Friday, June 17, 2022

Suamiku Jadul

*cerbung hilmah disela ramadan*
"Suamiku Jadul"

_Part 54_

Satu bulan penuh kami di kampung, baru situasi kembali normal, setelah dua kali panen sawit, saatnya kami kembali pulang ke Medan. Abang iparku dapat bantuan dari kami, akan tetapi Bang Parlin memberikan bukan dalam bentuk uang, melainkan panen sawit. 

"Kalau Abang, Kakak sukses suatu hari nanti, lakukan juga seperti yang kami lakukan pada kalian ini, ya, Kak, Bang," kata Bang Parlin ketika kakakku melepas kami pulang ke Medan. 

"Iya, Parlin, akan kami ganti, ini catatannya semua, panen sawit itu dua puluh lima juta, upah dodos dan transportasi bikinlah lima juta, jadi kami berutang dua puluh juta," kata Abang iparku. 

"Bukan begitu, Bang, bayarnya bukan sama kami, tapi sama orang yang tertimpa musibah seperti kalian ini, yang bisa merubah kembali nasibnya," jelas Bang Parlin. 

"Alangkah mulianya hatimu, Parlin," kata kakakku. 

Supir kami sudah menunggu di mobil. Supir kami ini memang serba bisa, satu bulan kami di kebun, terus dia ikuti, dia tak pulang ke Medan. Akhirnya Bang Parlin memberikan pekerjaan untuknya, yaitu menyerpis tiga truk dan dua genset yang terendam banjir. Dia bisa ternyata. Dia jadi dapat dua gaji, gaji sopir dan gaji service truk.

"Dek, sampai di Medan nanti adek ke salon dulu," kata Bang Parlin ketika kami dalam perjalanan pulang. 

"Memang kenapa, Bang?" tanyaku. Apakah aku sudah mulai tak cantik lagi, memang selama sebulan di desa aku tak pernah perawatan. Kulitku makin hitam saja. 

"Biar Adek segar gitu," kata suami. 

"Iya, Bang, iya," kataku kemudian. 

Sampai di Medan, aku langsung mengikuti saran Bang Parlin, ke salon yang hanya kira-kira seratus meter dari rumah. Si Ucok dan si Butet kutitip ke Bu Ratna, Bu Ratna lah yang mengurus rumah kami selama kami di kampung. 

"Mbak, Nia," sapa pemilik salon ketika aku dan suami datang. 

Aku langsung duduk di kursi yang kosong, pemilik salon itu justru mengambil minuman botol untuk Bang Parlin. 

"Duduk manis ya, Bang, ini agak lama," katanya pada suamiku. 

Seorang karyawan salon langsung menanganiku, rambutku dikeramas. Eh, kulihat pemilik salon justru menemani Bang Parlin ngobrol, dia biarkan pegawainya yang tangani aku. 

"Beruntung sekali Mbak Nia punya Bang Parlin ini, dia suami idaman," kata Sinta-pemilik salon tersebut, dia datang memeriksa rambutku. 

"Hehehe," aku cuma senyum tipis. 

"Kata ustaz pria yang mampu poligami hanya orang tertentu saja, aku yakin Bang Parlin salah satunya," katanya lagi. 

Lah, ada apa ini, kenapa dia tiba-tiba bahas poligami? 

"Mbak Sinta kenal Bang Parlin?" tanyaku kemudian. 

"Ya, kenallah, masa tetangga gak kenal," 

"Kenal di mana?"

"Di sini, rambut Bang Parlin kan panjang, pernah juga cuci rambut di sini," 

Wah, aku kok merasa mencium bau pelakor?  Kenapa aku tak tahu Bang Parlin pernah cuci rambut di sini. Memang sering kusuruh Bang Parlin untuk cuci rambut di salon saja karena rambutnya panjang dan ada ketombenya, aku gak nyangka dia cuci rambut di sini. 

Bang Parlin datang, "sekalian pedipedi menimeni, aja, Dek?" kata Bang Parlin. 

"Pedi medi, Bang, kok pedi pedi?" kata Sinta seraya menampar bahu suamiku. Ah, tangannya ramah sekali, aku gak suka ini. 

Ketika kami pulang, langsung ku-interogasi suami. 

"Bang, kok kenal Sinta?"

"Iya, kenallah, Dek, tapi tetangga," 

"Dari sekian banyak salon kenapa Abang ke situ?"

"Tapi adek yang suruh rambut Abang dibawa ke salon,"

"Iya, kenapa harus itu?"

"Karena itu yang paling dekat, Dek,"

"Hmmm,"

Alasan suami masuk akal, akan tetapi aku tetap mencium bau pelakor. Aku harus jaga suamiku ini, suamiku limited edition. Takkan kubiarkan diganggui pelakor. 

Tiga hari kemudian, Bang Parlin katanya mau cuci rambut dulu, aku minta ikut, takkan kubiarkan dia berduaan dengan si Sinta tersebut. 

Sinta langsung menyambut kami dengan ramah, tangannya juga ramah, langsung memasang baju khusus untuk suami. Ah, kenapa harus salon perempuan? 

Dugaanku benar, Sinta memang incar suamiku, akan tetapi dia terus terang. Gak sembunyi-sembunyi. 

"Mbak Nia, maaf ya, aku hinakan diriku karena Bang Parlin, sungguh dia suami idaman, bolehkah aku berbagi suami denganmu, Kak?" katanya padaku. Saat itu aku datang sendiri ke salon tersebut. 

Bagaikan suara gledek aku mendengar perkataan jujur dari wanita ini. Ingin rasanya kucabik mulutnya, akan tetapi kutahan, aku tak boleh menunjukkan kemarahan. Aku tahu Sinta ini memang seorang janda. Anaknya belum ada. Konon suaminya menceraikan dia karena tak kunjung punya anak. 

"Aku tak akan nuntut banyak, Kak, aku juga mandul, anakmulah yang akan jadi anak kita, soal nafkah gak usah khawatir, seperti kau lihat sendiri aku punya usaha." kata Sinta lagi. 

Aku terdiam, tak kusangka ada orang seperti Sinta ini, menanyakan langsung ke istri orang yang dia idamkan. Inilah mungkin yang dikatakan orang makin tinggi pohon makin kuat angin menerjang. 

"Aku tak bisa, maaf, aku belum siap berbagi suami," kataku akhirnya. 

"Aku ingin keadilan," kata Sinta. 

"Keadilan? belum apa-apa kau sudah minta keadilan, dasar ...!" kuhentikan bicaraku. 

"Keadilan yang kumaksud bukan seperti yang Mbak duga, aku ingin ini adil, kita tanyakan bersama pada Bang Parlin." kata Sinta. 

Ah, ini wanita nekat, aku jadi teringat perkataan Rapi, suami itu kalau gak diambil Tuhan, ya, diambil pelakor, apakah ini akan terjadi padaku? Teringat lagi perkataan orang, pada dasarnya semua laki-laki itu buaya, tak akan menolak bangkai.

"Tolong, ini sekaligus menguji suamimu, Mbak, aku hinakan diriku demi ini, sumpah, kami belum ada hubungan apa-apa, kalau dia menolak, aku terima dengan legowo," kata Sinta lagi. 

Akhirnya aku pulang membawa Sinta ke rumah, aku sudah siapkan mental, jika Bang Parlin menerima, aku akan legowo diceraikan. Dari pada diincar orang dari belakang, bagus seperti ini. 

Bang Parlin terlihat terkejut dengan kedatanganku bersama Sinta. 

"Mau keramas di rumah, Dek?" tanya suami. 

Aku hanya senyum. 

"Mau keramas kok gak bawa peralatan?" tanya suami lagi. 

Lagi-lagi aku hanya tersenyum getir, aku masuk rumah, kupersilakan Sinta duduk di sofa. 

"Silakan!" kataku pada Sinta. 

"Ada apa ini?" Bang Parlin makin heran. 

"Begini, Bang Parlin, duh, bagaimana bilangnya ya?" ternyata Sinta tak tahu harus bilang apa. 

"Biar aku saja, ini, Bang, aku bawa Sinta kemari untuk jadi maduku. Maukah Abang menikahinya?" kataku dengan perasaan hancur.

"Astagfirullah!" Bang Parlin justru istighfar. 

"Bagaimana, Bang, dia mengidolakan Abang, dia rela tak dinafkahi, tak punya anak, dia hanya butuh nafkah batin," kataku lagi. 

"Abang orang yang tahu agama, aku yakin Abang tahu, poligami itu sunnah, dan aku yakin Abang mampu adil," kata Sinta. 

Lah, dasar!  Ingin rasanya aku mengumpat, ingin kucakar wanita ini, akan tetapi dia betul, ini saatnya aku uji suami, karena bagaimana pun juga ke depan pasti banyak yang seperti Sinta ini. 

Bang Parlin menarik nafas panjang, aku jadi degdegan menunggu apa yang akan dikatakan suamiku. 

"Betul sekali, poligami itu sunnah, dan betul juga aku mungkin mampu, tapi, menjaga keharmonisan rumah tangga itu wajib, menjaga keutuhan rumah tangga itu wajib, jadi kalau ada yang sunnah ada yang wajib, tentu saja aku pilih yang wajib." kata suamiku. 

Tak terasa air mataku menetes mendengar perkataan suami, refleks aku menghambur memeluk Bang Parlin. Kulihat Sinta hanya melongo. 

"Terima kasih, tolong jangan beritahu ini ke orang-orang, aku malu," kata Sinta sebelum akhirnya dia pergi.

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER