka semua beda dua tahun.
Dame dan Rina justru minta ikut kerika tahu tujuan kami selanjutnya adalah Jambi.
"Kasihan Rina, dia sudah kukurung beberapa bulan ini," begitu alasan Dame.
"Kebunmu?" tanya Bang Parlin.
"Hanya tiga hari, kok, lagian baru panen, terus ada yang jaga sekarang, aku juga akan mulai menikmati hidup," kata Dame.
Akhirnya kami berempat berangkat lewat jalan darat. Mobil Innova milik Dame kami bawa dan menyewa seorang supir.
"Bang Nyatan, kami datang."
*BERSAMBUNG*
No comments:
Post a Comment