*Cerbung hiikmah disela ramadan*
"Suamiku Jadul"
_Part 57_
"Dek, pasti ada pengobatan lain, Abang gak mau operasi, gak mau," kata suamiku ketika tahu dirinya akan dioperasi.
"Gak ada lagi, Bang, udah, ini hanya operasi kecil, jangan kek anak kecil Abang," kataku menenangkan suami.
Dia yang hebat, dia yang jago, bahkan sampai berani memukul calon anggota dewan ternyata takut dioperasi. Bahkan takut dengan jarum suntik. Rasanya aku kurang percaya, ada lelaki berumur empat puluhan tahun, tak pernah disuntik.
"Pria itu tukang suntik, Dek, pantang disuntik," kata suami lagi.
"Udah, Bang, jangan rewel," kataku kemudian.
Seorang perawat datang menghampiri kami, di tangannya ada beberapa berkas.
"Dengan Pak Parlindungan Siregar?" tanyanya ramah.
"Iya, Kak, ada apa?" aku yang menjawab.
"Besok akan dilakukan operasi, tolong cukur bulu di sekitar kemaluan, ini alat cukurnya, terus mulai saat ini puasa ya, Pak, sampai besok pagi," kata perawat itu seraya memberikan alat cukur.
"Iya, Kak, terima kasih," jawabku.
"Apanya itu, Dek, kok pakai cukur segala, terus itu cewek ngomongnya gak pakai saringan, bilang kemaluan langsung aja," kata suami.
Aku hanya tersenyum. Lucu juga melihat suamiku ini. Ini sesuatu yang baru baginya. Beberapa saat kemudian beberapa orang berpakaian putih datang. Selang di pasang dari hidung suami. Baru seseorang perawat menyuntik infus, suamiku baru tenang dan tertidur.
Segera kuambil HP, memberitahu pada semua saudara Bang Parlin. Yang pertama kuhubungi adalah Bang Nyatan.
"Ya, Allah, adikku, dia takut jarum suntik, kini harus dioperasi, semoga lekas sembuh, aku datang besok," kata Bang Nyatan.
Jawaban Bang Parta lain lagi.
"Kena juga dia, sudah sering kubilang itu, habis makan duduk dulu sebentar, dia itu habis makan langsung kerja, nomor rekening milikmu masih yang lama, kan?"
"Iya, Bang,"
"Maaf, Nia, kami gak bisa datang, hanya dukungan do'a dan dana yang bisa kami berikan," kata Bang Parta lagi.
"Iya, Bang, terima kasih,"
Ketika kuhubungi Dame, dia justru menangis.
"Oii, Baya, Abangku, dia takut jarum suntik, waktu kami kecil dulu pernah ada suntik vaksin cacar, kami bersembunyi di sawah seharian untuk menghindari itu," kata Dame.
Ternyata suamiku yang takut jarum suntik sudah terkenal dari dulu. Ada perawat datang lagi, kali ini katanya mau test alergi obat bius suamiku akan disuntik lagi. Untunglah dia sedang tidur.
Pagi harinya operasi akan dilakukan, suamiku sepertinya takut sekali.
"Dek, kalau Abang kenapa-kenapa, kalau umur Abang gak panjang, jaga si Ucok, Dek, jaga si Butet, ada simpanan emas Abang, cukup untuk biaya kalian seumur hidup," kata suami.
"Husss, Bang, jangan ngomong gitu, ini hanya operasi usus buntu," kataku seraya menempelkan jari di bibirnya.
"Abang takut, Dek, terus itu tolong bilang dokter sama perawatnya yang laki-laki, ini cewek terus yang datang, Abang gak mau aurat Abang dilihat cewek," kata suami lagi.
"Aduh, Bang, udahlah,"
Dua orang perawat datang lagi, mereka bawa suamiku ke ruang operasi, aku mengikuti dari belakang. Suami menatap aku sebelum masuk ke ruang operasi tersebut. Tatapannya sedih sekali, tanpa terasa aku meneteskan air mata.
Aku duduk sendiri di ruang tunggu, teringat perkataan Bang Parlin, setelah berusaha, kita berdoa, terus tawakal. Segera saja aku menuju ruang salat yang tak berapa jauh dari ruang tunggu operasi di rumah sakit tersebut. Untung juga ruang salat ini menyediakan mukena bersih. Aku solat sunah dua rakaat, terus berdoa yang panjang.
Ketika aku selesai berdoa, keluarga besarku ternyata sudah datang, ada Abang dan kakak ipar, dua adik laki-lakiku bersama istri masing-masing.
"Sudah bagaimana, Nia?" tanya kakak iparku.
"Lagi di ruang operasi, Kak," jawabku kemudian.
"Iya, yang tabah ya, Parlin orang yang kuat, dia pasti sembuh," kata kakak ipar seraya memelukku.
Mereka bawa beraneka macam makanan, akan tetapi aku tak selera.
"Risda, tolong lihat anakku," kataku pada Risda-adik iparku.
"Udah kami lihat, Kak, mereka bersama Bu Ratna," jawab Risda.
Beberapa jam kemudian pintu ruang operasi terbuka, aku segera berdiri dan setengah berlari menuju pintu tersebut.
"Ibu keluarganya Pak Parlindungan?" tanya seorang perempuan memakai pakaian tertutup.
"Iya, Bu,"
Lalu seorang dokter menunjukkan segumpal daging yang dipotong di usus suamiku. "Operasinya berjalan lancar, tinggal pemulihan," kata dokter tersebut.
"Alhamdulillah,"
Suamiku dikeluarkan dari ruang operasi, dia masih belum sadar, baru dipindahkan ke ruang lain. Belum ke ruang inap.
Ketika suamiku kembali ke ruang inap, dia sudah sadar. Aku tersenyum dan membelai rambutnya.
"Adek gak bilang rupanya dokter dan perawatnya harus laki-laki?" tanya suami.
"Dari mana Abang tahu, kan dibius?"
"Abang mimpi, iniku dicukur cewek,"
"Hahaha, udah, Bang, istirahat saja dulu," kataku kemudian.
Dokter lalu menerangkan apa yang tidak boleh, apa yang boleh, tidak boleh minum atau makan sampai kentut dulu.
"Saudara dan teman silih berganti datang menjenguk, setiap ada orang datang, selalu menyalamkan amplop untukku. Bu Rena juga datang, bahkan pemulung yang pernah dibantuin Bang Parlin datang sambil menangis. Tak terasa kantongku sudah tebal dengan amplop.
"Dek, mohon doanya supaya Abang bisa kentut, sudah lapar ini," kata suami, perkataannya itu membuat aku tak bisa menahan tawa.
Bang Parta menelepon, katanya dia sudah tranfer sepuluh juta, padahal biaya operasi dan semuanya pakai BPJS. Malam harinya Bang Nyatan dan Dame juga datang. Dan mereka juga kasih bantuan lewat rekeningku.
Empat hari kemudian suamiku sudah boleh pulang. Abangku menjemput pakai mobil kami.
Rumah kami jadi ramai, dua adik iparku jadi tukang masak dadakan. Selama tiga hari kami semua berkumpul di rumah. Kebaikan Bang Parlin selama ini membawa berkah tersendiri. Buah dan roti sangat banyak, sampai Bang Parlin menyarankan untuk disedekahkan ke tetangga kiri kanan. Rekeningku tambah gendut.
"Lapor, Bos, bendahara izin melapor," candaku pada suami ketika semua tamu sudah pulang.
"Silakan, silakan," kata suami.
"Selama Bos di rumah sakit, ini pendapatan dari amplop orang yang menjenguk," kataku seraya mengeluarkan tas berisi puluhan amplop.
"Ya, Tuhan, macam orang sunatan aja," kata suami.
"Ini belum dihitung yang ditransfer ke rekening kita, dari Bang Parta sepuluh juta, katanya biaya operasi di rumah sakit itu sekitar belasan juta, Bang Nyatan kirim lima juta, Dame tiga juta, jadi jumlahnya semua delapan belas juta, ini belum dihitung," kataku lagi.
"Baik, Bu bendahara, silakan hitung dulu," kata suami.
Aku mulai buka amplop satu persatu, ya, Tuhan, ternyata ada yang isinya dua juta, ada yang satu juta. Puluhan amplop itu kuhitung, isinya hampir sepuluh juta.
"Abang sakit pun bawa keberuntungan," godaku pada suami.
"Uangnya kasih Bu Ratna lima juta, lima juta ke Mesjid sana, sisanya kita syukuran," perintah suami.
"Kok sama Bu Ratna lima juta, Bang?"
"Dek, hampir seminggu dia yang jaga si Ucok sama si Butet, wajar itu,"
"Hmmmm, aku?"
"Kenapa denganmu, Dek?"
"Bu Ratna jaga enam hari dapat lima juta, aku jaga bertahun-tahun, sama ayahnya pun kujaga, dapat berapa?" kataku setengah bercanda.
"Dapat surga, Dek,"
Sesuai pesan dari suami, aku berikan lima juta untuk Bu Ratna, lima juta untuk mesjid Bang Parlin yang antar. Sisanya kami syukuran. Mengundang tetangga dan para saudara untuk makan di rumah.
"Dek, hari itu kan disuruh perawat cukur ini, Abang lupa, jadi siapa yang cukur ya?" kata suami di suatu malam.
"Perawatnya, Bang,"
"Perawat perempuan?"
"Gak tau, Bang,'
"Astagfirullah, semua perawat di situ perempuan?"
"Ya, gak apa-apa, Bang,"
"Kok, gak apa-apa sih?"
"Biasa itu, Bang, kalau dunia kedokteran, adek pun waktu si Ucok lahir, dokternya laki-laki,"
"Haaa ..?"
"Iya, Bang,"
"Ah, tau gitu bagus di bidan aja, kek si Butet lahir."
"Hahaha,"
"Kok ketawa, Dek?"
"Teringat waktu si Butet lahir, Bang,"
"Hahaha," suami ikut tertawa.
*detik2 akhir....*
No comments:
Post a Comment