*cerbung hikmah disela ramadan*
"Suamiku Jadul"
_Part 56_
Aku sadar, rumah tanggaku masih seumur jagung, untuk ke depan nanti pasti makin beragam cobaan yang datang menimpa kami. Sampai hari ini masih bisa kami lalui, aku berdo'a bisa kami hadapi sampai hari yang akan datang, sampai mau memisahkan.
Bang Parlindungan mulai mengurangi aktivitasnya. Dia lebih pokus ke kami anak istrinya. Biarpun sudah punya ART, akan tetapi dia lebih banyak di rumah. Si Ucok memang lagi lasaknya, kini dia sudah empat tahun, si Butet adiknya hampir dua tahun. Tak ada tanda-tanda aku hamil lagi, padahal tak KB.
"Bang, aku kok gak hamil lagi, ya," tanyaku pada Bang Parlin di suatu siang.
"Iya, mungkin cuma dua yang dititipkan Tuhan untuk kita," kata Bang Parlin.
"Tapi Abang maunya tujuh," kataku lagi.
"Iya, Dek, Abang memang maunya tujuh, tapi kemauan kita tak selamanya akan terwujud, kita percaya saja sama Allah, hanya dua yang kita mampu," kata Bang Parlin.
"Oh, iya, Bang,"
"Iya Dek, begitulah hidup ini, tugas kita hanya berusaha, berapa rezeki yang diberikan Tuhan, ya, kita syukuri," terang Bang Parlin lagi.
"Tapi, Bang, kadang ingin juga punya anak banyak."
Pembicaraan kami terhenti karena ada tamu datang, seorang pria berpeci hitam, aku kenal dia, dia itu kepala lingkungan ini.
"Assalamu'alaikum, Pak Parlin," sapanya ramah.
"Waalaikumsalam," jawab Bang Parlin seraya menyalami pria tersebut. Aku segera ke dapur mengambil minum.
"Pak Parlin, tolong dulu aku, Pak, burung murai batuku hilang, ini sudah ke tiga kali," kata Pak Kepling tersebut, ketika aku meletakkan minum di meja, aku duduk jadi pendengar yang baik
"Maaf, Pak, kok ke saya, saya gak ngerti burung, Pak," jawab Bang Parlin.
"Tapi bapak kan punya kesaktian yang bisa kembalikan barang yang dicuri orang, aku tahu itu dari cerita si Bolok," kata Pak Kepling lagi.
"Wah, maaf, Pak, saya gak bisa itu," jawab Bang Parlin lagi.
"Tolonglah, Pak, murai batu itu mahal, minggu kemarin sudah ada yang tawar tiga juta, gak kukasih, kini hilang, sudah tiga burung muraiku hilang," kata Pak Kepling lagi. Bapak ini memang terkenal hobby pelihara burung. Ada banyak burung di rumahnya.
"Sekali lagi, maaf, Pak, saya gak bisa," kata Bang Parlin lagi.
"Kalau gak, gini aja, Pak Parlin, ajari dulu aku bagaimana caranya?" kata bapak itu lagi.
"Maaf sekali, Pak, saya gak bisa," Bang Parlin terus menolak.
Karena Pak Kepling terus mendesak, aku jadi gerah juga. Bang Parlin tak akan mau ngajari, sama istrinya saja dia gak mau.
"Pak, apa sekiranya Bapak udah siap? Bagaimana kalau yang curi anak Bapak sendiri? Apakah bapak siap anak Bapak perutnya bengkak?" kataku akhirnya.
'Gak mungkin anakku mau nyuri punya ayahnya sendiri,"
"Iya, umpamanya,"
"Oh, iya, terima kasih, ya, aku pulang dulu," kata pria itu. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba mau pulang, atau aku salah bicara?
Malam harinya ada keributan di rumah Kepling, penasaran kuajak suami untuk melihat. Rumahnya hanya sekitar empat pintu dari rumah kami.
"Bang, yuk kita lihat mungkin malingnya sudah dapat," kataku pada suami.
"Ah, malas, Dek," jawab suami.
Aku urungkan niat untuk melihat, akan tetapi jiwa kepoku makin meronta, akhirnya aku keluar, dan kebetulan Bu Ratna datang.
"Ada apa di rumah Kepling, Bu?" tanyaku kemudian.
"Pak Kepling ngamuk, istrinya lepaskan burung peliharaan Pak Kepling,"
"Oooo,"
"Abang jadi pengen pelihara burung ini," kata Bang Parlin ketika aku cerita padanya.
"Untuk apa, Bang?"
"Biar ada bahan ribut," kata suami seraya tertawa.
"Hmmm, Abang?"
Akan tetapi perkataan Bang Parlin itu serasa mengusikku, apa iya, rumah tangga kami terlalu adem, tak ada konflik berarti. Apa iya memang harus ribut dulu biar berwarna? Selama lima tahun lebih berumah tangga, kami belum pernah bertengkar. Hanya pertengkaran kecil yang cepat mereda karena salah satu di antara kami sudah minta Maaf, biarpun yang minta maaf duluan lebih sering Bang Parlin.
Adik bungsuku datang, dia setor uang kontrakan untuk kami, dia juga bayar peralatan yang kami beli dulu. Adikku ini benar-benar berubah.
"Aku mau beli motor ini, Bang?" kata Adikku seraya menunjukkan foto motor di HP-nya. Aku ikut melihat, penasaran juga motor seperti apapun yang dia mau.
Ternyata motor jaman dahulu, bekas motor becak Siantar.
"Harganya tiga lima, Bang," kata adikku lagi.
"Tiga setengah juta?"
"Bukan, Bang, tiga puluh lima juta,"
"Wah, mahal kali?"
"Iya, Bang, itu motor antik, gak produksi lagi,"
"Apa kelebihannya?"
"Gak ada, Bang, buat gaya saja,"
Suami melihatku, aku tahu dia suruh aku untuk menasehati adikku tersebut, akan tetapi aku angkat bahu, tanda terserah abang.
"Beli sesuatu itu karena fungsi, jangan karena gengsi, belum jera juga kau, ya," kata Bang Parlin.
"Oh, iya, Bang, maaf, tapi gak semua orang sama seperti Abang," jawab adikku.
"Ya, udah terserah," kata suami akhirnya.
"Aku beli bukan karena gengsi, Bang, buat gaya dan tabungan, barang antik makin lama makin mahal harganya," kata adikku lagi.
"Ya, udah, belilah, kalau menurutmu itu tabungan,"
"Tapi, Bang, uangnya sudah kukasih ke Abang, kalau boleh kupakai dulu lah, Bang,"
"Baru saja kaum kasih sudah kau minta lagi," kataku protes.
"Iya, Kak, sekalian minta ijinnya," kata adikku seraya menunduk.
Ternyata suamiku memberikan juga, uang kontrakan dan uang yang dia pakai untuk beli peralatan bengkelnya yang baru setengah jam dia kasih diberikan Bang Parlin lagi. Heran juga aku, biasanya suami anti sama orang yang meminta. Ini langsung dikasih.
Setelah adikku pulang, aku interogasi suami.
"Dek, dia sudah jujur kasih utangnya, padahal dulu kita sudah anggap itu sedekah. Terus Abang merasa tertampar, dia benar, tidak semua orang seperti kita, Abang beli barang sesuai fungsi, tak mungkin kupaksakan begitu juga sama orang lain." begitu kata suami ketika aku protes.
Benar juga suamiku ini, kita memang tak bisa paksakan prinsip hidup kita pada orang lain. Akan tetapi bagiku prinsip Bang Parlin sangat cocok. Beli sesuai fungsi, bukan gengsi.
Subuh itu aku terbangun, heran juga, biasanya Bang Parlin selalu membangunkan aku, kini kulihat jam sudah pukul lima lewat tiga puluh menit, kenapa aku tak dibangunkan? Tak kulihat suami. Aku berdiri, kedua anakku masih tidur.
"Bang!" panggilan pelan.
"Abang di sini, Dek," jawab suami dari dapur, suaranya terdengar lemah.
Aku segera ke dapur, aku terkejut melihat wajah suami pucat pasi. Dia memegang perutnya. Di depannya ada bawang putih.
"Kenapa, Bang?"
"Perut Abang sakit kali, Dek,"
"Sini kuurut, Bang," kataku seraya membaringkan tubuh Bang Parlin di lantai. Kuambil minyak goreng, bawang putih dan bawang merah kuiris lalu kubalurkan ke perutnya suami.
Bang Parlin meringis kesakitan, aku jadi makin khawatir. Wajahnya makin pucat saja. Segera kutelpon Abang yang tertua. "Angin duduk mungkin, urut saja dulu, aku datang ini," kata abangku.
Beberapa saat kemudian, Bu Ratna datang, dia memang datang pagi dan pulang sore. Aku segera menyuruh Bu Ratna menjaga anak-anakku.
"Kita ke rumah sakit, Bang," kataku kemudian.
"Gak mau, Dek," jawab Bang Parlin. Rumah sakit memang salah satu tempat yang dia hindari.
Abangku datang, Abang juga menyarankan dibawa ke rumah sakit saja, akan tetapi Bang Parlin tetap menolak. Aku jadi geram.
"Hei Bang, gakl selamanya prinsip hidup itu dipegang, kalau dah sakit begini, dibiarkan gitu," kataku dengan suara keras.
"Gak mau, Dek, pakai minyak bawang saja," kata suami.
Aku jadi marah, kulemparkan piring tempat minyak bawang tersebut. Kuangkat paksa Bang Parlin. Ternyata bisa juga kuangkat sendiri. Kugendong seperti anak kecil menuju mobil kami. Abangmlku sudah di belakang kemudi. Kami berangkat menuju rumah sakit. Kedua anakku tinggal bersama Bu Ratna.
Di rumah sakit, Bang Parlin langsung masuk ke UGD, tangannya dipasang infus.
"Sudah empat puluh tahun, Dek, baru kali ini Abang disuntik," kata Bang Parlin ketika perawat mengambil contoh darah Bang Parlin.
"Iya, Bang, iya, selalu ada untuk pertama kali."
Setelah melakukan serangkaian test, dokter memanggilku.
"Suami ibu menderita usus buntu, ini sepertinya sudah lama, harus segera di operasi," kata dokter tersebut.
Ya, Allah.
*lanjut dikit lagi...*
No comments:
Post a Comment