Suamiku Jadul
Part 22
Bisa-bisanya Bang Parlin bercanda, telepon dari Rani dia bilang dari Rara. Kalau ini siasat nya biar aku buka pintu, dia berhasil.
"Apa kata si Rara, eh, si Rina?" tanya suami seraya menutup mulut menahan tawa.
"Gak ada, Bang, dia bilang terima kasih untuk Abang," kataku, memang Rina menelepon hanya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah membuat Dame bisa berubah.
Semenjak aku hamil, Bang Parlin makin memanjakanku, apapun mauku dia turuti, tak dikasih kerja, kadang aku merasa dia terlalu, masa menyapu pun aku tak boleh.
Uang kami seperti tak habis-habis, sudah pergi keliling tiga pulau, bukannya berkurang, malah bertambah, karena para saudara suami selalu memberikan uang, jika ongkos hanya dua juta, mereka beri empat juta, tentu saja jadi bertambah. Ditambah lagi hasil panen sawit yang kami bawa dari kampung. Aku kembali teringat perkataan Rapi, harus ada harta yang atas namaku, bukan karena tidak percaya pada suami, akan tetapi untuk jaga-jaga.
"Bang, sebenarnya aku miskin," kataku pada suami di suatu malam. Saat itu kami baru selesai sholat magrib berjamaah.
"Kok miskin pula?"
"Iya, Bang, aku tak punya apa-apa?"
"Itu rumah kontrakan ada, ini rumah juga ada, sawit ada, apa lagi?"
"Semua itu punya Abang, aku tak punya apa-apa," kataku seraya memasang wajah sedih.
"Abang buat rumah ini atas nama Abang karena khawatir dengan saudaramu, bukan mau berprasangka buruk, tapi sudah kita lihat bagaimana mereka,"
"Iyaa, Bang, tapi adek tetap pengen punya harta sendiri,".kataku lagi.
" Ya, udah, bila datang panen sawit bulan depan, Adek boleh belikan apa saja," kata suami.
"Betul, Bang,"
"Betul,"
"Makasih, Bang," kataku seraya bersandar di dadanya.
Entah kenapa, hasil sawit datang lebih cepat dari biasanya, masih tetap diantar Ayah mertua, kadang aku sempat berpikir, apakah mereka tak kenal transfer? sehingga semuanya harus diantar sendiri.
"Maen, ini hasil panen kita, lebih banyak dari biasanya, karena harga sawit naik," kata Ayah mertua seraya memberikan uang di tas kresek hitam.
"Terima kasih, Mang Boru," kataku.
Apakah ini tak terbalik, orang tua yang justru jadi pekerja anak.
"Bang, apa gak sebaiknya Bapak gak usah urus sawit, bukan karena apa, kasihan Bapak, sudah tua masih harus kerja," kataku pada suami.
"Justru karena Abang kasihan makanya Abang kasih Ayah yang urus, Ayah itu kalau tak kerja badannya bisa sakit, makanya tak pernah lebih dari dua hari di sini," kata Bang Parlin.
"Ah, masa sih, Bang,".
"Iya, begitulah Ayah, bisa saja Ayah santai menikmati hari tua, tapi dia gak bisa, beliau butuh kesibukan," kata Bang Parlin lagi.
Sebelum Ayah mertua pulang, aku ingin menjamunya, membawa mereka makan di restoran. Malam itu kami pergi keluar makan malam, aku pilih restoran yang cukup terkenal di kota Medan.
Ayah mertua tampak bingung ketika pelayan memberikan buku daftar menu.
"Maen, bacakan dulu ini sama Mang Boru," kata Ayah mertua seraya memicingkan mata. Oh, pasti penglihatan Ayah mertua sudah berkurang, aku janji sehabis dari sini akan kubawa ke optik.
Segera kubacakan daftar menu tersebut, nama makanan yang rada aneh dan kebanyakan bahasa asing membuat Ayah mertua tampak bingung. Bang Parlin juga terlihat bingung, dahinya jadi berkerut.
"Tak Adakah daun ubi tumbuk atau ikan sale, Maen?" tanya Ayah mertua.
Duh, aku sungguh lupa, soal rasa itu tak bisa dipaksakan, bisa saja makanan mewah begini enak di lidah orang, akan tetapi akan aneh di lidah mertua dan suami. Padahal aku ingin membuat Ayah mertua terkesan, yang ada justru beliau tak selera makan. Akhirnya kami bertiga makan nasi goreng.
Sehabis dari situ, kami pergi ke optik, mata mertua langsung diperiksa, karyawan optik tersebut mencobakan kaca mata untuk mertua, seraya menunjukkan huruf-huruf di dinding. Ayah mertua terus saja menggeleng ketika karyawan tersebut bertanya huruf apa.
"Kalau untuk kaca mata baca, percuma, Dek, Ayah memang tak bisa baca, beliau buta huruf," kata Bang Parlin.
Ya, Allah, aku jadi merasa bersalah sekali, akhirnya kubawa mereka ke mall. Akan tetapi aku harus malu lagi, Ayah mertua tak mau menginjakkan kakinya di eskalator. Kami jadi tontonan orang.
Gagal sudah niatku ingin menyenangkan Ayah mertua, dibawa makan ke restoran, beliau justru pilih nasi goreng dibawa ke optik percuma juga. Di bawa ke mall pun, beliau takut naik eskalator.
"Uangnya untukmu, Dek, silakan belikan apa saja atas nama Adek," kata suami ketika aku menghitung uang hasil panen tersebut.
Aku berbunga-bunga, akan tetapi aku justru bingung mau beli apa? Mobil? Rumah? Akhirnya timbul ide di pikiranku, aku akan beli pedet.
"Aku mau ikut investasi di peternakan saja, Bang," kataku pada suami.
"Yakin?"
"Yakin, Bang, ayo kita cari pedet, aku mau yang seperti Nunung," kataku lagi.
Aku jadi ketularan suami mungkin, aku justru ingin punya usaha sendiri, punya penghasilan sendiri.
"Pertama, Dek, cari dulu orang yang bisa dipercaya dan mau urus sapi," kata suami.
Ah, itu, mudah, banyak teman dan saudaraku yang pengangguran. Mulai bertanya ke sana ke mari, dapat, dua saudara sepupu Rapi butuh usaha dan mau tinggal di desa. Akhirnya kami pulang ke desa bersama Ayah mertua. Bang Parlin juga mendukung usahaku ini. Modal tiga ratus juta digelontorkan. Aku akan jadi juragan sapi.
Lahan sudah didapat, mencari pedet yang agak sulit kami sampai mendatangkan pedet dari luar daerah. Aku ingin pilih sapi mahal, lima belas juta untuk sapi jenis limosin berumur enam bulan. Kami ambil sepuluh sapi. Aku mulai menghitung keuntungan, satu sapi setelah dua tahun sudah dewasa, bisa dijual empat puluh sampai lima puluh juta, bagi dua sama peternak.
Kami kembali ke Medan setelah semua beres. Dua orang pengangguran jadi terbantu. Aku bangga, ini permulaan yang baik.
"Bang, kalau sapiku nanti sudah dewasa, kujual aku mau beli lahan sawit yang luas." kataku pada suami di suatu malam, saat itu kami lagi berduaan di depan TV, aku asyik main HP, dia nonton TV.
"Iya, Dek, ini baru satu bulan, masih lama lagi,"
"Iya, Bang, aku ingin seperti Kak Sofie, mendirikan perusahaan perkebunan dan peternakan, punya karyawan ratusan," kataku lagi. Sofie adalah istri dari Bang Partaonan.
"Aamiin,"
"Bang, bagaimana rasanya punya penghasilan ratusan juta perbulan?"
"Ya, biasa saja, Dek,"
"Gaji terbesarku hanya dua juta setengah sebulan, Bang,"
"Oh,"
"Bang, kalau sapiku nanti besar, akan kujual ke artis, biar jadi kurban artis, aku ikut berfoto bersama artisnya," kataku lagi.
"Iya, Dek, aamiin,"
"Nanti setelah aku kaya, aku akan beli sawah yang luas, kan orang tani orang mulia, tak ada intrik, tak ada jilat sana sini,"
"Iya, Dek, iya,"
"Tapi, Bang, bila nanti aku beli sawahnya, jangan pula Abang bawa sapi Abang ke sawahku, bisa hancur itu sawah."
"Pasang pagar sawahnya, Dek,"
"Mana bisa kupagar, sawahku kan luas, sapi Abanglah ikat,"
"Mana bisa diikat, Dek, sapi Abang kan banyak, sawahmulah pagar."
"Gak bisa, Bang, ikat sapimu,"
"Gak mau, pagar sawahmu,"
"Hahaha, hahaha." Akhirnya kami tertawa bersama, obrolan kami memang tak penting dan tak beres. Akan tetapi aku suka.
Tiba-tiba HP jadul suami berbunyi, itu sesuatu yang langka, bila berbunyi biasanya ada hal penting. Segera kuambil dan...
"Halo, assalamualaikum," sapaku.
"Ini, Amang Boru, Maen, sapimu hilang semua, sama pekerjanya yang juga ikut hilang," katanya.
Wah?
"Hilang bagaimana, Mang Boru?" tanyaku kemudian.
"Hilang, Maen, tak ada lagi sapi, pekerjanya juga tak ada lagi, sudah tiga hari, tapi baru hari ini kami tahu."
"Ya, Allah, sapiku, Bang, sapiku hilang semua," kataku pada suami seraya menangis.
"Hilang bagaimana?"
"Hilang ya, hilang," kataku seraya mencari nomor pekerja. Akan tetapi sudah tak aktif lagi, kucari akun Facebook-nya sudah ditutup. Duh, berarti mereka melarikan sapiku.
Semalaman aku menangis, hilang sudah semua, Bang Parlin berusaha menenangkan aku, akan tetapi mana bisa aku tenang, sapiku hilang.
Keesokan harinya, kami pulang. Ternyata kedua orang yang kupercaya mengurus sapi itu telah menjual semua sapi, lalu mereka menghilang. Ah, aku salah mempercayai orang. Sedih rasanya, usaha pertamaku begini akhirnya.
"Udah, Dek, gak usah sedih," hibur suami.
"Bagaimana bisa tak sedih, sapiku hilang dimakan pagar sendiri," kataku seraya memegang perut yang mulai membuncit.
Rapi yang mengenalkan aku pada kedua orang tersebut habis kumaki-maki. Ternyata dia sudah tahu kalau sepupunya itu sudah kecanduan narkoba. Dia tak bilang karena yakin sepupunya bisa berubah bila tinggal di desa.
Sudah lah ini jelas salahku yang salah memilih orang, padahal suami sudah bilang, yang pertama dicari orang yang bisa dipercaya.
"Adek gak berbakat kayaknya," kata Bang Parlin.
"Iya, Bang, maafin adek, Bang, tiga ratus juta hilang," aku mulai menangis lagi.
"Udah, Dek, udah, anggap itu biaya sekolah,"
"Biaya sekolah lagi Abang bilang,"
"Iya, Dek, pengalaman kan guru yang paling berharga,"
"Oh, iya, Bang, pengalaman guru yang paling berharga,"
"Harganya tiga ratus juta," kata suami seraya terkekeh.
"Ya, Tuhan, dasar suami juragan, dia masih bisa tertawa kehilangan uang tiga ratus juta.
"Kehilangan tiga ratus juta, gak apa-apa, Dek, asal jangan sampai kita kehilangan semangat, semangat sayang, anak kita butuh ibunya." kata suami lagi.
Aku terharu, Bang Parlin tak marah, justru menghiburkan, untuk pertama kali kudengar dia ucapkan kata sayang.
"Ada juga untungnya, Dek,"
"Apa lagi, Bang,"
"Abang tak perlu repot ikat sapi satu persatu lagi, Adek kan batal beli sawah," suami tertawa lepas.
*BERSAMBUNG*
No comments:
Post a Comment